M. Riza Arrafi
Oleh: Staf Bidang Literasi dan Penulisan
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, timbul urgensi untuk melakukan reformasi terhadap sistem hukum agraria karena sistem hukum agraria yang berlaku saat itu merupakan warisan pemerintah kolonial yang tidak lagi relevan dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia. Semangat reformasi tersebut diharapkan akan melahirkan suatu sistem hukum agraria baru yang sejalan dengan falsafah negara dan amanat konstitusi. Salah satu bentuk konkrit dari upaya reformasi sistem hukum agraria adalah dengan menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai dasar unifikasi hukum agraria di Indonesia yang membawa semangat kedaulatan agraria bagi bangsa Indonesia. Di antara tokoh-tokoh besar yang telah memberi sumbangsih dalam proses penyusunan UUPA, Prof. Boedi Harsono adalah salah satu tokoh yang sangat lekat dengan proses kelahiran UUPA, serta pelaksanaannya dalam praktik penyelenggaraan peraturan perundang-undangan oleh birokrasi. Selain berkontribusi dalam penyusunan hingga pelaksanaan UUPA, Prof. Boedi juga berperan dalam mengembangkan studi hukum agraria nasional. Beliau merupakan sosok yang menciptakan mata kuliah hukum agraria yang saat ini telah menjadi mata kuliah wajib di berbagai fakultas hukum di Indonesia. Atas sumbangsih besarnya terhadap perkembangan hukum agraria di Indonesia, ia kerap dijuluki sebagai Bapak Hukum Agraria Indonesia.
Kiprah Prof. Boedi Harsono di bidang agraria dimulai ketika ia bekerja sebagai pejabat pamong praja di Kawedanan Kediri yang ditugaskan untuk mengurus masalah pertanahan. Tugas utama yang ia lakukan selama bekerja di Kawedanan Kediri adalah mengecek dokumen-dokumen perjanjian sewa tanah antara rakyat dan pabrik-pabrik gula yang beroperasi di Kawedanan Kediri. Di sinilah ia bertemu dengan Singgih Praptodihardjo, selaku Asisten Wedana Karesidenan Kediri. Di kemudian hari, Singgih diamanatkan untuk menjabat sebagai Kepala Bagian Agraria Departemen Dalam Negeri. Saat Singgih menjabat sebagai Kepala Bagian Agraria Departemen Dalam Negeri, Singgih mengajak Prof. Boedi untuk ikut bekerja bersamanya di Bagian Agraria Departemen Dalam Negeri. Ajakan tersebut diberikan karena Singgih telah melihat kinerja Prof. Boedi saat mengurus masalah pertanahan terutama perjanjian sewa tanah di Kawedanan Kediri. Maka dari itu, Prof. Boedi ditawarkan untuk mengisi jabatan Wakil Kepala Bagian Agraria Departemen Dalam Negeri, untuk bekerja di Bagian Agraria Departemen Dalam Negeri.
Di zaman itu urusan agraria belum berdiri menjadi kementerian tersendiri melainkan menjadi suatu bagian di bawah naungan Departemen Dalam Negeri. Selama bekerja di Bagian Agraria, Prof. Boedi banyak berkecimpung dalam penyelesaian masalah-masalah pertanahan, seperti mengatur penjualan properti-properti bekas kepemilikan belanda, menyelesaikan kasus-kasus sengketa tanah, dan menangani perihal pendudukan tanah perkebunan di berbagai daerah. Selain menjalankan fungsinya sebagai birokrat agraria di Bagian Agraria Departemen Dalam Negeri, Prof. Boedi juga turut berperan dalam perancangan landasan yuridis hukum agraria. Beliau bersama dengan pejabat-pejabat Departemen Dalam Negeri lainnya juga menyusun berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur urusan agraria secara parsial, seperti Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa-Desa Perdikan, Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, dan Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang pernah beliau turut susun, keikutsertaannya dalam perjalanan panjang penyusunan UUPA merupakan salah satu kontribusi terbesar beliau dalam mereformasi sistem hukum agraria Indonesia.
