Oleh: M. Riza Arrafi
Staf Magang Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2023
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur teknologi informasi dan transaksi elektronik di Indonesia. Kehadiran UU ITE memberi warna baru pada kerangka hukum nasional. UU ITE mengatur aspek-aspek penting di bidang teknologi informasi serta transaksi elektronik yang belum pernah diatur sebelumnya secara spesifik, seperti definisi dari dokumen elektronik, transaksi elektronik, kedudukan hukum informasi elektronik, tanda tangan elektronik di bawah hukum Indonesia, serta hak dan kewajiban dalam setiap aktivitas transaksi elektronik .
Semangat awal pembentukan UU ITE adalah untuk merespon tingginya peningkatan aktivitas transaksi elektronik pada akhir 1990an hingga awal tahun 2000an. Terdapat dorongan di lingkup internasional untuk segera meregulasi aktivitas perdagangan elektronik. Salah satu bentuknya adalah dengan dikeluarkannya The United Nations Commission on International Trade Law (“UNCITRAL”) Model Law on Electronic Commerce oleh PBB pada tahun 1996. Di samping itu, seiring berkembangnya ekonomi digital di Indonesia, pemerintah merasa adanya urgensi untuk melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang mungkin dapat terjadi dari aktivitas perdagangan melalui internet. Menurut laporan dari The State of The Internet, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat cyber crime tertinggi. Maraknya carding dan internet crime, seperti penipuan dan pembajakan akses, menyebabkan buruknya reputasi Indonesia di kancah internasional, terutama mengenai kerangka hukum transaksi elektronik di Indonesia. Urgensi untuk menciptakan dasar hukum aktivitas transaksi elektronik inilah yang menjadi motif awal pembentukan UU ITE.
Di dalam perjalanannya, timbul urgensi baru dalam perancangan UU ITE di samping motif ekonomi untuk mengatur transaksi elektronik secara spesifik yang menjadi landasan pembentukan UU ITE sedari awal. Perkembangan pengaruh media sosial dalam kehidupan masyarakat memberi dorongan untuk mencantumkan pasal-pasal yang mengatur relasi sosial antar warga di dunia maya ke dalam UU ITE. Pihak DPR melihat urgensi ini sebagai motif lain dalam pembentukan UU ITE. Akibatnya, motif sosial menjadi tidak kalah penting dari motif ekonomi yang menjadi gagasan awal dalam pembentukan peraturan ini oleh pemerintah. UU ITE yang awalnya dimaksudkan untuk secara spesifik mengatur tentang transaksi elektronik beralih mengatur cyberspace secara luas, terutama dari aspek sosialnya. Salah satu bentuk manifestasi dari motif sosial yang diintensikan oleh DPR tertuang dalam pasal 27 ayat (1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) yang mengatur cara masyarakat berinteraksi di platform online.
Selain itu, terdapat indikasi bahwa ada pengaruh politik yang kuat di balik motif sosial yang bahkan mendominasi motif ekonomi yang merupakan urgensi awal pembentukan UU ITE dalam pengesahan UU ITE. Pasal-pasal yang ditujukan untuk meregulasi interaksi masyarakat di internet, justru kerap disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi masyarakat sipil. Laporan polisi terkait pencemaran nama baik pun kian meningkat dari tahun ke tahun. Sejak berkembangnya internet di Indonesia pada akhir 1990an hingga awal 2000an, UU ITE baru disahkan pada tahun 2008. Perumusan yang terlambat ini mengindikasikan adanya dorongan politik yang kuat untuk mengontrol perilaku masyarakat yang mendorong pengesahan UU ITE alih-alih urgensi untuk mengatur aktivitas ekonomi digital. Banyaknya kasus di mana pencemaran nama baik terhadap pejabat pemerintah dapat menjadi indikasi potensi penyalahgunaan UU ITE menjadi alat politik untuk membungkam kritik. Data yang ada menunjukkan tingkat penghukuman terhadap dakwaan tindak pidana UU ITE pun cukup tinggi. Jumlah terdakwa yang dinyatakan bersalah mencapai 96,8% (744 perkara). Ini menandakan mudahnya pembuktian unsur-unsur pidana dan mudahnya menyatakan seseorang bersalah.
