Oleh: Fahda Ishaq Putri
Staf Magang Bidang Literasi dan Penelitian LK2 FHUI 2023
Dugaan kasus korupsi dilayangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) kepada Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (“BPPN”) periode tahun 2002 hingga 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung dalam surat dakwaan penuntut umum No. 40/Tut.01.04/24/05/2018, yang menyebutkan bahwa terduga telah melakukan penghapusan utang piutang milik Bank Dagang Nasional Indonesia (“BDNI”) untuk petani tambak (petambak) yang diberikan jaminan oleh PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wachyuni Mandira sekaligus memberi penerbitan terhadap surat pemenuhan kewajiban pemegang saham yang dianggap memberikan kelancaran kepada pihak Sjamsul Nursalim yang belum menyelesaikan kewajibannya terkait kesalahan dalam menampilkan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (“BDNI”) sehingga menimbulkan upaya misrepresentasi di suatu instansi pemerintahan. Upaya yang dicurigai sebagai praktik misrepresentasi yang dilakukan oleh pemegang saham yang dalam hal ini ialah Sjamsul Nursalim ialah terjadinya peristiwa kredit macet petambak dengan persentase 100% macet dengan total Rp. 3.500.000.000.000 (tiga triliun lima ratus miliar rupiah) yang kemudian saat dilakukan pengalihan kredit, usaha tersebut dianggap sebagai transaksi kredit lancar yang kemudian diakui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (“BPPN”) dengan total nilai Rp. 4.800.000.000.000 (empat triliun delapan ratus miliar rupiah), lalu usaha misrepresentasi yang dilakukan ini terbukti merugikan instansi negara tersebut dengan total kerugian Rp. 4.800.000.000.000 (empat triliun delapan ratus miliar rupiah). Kemudian pada tahun 2003, Syafruddin Arsyad Temenggung memimpin rapat yang membahas skema penyelesaian hutang petambak dan penyelesaian secara menyeluruh tentang penjualan hutang plasma yang akan diselesaikan lebih dulu dengan menghapuskan hutang petambak yang berjumlah Rp. 4.800.000.000.000 (empat triliun delapan ratus miliar rupiah) kepada BPPN, kemudian terdakwa turut memberikan kesimpulan bahwa Sjamsul Nursalim tidak melakukan tindakan misrepresentasi terhadap hutang petambak manakala sebenarnya terduga pun turut mengetahui bahwa berdasarkan data yang ada sejak tahun 1998 hingga 2003 tersebut serta sejak terdakwa menjadi sekretaris KKSK yang dimana terduga menjamin bahwa KKSK setuju terhadap unsustainable debt akan ditagihkan kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wachyuni Mandira kemudian hingga terdakwa menjadi Ketua BPPN tentu mengetahui bahwa piutang BDNI terhadap petambak menjadi aset yang seharusnya menjadi tanggung jawab Sjamsul Nursalim kemudian terbukti menjadi kegiatan misrepresentasi dan menyebabkan kerugian besar bagi negara.
Kasus ini telah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak tanggal 3 Mei 2018 hingga tanggal 24 September 2018 dengan putusan sela Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 39/Pid.Sus/TPK/2018/PN.Jkt.Pst. yang mengadili bahwa kasus yang diadili merupakan kasus tindak pidana korupsi dan Syafruddin Arsyad Temenggung terbukti melakukan perbuatan yang tertera di surat dakwaan yang ditinjau secara hukum merupakan perbuatan yang merugikan negara untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain, yang dalam hal ini ialah Sjamsul Nursalim dengan pertimbangan bahwa terdakwa bersalah menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Republik Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis kepada terdakwa dengan pidana penjara 13 (tiga belas) tahun dengan denda sebanyak Rp. 700.000.000 (tujuh ratus juta rupiah) yang apabila tidak dibayarkan maka akan disubstitusi menjadi pidana kurungan 3 (tiga) bulan.
