Negara dalam Cengkeraman: Privatisasi dan Komersialisasi Sumber Daya Air

Oleh: Muhammad Hifdzi Maulana
Staff Magang Bidang Literasi dan Penulisan

Air adalah materi terpenting dalam kehidupan seluruh makhluk hidup, manusia membutuhkan setidaknya dua liter air setiap harinya untuk menjalankan sistem kerja tubuh. Kehadirannya di bumi ini menjadi suatu eksklusivitas yang tidak dapat dijumpai di hamparan semesta lain. Dari banyaknya volume air yang ada di permukaan bumi, hanya tiga persennya merupakan air tawar yang dapat dikonsumsi manusia. Terbatasnya jumlah air yang dapat dimanfaatkan, dikelola, atau bahkan disalahgunakan manusia inilah yang menjadi dasar bahwa penggunaan sumber daya air harus dilindungi oleh negara dengan cara menegaskan kuasanya atas sumber daya air. Sebagai manifestasi dari tujuan kolektif masyarakat, konstitusi telah mengatur negara sedemikian rupa untuk memiliki kontrol atas sumber daya air hanya untuk satu tujuan, yakni kemakmuran bersama.  Hak konstitusional warga negara untuk dapat memanfaatkan sumber daya air tercantum di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 33 UUD 1945 merupakan magnum opus dari salah satu founding fathers bangsa ini, yaitu Muhammad Hatta. Gagasan yang lahir darinya mengenai ekonomi kerakyatan mendasari penguasaan negara atas sektor-sektor pokok kehidupan yang berorientasikan semangat koperasi. Dengan begitu, tidak peduli swasta maupun negara dalam menjalankan perusahaannya harus berjiwa koperasi dan segala kegiatannya menomorsatukan manfaat secara umum. Konsekuensi logis yang muncul akibat adanya Pasal 33 UUD 1945 adalah menjadikan Indonesia sebagai penganut konsep negara kesejahteraan (welfare state), dalam hal ini, negara sebagai regulator turut bermain di dalam kegiatan perekonomian demi mencapai kesejahteraan rakyat.

Sesuai teori ekonomi tentang pengelompokan barang berdasarkan karakteristiknya, air termasuk common goods yang mana bersifat rivalry dan non-excludable. Maksud dari bersifat rivalry adalah ketersediaan air berkurang setiap dikonsumsi karena air merupakan benda yang dapat diukur dengan satuan unit (meter kubik, liter, dsb.), walaupun sebenarnya kegiatan konsumsi air merupakan salah satu fase dari siklus perputaran. Sedangkan bersifat non-excludable adalah setiap individu yang mengkonsumsi air tidak dapat menghalangi individu lainnya untuk bersama-sama melakukan kegiatan konsumsi. Konsep inilah yang seharusnya terjadi di dalam pemberian akses kepada masyarakat terhadap hak atas sumber daya air di Indonesia.

Namun sayangnya, secara praktis sumber daya air di Indonesia sebagian banyak dikuasai oleh kelompok tertentu. Korporasi-korporasi swasta mengambil sumber mata air untuk digunakan dengan tujuan komersial. Imbasnya, sumber daya air yang semula memiliki nilai sosial karena memang pada dasarnya merupakan hak asasi manusia, kini berubah menjadi nilai tukar ekonomis. Garrett Hardin melalui teorinya berjudul The Tragedy of The Commons mengungkapkan suatu metafora yang menyoroti perbedaan antara rasionalitas individu dan kolektif. Apabila dalam suatu komunitas terdapat beberapa individu yang secara bersama merasa diuntungkan untuk mengeksploitasi sumber daya yang jumlahnya terbatas, karena setiap keuntungan yang didapat dari eksploitasi lebih besar daripada kerugian atas penggunaan sumber daya yang berlebih, maka di saat itulah suatu komunitas tersebut kehilangan seluruh sumber dayanya. Selanjutnya, setelah mengalami apa yang disebut The Tragedy of The Commons, sumber daya yang semula merupakan common goods berubah fungsi menjadi private goods yang memiliki sifat excludable sebagai bentuk dari ekonomi pasar bebas.