Selain masyarakat sipil, pers juga kerap menjadi sasaran penyalahgunaan UU ITE. Pihak-pihak dengan status sosial, politik, dan/atau ekonomi tinggi dapat menggunakan pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE untuk memidanakan sejumlah jurnalis yang menyampaikan fakta yang dapat merusak reputasi pihak-pihak tersebut. Berdasarkan data dari Asosiasi Jurnalis Independen (“AJI”), sejak disahkannya UU ITE pada 2008, terdapat setidaknya 38 jurnalis yang telah dilaporkan dengan pasal-pasal bermasalah di UU ITE, empat di antaranya dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dipenjara.
Dari keseluruhan pasal-pasal yang terkandung di dalam UU ITE, terdapat 3 pasal bermasalah dengan jumlah perkara terbanyak, yaitu pasal 27 ayat (1), 27 ayat (3) dan 28 ayat (2). Pasal-pasal tersebut mengatur tentang penyebaran konten elektronik yang justru membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pasal 27 ayat (3) tentang tindak pidana pencemaran nama baik memiliki persentase jumlah perkara tertinggi dibandingkan pasal-pasal lain di UU ITE, sebesar 37,2 %. Kemudian, diikuti dengan pasal 27 ayat (1) tentang kesusilaan dengan persentase 31,5%. Lalu, dilanjutkan dengan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian dengan persentase 28,2%.
Pasal 27 ayat 3 memiliki tingkat pelaporan tertinggi dibandingkan dengan pasal pasal lain di UU ITE. Dalam ketentuannya menyatakan “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Isi ketentuan tersebut mengandung diksi yang multitafsir sehingga tidak memberi kepastian hukum. Penggunaan frasa “penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” memiliki cakupan yang sangat luas dan tidak spesifik.
Dalam revisi UU ITE yang dilakukan pada 2016, dalam bagian penjelasan, dinyatakan bahwa ketentuan pada pasal 27 ayat (3) UU ITE ini mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Di dalam KUHP, penghinaan dibahas di bab tersendiri, yaitu bab 17. Dalam bab ini, penghinaan diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk, seperti fitnah, penghinaan ringan, dsb. Namun, di dalam UU ITE sendiri tidak terdapat klasifikasi tersebut sehingga pasal ini dapat menjerat spektrum berekspresi dan berpendapat yang begitu luas. Ketentuan pasal tersebut sangat timpang dengan pasal 310 sampai pasal 321 KUHP yang mengatur tentang penghinaan secara lebih spesifik sehingga tidak menimbulkan potensi multitafsir maupun penyalahgunaan.
Sebagaimana tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus didasarkan pada ketentuan Pasal 310 dan 311 KUHP. Namun, substansi dari pasal 310 dan 311 KUHP tidak terkandung secara menyeluruh di dalam formulasi pasal 27 ayat (3) UU ITE yang telah direvisi yang mana berdampak pada tidak adanya kepastian hukum dalam implementasinya. Dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP dijelaskan bahwa tidak termasuk pencemaran apabila bertujuan untuk kepentingan umum atau membela diri. Dalam penerapannya sering kali terjadi kasus-kasus dimana suatu kritik yang terkesan keras dan kasar yang diutarakan demi kepentingan umum, tetapi tetap dianggap sebagai suatu pencemaran nama baik. Misalnya, kasus yang menimpa aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang menyuarakan kepentingan umum akan dugaan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dari salah satu menteri, akan tetapi mereka justru dijerat dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik. Revisi lainnya yang berupa pengurangan ancaman pidana dari maksimal 6 tahun penjara menjadi maksimal 4 tahun penjara sehingga tidak bisa dilakukan penahanan pun tidak menyelesaikan masalah yang sesungguhnya dari pasal ini.
