Menelisik Quo Vadis Program Tabungan Perumahan Rakyat: Tantangan dan Gambaran Komparasi Pelaksanaan Tapera

Oleh: Aviva Khalila
Staff Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI

Kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 (PP Tapera) nyatanya telah menimbulkan polemik di masyarakat. Program Tapera dihadirkan sebagai perwujudan dari amanat UUD 1945 atas upaya pemenuhan kebutuhan rumah, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang sampai saat ini masih jauh dari kata tercukupi. Kolam pendanaan yang dialokasikan dari setoran wajib setiap pekerja anggota Tapera menjadi polemik utama yang dikritik oleh masyarakat. Pasalnya, program ini dipandang memberatkan pekerja karena nantinya gaji pekerja di Indonesia baik dari kalangan pegawai negeri, swasta, hingga pekerja lepas akan dipotong tiga persen guna dialokasikan untuk program Tapera.
Hadirnya Tapera diklaim oleh pemerintah sebagai jalan keluar dari backlog perumahan di Indonesia. Backlog merupakan indikator penting dalam Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Angka backlog digunakan untuk menghitung angka kesenjangan kebutuhan dan pasokan rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada 2022 menunjukkan bahwa jumlah backlog di Indonesia mencapai 11,6 juta rumah tangga. Angka tersebut ternyata kembali meningkat sebesar 1,1 juta pada tahun 2023, sehingga total backlog perumahan pada tahun 2023 mencapai angka 12,7 juta. Jika ditelisik lebih lanjut, besarnya angka backlog perumahan di Indonesia sejatinya diakibatkan oleh beberapa faktor yang kompleks. Rendahnya penawaran rumah dengan harga terjangkau (undersupply affordable housing) berbenturan dengan tingginya permintaan pasar akan kebutuhan rumah dengan harga terjangkau menjadi salah satu penyebab utama permasalahan backlog di Indonesia tidak kunjung teratasi. Pada sisi lain, terdapat kelebihan penawaran rumah (oversupply housing) dengan harga mahal dan tidak dapat dijangkau oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Lebih lanjut, tingginya pertumbuhan harga rumah yang terus meningkat di kota-kota besar juga menjadi faktor penghambat backlog lainnya. 

Sulitnya penyelesaian backlog perumahan di Indonesia juga diakibatkan oleh besarnya kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan gaji rata-rata masyarakat. Besarnya kenaikan harga perumahan di Indonesia terlihat pada laporan indeks harga properti residensial Bank Indonesia yang menyebutkan bahwa kenaikan rata-rata harga rumah mencapai 1,96%. Lebih lanjut, terkhusus pada kategori tipe bangunan kecil naik hingga 2,11% dan tipe bangunan menengah naik hingga 2,44%. Sayangnya, tingginya laju kenaikan harga rumah ini tidak dapat diimbangi oleh pertumbuhan gaji rata-rata masyarakat Indonesia yang pada 2023 telah mengalami kenaikan sebesar 1,8%. Jika menelisik angka tersebut, alih-alih menumbuhkan semangat untuk menyelesaikan backlog, ketidakpastian program Tapera justru mempertebal keraguan masyarakat terhadap manfaat dapat mereka ‘petik’ dari tabungan perumahan tersebut.

Program Tapera nyatanya bukanlah produk kebijakan baru, melainkan telah terdapat kebijakan serupa yang diterapkan oleh pemerintah sebelumnya. Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) yang sekarang telah diubah menjadi BP Tapera merupakan salah satu kebijakan yang terdahulu yang sayangnya menyisakan rapor merah dalam pengelolaan dananya. Beda halnya dengan Tapera, iuran wajib Bapertarum saat itu diperuntukan hanya kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan pemotongan gaji yang nantinya digunakan pemerintah untuk mengelola tabungan perumahan. Sayangnya program Bapetarum yang dirancang secara khusus untuk membantu meningkatkan akses perumahan bagi PNS ini tidak sepenuhnya berhasil dalam pelaksanaanya. Hal ini terbukti dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2021 yang menemukan bahwa terdapat 124.960 peserta Tapera yang belum menerima pengembalian dana sebesar Rp 567,45 miliar. Selain itu, pada laporannya tersebut BPK juga mengemukakan bahwa terdapat 40.266 orang peserta pensiun ganda dengan dana Tapera sebesar Rp 130,3 miliar. Laporan BPK tersebut mengidentifikasi bahwa dalam pelaksanaanya masih terdapat celah masalah yang besar terkhususnya dalam hal pengelolaan dan pengembalian dana. Jika masalah-masalah tersebut terus dibiarkan dan tidak dievaluasi dengan serius, kepercayaan masyarakat terhadap program-program penyediaan perumahan serupa di masa depan akan terus rendah. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi yang komprehensif terhadap pelaksanaan program Bapertarum menjadi bahan tinjauan mendalam dalam pelaksanaan Tapera yang akan datang. 