Makna dari privatisasi sendiri sebenarnya tidak bersifat derogatif, privatisasi dapat dipahami sebagai upaya swastanisasi. Sejalan dengan paham ekonomi yang digagas Muhammad Hatta, bahwa penguasaan negara tidak serta merta berarti negara harus menjadi operator usaha, tetapi negara menjadi wasit yang memegang kontrol aktivitas perekonomian. Lalu Soepomo menambahkan batasan terkait hal ini yaitu privatisasi hanya dapat dilakukan di sektor non-strategis yang tidak berdampak pada hajat hidup masyarakat, sehingga faktor-faktor produksi tidak jatuh ke tangan swasta. Privatisasi yang dilakukan secara berlebih pada sektor yang tidak tepat membuat negara kehilangan kontrol atas sektor tersebut.

Menurut survey yang dilakukan Investabook di tahun 2021, persentase rumah tangga yang sumber air minumnya menggunakan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) berjumlah 39%, angka ini merupakan angka paling tinggi di antara sumber air minum lainnya, apalagi dibandingkan sumber air minum dari ledeng (termasuk PDAM) yang hanya 9%. Pemenuhan atas akses masyarakat terhadap air minum sebenarnya dilaksanakan oleh gabungan antara pemerintah, swasta, swadaya buatan masyarakat sendiri, dan juga bersumber langsung dari alam, tetapi apa yang dicerminkan dari data ini adalah memang benar bahwa penyedia air telah dikuasai oleh swasta. Dari data yang dimiliki oleh Asosiasi Air Minum dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN), tercatat sebanyak 615 industri bergerak di kegiatan perdagangan AMDK dengan jumlah merek lebih dari 500. Lantas apa yang menjadi faktor pendorong perusahaan-perusahaan AMDK untuk secara terus-menerus melanggengkan bisnisnya?

Regulasi yang Mengatur Pendayagunaan Sumber Daya Air

Sejarah awal mengenai perkembangan perusahaan swasta dalam pendayagunaan sumber daya air melalui cara-cara privatisasi dan komersialisasi dimulai pada saat krisis moneter. Di tahun 1997, anjloknya kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika membuat kelabakan berbagai sektor perekonomian Indonesia. Terlebih saat itu inflasi yang melambung tidak disertai dengan peningkatan pendapatan masyarakat membuat actual income pendapatan per kapita secara sekejap menjadi turun. Akibat dari krisis multidimensional ini, Bank Dunia (World Bank) segera bertindak untuk memberi Indonesia skema pinjaman makro dengan syarat melakukan reformasi di sisi struktural. Salah satu bentuk programnya di bidang pengairan adalah WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan). Indonesia menyetujui program WATSAL dan menerima 500 juta Dollar AS dengan jangka waktu pengembalian selama 15 tahun. Atas syarat dari program inilah pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang kemudian menjadi gerbang investasi swasta untuk melakukan kegiatan usaha atas sumber daya air.

Pengesahan UU 7/2004 ini menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang sebelumnya berpandangan bahwa kepentingan bersama dalam penggunaan air didahulukan. UU 7/2004 memberi celah bagi perorangan untuk dapat melakukan kegiatan komersialisasi air dengan pemberian Hak Guna Usaha Air yang disertakan dalam Pasal 9 ayat 1 UU 7/2004 yang menyebut bahwa perseorangan atau badan usaha dapat memperoleh Hak Guna Usaha Air dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah menyesuaikan kewenangannya. Undang-Undang ini menjadi justifikasi pihak-pihak swasta pemilik usaha AMDK untuk dapat memonopoli sumber air, pada Pasal 40 ayat (2) UU 7/2004 memberikan keleluasaan bagi pihak swasta untuk dapat menyelenggarakan sistem penyediaan air minum. Tanggung jawab negara dalam mengelola sumber daya air tidak cukup semata memberikan izin kepada swasta untuk mengurus lalu negara lepas tangan. Negara masih memiliki suatu kewajiban yang diamanatkan oleh UUD 1945 untuk membuat kebijakan (beleid), mengurus (bestuursdaad), mengatur (regelendaad), mengelola (behersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad).

