Oleh: Chaterine Diajeng Maheswari
Staf Bidang Literasi dan Penulisan
Keluarga adalah komunitas pertama yang menaungi setiap manusia ketika lahir di dunia. Eksistensi keluarga dalam memberikan keamanan dan kenyamanan tentunya mempunyai dampak signifikan bagi setiap anggotanya. Pada hakikatnya, keluarga terdiri atas ayah atau ibu sebagai orang tua berperan dalam menyalurkan perlindungan yang diperuntukkan bagi buah hatinya. Dalam setiap keluarga diwujudkan dengan perkawinan yang sah sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia, ini merujuk kepada ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dinyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin yang terjalin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan asas Ketuhanan yang Maha Esa. Sayangnya, perkawinan yang dibuat dengan tujuan asas keharmonisan tidak selalu berlangsung dengan baik. Perwujudan asas keharmonisan tersebut tidak berjalan mulus diakibatkan banyak hal yang mengerucut kepada satu fenomena bernama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kekerasan adalah salah satu kasus yang cukup sering dialami dalam rumah tangga di Indonesia. Lazimnya, jenis kekerasan yang marak ditemukan diklasifikasikan menjadi 4 (empat) macam, yakni kekerasan verbal, kekerasan fisik, kekerasan psikis, serta kekerasan seksual. Malfungsi dalam sebuah rumah tangga umumnya terjadi karena KDRT yang mempunyai dampak pada keutuhan dan kehangatan yang didambakan dalam naungan keluarga tidak dirasakan. Berhubungan dengan kekerasan rumah tangga, tentunya terdapat korban yang dirugikan pada kejadian ini dan perlindungan hukum perlu ditegakkan. Existing regulation yang menjadi payung hukum atas terjadinya KDRT adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”). Pasal disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dimaksudkan sebagai perbuatan terhadap seseorang dalam lingkup rumah tangga yang berakibat penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan bahkan penelantaran rumah tangga yang memuat ancaman melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan. Beberapa kekerasan dalam rumah tangga, spesifiknya kekerasan fisik juga digolongkan sebagai penganiayaan. Dikatakan demikian karena menurut kitab sistem hukum indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) menyatakan bahwa penganiayaan biasa dapat berakibat luka berat atau bahkan mati.
KDRT menjadi masalah utama dalam Indonesia melihat terjadinya kenaikan yang tinggi terhadap kekerasan perempuan dalam 10 tahun terakhir hingga mencapai 340.000 kasus. Dalam rumah tangga, siapapun bisa menjadi korban dan pelaku, tidak memandang kelas, usia, dan gender. Menurut UU PKDRT disebutkan bahwa korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman dalam lingkup rumah tangga. Akan tetapi, korban dalam kekerasan rumah tangga selalu didominasi perempuan dan anak karena selalu dianggap lebih lemah dan tidak bisa melawan. Faktanya, pada tahun 2023 kekerasan terhadap istri mendominasi dengan 622 kasus dan berikutnya kekerasan terhadap anak perempuan dengan 140 orang. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) sebagai lembaga penegak hukum juga angkat suara tentang 21.768 kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak selama 2023.
Korban-korban maupun kekerasan dalam KDRT ini menjadi pertanyaan layaknya kehadiran hukum berkenaan dengan KDRT di Indonesia telah efektif? Undang-Undang Dasar 1945 kian menyatakan bahwa aturan perlindungan tertulis dalam Pasal 28 G ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Dalam pengaturan hukum yang lebih kompleks, UU PKDRT juga menuliskan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 yang berisikan asas dan tujuan UU PKDRT ini disusun. Secara jelas, Sayangnya, susunan sedemikian rupa ini belum bisa menjamin perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga. Ketentuan Pidana yang kemudian diatur dalam Pasal 44 tampaknya bukan hal yang besar bagi para pelaku korban kekerasan dan fenomena ini menimbulkan pertanyaan akan landasan hukum yang baik.