Terbitnya PP Nomor 21 Tahun 2024 Tentang Penyelenggaraan Tapera merupakan penyempurnaan dari PP Nomor 25 Tahun 2020 yang diterbitkan sebelumnya. Kedua PP tersebut menjadi peraturan turunan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera). Peraturan tersebut menjadi penjelasan atas mekanisme operasional Tapera, termasuk pengelolaan dana, persyaratan peserta, hingga prosedur pencairan manfaat Tapera. Adanya UU Nomor 4 Tahun 2016 tersebut menjadi awal mula perluasan jangkauan kepesertaan Tapera. Melalui UU Tapera, kepesertaan program perumahan rakyat, yang sebelumnya hanya ditujukan bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI, dan Polri, diperluas mencakup pegawai BUMN, BUMD, serta sektor swasta. Perluasan ini juga menjadi polemik lainnya dalam isu Tapera. 

Kontroversi kepesertaan Tapera yang ikut mencakup pekerja lepas  ini berujung pada diajukannya permohonan uji materiil UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pengujian tersebut diajukan terhadap Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 9 Ayat (2) UU Tapera. Pasal 1 Ayat (3) yang dimaksudkan merupakan ketentuan umum mengenai peserta Tapera yang mencakup setiap Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia paling singkat selama 6 bulan serta telah membayar simpanan. Adapun Pasal 9 Ayat (2) dalam UU Tapera yang diujikan spesifik mengenai ketentuan kepesertaan pekerja mandiri yang diharuskan mendaftar dirinya sendiri kepada BP Tapera untuk menjadi Peserta. Pokok permohonan oleh Ferdian Susanto dan Laura Donna, yang bertindak sebagai pemohon dan kuasa hukum, menekankan pada potensi kerugian Tapera yang akan ditetapkan pada 2027 nanti. Mereka mendalilkan bahwa pembayaran tabungan wajib Tapera nantinya akan menambah beban hidup masyarakat, padahal tabungan seharusnya bersifat sukarela. Oleh karena itu, dalam petitumnya pemohon menguraikan bahwa UU Tapera tidak sejalan dengan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945. 

Selain itu, rencana judicial review terhadap UU Tapera juga datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Mirip dengan salah satu pokok permohonan yang telah dibahas sebelumnya, dalam hal ini APINDO juga menilai bahwa konsep tabungan Tapera merupakan inti dari permasalahan Tapera. Menurut mereka, ketentuan simpanan wajib sebesar 3 persen tidak tepat mengingat konsep tabungan yang seharusnya bersifat sukarela. Selain itu, APINDO berpendapat bahwa iuran wajib tersebut nantinya menambah beban bagi para pelaku usaha. Padahal saat ini pelaku usaha juga nyatanya telah dibebani oleh banyak tanggungan lainnya di antaranya, Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Jaminan Sosial Kesehatan (JSN), cadangan pesangon, dan lainnya. Wajar bila hal tersebut menjadi kekhawatiran beberapa pelaku usaha mengingat kondisi pasar yang tidak selalu stabil.  Padahal pekerja dan pemberi kerja (pengusaha) merupakan pemasok iuran bagi pelaksanaan UU Tapera tersebut.

Sebagaimana ketentuan simpanan wajib 3 persen oleh peserta tapera, ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pekerja mandiri juga telah diatur sebelumnya dalam PP Nomor 25 Tahun 2020. Ketentuan ini kemudian mengalami penyesuaian tambahan dalam PP Nomor 21 Tahun 2024. Penyesuaian tambahan tersebut terdapat pada Pasal 15 PP Nomor 21 Tahun 2024, di mana 5a disisipkan sebagai ayat tambahan dalam pasal tersebut. Ayat ini mengatur dasar perhitungan untuk menentukan perkalian besaran simpanan peserta pekerja mandiri yang seluruhnya ditanggung oleh pribadi pekerja dan nantinya akan dihitung dari penghasilan yang dilaporkan pada BP Tapera. Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan besaran simpanan peserta non-pekerja mandiri yang nantinya dapat ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan 2,5 persen oleh pekerja.