Kasus monopoli sumber air yang terjadi akibat adanya UU 7/2004 ini pernah terjadi di Klaten, Jawa Tengah. PT Tirta Investama melakukan operasi pemanfaatan sumber air untuk komersial di mata air Sigedang dan Kapilaler sekitar Kecamatan Ceper, Pedan, dan Delanggu. PT Tirta Investama menyedot sumber air dengan pompa berkekuatan besar yang semula berkapasitas 23 liter per detik menjadi 30 liter per detik, ini artinya dalam sehari saja PT Tirta Investama menyedot debit air sebanyak 3 juta liter. Pihak perusahaan berusaha mengupayakan rekonsiliasi atas konflik yang sudah memanas antara warga termasuk petani dan perusahaan. Mereka memberi kompensasi Rp 5,39 untuk setiap liter air dari yang awalnya hanya Rp 1. Walaupun begitu, dampak yang terjadi sudah menyebar luas misalnya kekeringan pada lahan pertanian dan sungai. Debit air untuk mengairi lahan pertanian mengalami defisit 157 liter per detik, setelah dilakukan penyelidikan oleh Dirjen Sumber Daya Air Depkimpraswil di tahun 2004, PT Tirta Investama bahkan terbukti sangat jauh melanggar izin eksploitasi sebanyak 86 liter per detik yang seharusnya hanya 23 liter per detik.

Akibat dari lepasnya tanggung jawab negara dalam pendayagunaan sumber daya air dan terbukti dengan memuncaknya persentase penggunaan AMDK setiap tahunnya, pada tahun 2014 Mahkamah Konstitusi melalui judicial review menghasilkan Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa UU7/2004 inkonstitusional dan mencabut seluruh ketentuan di dalam UU 7/2004 beserta seluruh aturan turunan di bawahnya. UU 7/2004 dinilai bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyebut “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. karena sangat condong kepada kepentingan oligarki dan menafikkan hak-hak rakyat. Melihat dari alasan pemohon, negara mengamini keterlibatan swasta untuk menggeser bentuk air yang semula adalah barang publik yang terfokus dengan pendekatan persediaan (supply approach) menjadi komoditas ekonomis dengan pendekatan permintaan (demand approach) yang berorientasikan profit. Pengaturan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 juga memberikan ruang kepada swasta untuk terlibat dalam penyediaan SPAM di daerah yang tidak terjangkau oleh BUMN atau BUMD. Alasan klise negara untuk tidak dapat sepenuhnya mengelola sumber daya air karena keterbatasan biaya hanyalah usaha untuk berkilah dari tanggung jawab saja, faktanya negara mampu untuk mengelola sumber daya migas yang kita ketahui memiliki biaya tinggi, memerlukan sarana dan prasarana yang tidak murah, dan juga risiko yang tinggi pula.

Setelah UU 7/2004 dicabut, maka untuk mengisi kekosongan hukum diterapkan lagi UU 11/1974 tentang Pengairan. Karena undang-undang ini dibentuk untuk menggantikan Algemeen Water Reglement (AWR) tahun 1936 buatan pemerintah kolonial Belanda dan juga merupakan peraturan perundang-undangan pertama di Indonesia yang mengatur tentang hal-hal yang berkenaan dengan sumber daya air. Walaupun UU 11/1974 ini mulai memperluas paradigma bahwa pengelolaan sumber air tidak hanya yang berkaitan dengan bangunan secara fisik, tetapi kelemahan dari undang-undang ini adalah masih tersentralisasi dan belum dapat meng-cover perkembangan dan kebutuhan regulasi pengelolaan sumber daya air di era sekarang.

Pasca Putusan MK 85/2013, DPR diberikan mandat secara tidak langsung oleh Mahkamah Konstitusi untuk segera membentuk perundang-undangan baru. Melalui Prolegnas  Prioritas 2018-2019, DPR mengajukan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air yang selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (UU SDAir). Secara substansi, undang-undang ini memperbarui UU 7/2004 yang telah menggelar karpet merah bagi pihak swasta untuk mengkomersilkan sumber air dengan menambahkan bagian Penyelesaian Sengketa dan Gugatan Masyarakat dan Organisasi, hal-hal yang berkaitan dengan instrumen Hak Guna juga telah dihapuskan dan diganti dengan penugasan kembali negara terhadap hak masyarakat atas air. Terdapat pula mekanisme penghitungan biaya jasa pengolahan sumber daya air sebagai pertimbangan kompensasi terhadap masyarakat dan lingkungan hidup.