Faktor-faktor KDRT tidak bisa dirumuskan hanya dalam satu alasan, melainkanfaktor internal maupun faktor eksternal yang serta merta menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Faktor Internal KDRT dapat dijumpai seperti tekanan psikologis pelampiasan orang tua yang kepada anak. Orang tua sebagaimana menginginkan hal yang terbaik untuk sang buah hati ,tetapi dalam prosesnya terkadang orang tua merasa sepenuhnya memegang kendali atas anaknya tetapi tidak memperhatikan kondisi anak yang sehingga menciptakan KDRT terhadap anak terjadi. Tak jarang, orang tua melukai anaknya dibawah tekanan frustasi dan kecemasan, salah satunya adalah faktor ekonomi. Alih-alih memberikan ruang yang aman dan nyaman bagi anak untuk berkembang, beberapa orang tua malah sengaja melampiaskannya kepada anak karena menganggap anak tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa melawan. Anak yang tumbuh dalam kondisi tumbuh dalam pikiran bahwa kekerasan dalam keluarga adalah hal yang biasa, sebaliknya biasanya korban kekerasan menganggap kekerasan adalah hal biasa, bahkan memang diperlukan untuk mendidik, dalam konteks sempitnya lagi menertibkan.
Kejadian yang disebutkan diatas berlanjut menjadi faktor internal berikutnya yaitu pengalaman masa lalu dari orang tua. Orang tua yang cenderung mendapati kekerasan sejak kecil merasa kekerasan adalah hal yang wajar dalam kehidupan berkeluarga. Perasaan yang dipendam sejak kecil menjadi pemicu utama seseorang bisa dan mungkin terjadi menjadi pelaku KDRT di masa tuanya. Dalam kajian perspektif Belajar Sosial (social learning) menjelaskan anak-anak yang mengalami KDRT adalah anak-anak mempelajari penyimpangan norma-norma dan perilaku yang direplikasi dalam keluarga. Kecenderungan seorang anak yang menyaksikan dan mengalami KDRT belajar untuk mengendalikan dan mendapatkan kepatuhan pasangan. Rantai kekerasan ini disebabkan karena anak belajar melalui imitasi berdasarkan pengamatan dari lingkungan seperti orang tua, teman-teman, guru, dan masyarakat. Mereka yang hidup di lingkungan penuh kekerasan terbiasa dengan fenomena tersebut dan mengabaikan trauma yang ada dalam dirinya sendiri. Bertambah miris ketika mengetahui kekerasan ini selalu ada tiap tahun karena orang tua merasa kekerasan adalah bagian dari cara mendidik anak. Orang tua mengalami kekerasan ketika kecil dan menganggap kekerasan adalah solusi paling tepat dalam mendidik anak. Bahkan terkadang orang tua juga meremehkan beberapa perlakuan yang padahal sudah masuk ke dalam bentuk-bentuk kekerasan.
Budaya masyarakat Indonesia yang menganggap kekerasan adalah jawaban absolut dari segala hal membuat patriarki menjadi lebih kental dalam beberapa generasi dan menjadikan KDRT memang diperlukan untuk membuat anak dan istri menjadi penurut. Budaya patriarki yang masih ada di Indonesia membuat laki-laki merasa lebih berkuasa daripada perempuan apalagi laki-laki merasa memiliki istri sepenuhnya setelah menikah. Sebelum mengenal lebih banyak tentang patriarki, patriarki diartikan sebagai struktur yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa tunggal yang telah mendominasi kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek kegiatan manusia. Budaya ini yang terus-menerus ada dari puluhan sampai ratusan tahun mempengaruhi pola pikir masyarakat. Pihak laki-laki dalam keluarga atau dalam masyarakat selalu ditempatkan dalam kelas atas sedangkan pihak perempuan selalu ditempatkan setelahnya atau nomor dua. Sedangkan dalam kehidupan rumah tangga selalu menempatkan laki-laki paling atas daripada perempuan dan melihat perempuan sebagai pembantu suami sekaligus memenuhi kebutuhan keluarga. Patriarki menjadi alasan KDRT menggebu-gebu dan mengaitkan setiap aspek dalam keluarga yang membuat pertengkaran adalah salah satu solusi untuk menyelesaikan konflik.