Dengan tujuan menggantikan hukum agraria kolonial dan mengejawantahkan prinsip-prinsip Pancasila dan amanat konstitusi, proses penyusunan UUPA dimulai. Panitia Agraria Yogya (PAY) dibentuk pada 21 Mei 1948 untuk menetapkan kebijakan agraria dan dasar hukum tanah Indonesia. PAY mengusulkan pengakuan Hak Ulayat, penghapusan asas domein, pembatasan luas tanah, dan sebagainya sebagai dasar pemikiran UUPA. Namun, situasi politik Indonesia pada saat itu sedang tidak kondusif akibat dari perubahan bentuk negara Indonesia menjadi negara kesatuan setelah dibubarkannya Republik Indonesia Serikat. Oleh karena itu, melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1951, PAY dibubarkan dan digantikan oleh Panitia Agraria Jakarta (PAJ). Peran Prof. Boedi dalam penyusunan UUPA dimulai ketika beliau menjadi anggota sekretariat PAJ. Kemudian, pada tahun 1953, Singgih Praptodihardjo menjadi ketua dari PAJ yang membuat Prof. Boedi lebih aktif dan banyak terlibat dalam seluruh kegiatan PAJ. Mengingat sinergi antara Prof. Boedi dan Singgih yang sudah terbentuk semenjak masih bertugas di Kediri, Prof. Boedi dapat mencurahkan kemampuan dan pengetahuannya dengan maksimal dalam penyusunan Rancangan UUPA. Saat Prof. Boedi tengah menjalankan masa jabatannya di Departemen Dalam Negeri, beliau memutuskan untuk menempuh pendidikan tinggi hukum formal di Fakultas Hukum dan Pengembangan Masyarakat Universitas Indonesia (FHPM UI). Tujuan Prof. Boedi dalam menempuh studi tersebut adalah untuk membekali dirinya dengan keterampilan dan pengetahuan di bidang hukum. Bekal yang yang ia peroleh dari studinya di FHPM UI tersebut yang kelak ia tuangkan dalam naskah RUUPA yang sekarang menjadi dasar dari sistem hukum agraria Indonesia saat ini.
Pada tahun 1955, Kementerian Agraria dibentuk dan diembankan tugas untuk menangani perihal agraria. Ketika Kementerian Agraria dibentuk, Prof. Boedi ditunjuk sebagai Wakil Kepala Direktorat Hukum, dan kemudian naik jabatan menjadi Kepala Direktorat Hukum. Pada tahun 1956, PAJ dibubarkan dan digantikan oleh Panitia Negara Urusan Agraria (PS), yang menghasilkan Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria (RUU PA) pada tahun 1957, yang pada intinya bertujuan untuk menghapus dualisme hukum dan mengatur hak-hak atas tanah secara menyeluruh dalam suatu peraturan perundang-undangan. Berkat naiknya Prof. Boedi menjadi Kepala Direktorat Hukum Kementerian Agraria, maka kewenangan beliau dalam perihal yang berkaitan dengan hukum agraria menjadi lebih leluasa sehingga beliau dapat aktif berperan bersama-sama dengan Menteri Agraria, Sadjarwo, dalam proses perancangan UUPA, pembahasan RUUPA dalam sidang kabinet, hingga menjadi Rancangan Sadjarwo yang kemudian disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) untuk dibahas dalam sidang-sidang DPR GR. Pada 14 September 1960, Rancangan Sadjarwo akhirnya disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR), lalu pada 24 September 1960, disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria oleh Presiden Soekarno.