Meski begitu, UU SDAir ini masih juga menuai banyak permasalahan karena tidak mengatur secara konkret kewajiban hukum maupun sanksi apapun kepada pelaku usaha AMDK. Pengaturan tentang kewajiban hukum pelaku usaha AMDK hanya ada di Peraturan Menteri PUPR Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Cara Perizinan Pengusahaan Sumber Daya Air dan Penggunaan Sumber Daya Air. Namun, sesuai dengan asas no punish without representative sanksi berupa hukuman administratif, perdata, atau pidana hanya dapat ditemukan di level undang-undang, bukan berada di peraturan teknis pelaksana undang-undang. Sehingga para pelaku usaha AMDK dapat dengan bebas melangkahi peraturan perundang-undangan tanpa memperdulikan segala konsekuensi setidak-tidaknya sanksi berupa pidana, misalnya pada Pasal 16 poin (a) Permen PUPR 1/2016 mewajibkan penyediaan Corporate Social Responsibility (CSR) berupa sumber air bagi masyarakat umum sebanyak 15% dari debit air yang dihasilkan dari kegiatan operasional perusahaan AMDK, belum ditemukan satupun industri AMDK yang patuh pada peraturan terkait pasal ini.

Setelah itu, beberapa ketentuan di dalam UU SDAir diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Undang-undang omnibus ini merupakan jalan pintas yang dibuat oleh pemerintah untuk memangkas proses birokrasi yang dianggap terlalu banyak dan memperlambat investasi. UU 11/2020 ini sempat dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK (tetapi bukan karena perubahan ketentuan yang mengatur UU SDAir) dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (UU Ciptaker). Pasal 53 UU Ciptaker mengubah Pasal 8, 9, dan 12 UU SDAir sehingga terjadi pergeseran paradigma dalam pengelolaan sumber daya air yang sebelumnya terdesentralisasi kini menjadi tersentralisasi. Dalam ihwal penetapan prioritas pemenuhan air, penguasaan sumber daya air, hingga pendelegasian tugas dan wewenang Pemerintah Daerah dibatasi dengan prosedur standar yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Pengurangan keterlibatan Pemerintah Daerah dalam mengupayakan pengelolaan sumber daya air secara mandiri merupakan suatu penihilan tujuan dari otonomi daerah, yang mana kemandirian dalam mengelola sumber daya alam seharusnya dilimpahkan untuk mencapai kesejahteraan nasional.

UU SDAir dan UU Ciptaker belum menjadi endgame dari Privatisasi dan Komersialisasi Sumber Daya Air di Indonesia

Nyatanya, fakta di lapangan yang dihimpun oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan bahwa tingkat masyarakat konsumen AMDK konsisten naik sebanyak 10% setiap tahun. Angka ini beriringan dengan kenaikan jumlah penduduk sehingga kebutuhan akan air minum yang dapat dijamin kualitasnya juga naik. Sering dijumpai di lingkungan sekitar kita terdapat banyak sekali warung atau toko kelontong yang menjual AMDK, mereka memiliki peran terbesar dalam rantai distribusi AMDK jenis galon. Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari saja mayoritas dari kita menggunakan AMDK. Ketergantungan masyarakat akan air minum yang benar-benar layak untuk dikonsumsi dan dapat diperoleh dengan mudah dimanfaatkan para pelaku usaha untuk membuat komersialisasi atas sumber daya air semakin subur. Keberadaan monopoli usaha AMDK juga dapat dijumpai dari statistik merek Aqua, LeMinerale, dan Vit yang masing-masing menguasai 96%, 54%, dan 21% pangsa pasar sehingga industri AMDK Indonesia termasuk dalam jajaran 5 pendapatan tertinggi di dunia.

Dilihat dari implikasinya, UU SDAir dan UU Ciptaker belum bisa dikatakan menyelesaikan masalah yang dibawa negeri ini sejak pembatalan UU 7/2004 oleh Mahkamah Konstitusi. Begitu panjang sepak terjang perumusan undang-undang yang mengatur pendayagunaan sumber daya air sejak tahun 1974, tetapi hingga sekarang pun kita masih harus menanti pembenahan akar masalah regulasi yang tak kunjung final. Jika melihat konsiderans UU SDAir, dapat ditemukan alasan pertimbangan pembentukan undang-undang ini adalah untuk memenuhi ketidakseimbangan antara kebutuhan air yang semakin banyak dan persediaan air yang menurun dengan menimbang faktor sosial, ekologi, dan ekonomi. Dasar tersebut bisa dikatakan baik sejauh dituangkan dalam ketentuan-ketentuan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat. Namun undang-undang ini justru men-deregulasi pelaku usaha AMDK dengan tidak menerapkan kewajiban hukum kepada mereka dan hanya menutup peran swasta di dalam pengelolaan SPAM.

