Netralitas Presiden dalam Pemilu: Ambisi Kekuasaan, Demokrasi Menjadi Taruhan

oleh : Ahmad Robert Mahzoumy Syatta

Staf Magang Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI

Pemilihan umum merupakan wujud nyata dari suatu negara yang berlandaskan pada sistem demokrasi. Pasal 22E UUD 45 menjelaskan bahwa pelaksanaan dari Pemilu harus secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang sesuai dengan tujuan demokrasi yaitu memberi kesempatan kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam bidang sosial politik. Selain sebagai negara demokrasi Indonesia juga dikenal sebagai negara hukum. Keberadaan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam konsepsi negara hukum dalam demokrasi di Indonesia menjadi  suatu hal yang paling mendasar karena negara demokrasi akan memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk memiliki kebebasan dalam berpendapat .Namun konsepsi pengaturan hak asasi oleh negara tersebut bukan berarti menerapkan adanya pembatasan atau bahkan terjadinya pengekangan hak asasi manusia (HAM) oleh negara, tetapi tetapi dalam konsepsinya adalah pengaturan yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya. Sehingga pada dasarnya, dalam negara demokrasi antara negara (pemerintah) dan rakyat memiliki keterkaitan dan pengaruh yang sama-sama besar dalam keberlangsungan sistem demokrasi.

Pelaksanaan dari Pemilihan Umum (Pemilu) atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) rutin dilaksanakan lima lima tahun sekali dan merupakan wujud dari penerapan demokrasi. Pemilihan umum inilah yang kemudian menjadi tolak ukur dari pelaksanaan negara demokrasi. Namun, ternyata negara yang melaksanakan Pemilu belum tentu dapat tentu dapat dipastikan sebagai negara yang benar-benar menerapkan demokrasi. Negara dapat  benar-benar dikatakan sebagai negara demokrasi   bila   melakukan   political   order  dalam   bentuk   melaksanakan   akuntabilitas penguasa,  rotasi  kekuasaan,  rekruitmen  politik  yang  terbuka,  pemilu  yang  jurdil,  serta menghormati  hak  dasar  manusia.Berdasarkan uraian diatas, muncul pertanyaan kemudian bahwa apakah Indonesia telah benar-benar menerapkan sistem demokrasi? Apakah Indonesia layak untuk dikatakan sebagai negara yang berlandaskan pada sistem demokrasi?

Sebagai tahun demokrasi ini, 2024 menjadi tahun yang diadakannya perhelatan pemilihan umum dengan rentan waktu yang tidak terlalu jauh dengan selisih waktu 9 bulan. Pada perhelatan dua kali pemilihan umum ini, masyarakat Indonesia juga dibuat heran oleh tindakan dua presiden yang mengakhiri dan mengawali masa jabatannya. Pada pemilihan presiden dan wakil presiden, Presiden Ke-7 Indonesia melakukan “promosi” terhadap salah satu pasangan calon presiden. Beliau melakukan dengan dalih bahwa dia melakukan sesuai pada Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu. Kemudian pada tahun yang sama dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah, Presiden Indonesia yang baru saja dilantik melakukan kampanye terhadap salah satu pasangan calon gubernur jawa tengah. Mengenai tindakan yang dilakukan prabowo tersebut, Kepala Komunikasi Kepresidenan menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan Prabowo tersebut tidak melanggar aturan sama sekali karena dalam hal ini Prabowo merupakan ketua umum salah satu partai pengusung. Sama halnya dengan yang disampaikan oleh Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja yang mengatakan bahwa tindakan Prabowo tersebut bukanlah merupakan pelanggaran hukum karena kampanye yang dilakukan dalam masa cuti. Kedua peristiwa tersebut tentu akan menjadi contoh buruk bagi demokrasi Indonesia. Berbagai skandal beberapa kali mengotori pelaksanaan pemilu di tahun ini, mulai dari perubahan aturan usia dan berbagai macam hal yang sudah ditata dengan rapi sehingga banyak masyarakat yang tidak terasa bahwa mereka sedang dibodohi oleh rayuan dan keinginan para oligarki. Padahal Indonesia sebagai negara hukum sudah seharusnya menjalankan pemerintahan berdasar pada aturan yang sudah ditetapkan bukan berdasar pada kemauan orang-orang yang memegang kekuasaan sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Muhammad Yamin