Pasal bermasalah yang berikutnya adalah pasal 27 ayat (1) UU ITE. Pasal ini bertujuan untuk mengatur peredaran konten yang melanggar kesusilaan di internet. Namun, lagi-lagi UU ITE tidak memberi definisi yang jelas dan rinci terkait apa itu “melanggar kesusilaan.” Tidak terdapat penjelasan apapun mengenai definisi dari “melanggar kesusilaan” baik di aturan umum maupun di bagian penjelasan. Penjelasan pasal 27 ayat (1) UU ITE hanya menyatakan “cukup jelas”, padahal frasa “melanggar kesusilaan” di sini sangat mungkin disalahtafsirkan dan sangatlah tidak jelas. Jika melihat pasal 27 ayat (3) UU ITE, pasal tersebut diberikan rujukan, yaitu KUHP bab XVI dalam mendefinisikan “penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Namun, hal serupa tidak dapat ditemukan pada pasal 27 ayat (1) UU ITE sehingga tidak ada pedoman yang jelas untuk memaknai definisi dari melanggar kesusilaan pada pasal ini. Ketidakjelasan definisi mengenai “melanggar kesusilaan” ini dapat berakibat fatal terhadap korban kekerasan seksual. Pada tahun 2018, seorang perempuan bernama Baiq Nuril dilaporkan ke polisi atas dasar pasal 27 ayat (1) UU ITE karena telah menyebarkan rekaman percakapan telepon yang bernada pelecehan seksual yang dilontarkan oleh kepala sekolah tempat ia bekerja. Baiq dinyatakan bersalah dan dihukum penjara 6 bulan dan denda sebesar Rp500 juta. Hukum yang seharusnya menegakkan keadilan bagi korban, justru makin memperparah keadaan korban akibat aturan hukum yang multitafsir.
Pasal 28 ayat (2) yang mengatur tentang tindak pidana ujaran kebencian juga tidak kalah problematik ketimbang pasal-pasal sebelumnya. Ketentuan tentang tindak pidana ujaran kebencian sebenarnya juga sudah diatur dalam pasal 156, 156a, dan 157 KUHP. Namun, pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak mengandung satu unsur penting yang terkandung dalam ketentuan tindak pidana ujaran kebencian di KUHP, yaitu unsur “di muka umum.” Pasal 156, 156a, dan 157 KUHP secara spesifik menekankan perlunya unsur “di muka umum” apabila suatu perbuatan dikategorikan sebagai suatu tindak pidana ujaran kebencian. Implikasi dari tidak adanya unsur ini adalah perbuatan yang terjadi di ruang privat juga dapat dipidana melalui ketentuan yang terkandung di dalam pasal ini, yang demikian tidak sesuai dengan tujuan perumusan aturan tentang tindak pidana penyebaran kebencian, yaitu menjaga ketertiban umum.
Pembatasan kebebasan berpendapat dalam rangka pencegahan ujaran kebencian adalah suatu pembatasan yang sangat sulit untuk diimplementasikan karena apabila tidak dilakukan dengan hati-hati dapat melanggar hak atas kebebasan berpendapat. Untuk mencegah terjadinya ujaran kebencian, sebagaimana diperintahkan oleh pasal 20 International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”), dengan tetap memperhatikan hak atas kebebasan berpendapat, sebagaimana dijunjung tinggi oleh pasal 19 ICCPR, maka Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (“OHCHR”) mengadakan serangkaian workshop dengan para pakar terkait dari berbagai negara tentang larangan hasutan kebencian terhadap kebangsaan, ras, atau agama yang menghasilkan Rabat Plan of Action. Berdasarkan Rabat Plan of Action, indikator utama dalam mengklasifikasikan suatu pendapat sebagai ujaran kebencian adalah incitement atau hasutan. Suatu pendapat dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian apabila terdapat unsur hasutan di dalamnya. Dalam suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ujaran kebencian, hasutan harus dicantumkan sebagai unsur ujaran kebencian dan dijelaskan sespesifik dan sesempit mungkin agar tidak ada ruang yang dapat menciptakan misinterpretasi dan kesewenang-wenangan dalam mengimplementasikan peraturan tersebut.
Alih-alih berfokus pada kesengajaan untuk melakukan incitement atau hasutan, pasal 28 ayat (2) UU ITE justru menekankan pada kesengajaan dalam mendistribusikan informasi dalam mengklasifikasikan suatu tindak pidana ujaran kebencian. Ironisnya, pasal 28 ayat (2) UU ITE justru membuka dan menciptakan peluang misinterpretasi dan penyalahgunaan ujaran kebencian dengan penggunaan frasa “menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan” yang memiliki arti yang sangat luas dimana seharusnya ketentuan ujaran kebencian harus didefinisikan sesempit mungkin. Timbulnya rasa kebencian bisa dinilai dengan perspektif yang sangat subjektif karena itu seharusnya penekanan dari pasal ini dialihkan pada hasutan kebencian yang lebih menitikberatkan pada niat dari subyek hukum. Selain itu, ketentuan mengenai sanksi dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE, yaitu maksimal 6 tahun penjara, juga sangatlah tinggi jika dibandingkan dengan pasal 156, 156a dan 157 KUHP, yaitu maksimal 4 tahun penjara. Pemberlakuan sanksi pidana seharusnya diminimalisasi dalam menghadapi kasus ujaran kebencian karena berpotensi membatasi hak atas kebebasan berpendapat yang pada akhirnya dapat berujung pada penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam pendapat-pendapat di ruang publik.