Selain kiprahnya dalam birokrasi keagrariaan, Prof. Boedi juga berkontribusi dalam pendidikan tinggi hukum, terkhusus pada bidang hukum agraria. Pada tahun 1962, Dewan Guru Besar FHPM UI sepakat untuk mengadakan mata kuliah baru bagi studi Hukum Tanah sebagai bentuk respon terhadap pemberlakuan UUPA sebagai unifikasi hukum agraria Indonesia. Mata kuliah tersebut diberi nama Hukum Agraria dimana kemudian Prof. Boedi ditugaskan oleh FHPM UI untuk merancang silabus dan mengelola mata kuliah tersebut sebagai mata kuliah tersendiri dalam kurikulum pembelajaran pendidikan tinggi hukum. Pembentukan mata kuliah Hukum Agraria sebagai mata kuliah tersendiri ini menjadi jawaban dari kebutuhan akan adanya ruang akademis yang terkonsentrasi dalam mengkaji isu hukum agraria di Indonesia. Sebelumnya, hukum agraria dibahas secara sporadis dan sepotong-sepotong dalam mata kuliah-mata kuliah lain, seperti dalam mata kuliah Hukum Adat (materi Hukum Tanah Adat), Hukum Administrasi Negara (materi Hukum Tanah Administratif), dan Hukum Tata Negara (materi Hukum Tanah Swapraja). Kemudian, pada tahun 1983, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk pertama kalinya menetapkan mata kuliah Hukum Agraria sebagai mata kuliah wajib yang tercantum dalam Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Bidang Hukum. Hingga saat ini, mata kuliah Hukum Agraria telah menjadi mata kuliah wajib, tidak hanya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, melainkan juga di berbagai perguruan tinggi lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Prof. Boedi merupakan orang yang meletakkan batu pertama dalam pembangunan studi hukum agraria di Indonesia. Pada intinya, Prof. Boedi merupakan sarjana hukum pertama di Indonesia yang dengan kewenangannya meletakkan batasan-batasan terkait pengertian, cakupan, tujuan serta metode yang dapat digunakan dalam mengkaji Hukum Agraria. Itulah mengapa beliau layak diberi gelar Bapak Hukum Agraria Indonesia.
Diangkatnya Prof. Boedi sebagai Guru Besar Luar Biasa dalam Mata Pelajaran Hukum Agraria pada FH UI di Jakarta pada tahun 1986 dan sebagai Guru Besar Tetap dalam Mata Pelajaran Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti di Jakarta pada tahun 1987 semakin mempertegas komitmen beliau di bidang pendidikan hukum agraria. Boedi Harsono, dalam pidato pengukuhan Guru Besar Hukum Agraria di Universitas Trisakti pada 23 September 1987, menyatakan bahwa peraturan hak-hak penguasaan tanah dapat dipelajari dan disusun sebagai suatu sistem hukum. Ia membagi pengaturan hak-hak tanah menjadi dua kategori: “het grondenrecht in rust” (hak sebagai lembaga hukum) dan “het grondenrecht in beweging” (hak sebagai hubungan hukum konkret). Dalam “het grondenrecht in rust,” peraturan mengatur jenis-jenis hak agraria, isi hak, subyek yang memiliki hak, dan obyek tanahnya. Sedangkan dalam “het grondenrecht in beweging,” diatur tentang cara memperoleh, memindahkan, membebankan, dan menghapus hak tersebut serta bukti hak. Sistematika ini memudahkan pemahaman Hukum Agraria sebagai satu sistem yang berakar pada Hukum Adat. Ini juga penting untuk membedakan antara pengaturan di bidang Hukum Agraria dan bidang hukum lain, terutama di tengah dualisme hukum perdata di Indonesia. Misalnya, kesepakatan jual beli tanah masih diatur dalam Hukum Perjanjian, bukan Hukum Agraria, sampai terjadi pemindahan hak atas tanah.
Sebagai seorang tokoh yang telah berkontribusi besar pada perancangan, pengembangan, dan penerapan ilmu hukum agraria di Indonesia, Prof. Boedi Harsono meninggalkan sumbansih berharga dalam dunia pendidikan hukum dan dalam tataran hukum formal melalui Undang-Undang Pokok Agraria. Komitmennya terhadap penyusunan sistem hukum agraria yang berkeadilan dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila menjadi warisan penting bagi bangsa Indonesia. Selain menjadi pelopor dalam mengajarkan dan mengembangkan studi hukum agraria di perguruan tinggi, dia telah mendidik generasi berikutnya yang memahami betapa pentingnya memiliki kedaulatan atas tanah sebagai bagian dari identitas bangsa. Sebagai Bapak Hukum Agraria Indonesia, dedikasi Prof. Boedi Harsono dalam hukum agraria akan selalu diingat dan menginspirasi, baik dalam teori maupun praktik hukum agraria di tanah air.
Daftar Pustaka
Buku
Sitorus, Oloan dan Taufik Nur Huda. Potret Perjuangan Bapak Hukum Agraria Prof. Boedi Harsono. Sleman: STPN Press, 2011.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2007.
Nugroho, Sigit Sapto, Muhammaf Tohari, dan Mudji Raharjo. Hukum Agraria Indonesia. Solo: Pustaka Iltizam, 2017.