Berkaca pada pelaksanaan pemilihan umum yang belakangan ini dilaksanakan tampaknya cukup memberikan gambaran serta gambaran serta jawaban yang  jelas terhadap pertanyaan diatas. Idealnya, pemilu yang seharusnya menjadi menjadi “pesta” rakyat yang identik dengan kegembiraan serta antusiasme yang tinggi bagi seluruh rakyat, justru menjadi kesempatan bagi elite politik untuk memenangkan atau melanggengkan kekuasaan yang dimiliki. Sehingga, istilah pesta rakyat sendiri sementara ini tidak lagi tidak lagi menjadi hal yang relevan dan mungkin bisa lebih tepat apabila diubah dengan istilah pesta pejabat. Pemerintah yang menjadi akar permasalahan instabilitas demokrasi Indonesia dengan gagah dan modal kekuasaan yang dimiliki mereka dengan sengaja merobohkan  fondasi demokrasi yang sudah mulai lama berdiri. 

Presiden sebagai orang nomor satu di Indonesia dan simbol negara sudah seharusnya memberikan teladan yang baik bukan hanya kepada bawahan yang mengisi jabatan pemerintahan dan di bawah koordinasinya saja, tapi juga menjadi figur bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sangat disayangkan apabila figur publik  seperti Presiden Republik Indonesia dan anggota pemerintahan memberikan contoh yang tidak etis seperti melakukan kampanye yang berpihak pada salah satu calon pada Pilkada bagi kesehatan demokrasi Indonesia. Etika politik dalam hal ini merupakan etika bernegara tidak tertulis yang mengacu pada kepatuhan dan kepantasan Presiden. Apabila seorang Presiden mengatakan bahwa kebolehannya dia dalam mendukung pasangan tertentu akan membuat Kepala Negara menjadi partisan salah satu pasangan calon. Padahal kewajiban Presiden menjadi pengayom milik segenap rakyat, golongan, suku, dan bangsa. Dampak tersebut tidak hanya merusak demokrasi Indonesia dalam satu kali perhelatan pemilihan umum saja, tapi akan memberikan pengaruh yang berlanjut hingga perhelatan pemilihan umum selanjutnya. Misalnya, penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi opini publik, atau merendahkan prinsip-prinsip dari keadilan dalam pemilu yang dapat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi Indonesia.

Dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disampaikan bahwa keharusan adanya netralitas dalam pelaksanaan pemilu, bukan hanya oleh presiden tetapi juga oleh pejabat negara yang menduduki jabatan struktural dan jabatan fungsional. Merujuk pada Pasal 299 ayat 1 Undang-Undang Pemilu dimana disebutkan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye.” Namun, jika ditelaah sedikit lebih dalam, akan  muncul kesadaran bahwa pasal tersebut belum mampu menjelaskan dengan baik dan rinci terkait hak dalam pelaksanaan kampanye yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden. Apakah pelaksanaan kampanye yang dimaksud adalah untuk pemilihan periode selanjutnya (incumbent) atau kebolehan untuk melakukan kampanye calon presiden dan wakil presiden selain petahana? Sebab, apabila presiden dan wakil presiden yang menjabat melakukan kampanye akan memunculkan potensi terkait adanya kecurangan dalam pelaksanaan pemilu dan memicu adanya kompilasi hukum. Dalam Pasal 281 juga dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan kampanye harus dilakukan dalam masa cuti. Apakah masa cuti yang dimaksud ini adalah posisi sebagai Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan? 

Kasus keterlibatan presiden dalam pemilu ini pada akhirnya akan menimbulkan adanya permasalahan Permasalahan hukum. Dalam teorinya, Pasal 299 ayat (1), ,memiliki tujuan untuk melaksanakan adanya kesamaan dalam pelaksanaan partisipasi politik. Namun dalam pelaksanaannya, pasal tersebut menimbulkan berbagai macam multitafsir yang akan berdampak pada kelancaran dan keberhasilan dalam pelaksanaan pemilu. Berbagai macam celah akan terbuka lebar bagi orang-orang yang  memiliki kekuasaan yang mengerti terkait pasal karet tersebut  yang mengerti terkait pasal karet tersebut. Bagi orang yang kurang paham,, maka akan membenarkan membenarkan tindakan dari pemerintah tersebut. 