Adanya ketentuan pekerja mandiri yang juga menjadi subjek pungutan Tapera memang menjadi salah satu isu yang hingga kini banyak menuai kritikan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa golongan pekerja mandiri yang penghasilannya terkadang di atas upah minimum dan terkadang juga dibawah upah minimum. Hal tersebut tentu membingungkan bagi pekerja mandiri yang penghasilannya tak pasti, mengingat keikutsertaannya dalam Tapera diwajibkan jika telah memiliki penghasilan paling sedikit mencapai upah minimum. Berbeda dengan golongan pekerja lainnya, seperti PNS yang penghasilan rutinnya telah  dijamin oleh negara dan pekerja swasta yang penghasilan rutinnya juga diberikan oleh pemberi kerja, pekerja mandiri yang penghasilannya relatif tidak dapat dipastikan di masa depan. 

Mekanisme penghimpunan dana dari masyarakat untuk penyediaan perumahan nyatanya bukanlah hal yang baru. Penerapan program tabungan perumahan layaknya Tapera ini telah diterapkan lebih dulu di beberapa negara lainnya. Dalam praktiknya, memang terdapat beberapa perbedaan penerapan Tapera dan program dana tabungan rumah di berbagai negara tersebut. Adapun Malaysia (EPF), Singapura (CPF), dan Tiongkok (Housing Provident Fund) merupakan ketiga negara dari beberapa negara lainnya yang telah menerapkan mekanisme serupa dan dapat dijadikan perbandingan. 

Berkaca pada program tabungan perumahan di negara tetangga Indonesia, yakni Singapura dan Malaysia, pelaksanaan dana tabungan perumahan menjadi bagian dari program dana pensiun dan pekerja informal dikenakan secara sukarela yang mana berbeda dengan ketentuan Tapera di Indonesia. Dalam praktiknya, masyarakat diberi kebebasan untuk menggunakan dana yang telah dikumpulkan, tidak semata untuk dana tabungan perumahan. Jika menelisik lebih lanjut pada negara dalam regional yang sama dengan Indonesia, Singapura menjadi salah satu negara yang terbukti sukses mengatasi backlog perumahan. Hal ini terbukti melalui keberhasilan Housing & Development Board (HDB) sejak 1960 dan telah berhasil menyediakan hunian layak bagi 80% penduduk Singapura. Dalam pembiayaan HDB tersebut, pemerintah membentuk program Central Provident Fund (CPF) sebagai produk simpanan wajib bagi pekerja dan penduduk permanen singapura untuk mengalokasikan dana pensiun mereka. Dana pensiun tersebut nantinya diklasifikasikan dalam empat alokasi rekening, dimana salah satunya adalah untuk penyediaan rumah. Peruntukan bagi perumahan masuk dalam rekening Ordinary Account (OA) bersamaan dengan pemanfaatan untuk pendidikan, kesehatan dan pensiun. Dalam hal Kepesertaan, program CPF diperuntukkan wajib hanya bagi pekerja dan pemberi kerja, sedangkan bagi sektor informal CPF bersifat sukarela.  Hal ini berbeda dengan Indonesia, dimana iuran Tapera akan sama saja dengan dana pensiun bagi masyarakat yang tidak menggunakan untuk pembangunan rumah.

Negara lainnya yang menuai kesuksesan dalam penerapan program penyediaan perumahan adalah Tiongkok. Hal ini terbukti dengan keberhasilan pembangunan ¼ perumahan sosial di Shanghai melalui skema pembiayaan HPF pada tahun 1996. Dalam hal kepesertaan, pelaksanaan program Housing Providen Fund (HPF) dikenakan wajib bagi pekerja dan pemberi kerja serta tidak dikenakan bagi sektor informal. Artinya keikutsertaan HPF opsional bagi pekerja swasta dan hal inilah yang menjadi salah satu pembeda dengan skema kepesertaan Tapera. 