Politik hukum yang ada saat proses pembentukan UU Ciptaker memang terlihat jelas arah jalannya. Pemerintah Pusat dengan semangat liberasi berusaha memberikan kemudahan bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan cara privatisasi sektor-sektor publik. Model undang-undang omnibus yang ter-sentralisasi ini memudahkan negara untuk mengejar peningkatan jumlah modal dan pertumbuhan ekonomi di skala nasional. Terkhusus juga pemberian izin yang terpaku langsung dari Pemerintah Pusat menjadikan fungsi check and balances dari berbagai lembaga dan lapisan masyarakat hilang.

Setiap undang-undang yang dimaksudkan untuk mengatur pengelolaan setiap sumber daya alam harus dijiwai dengan spirit dari Pasal 33 UUD NRI 1945. Berkenaan dengan kesesuaian antara UU Ciptaker tentang Cipta Kerja dan Pasal 33 UUD NRI 1945 dapat dikaitkan dengan ayat 2 dan 3. Yang dimaksud dengan frasa “dikuasai oleh negara” bukan semata-mata hanya dengan mengkonsentrasikan seluruh kewenangan dalam mengelola sumber daya air kepada pemerintah pusat, tetapi juga mendayagunakan pemerintah daerah untuk dapat menyediakan SPAM yang layak sehingga masyarakat tidak perlu lagi bergantung pada sumber air minum berupa AMDK.

Kurangnya Sarana & Prasarana serta Upaya Insentif dari Pemerintah

Upaya dari pemerintah sendiri dalam pendayagunaan sumber daya air dapat dibilang masih kurang. Masih banyak sekali masyarakat yang menggunakan AMDK sebagai pemenuhan kebutuhan rumah tangganya, Sistem Penyediaan Air Minum seperti PDAM yang seharusnya menjadi sumber primer justru kini menjadi pilihan terakhir. Bagi masyarakat desa, pilihan untuk menggunakan air tanah adalah pilihan yang paling masuk akal secara ekonomis & juga praktis, tetapi secara ekologis hal ini tentunya memiliki potensi buruk. Penggunaan air tanah secara masif dalam suatu daerah dapat menyebabkan penurunan level tanah secara signifikan, dampak yang muncul akibat peristiwa ini adalah kekeringan sumber air dan kerusakan infrastruktur di atas tanah. Selain itu juga berpotensi menyebabkan intrusi air laut, yaitu ketika penurunan level tanah sudah di bawah level permukaan air laut, sehingga air laut terangkat ke dalam tanah dan mencemari akuifer air tawar, seperti peristiwa yang terjadi di daratan Semarang Utara dan Jakarta.

Faktor lain yang menjadi katalisator pertumbuhan konsumsi masyarakat terhadap AMDK adalah kualitas air. Sumber air yang diambil swasta selalu lebih baik daripada milik SPAM karena swasta mengambil dari sumber air yang masih murni di pelosok, kaki gunung, dan sumber mata air asli lainnya. Sedangkan PDAM memanfaatkan air sungai yang arusnya melintasi pinggiran kota dan bahkan tengah kota. Padahal, sungai-sungai yang ada di perkotaan Indonesia mayoritas sudah tercemar akibat aktivitas warga di pemukiman sekitarnya.

Untuk menghentikan hegemoni swasta dalam penyediaan air minum dibutuhkan tidak hanya memperbanyak kuantitas leding dari SPAM, tetapi juga merevitalisasi proses produksi dan pendistribusiannya sehingga dapat dihasilkan air minum yang berkualitas dan layak konsumsi. Masih ditemukan air minum dari SPAM yang tidak layak konsumsi di beberapa daerah. Contohnya seperti yang terjadi pada tahun 2012 dan 2014 di Pontianak, Kalimantan Barat. Pada saat itu seluruh PDAM di Provinsi Kalimantan Barat dinyatakan baik, tetapi fakta baru diungkapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Setempat bahwa air dari PDAM Tirta Dumai tidak layak untuk dikonsumsi dan hanya bisa digunakan untuk mandi, cuci, kakus (MCK). Sekalipun airnya memiliki kualitas yang layak untuk dikonsumsi, seringkali jaringan pipa saluran air yang sudah puluhan tahun tidak mengalami maintenance membuat air menjadi tidak higienis lagi sehingga perlu dimasak untuk dapat secara layak dikonsumsi.