Dominasi laki-laki terhadap perempuan menciptakan pandangan, stigma, dan stereotip bahwa perempuan adalah kaum yang lemah, dapat disakiti secara mental dan fisiknya oleh pihak laki-laki. Perempuan yang merasa rendah diri juga paham bahwa ia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan pihak laki-laki atau suaminya karena dorongan patriarki yang terus diterima dalam lingkungannya. Perasaan ini menciptakan kaum perempuan sebagai istri dan sebagai seorang ibu menjadi bergantung sepenuhnya terhadap pihak suami dan terus-menerus menerima kekerasan tersebut. Tanggapan KDRT oleh istri juga diterima sepenuhnya karena merasa kekerasan tersebut muncul karena kesalahan istri dan menimbulkan “playing victim” dari pihak laki-laki ke pihak perempuan.
UU PKDRT tidak menunjukkan limitatif terhadap korban maupun pelaku. Ini menunjukkan bahwa siapa saja bisa menjadi pelaku atau korban, terlepas dari budaya yang masyarakat atau keluarga kecil itu amini. Setiap pasal dan ayat secara luas mewadahi kekerasan dalam rumah tangga baik disebabkan oleh ayah maupun ibu yang menyangkut tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Kurang lengkap rasanya jika tidak membahas faktor eksternal yang menjadi peran mayoritas dalam KDRT ini. Pertama adalah faktor ekonomi yang menyangkut kesejahteraan sebuah keluarga. Kesejahteraan dapat dinilai dengan bagaimana ekonomi keluarga tersebut tergambar karena keluarga yang cenderung di bawah garis kemiskinan karena pemenuhan kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi memicu frustasi dan depresi sehingga memicu juga kekerasan yang akan terjadi di dalam keluarga. Apalagi fenomena COVID-19 memperburuk karena banyak terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga tidak ada pemasukan untuk pemenuhan kebutuhan kehidupan sehari-hari. Pemasukan digunakan alkohol dan rokok yang menggeser kebutuhan primer. Rata-rata pengeluaran di angka tertinggi makanan dan minuman sebanyak 32%, rokok di peringkat kedua sebanyak 12,79% dan diikuti selanjutnya oleh padi-padian, makanan laut, dan sayur-sayuran. Ini menunjukkan bagaimana masyarakat belum bisa mengatur tentang prioritas pokok untuk keluarga. Cerita klise sebagian besar keluarga di Indonesia juga memiliki kondisi yang sama dimana orang tua lebih memilih menggunakan uang yang seharusnya memenuhi kebutuhan hidup untuk membeli rokok dan alkohol, orang tua yang dibawah pengaruh alkohol lebih temperamen dan mengakibatkan KDRT terjadi.
Jika membahas soal KDRT, rasanya tidak akan pernah selesai karena bentuk kekerasannya tidak bisa dirumuskan melalui 1 (satu) bentuk saja. Bentuk kekerasan tidak hanya digolongkan yang hanya dilihat oleh mata telanjang seperti pemahaman orang-orang biasanya. Menurut Pasal 5 UU PKDRT, bentuk kekerasan dibagi menjadi kekerasan fisik yang menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan fisik bukanlah hal yang baru dan istimewa di Indonesia bahkan dalam cakupan internasional. Dunia internasional melalui Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memiliki tanggung jawab yang besar untuk turut berpartisipasi dalam menegakkan hak asasi manusia melalui pengajuan Rancangan Undang-Undang tersebut.
Kedua adalah kekerasan psikis diartikan sebagai kekerasan yang mengakibatkan ketakutan, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada anggota keluarga. Walaupun terdengar mudah, tetapi kekerasan psikis adalah salah satu kekerasan yang sulit dibuktikan. Korban yang masih merasa sayang menolak atau bahkan menangkal tentang apa yang terjadi pada dirinya. Ini dikarenakan psikis yang berkaitan dengan jiwa, spiritual, dan mental serta batin yang hanya bisa dirasakan oleh korbannya. Ada beberapa teori yang dapat membuktikan kekerasan psikis tersebut seperti teori Negatif, yaitu teori yang menegaskan bahwa bolehnya menjatuhkan pidana asal mendapatkan jawaban yang tepat dengan alat-alat bukti yang sah dan teori positif, yaitu teori yang hanya boleh menentukan kesalahan terdakwa jika ada bukti minimum yang sudah ditentukan oleh undang-undang.