Mempertimbangkan pentingnya peran pemerintah dalam menyediakan rumah bagi masyarakat sekaligus menekan tingginya angka backlog perumahan di Indonesia, program Tapera menjadi suatu program yang realisasinya tidak bisa dihindari lagi. Transparansi dalam pengelolaan dana menjadi hal yang sangat krusial dalam pelaksanaan Tapera, sebab alokasi dana yang sepenuhnya dihimpun dari masyarakat harus tersebut harus dipastikan dikelola secara bertanggung jawab. Namun, mengingat banyaknya kasus korupsi dalam pengelolaan dana sosial sebelumnya, kepercayaan publik terhadap kredibilitas Tapera menjadi tantangan besar lainnya. Tapera dipandang dapat menjadi “ladang” korupsi kedepannya. Kasus megakorupsi seperti Jiwasraya Dan Asabri menjadi bukti “rapor merah” Indonesia dalam pengelolaan uang publik. Kerugian fantastis dari kasus korupsi Jiwasraya yang ditaksir mencapai 16,8 triliun rupiah, sementara kasus Asabri mencapai 22 triliun rupiah tersebut menunjukkan betapa rentannya penyelewengan pada program-program pengelolaan uang rakyat. Rakyat sebagai pihak yang harus secara rutin memberikan iuran menjadi pihak yang sangat dirugikan jika nantinya himpunan dana tersebut tidak bisa dimanfaatkan karena telah dikorupsi. Dengan demikian, jika memang Program Tapera akan dilaksanakan sebagaiman yang telah dicanangkan, maka penting adanya regulasi tambahan yang mengatur secara komprehensif mekanisme proses pencairan dari Tapera untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Pergantian masa pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden yang baru juga membawa dampak signifikan terhadap berbagai kebijakan publik, termasuk terhadap pelaksanaan program Tapera. Transisi masa pemerintahan dapat menjadi “babak baru” quo vadis  kebijakan Tapera. Meskipun program Tapera telah dicanangkan untuk dimulai pada tahun 2027, tetapi sejatinya hingga saat ini-pun masih belum ada kepastian mengenai jadwal pelaksanaan pastinya. Hal ini dipertegas dengan pernyataan komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugrohon, yang menyatakan bahwa pelaksanaan Tapera pada 2027 belum pasti dan dapat ditarik jika penurunan daya beli masyarakat tidak kunjung membaik hingga 2027. Presiden Republik Indonesia terbaru, Prabowo Subianto juga menyatakan bahwa pemerintahannya akan menelisik ulang mengenai penerapan program Tapera secara keseluruhan. Pilihan untuk menelisik kembali program Tapera menjadi sebuah pilihan yang tepat dan memang seharusnya dilakukan mengingat pelaksanaan program ini akan berpengaruh tidak pada segelintir golongan pekerja, melainkan berpengaruh terhadap pekerja dalam skope yang cukup luas. Peninjauan kembali ini diharapkan dapat mengidentifikasikan dan memastikan bahwa program ini benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, problematika yang timbul terkait Tapera, baik terkait jumlah iuran yang diterapkan, pihak yang terlibat, hingga transparansi pelaksanaan menjadi urgensi untuk ditelisik lebih lanjut jika memang program ini ingin tetap diterapkan kedepannya. 

Daftar Pustaka

Peraturan 

Naskah Akademik RUU tentang Tabungan Perumahan Rakyat, hlm. 1

Undang-Undang Tentang Tabungan Perumahan Rakyat, UU Nomor 4 Tahun 2016, LN Tahun 2016, No. 55, TLN No. 5863, Selanjutnya disebut UU Tapera, Pasal 1 Ayat (3).

Peraturan Pemerintah Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. PP Nomor 21 Tahun 2024, LN Tahun 2024. No.83. TLN No. 6917. Selanjutnya disebut PP Tapera, Pasal 15 ayat 5a.

 

Internet

Tempo. Tipu Daya Tapera: Merugikan Pekerja dan Pengusaha, majalah.tempo.co, 9 Juni 2024. tersedia pada https://majalah.tempo.co/read/opini/171669/tipu-daya-tapera-jokowi. diakses pada 14 Agustus 2024

Dedi Hidayat. Simak Penjelasan Rinci dan Tujuan Tapera PP 21/2024, rri.co.id., 29 Mei 2024, tersedia pada https://www.rri.co.id/lain-lain/720610RRI.co.id – ​Simak Penjelasan Rinci dan Tujuan Tapera PP 21/2024/simak-penjelasan-rinci-dan-tujuan-tapera-pp-21-2024, diakses pada 14 Agustus 2024.

Yusuf Sofiyandi Simbolon, Yusuf Reza Kurniawan, Nauli A. Desdiani, dan Firli W. Wahyuputri, “Laporan Spesial: Ribut Soal Tapera: Kebijakan “Harga Mati” untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional” makalah disajikan oleh LPEM FEB UI, 2024, hlm. 1

Panangian Simanungkalit, Mengatasi 12,7 Juta Backlog Perumahan, kompas.com, 25 Agustus 2023, tersedia pada https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/24/mengatasi-127-juta-backlog-perumahan, diakses pada 14 Agustus 2024

Ferri Sandi, Ini Penyebab Backlog Perumahan RI Terus Naik, Bahaya Jika Tak Beres, CNBC Indonesia, 12 Juni 2024, tersedia pada https://www.cnbcindonesia.com/news/20240612194157-4-546150/ini-penyebab-backlog-perumahan-ri-terus-naik-bahaya-jika-tak-beres, diakses pada 15 Agustus 2024.