Dikarenakan tidak puas dengan putusan yang dijatuhkan oleh lembaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terdakwa didampingi penasihat hukumnya mengajukan banding ke tingkat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan berbagai alasan keberatan atas putusan yang diberikan hakim. Namun, dalam mengajukan memori banding tersebut, KPK selaku penuntut umum turut memberikan kontra memori banding terhadap banding yang diajukan terdakwa dengan dasar hukum yang jelas untuk kiranya dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi hakim di lembaga Peradilan Tinggi DKI Jakarta dalam mengadili perkara kasus tindak pidana korupsi. Setelah meninjau memori banding yang diberikan terdakwa dan juga penuntut umum, hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kemudian memutuskan bahwa memori banding yang diajukan terdakwa tidak dapat dikabulkan karena tidak terdapat urgensi yang menyebabkan pembatalan putusan hakim di tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga turut menimbang bahwa kasus yang diajukan oleh penuntut umum benar merupakan tindakan pidana korupsi, dan terdakwa sebagai pelaku dari kasus tindak pidana yang diajukan juga didukung oleh Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Republik Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan hakim dan peraturan sejenis yang berkaitan. Sehingga kesimpulan putusan hakim Pengadilan Tinggi ialah terdakwa tetap dinyatakan bersalah dan ditetapkan untuk menerima pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun dengan denda sebesar Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah) yang apabila tidak dibayarkan maka akan disubtitusi dengan hukuman kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Syafruddin Arsyad Temenggung kembali memohonkan pengajuan kasasi kepada Mahkamah Agung di tahun 2019 akibat belum merasa adil terhadap vonis yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kepadanya. Memori kasasi yang diberikan kepada hakim berisi memori banding yang sempat diajukan untuk lembaga Pengadilan Tinggi sebelumnya yang berisi bahwa terdakwa keberatan atas putusan hakim di tingkat pertama dan kedua karena Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim Pengadilan Tinggi selaku judex facti tidak sepenuhnya memeriksa segala berkas yang ditandatangani terdakwa, Hakim juga tidak mempertimbangkan bahwa terdakwa sama sekali tidak memiliki niat untuk memperkaya diri atau orang lain kemudian merugikan negara melalui perbuatan yang dilakukan akan tetapi perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan mengatasi krisis moneter yang juga mengancam Indonesia pada waktu itu dengan dalil pembenaran bahwa penyelesaian permasalahan dilakukan dengan cepat, tepat dan tidak menimbulkan dampak yang jauh lebih buruk dibandingkan keadaan yang sedang terjadi yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional, bahwa Hakim keliru memberi pertimbangan mengenai pemberian SKL sebagai perbuatan yang dilakukan dengan unsur kesengajaan untuk kepentingan pribadi, Hakim juga dianggap keliru dalam menentukan waktu terhadap kerugian keuangan negara. Menimbang memori kasasi yang diajukan oleh terdakwa, Hakim Mahkamah Agung selaku judex juris melakukan penilaian terhadap fakta hukum yang ada tentang perkara a quo manakala kegiatan mencari fakta hukum tersebut bukanlah tugas dari Mahkamah Agung. Akibatnya, Mahkamah Agung pun mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan dengan alasan bahwa permohonan tersebut berlandaskan hukum yang kuat dan tetap, sehingga melalui putusan yang dijatuhkan Hakim Mahkamah Konstitusi, terdakwa dengan nama Syafruddin Arsyad Temenggung ditetapkan lepas dari segala tuntutan hukum yang dijatuhkan kepadanya saat berada di Pengadilan Tinggi dan menetapkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tidaklah termasuk tindak pidana korupsi, serta memulihkan hak-hak korban.
Putusan pembebasan terdakwa oleh Mahkamah Agung kini mengandung banyak tanggapan ahli yang saling berargumen dalam meneliti apakah putusan Hakim MA sudah dapat dikatakan sebagai putusan yang tepat dengan segala pertimbangannya terhadap pengajuan kasasi manakala sempat pula terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam forum musyawarah Majelis Hakim, yang dimana Dr. Salman Luthan, S.H., M.H. selaku Hakim Agung turut melayangkan bentuk ketidaksetujuan dalam forum musyawarah tersebut saat membahas tentang putusan terhadap kasus Syafruddin Arsyad Temenggung, ahli hukum lainnya pun turut memberikan tanggapan yang beragam terhadap putusan ini. Dr. Salman Luthan, S.H., M.H. menunjukkan ketidaksetujuan terhadap memori kasasi terdakwa yang menyebutkan bahwa Hakim Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum, karena menurtnya, Hakim Pengadilan Tunggi selaku judex facti sudah mengadili perkara dengan sebagaimana seharusnya tanpa melampaui wewenang yang dimiliki, tak hanya itu, perbuatan terdakwa juga dianggapnya sebagai hal yang bersifat memberikan beban berat bagi situasi keuangan negara yang pada saat itu sedang mengalami krisis moneter sehingga tidak dapat dibenarkan segala bentuk kontra yang disampaikan dalam memori kasasi tersebut, pernyataan terdakwa juga dianggap telah bertentangan dengan situasi dan fakta hukum yang dibeberkan dalam masa persidangan berlangsung sehingga permohonan kasasi terdakwa dengan menimbang hal demikian maka harus dinyatakan ditolak. Putusan yang dilayangkan oleh Hakim Mahkamah Agung juga kerap mengundang tanya, apakah terdapat penafsiran berbeda terhadap fakta hukum, peraturan dan perundang-undangan antara Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim Pengadilan Tinggi selaku judex facti dengan Hakim Mahkamah Agung selaku judex juris sehingga memiliki pengaruh besar yang signifikan terhadap putusan yang diberikan.