Berikutnya adalah kekerasan seksual yaitu perlakuan memaksa hubungan seksual dengan orang lain tanpa konsensual. Nyatanya, walaupun kekerasan seksual di mata masyarakat ditandai seperti perkosaan, perbudakan seksual, pelecehan seksual, dan prostitusi paksa namun kekerasan seksual dalam rumah tangga rentan terjadi yang dikenal dalam istilah marital rape. Marital rape atau pemerkosaan dalam rumah tangga kerap dijumpai, dimana salah satu pihak yang bersangkutan tidak memberikan konsen untuk melakukan hubungan badan. Dalam UU PKDRT ini mengatur dalam Pasal 46 bahwa kekerasan seksual yang meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)
Jenis-jenis kekerasan seksual kemudian dibagi menjadi kekerasan seksual berat dan kekerasan seksual ringan. Kekerasan seksual berat berupa pelecehan seksual dengan kontak fisik seperti meraba, menyentuh, mencium, dan melakukan tindakan lainnya yang menimbulkan rasa yang tidak diinginkan korban. Kejadian kekerasan ini cenderung ditemukan dalam hubungan ayah dan anak kandungnya sendiri. Sebagai contoh, media di Indonesia sempat di gemparkan beberapa kali oleh berita anak perempuan yang mengandung anak ayah kandungnya sendiri dan diduga kejadian ini berlangsung beberapa tahun sebelumnya; pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban; terjadinya hubungan seksual dimana memanfaatkan posisi ketergantungan korban; dan tindakan seksual dengan kekerasan fisik.Selanjutnya adalah kekerasan seksual ringan yaitu pelecehan seksual secara verbal seperti komentar tak senonoh, siulan, ejekan, julukan yang merendahkan korban.
Menemukan kasus kekerasan dalam jaman sekarang merupakan hal yang umum namun tabu untuk dibicarakan. Masyarakat cenderung diam dan hanya mengetahui tentang suatu keluarga yang sedang melewati perselisihan. Inilah kebiasaan Indonesia yang dinilai kurang tepat untuk menyikapi KDRT. Masyarakat hanya mengetahui lewat rumor tentang anggota keluarga yang mengalami kekerasan bahkan masyarakat menyadari perubahan pada seseorang atau kebiasaan tertentu. Contohnya ketika seorang istri atau anak tidak terlihat keluar rumah selama beberapa hari atau terlihat muram dan gelisah. Ini menjadi sebuah hipotesis tentang kekerasan dalam rumah tangga memberikan efek yang mampu disadari maupun tidak disadari. Dampak dari KDRT tidak hanya sekadar lebam dan bengkak tetapi masih banyak yang harus diketahui setiap orang tentang dampak dari kekerasan ini.
Seperti dijelaskan sebelumnya kalau korban dalam kekerasan ini didominasi oleh kaum perempuan dan anak. Korban merasakan dampak secara instan ketika kekerasan itu terjadi dan dampak tidak bisa dirumuskan luka yang kelihatan secara visual saja seperti memar, luka-luka dan cedera. Dampak lainnya yang perlu diketahui adalah dampak psikologis. Korban merasa gelisah dan ketakutan sampai mimpi buruk dan mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Korban juga seringkali mendapatkan gejala depresi karena ditindas dari lama membuat korban merasa rendah diri, putus asa, dan merasa gagal. Setiap korban memiliki lukanya tersendiri, tak terkecuali anak yang menjadi saksi dalam kekerasan yang dilakukan orang tuanya. banyak macamnya salah satunya mantan korban akan menjauhi orang lain karena merasa setiap orang akan melakukan kekerasan padanya.