Undang-Undang No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 18 ayat (1) yang menegaskan bahwa Presiden atau pejabat pemerintahan tidak boleh menerbitkan putusan atau melakukan tindakan yang bertujuan bukan untuk kepentingan negara. Kedekatan Jokowi dengan salah satu pasangan calon yang  mana calon wakil presidennya merupakan anak kandung sendiri tentu akan menimbulkan banyak stigma negatif dari masyarakat. Sebagai contoh yang sesuai dengan etika berdemokrasi, sudah seharusnya Jokowi melakukan jarak dalam pelaksanaan kampanye kala itu. Hal tersebut tidak hanya berdampak pada pelanggaran terhadap regulasi, tetapi juga akan berdampak terhadap adanya ketidakpantasan dalam beretika politik. Selain itu, tindakan tersebut juga sangat memiliki aroma-aroma nepotisme yang melanggar Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme jelas melarang penyelenggara negara melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). 

Beberapa tindakan Presiden dan pejabat pemerintah yang lain tidak berhenti sampai di sana saja, Prabowo, sebagai Presiden selanjutnya yang baru dilantik pada bulan Oktober 2024 justru melanjutkan estafet keterlibatan dalam pelaksanaan kampanye di pemilihan umum. Tindakan kedua presiden tersebut tentu akan sangat berdampak pada integritas dari pelaksanaan pemilu. karena pada dasarnya pemilu bukan hanya sekedar kesempatan untuk memilih pemimpin, lebih dari itu pelaksanaan pemilu juga menjadi implementasi dari kualitas demokrasi suatu negara. Dalam pasal 22E ayat 1 UUD 1945 dijelaskan bahwa pelaksanaan Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Asas-asas tersebut yang seharusnya dapat menjiwai tiap pelaksanaan pemilihan umum yang dilaksanakan. 

Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara memiliki tanggung jawab dalam memastikan keberlangsungan pemilihan umum sesuai dengan asas-asas pemilu  sesuai dengan asas-asas pemilu Sehingga, sebagai presiden sangat penting untuk bisa menghormati prinsip-prinsip netralitas dan menjaga jarak dengan peserta Pemilu. Sikap keberpihakan presiden dalam kontestasi pemilu akan memiliki banyak sekali dampak buruk. Pertama akan menimbulkan kekecewaan publik yang akan berdampak pada menurunnya keterlibatan masyarakat dalam proses pemilu karena dalam persepsi mereka bahwa suara yang mereka keluarkan dalam bilik suara akan dimanipulasi atau dipermainkan begitu saja dan hal ini tentu akan mengikis fondasi demokrasi. 

Kedua,  akan munculnya efek domino terhadap ketidaknetralan pemerintah. Sebagai figur bagi pejabat pemerintahan yang lain sikap ketidaknetralan presiden akan menular kepada pejabat atau ASN yang lain. Hal ini tentu akan berdampak pada ketidak sehatan lingkungan pemerintah dimana pelaksanaan merrit system akan sangat sulit diterapkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh PJ Gubernur Sulawesi Selatan bahwa ASN boleh melakukan kampanye karena merupakan efek domino dari statement statement Jokowi atas kebolehannya melaksanakan kampanye. Hal ini kedepannya juga akan menimbulkan pelanggaran serupa yang akan lebih masif dan terstruktur.

Ketiga, adanya dorongan yang kuat untuk melaksanakan perubahan sistem pemilihan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai jawaban dari keresahan masyarakat atau beberapa pihak dalam pelaksanaan sistem demokrasi Indonesia. Hal ini pun, dapat menimbulkan masalah lebih lanjut dengan membuka celah untuk dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang berkepentingan untuk semakin mengurangi netralitas dan mempersempit praktik demokrasi di Indonesia. Pada masa awal terbentuknya negara pemilihan kepala daerah dengan sistem penunjukan diterapkan sebagai upaya untuk menghindari kondisi facum of power dan untuk memperteguh Indonesia sebagai sebuah negara dan supaya roda pemerintahan berjalan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Sejak tahun 2005, proses pemilihan di Indonesia dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan harapan pemimpin yang memimpin merupakan apa yang direpresentasikan oleh rakyat. Namun, setelah hampir dua dekade pelaksanaan pemilihan secara langsung dengan berbagai macam perkembangan budaya politik lokal yang memiliki gairah yang tinggi dan pemimpin-pemimpin yang memiliki berbagai macam kualitas, kapabilitas, dan integritasnya, muncul wacana kembalinya sistem pemilihan sistem kepala daerah dengan sistem pemilihan tidak langsung. Beberapa pertimbangan yang menjadi alasan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung adalah terkait terkurasnya anggaran yang akan digelontorkan begitu besar. Diluar daripada hal itu wacana pemilihan kepala daerah secara tidak langsung justru akan membuka kesempatan yang sangat luas bagi para oligarki untuk melanggengkan kekuasaannya.