Banyak respon kekecewaan yang ditunjukkan masyarakat manakala mengetahui perkara Syafruddin Arsyad Temenggung dilepaskan begitu saja, mengingat di tahun 1997 silam, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (“BLBI”) menjadi instansi pemberi dana bantuan manakala terjadi krisis moneter di Indonesia pada tahun-tahun tersebut, diketahui pula bahwa dana bantuan milik BLBI yang dikeluarkan sekitar Rp. 144.500.000.000.000 (seratus empat puluh empat triliun lima ratus milyar rupiah) namun dalam penggunaannya, ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (“BPK”) 95% dananya diselewengkan, sehingga kasus ini dianggap sebagai sejarah korupsi terbesar di Indonesia terlebih pada saat itu terdapat kondisi khusus yaitu Indonesia sedang mengalami krisis moneter dan hal ini dianggap menjadi luka berat bagi negara dan rakyat. Bahkan, Kurnia Ramadhana selaku salah satu aktivis ICW mengungkapkan pendapatnya kepada salah seorang wartawan BBC Indonesia bahwasanya “Putusan MA ini sama saja seperti lelucon dagelan, karena harapan kita saat pemberian putusan kasasi, MA semakin menguatkan atau memberatkan hukuman yang diberikan kepada terdakwa, kok malah bertolak belakang hingga dilepas dengan dalih yang dianggap tidak terlalu kuat.” Usaha KPK selaku penuntut umum kasus ini pun dianggap sia-sia manakala upaya mengembalikan uang negara tersebut nyatanya tidak diindahkan oleh MA dengan memutus untuk memberikan pembebasan kepada terdakwa.
Adapun alasan pembebasan Hakim MA terhadap terdakwa yang antara lain membenarkan permohonan kasasi terdakwa yang menyebutkan bahwa penerbitan SKL tersebut dilandaskan oleh peraturan perundang-undangan juga tidak dapat dibenarkan karena dalam memberi putusan, hakim tidak memberi argumen yang dapat dianggap cukup untuk mendukung permohonan kasasi terdakwa, hal ini berbanding terbalik jika dilihat dari putusan peradilan sebelumnya yang menyebutkan bahwa kasus utama dalam tuntutan yang diajukan ialah penerbitan SKL yang menjadi bukti penghapusan utang Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham yang sedang memiliki sengketa pada saat itu yang mana hal ini menjadi pertimbangan Hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi selaku judex facti dalam melihat fakta hukum yang ada dan menimbang hukuman yang pantas untuk diterima terdakwa akibat melakukan perbuatan yang dianggap telah merugikan negara. Terlebih, MA turut menyatakan bahwa Hakim peradilan sebelumnya memberi pertimbangan yang salah terhadap memori banding terdakwa yang menyatakan bahwa baik penuntut umum dan Hakim menelaah penerbitan SKL ini secara pribadi, manakala menurut salah satu pakar hukum, Dr. Robertus Bambang Budi Prastowo, S.H., M.Hum., menyebutkan bahwa pertimbangan MA tersebut jika ditinjau kembali telah keliru secara yuridis, karena tuntutan yang diajukan pun pada dasarnya meminta pertanggung jawaban terdakwa selaku Ketua BPPN di masa tersebut yang didapati melenceng dari apa yang diatur didalam peraturan perundang-undangan dan diklasifikasikan sebagai kasus pidana dengan menimbang pasal 58 dan 59 KUHP yang merujuk pada pertanggungjawaban yang bersifat pribadi dan tidak menyinggung ranah kelembagaan manapun. Pengklasifikasian kasus pidana oleh penuntut umum yang telah diadili oleh Hakim peradilan sebelumnya juga turut disalahkan oleh Hakim MA dengan alasan, tidak terdapat bukti yang meninjau bahwa perilaku tersebut dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri maupun orang lain sehingga tidak dapat dikatakan sebagai kasus pidana , yang dimana hal ini menyalahi dua hal, yaitu meninjau bahwa perkara ini tidaklah memeriksa juga menilai perbuatan pihak lain, sehingga alasan MA dianggap sebagai alasan yang bias dan tidak relevan, tak hanya itu, meninjau dari segi wewenang, MA telah melampaui batas