Sayangnya, sebagian besar kasus KDRT terkuak ketika memakan korban serius seperti kematian. Banyak kasus salah satunya kasus di Jagakarsa yang menyoroti media Indonesia beberapa hari. Korban berupa anak kandungnya sendiri yang masih kecil, mayat mereka ditemukan membusuk karena atas pengakuan pelakunya yaitu ayah kandungnya sendiri korban-korban tersebut dibekap sampai tidak sadarkan diri. Ketika diusut ternyata sumber permasalahan berawal dari cekcok dan berlanjut terhadap penganiayaan kepada istri. Penganiayaan tersebut meliputi menjambak dan menjedotkan kepala istrinya yang mengakibatkan istrinya terluka parah dan terpental. Dengan kasus ini membuktikan bahwa fungsi masyarakat dan aparat polisi belum dimaksimalkan.
UU PKDRT menjadi permasalahan yang seharusnya dikaji. Eksistensi regulasi ini tidak efektif karena kasus KDRT yang tetap meledak selama 1 (satu) dekade ini walaupun banyak penurunan maupun peningkatan tetapi tidak banyak yang berubah dari persepsi masyarakat tentang KDRT. Melihat banyak perubahan karena globalisasi yang terjadi selama 20 tahun ini pastinya juga membuat KDRT mengalami banyak perubahan tetapi dengan esensi yang sama yaitu “kekerasan”. Dengan perubahan ini tidak membuat para pembuat kebijakan juga ikut memperbaharui kebijakan ini. UU PKDRT ini jika dilihat pasal per pasal hanya mengatur secara umum apa yang terjadi dalam KDRT seperti pengertian, bentuk-bentuk dan dampak-dampak. Satu hal yang harus disorot adalah Bab 6 yang membahas tentang perlindungan. Dalam Pasal 16, disebutkan bahwa
“dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.”, pasal yang sama ayat kedua menjelaskan “perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani”.
Perlu dan harus diketahui bahwa kasus KDRT adalah kasus yang traumatis dialami oleh seseorang dalam hidupnya tetapi dalam aspek perlindungan, negara malah memberikan waktu yang relatif lama dan membuka celah untuk pelaku kabur atau melakukan kekerasan lagi kepada korban. Seharusnya pembuat kebijakan juga memikirkan tentang perasaan korban terkait pelaporan sudah menjadi hal yang berat bagi korban.
Masalah kedua adalah UU PKDRT terlalu bergantung kepada kepolisian untuk meringkus dan memberikan solusi kepada permasalahan ini. Padahal, kepolisian ikut bergerak jika ada yang melapor, dalam konteks ini adalah masyarakat. Dalam Bab 5 UU PKDRT hanya membahas kewajiban pemerintah dan masyarakat sedangkan dalam realitanya, masyarakat tidak merasa memiliki pertanggungjawaban apapun karena merasa permasalahan dalam keluarga biarkan keluarga tersebut yang menyelesaikan walaupun sudah mengambil korban.
Jadi pertanyaan besar karena kebijakan yang menaungi kasus yang ‘hadir terus’ di Indonesia ini tidak memiliki penggantian atau penambahan sejak 2 (dua) dekade lalu. Seharusnya kebijakan ini bisa jadi lebih tegas mengingat mengatur tentang permasalahan yang tak ada habisnya di Indonesia. Pemerintah harus berani mengatur tentang sikap ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungannya sendiri. Tentu, ini akan menyangkut pro dan kontra tetapi mengamati kasus KDRT yang tidak pernah usai dari Indonesia membuat pemerintah juga harus nekat mengambil kesempatan yang lebih bagus. Dalam teknisnya, aparat kepolisian masih dianggap lamban dan tidak tanggap ketika berhadapan dengan kasus ini. Bukan cerita baru kalau polisi di kasus seperti ini menunda-nunda bahkan menyudutkan korban atas kekerasan ini.
Kepolisian tidak akan bergerak jika tidak ada pengaduan, sama seperti di kasus ini. Sangat tidak mungkin kepolisian mengecek terhadap rumah tangga seseorang secara satu persatu. Itulah fungsi masyarakat yang menjadi peran mengawasi dan membantu korban dengan bersaksi terhadap korban. Korban tentu memiliki rasa takut dan gelisah untuk melaporkan kasus ini, maka dari itu masyarakat harus lebih peka terhadap apa yang terjadi. Jika berbicara soal bukti, kepolisian bisa mengonfirmasi dengan korban serta melakukan visum nantinya. Setidaknya prosedur yang berjalan menunjukkan kepedulian pemerintah yang nyata terhadap masyarakatnya lewat masyarakat dan kepolisian.