Nyata bahwa sumber daya air adalah kebutuhan terpenting masyarakat yang harus dipenuhi. Penyediaannya harus sepenuhnya berada di tangan negara karena sesuai dengan amanat konstitusi oleh Pasal 33 UUD 1945. Namun, karena negara sudah ‘salah langkah’ sejak awal pengaturan, maka kondisi yang terjadi saat ini sangat mendukung pihak swasta untuk dapat mengkomersilkan sumber daya air. Nilai sosial yang ada pada sumber daya air telah berubah menjadi nilai ekonomis menjadikan air sebagai komoditas yang menguntungkan. Fenomena menjamurnya industri air didorong oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi.

Yang menjadi hal pendukung terpenting dalam menyuburkan bisnis komersialisasi air adalah regulasi. Sejak awal pembentukannya mulai tahun 2004 dilandasi oleh kepentingan yang memang sangat tidak sejalan dengan kepentingan publik, pembentukan UU 7/2004 dijadikan instrumen pembayaran pinjaman kepada Bank Dunia. Sehingga karena berbagai alasan yang dilayangkan melalui uji materiil, Mahkamah Konstitusi pada tahun 2014 membatalkan keberlakuan UU 7/2004. Selanjutnya, perundangan yang ada setelah itu yaitu UU SDAir dan UU Ciptaker juga dinilai masih belum bisa mengatasi permasalahan yang dibawa. Sifatnya yang sangat sentralistik dan minim kewajiban hukum bagi pelaku usaha membuat partisipasi pemerintah daerah berkurang dan berpotensi terjadi konflik kepentingan serta penyelewengan kekuasaan.

Angka sumber utama penyediaan air minum bagi rumah tangga didominasi oleh AMDK, selain dari AMDK masyarakat juga lebih memilih untuk menggunakan air tanah. Sementara itu penyediaan air dari SPAM masih belum signifikan jumlahnya. Hal ini bisa terjadi karena kian hari masyarakat sadar akan kebutuhan air untuk dikonsumsi yang memiliki kualitas terbaik serta mudah untuk didapatkan. Fakta bahwa industri AMDK benar-benar menguasai penyediaan air membuat pemerintah perlu untuk segera berbenah diri. Pengejawantahan nilai-nilai dari Pasal 33 UUD 1945 dalam penyediaan air dapat dilakukan mulai dengan memperbaiki kualitas SPAM, mengurangi penggunaan AMDK & air tanah, serta utamanya dari perubahan regulasi yang lebih mengakomodasi kesejahteraan bersama. Perubahan perlu dilakukan untuk mengembalikan fungsi air sebagai common goods dan juga menegaskan kepemilikan bersama yang diatasnamakan negara atas bumi, air, dan seisinya.

DAFTAR ISI

Artikel Jurnal

Failaq, Muhammad RM F. dan Arsyad Surya Pradana. “Legal Politics Formation of Act No. 17 of 2019 concerning Water Resources.” Legal Brief. Vol. 12. No. 3 (2023). Hlm. 278-289.

Feeny, David, et al. “The Tragedy of the Commons: Twenty-Two Years Later.” Human Ecology. Vol. 18. No. 1 (1990). Hlm. 1-19.

Kamala, Izzatin. “Harapan Baru atas Pengelolaan Sumber Daya Air terkait Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013.” Jurnal Konstitusi. Vol. 12. No. 3 (2015). Hlm. 422-446.

Magnar, Kuntana, Inna Junaenah, dan Giri Ahmad Taufik. “Tafsir MK atas Pasal 33 UUD 1945: (Studi atas Putusan MK mengenai Judicial Review UU No. 7/2004, UU No. 22/2001, dan UU No. 20/2002.” Jurnal Konstitusi. Vol. 7. No. 1 (2010). Hlm. 111-180.