wewenangnya selaku judex juris atau Hakim yang memeriksa penerapan hukum yang dilakukan di lembaga pengadilan sebelumnya yaitu turut menjadi pemeriksa fakta hukum terhadap kasus perkara yang mana, wewenang tersebut ialah milik Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim Pengadilan Tinggi selaku judex facti. Menurut salah seorang pakar hukum, Dr. Oce Madril, S.H., M.A., kesalahan MA dalam putusan yang dibuatnya ialah menyatakan bahwa Hakim peradilan sebelumnya telah keliru dalam mempertimbangkan tentang kelahiran lembaga BPPN yang saat itu berdiri karena terjadi kondisi darurat yang dialami bangsa Indonesia. Dalam menyatakan pendapat tersebut, Hakim MA lagi-lagi dianggap tidak adanya keselarasan dalam memberikan argumentasinya atas pembenaran memori kasasi yang diajukan kuasa hukum terdakwa, padahal saat masih di ranah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, hal ini telah diperiksa secara seksama dengan dasar hukum yang tetap dan fakta hukum yang ada. Adanya inkonsistensi pertimbangan Hakim peradilan sebelumnya dengan Hakim Mahkamah Agung sangat disayangkan, yang dimana seharusnya, Pengadilan pada saat itu dapat meninjau dan menimbang bahwa dalam keadaan darurat apapun, jikalau terjadi perilaku menyimpang utamanya untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dalam hal ini melakukan tindak pidana korupsi maka sudah seharusnya diproses dan di pidana karena telah memenuhi unsur dari kejadian peristiwa hukum. MA sebagai lembaga peradilan terakhir yang mengadilinya pun seharusnya lebih bisa menguatkan putusan peradilan sebelumnya dengan pemberian hukuman maksimal mengingat kasus ini terbilang ialah kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia hingga hari ini. Dr. Oce Madril, S.H., M.A., turut menambahkan bahwa keterangan Hakim MA yang menyebutkan bahwa penerapan judex facti terhadap Undang-Undang Perbendaharaan Negara dalam kasus ini ialah sepenuhnya keliru dan dianggap tidak sesuai dengan apa yang tertera sesungguhnya di dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara itu sendiri, perlu diketahui bahwa peraturan ini bersifat luas sehingga dapat menjangkau pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara termasuk pula pengelolaan hutang piutang negara, peraturan ini juga menyinggung BPPN selaku lembaga pemerintah sehingga salah apabila dikatakan bahwa BPPN bukan salah satu dari lingkup objek peraturan ini.
Putusan yang menyebutkan bahwa kasus ini merupakan ranah perdata juga tidak dapat dipungkiri sepenuhnya, karena dalam pemidanaan kasus tindak pidana korupsi, ranah pidana, perdata dan administrasi memang seringkali saling bersinggungan, akan tetapi hal ini tidak dapat dijadikan alasan atas kesewenang-wenangan hakim dalam menentukan ranah suatu perkara. Perkara instrumen perjanjian Master Settlement And Acquisition Agreement (MSAA) mengenai kebijakan penerbitan SKL dapat disebut sebagai perkara yang menyinggung ranah perdata dari sisi pengujian terhadap misrepresentasi yang disebutkan oleh penuntut umum juga dari sisi adanya hubungan hukum antara lembaga pemerintah BPPN dengan Sjamsul Nursalim dalam penerbitan SKL tersebut. Pengklasifikasian perkara penerbitan SKL yang mengandung unsur perjanjian juga menjadi alasan kuat sehingga kasus dapat diadili melalui ranah perdata yang membahas perihal perjanjian yang berkekuatan mengikat pihak-pihak yang terlibat dengan merumuskan penyelesaian perkara a quo melalui jalur pengajuan gugatan perdata. Namun ditinjau dari segi pertanggungjawaban pejabat negara, kasus ini dapat dikategorikan pula sebagai kasus pidana yang meminta pertanggung jawaban Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN tahun 2002 hingga 2004 atas tindakannya yang tergolong sebagai delik dan telah merugikan negara dengan nilai yang fantastis.