Walaupun sudah menjadi 1 (satu dekade) payung hukum terhadap KDRT tetapi sayangnya kasus kekerasan ini kian tidak menemukan jalan akhir. Menanggapi dari UU PKDRT yang belum melengkapi KDRT di Indonesia, perlindungan anak juga menjadi bahasan utama dalam tulisan ini. Undang-Undang Perlindungan Anak juga turut menemani kasus yang melibatkan anak di Indonesia. Lebih rinci tentang kewajiban orang tua terhadap anak diatur dalam Pasal 26 Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: “Orang tua berkewajiban untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak; menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan dan minatnya; mencegah terjadinya dan perkawinan pada usia Anak; dan memberikan pendidikan karakter pada Anak. Sebaliknya, kekerasan pada anak diatur dalam Pasal 76C, 76D, dan 76E akan dikenakan pidana penjara paling alam 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah), sedangkan jika anak tersebut luka berat, pelaku dapat dipidana 5 (lima) tahun dan/atau denda Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Jika melihat vonis penjara dan denda terhadap kekerasan dalam rumah tangga dapat disimpulkan sebagai salah satu hukuman yang fantastis, tetapi hukuman ini tidak mencetak angka yang signifikan terhadap penganiayaan anak yang terjadi. Tercatat dari 1 Januari 2024 hingga hari ini terdapat 11.304 kasus yang terjadi di rumah tangga dan didominasi oleh korban berusia 13-17 tahun.
Keluarga adalah tempat ayah, ibu, dan anak menjalankan peran serta tempat untuk saling bertumbuh, berkembang bersama. Sebagai orang tua memiliki kewajiban untuk mendapatkan pendidikan dan merawat buah hatinya dengan baik. Namun, kehidupan nyata tidak selalu indah seperti dikatakan orang-orang. Kekerasan, penganiayaan, kegarangan kerap terjadi dalam keluarga untuk menunjukkan siapa yang lebih dominan dan kuat diantara yang lain. Beberapa keluarga khususnya di Indonesia perlahan-lahan kehilangan esensinya sebagai keluarga dan malah terlihat seperti tempat pelarian pelaku kekerasan.
Padahal, kekerasan memberikan dampak jangka panjang yang tidak nyaman bagi siapapun korbannya. Korban akan merasa tidak nyaman dan yang paling buruk adalah korban tidak mengetahui dan malah mewajarkan hal tersebut. Terjadilah lingkaran setan yang menjadi ‘budaya’ keluarga Indonesia yang mengutamakan kekerasan sebagai cara mendidik paling ampuh dan satu-satunya.
Mirisnya, dalam cakupan internasional dan nasional bahkan sudah mengakui tetapi dalam pelaksanaan dan turunannya, masih banyak kekurangan yang perlu dikaji. Dalam halnya yang menjadi landasan hukum utama KDRT tidak secara lengkap menyertai kasus kekerasan ini. Pelaksanaanya pun dinilai lambat di sisi aparat dan juga masyarakat. Ini menjadi sebuah evaluasi khusus tentang kebijakan maupun teknis tentang UU PKDRT yang sudah hadir di Indonesia lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Sangat disayangkan kehadirannya tidak mengubah apa yang sudah dan sedang terjadi di Indonesia. Masyarakat masih berpegang teguh pada persepsi mereka sendiri bahkan mereka merasa KDRT diperlukan untuk pendidikan anak. Di sisi lain, kepolisian terbilang masih bingung dan kurang tanggap dalam menangani kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Statistik, Badan Pusat. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia, Maret 2023. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2023.
Jurnal
Alimi, Rosma dan Nunung Nurwati. “Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan.” Jurnal Pengabdian dan Penelitian Kepada Masyarakat (JPPM). Vol. 2 No. 1 (2021). Hlm. 23-24.
Anjari, Warih. “Fenomena Kekerasan Sebagai Bentuk Kejahatan (Violence).” E-Journal WIDYA Yustisia. Vol. 1. No.1. (2014). Hlm. 42-51.