Nurul Fitri Ramadhani, Cek Fakta: benarkah Tapera bisa atasi ‘backlog’ perumahan?, 26 Juni 2014, tersedia pada https://theconversation.com/cek-fakta-benarkah-tapera-bisa-atasi-backlog-perumahan-233236, diakses pada 20 Agustus 2024.

Tira Santia, Rapor Merah Dana Tapera Hasil Temuan BPK, Rp 567 Miliar Belum Kembali ke Peserta, liputan6.com, 4 Juni 2024, tersedia pada https://www.liputan6.com/bisnis/read/5611683/rapor-merah-dana-tapera-hasil-temuan-bpk-rp-567-miliar-belum-kembali-ke-peserta?page=5, diakses pada 15 Agustus 2024.

Tasya Natalia, PNS Kerja 30 Tahun Dapat BP Tapera Rp6 Juta, Swasta Bernasib Sama?, CNBC Indonesia, 5 Juni 2024, tersedia pada https://www.cnbcindonesia.com/research/20240604230326-128-543853/pns-kerja-30-tahun-dapat-bp-tapera-rp6-juta-swasta-bernasib-sama, diakses pada 15 Agustus 2024.

Annisa Febiola, 2021, BPK Temukan 124.960 Pensiunan Belum Dapat Pengembalian Dana Tapera Rp 567,5 Miliar, Tempo.co,  2 Juni 2024, tersedia pada https://bisnis.tempo.co/read/1875009/2021-bpk-temukan-124-960-pensiunan-belum-dapat-pengembalian-dana-tapera-rp-5675-miliar, diakses pada 15 Agustus 2024.

Dinda Shabrina, MK Gelar Sidang Uji Konstitusionalitas soal Kewajiban Kepesertaan Tapera bagi Pekerja Lepas, Media Indonesia, 23 Juli 2024, tersedia pada https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/687250/mk-gelar-sidang-uji-konstitusionalitas-soal-kewajiban-kepesertaan-tapera-bagi-pekerja-lepas , diakses pada 16 Agustus

Haryanti Puspa Sari dan Erlangga Djumena, Asosiasi Pengusaha Pertimbangkan “Judicial Review” UU Tapera, Kompas.com, 31 Mei 2024, tersedia pada https://money.kompas.com/read/2024/05/31/130750226/asosiasi-pengusaha-pertimbangkan-judicial-review-uu-tapera?page=all, diakses pada 20 Agustus 2024.

Yefta Christopherus Asia Sanjaya dan Mahardini Nur Afifah,  PNS, Karyawan Swasta, dan Pekerja Mandiri Wajib Ikut Tapera, Ini Ketentuannya, Kompas.com,  29 Mei 2024, tersedia pada https://www.kompas.com/tren/read/2024/05/29/140100665/pns-karyawan-swasta-dan-pekerja-mandiri-wajib-ikut-tapera-ini-ketentuannya, diakses pada 20 Agustus 2024.

Katadata Insight Center,  Rumah Untuk Semua; Problematika Rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah, Katadata Insight Center, 2022, tersedia pada https://cdn1.katadata.co.id/template/template_kic/files/Report_KIC_Rumah_Untuk_Semua_160822.pdf, diakses pada 20 Agustus 2024.

Laporan 

Tazkiya Amalia Nasution, “Analisis Yuridis Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat Ditinjau Dari Perspektif Good Governance”, Lex Renaissance, Vol.6, No.4 (2022), hlm. 835.

Nabila Haviazzahra dan Muhamad Hasan Sebyar,Analisis Hukum Kepesertaan Pekerja Mandiri Dalam Pelaksanaan Program Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat”, Aliansi: Jurnal Hukum, Pendidikan dan Sosial Humaniora, Vol.1 No.5 (2024), hlm. 106.

Yusuf Sofiyandi Simbolon, Yusuf Reza Kurniawan, Nauli A. Desdiani, dan Firli W. Wahyuputri, “Laporan Spesial: Ribut Soal Tapera: Kebijakan “Harga Mati” untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional” makalah disajikan oleh LPEM FEB UI, 2024, hlm.6

Bank Indonesia, “Laporan Survei Harga Properti Residensial” makalah disajikan oleh Bank Indonesia, 2024, hlm. 1

Tesis
Barbara Agavesia Putri, “Optimalisasi Penggunaan Dana Masyarakat Untuk Pembiayaan Perumahan (Studi Kasus Tabungan Perumahan Rakyat)”, Tesis Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Magister Manajemen Kekhususan Manajemen Keuangan Jakarta, 2020, hlm 1.