Putusan Hakim MA dengan segala pertimbangannya yang ditinjau dari segi yuridis kurang tepat dan juga terdapat hal-hal yang keliru mulai memunculkan kecurigaan masyarakat terhadap terjadinya praktik mafia peradilan dalam penegakan hukum di Indonesia yang dapat terjadi jika terdapat kepentingan antar Hakim yang diduga juga menerima banyak intervensi dari pihak-pihak lain dengan terdakwa secara pribadi utamanya tentang hal-hal yang menyangkut masalah finansial pribadi tersebut yang berdampak pada hilangnya letak keadilan, kepastian hukum bahkan kebermanfaatan hukum yang menjadi tonggak utama tujuan adanya hukum di tengah lingkungan masyarakat suatu negara. Hal ini juga sering dituduhkan pada lembaga pengadilan akibat kecenderungan aparat penegak hukum yang memainkan, memelintir bahkan menerjemahkan hukum yang ada sesuai dengan keperluannya yang akhirnya memberi dampak besar pada kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ada di Indonesia. Hakim MA pun pada intinya dianggap belum bisa memberikan argumen kuat dan penjelasan sesuai dengan apa yang dibutuhkan di dalam persidangan sebagai dasar pemberian putusan untuk membebaskan terdakwa dari segala vonis yang diterimanya di Pengadilan Tinggi. Tugas Hakim MA selaku judex juris dengan segala keterbatasan wewenangnya pada kasus ini didapati telah melewati batas dengan kembali mengulik fakta hukum yang telah diadili dan diperiksa sebelumnya di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, sehingga penyelesaian kasus ini dianggap kurang konsisten dari segi yuridis. KPK selaku penuntut umum pun diharap tidak berhenti dalam memperjuangkan kemenangan negara dalam kasus ini meskipun sebelumnya Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan sempat ditolak oleh Mahkamah Agung karena tidak PK tersebut tidak memenuhi unsur di Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Besar harapan masyarakat masih ada titik terang kejujuran dan keadilan yang dapat diberikan oleh lembaga pengadilan dalam memberikan putusan terhadap kasus yang diajukan dengan tetap mengedepankan tujuan hukum dan menegakkan hukum dengan sebagaimana mestinya.
DAFTAR ISI
JURNAL
Pratama, Febrian Rizki. “Perjanjian Penyelesaian Utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Dengan Penyerahan Aset (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1555 K/Pid.Sus/2019).” Jurnal Hukum Privat Fakultas Hukum Universitas Mataram. Vol. 2, No. 1 (2022). Hlm. 73-80.
LEMBAGA DAN ORGANISASI
Indonesia Corruption Watch. Laporan Eksaminasi Publik Putusan Tingkat Kasasi Perkara Surat Keterangan Lunas Terhadap Obligor BLBI Oleh Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung. Laporan Eksaminasi Putusan Kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung : Indonesia Corruption Watch, 2020.
DISERTASI
Nurdjana, IGM. “Problematik Sistem Hukum Pidana dan Implikasinya Pada Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi.” Disertasi Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta, 2009. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Putusan Banding No. 29/PID.SUS-TPK/2018/PT.DKI. RI
melawan Syafruddin Arsyad Temenggung (2018).
PUTUSAN PENGADILAN
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Putusan Banding No. 29/PID.SUS-TPK/2018/PT.DKI. RI melawan Syafruddin Arsyad Temenggung (2018).
Mahkamah Agung., Putusan Kasasi No. 1555 K/PID.Sus/2019. RI melawan Syafruddin Arsyad Temenggung (2019).
INTERNET
BBC News Indonesia. “Kasus BLBI : MA Bebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung, ICW Sebut ‘Pertunjukan Lelucon’,” bbc.com, 11 Juli 2019. Tersedia pada https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48934186. Diakses pada tanggal 23 November 2023.
BBC News Indonesia. “MA Bebaskan Terdakwa kasus BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung,” bbc.com, 9 Juli 2019. Tersedia pada https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48918490. Diakses pada tanggal 23 November 2023.
Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts. Separated they live in Bookmarksgrove right at the coast of the Semantics, a large language ocean. A small river named Duden flows by their place and supplies it with the necessary regelialia. It is a paradisematic country, in which roasted parts of sentences fly into your mouth.