Pradhyksa, Dimas Putra. “Pengaturan Pendayagunaan Sumber Daya Air dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan Korelasinya dengan Pasal 33 UUD 1945.” Ascarya: Islamic Cultures, Social Science, and Social Science, Vol. 1. No. 2 (2021). Hlm. 70-92.

Rachman, Irfan Nur. “Politik  Hukum  Pengelolaan  Sumber Daya  Alam  Menurut  Pasal  33 UUD 1945.” Jurnal Konstitusi. Vol. 13. No. 1 (2016). Hlm. 191-212.

Tarigan, Herlina dan Pantjar Simatupang. “Dampak Undang-Undang Sumber Daya Air terhadap Eksistensi Kelembagaan Subak di Bali.” Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 12. No. 2 (2014). Hlm. 103-117.

Surat Kabar

Air Kami. “Apakah Jumlah Air di Bumi akan Berkurang?.” 21 September 2022. Tersedia pada https://airkami.id/apakah-jumlah-air-di-bumi-akan-berkurang-ini-jawabannya/. Diakses pada tanggal 24 November 2023.

Ardhana E. D. Haq dan Baginda Nurul Rizan. “Krisis Kualitas Air: Intrusi Air Laut di Stasiun KRL Jakarta Kota.” Kompasiana. 31 Desember 2022. Tersedia pada https://www.kompasiana.com/ardhanaevano4045/63afe8350788a35a5a3541d2/krisis-kualitas-air-intrusi-air-laut-di-stasiun-krl-jakarta-kota. Diakses pada tanggal 29 November 2023.

CNN Indonesia. “Kapan Orang Indonesia Bisa Minum Air Langsung dari Keran?.” 27 Desember 2022. Tersedia pada https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20221222193236-255-890975/kapan-orang-indonesia-bisa-minum-air-langsung-dari-keran. Diakses pada tanggal 29 November 2023.

Kompasiana. “Analisis Kritis terhadap Dokumen Andal Pembangunan Pabrik PT Tirta Investama.” 25 Juni 2015. Tersedia pada https://www.kompasiana.com/jakmoed/5516d23ea333111470ba8a52/analisis-kritis-terhadap-dokumen-andal-pembangunan-pabrik-pt-tirta-investama?page=1&page_images=1. Diakses pada tanggal 27 November 2023.

Rheza Alfian dkk. “Bisnis Menjanjikan Air dalam Kemasan.” Validnews. 26 Maret 2022. Tersedia pada https://validnews.id/ekonomi/bisnis-menjanjikan-air-dalam-kemasan. Diakses pada tanggal 29 November 2023.

Skripsi

Affan Arsyad. “Privatisasi dan Komersialisasi Sumber Daya Air Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.” Skripsi Sarjana Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2023.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD 1945.

Undang-Undang tentang Pengairan, UU Nomor 11 Tahun 1974. LN Tahun 1974 No. 65 TLN No. 3046.

Undang-Undang tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 7 Tahun 2004. LN Tahun 2004 No. 32 TLN No. 4377.

Undang-Undang tentang Cipta Kerja, UU Nomor 11 Tahun 2020. LN Tahun 2020 No. 245 TLN No. 6573.

Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, UU Nomor 6 Tahun 2023. LN Tahun 2023 No. 41 TLN No. 6856.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja, PERPU Nomor 2 Tahun 2022. LN Tahun 2022 No. 238 TLN No. 6841.

Peraturan Pemerintah tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, PP Nomor 16 Tahun 2005. LN Tahun 2005 No. 33 TLN No. 4490.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tentang Tata Cara Perizinan Pengusahaan Sumber Daya Air dan Penggunaan Sumber Daya Air, PERMEN PUPR Nomor 01/PRT/M/2016.

Putusan Pengadilan

Mahkamah Konstitusi, Putusan No.001-021-022/PUU-I/2003, Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia (APHI), dkk. (Pemohon) (2003).

Mahkamah Konstitusi, Putusan No.85/PUU-XI/2013. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dkk. (Pemohon) (2013).

 

ClientThe Car Rental Co
SkillsPhotography / Media Production
WebsiteGoodlayers.com

Project Title

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts. Separated they live in Bookmarksgrove right at the coast of the Semantics, a large language ocean. A small river named Duden flows by their place and supplies it with the necessary regelialia. It is a paradisematic country, in which roasted parts of sentences fly into your mouth.