Arini, Resti. “Kekerasan Psikis dalam Rumah Tangga Sebagai Suatu Tindak Pidana.” Lex Crimen. Vol. 2 No. 5 (2013). Hlm. 32-42.
Israpil. “Budaya Patriarki dan Kekerasan Terhadap Perempuan (Sejarah dan perkembangannya),” Jurnal Pusaka. Vol. 5 No. 2 (2017). Hlm. 141-150.
Margaretha, Rahmaniar Nuringtyas, dan Rani Rachim. “Trauma Kekerasan masa Kanak dan Kekerasan dalam Relasi Intim.” Makara Seri Sosial Humaniora. Vol. 17 No. 1 (2013). Hlm 33-41.
Modianto, Jovanka Yves. “Pengaruh Patriarki dan Kaitannya Dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga,” Jurnal Sapientia et Virtus. Vol. 6 No. 2 (2021). Hlm. 129-140.
Ruben, Simson. “Kekerasan Seksual Terhadap Istri Ditinjau Dari Sudut Pandang Hukum Pidana.” Lex Crimen. Vol. 4 No. 5 (2015). Hlm. 94-103.
Sakina, Ade Irma dan Dessy Hasanah Siti. “Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia,” 118Share: Social Work Journal. Vol. 7 No. 1. Hlm. 71-80.
Zahra, Safrida. “Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Serta Relevansinya Terhadap Hak Asasi Manusia: Studi Kasus Mega Suryani Dewi Tahun 2023.” Jurnal Gema Keadilan. Vol. 10, Edisi 1 (2023). Hlm. 115-126.
Internet
Firmansyah, Teguh. “Pembunuhan Empat Anak di Jagakarsa, dari Cek Cok, KDRT Berujung Aksi Bengis Panca, Republika.” 10 Desember 2023. Tersedia pada https://news.republika.co.id/berita/s5fb9h377/pembunuhan-empat-anak-di-jagakarsa-dari-cek-cok-kdrt-berujung-aksi-bengis-panca. Diakses pada 14 Mei 2024.
Indonesia, BBC News. “Kasus Pembunuhan: Empat Anak di Jagakarsa: Polisi Dituduh Lamban Dan Mengabaikan Kasus-Kasus KDRT.” BBC NEWS INDONESIA. 11 Desember 2023. Tersedia pada https://www.bbc.com/indonesia/articles/cedpxz4355vo. Diakses pada 14 Mei 2024.
Indonesia, CNN. “Kapolri: Ada 21 Ribu Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan-Anak di 2023.” CNN Indonesia. 28 Desember 2023. Tersedia pada https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231228092233-12-1042509/kapolri-ada-21-ribu-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-anak-di-2023. Diakses pada 18 Maret 2024.
Nurcahyo, Dzaky dan Jessi Carina. “Detik-detik KDRT Panca di Jagakarsa: Tiba-tiba Emosi Lalu Menganiaya.” Kompas.com. 29 Desember 2023. Tersedia pada https://megapolitan.kompas.com/read/2023/12/29/16061621/detik-detik-kdrt-panca-di-jagakarsa-awalnya-sisiri-rambut-istri-tiba-tiba. Diakses pada 14 Mei 2024.
Perempuan, Komnas. ““Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023 Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara: Minimnya Perlindungan dan Pemulihan.” Komnas Perempuan. 7 Maret 2023. Tersedia pada https://komnasperempuan.go.id/download-file/949. Diakses pada 18 Maret 2024.
SIMFONI-PPA. “Data yang Tersaji Adalah.” Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 1 Januari 2024. Tersedia pada https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan. Diakses pada 2 Juli 2024.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang Undang Tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvention Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia), UU Nomor 5 Tahun 1998, LN Tahun 1998 No. 164 TLN No. 3783.
Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Nomor 23 Tahun 2004. LN Tahun 2004 No. 95 TLN No. 4419.
Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tahun 2002, LN Tahun 2002 No. 109 TLN No. 4235 sebagaimana diubah oleh UU Nomor 35 Tahun 2014, LN Tahun 2014 No. 297 TLN No. 5606.