Pemilihan Umum merupakan elemen mendasar dari demokrasi dimana dalam pelaksanaanya rakyat diberikan hak politik dan sosial bagi masing-masing individu. Konstitusi telah mengamanatkan demokrasi di Indonesia yang seharusnya mampu menjadi alat untuk pengambilan keputusan publik. Akan tetapi, pada praktiknya pelaksanaan demokrasi Indonesia belum bisa direalisasikan dengan baik. Pelaksanaan pemilihan umum yang dilaksanakan tahun justru menimbulkan pertanyaan besar mengenai kualitas demokrasi di Indonesia. Pemilu yang seharusnya menjadi pesta rakyat justru menjadi pesta pejabat. Presiden dan pejabat yang secara terang-terangan terlibat dalam permainan pemilu ini menimbulkan kesan negatif dan efek domino yang akan mengancam demokrasi Indonesia ke depan. Hal ini memperlihatkan adanya masalah dalam pelaksanaan asas-asas pemilu yang jujur dan adil sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 serta kesalahpahaman terhadap pasal Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu. Pada akhirnya, pemerintah kedepannya harus mampu menunjukkan komitmen terhadap netralitas dan transparansi bukanlah menjadi provokasi dalam runtuhnya sistem demokrasi. Demokrasi menjadi suatu hal yang sangat sulit dipertahankan apabila pemerintahnya tidak mampu menjadi teladan.

DAFTAR PUSTAKA 

Jurnal

Farkhani, Farkhani. “Pemilihan Kepala Daerah Secara Tidak Langsung Dalam Perspektif Pegiat Dan Pelaksana Pemilu.” YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum 5.2 (2019).

Fatiha, Alifia Silvi, and Wahyuningsih Santosa. “Pemilihan umum sebagai wujud pelaksanaan demokrasi di Indonesia.” Jurnal Pendidikan Dasar Dan Sosial Humaniora 1.3 (2022): 345-352.

Millah, Aimatul, and Narau Fatchur Krisna Auriga. “Etika Politik dan Netralitas Pemimpin Negara dalam Pesta Demokrasi Pemilihan Umum.” UNES Law Review 7.1 (2024): 327-335.

Nuna, Muten, and Roy Marthen Moonti. “Kebebasan Hak Sosial-Politik Dan Partisipasi Warga Negara Dalam Sistem Demokrasi Di Indonesia.” Jurnal Ius Constituendum 4.2 (2019): 110-127.

Khairazi, Fauzan. “Implementasi demokrasi dan hak asasi manusia di indonesia.” INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum 8.1 (2015).

Wardhani, Primandha Sukma Nur. “Partisipasi politik pemilih pemula dalam pemilihan umum.” Jupiis: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 10.1 (2018): 57-62.

Internet

Norbertus Arya, Hidayat Salam, and Mawar Kusuma. “Sinyal Jokowi Dukung Prabowo Kian Kasat Mata” Kompas.id, 7 Januari 2024. Tersedia pada https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/01/06/sinyal-jokowi-dukung-prabowo-kian-kuat. Diakses pada 23 Desember 2024.

Subarkah, Tri. “Efek Domino Pernyataan Jokowi Soal Presiden Boleh Kampanye Mulai Terlihat.” Media Indonesia, 27 Januari 2024. Tersedia pada https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/647002/efek-domino-pernyataan-jokowi-soal-presiden-boleh-kampanye-mulai-terlihat#google_vignette. Diakses pada 16 Desember 2024.

Thea, Ady. “Begini Ulasan Pakar Terkait Aturan Presiden Berkampanye-Berpihak” hukumonline.com, 26 Januari 2024. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/begini-ulasan-pakar-terkait-aturan-presiden-berkampanye-berpihak-lt65b2960477a8f/?page=all. Diakses pada 16 Desember 2024.