Hak atas kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia yang juga dijunjung tinggi di tingkat internasional. Pasal 19 ICCPR menjamin hak tiap individu untuk beropini dan berekspresi. Dalam membuat peraturan hukum yang berkaitan dengan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik, penerapan sanksi berupa pembatasan kebebasan berpendapat harus dijadikan pengecualian atau opsi terakhir dan harus dilakukan sehati-hati mungkin. Pembatasan kebebasan berpendapat harus mempertimbangkan 3 prinsip, yaitu legalitas, proporsionalitas, dan keperluan. Artinya pembatasan tersebut harus diatur oleh hukum, diartikan secara sempit untuk mengakomodasi kepentingan yang tepat, dan benar-benar diperlukan untuk melindungi kepentingan demokrasi.
Ketiga pasal UU ITE yang telah disebutkan di atas tidak memenuhi prinsip proporsionalitas dalam menerapkan pembatasan kebebasan berpendapat. Pasal-pasal tersebut memberlakukan pembatasan yang sangat luas sehingga pendapat yang berpotensi untuk dibungkam menjadi terlalu banyak. Jika pembatasan kebebasan pendapat terlalu ketat dan berujung pada minimnya ruang diskusi publik, maka iklim demokrasi yang sehat tidak akan tercipta. Pasal-pasal tersebut juga memberikan sanksi pidana yang terlalu berat sehingga manfaat yang didapat tidak proporsional dengan kerugian yang ditimbulkan. Apabila kita melihat negara-negara dengan skor indeks demokrasi tinggi, sanksi pidana pada aturan-aturan yang berpotensi membatasi kebebasan berpendapat sangatlah minim. Misalnya, dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana tentang pencemaran nama baik dan penghinaan di Belanda, tidak terdapat pasal yang memberi sanksi pemenjaraan di atas 2 tahun. Bahkan, Norwegia, negara dengan skor indeks demokrasi tertinggi tahun 2022, tidak mengatur pencemaran nama baik dalam ketentuan hukum pidana negaranya, kecuali pencemaran nama baik pada representasi negara asing.
Keberadaan pasal-pasal karet dengan sanksi pidana yang tinggi menjadi momok tersendiri bagi masyarakat yang ingin mengutarakan pendapatnya di ruang publik. Hal ini dapat berdampak pada minimnya partisipasi masyarakat dalam demokrasi yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas demokrasi di Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi dengan prinsip bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Maka dari itu, segala bentuk kekuasaan harus bisa dipertanggungjawabkan kepada pemegang kedaulatan tertinggi, yaitu rakyat.
Agar sebuah negara dapat menjalankan demokrasi dengan baik, dibutuhkan adanya checks and balances antar pihak yang menjalankan tugas kenegaraannya masing-masing. Rakyat, dalam hal ini, memegang peran penting dalam mengawasi dan mengevaluasi kinerja pemerintah supaya kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah dapat sejalan dengan kepentingan rakyat alih-alih kepentingan pihak-pihak tertentu saja. Lahirnya pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (“UUD 1945”) merupakan hasil jerih payah Mohammad Hatta untuk membatasi kekuasaan pemerintah melalui kebebasan berpendapat bagi tiap-tiap warga negara Indonesia. Dalam persidangan BPUPKI pada tanggal 15 Juli 1945, Hatta menyampaikan bahwa kebebasan berpendapat bagi warga negara harus dijamin karena dengan adanya pendapat dari warga negara, maka kekuasaan negara akan terbatasi dan tidak diselewengkan. Pendapat Hatta ini selaras dengan konsep checks and balances.
Menurut Jimly Asshidiqie, kontrol publik dalam mekanisme checks and balances dapat dilaksanakan melalui unjuk rasa dan kontrol media massa. Unjuk rasa dalam hal ini dapat berupa penyampaian kritik baik di dunia nyata maupun dunia maya sedangkan media massa berperan penting dalam distribusi informasi di masyarakat yang dapat menimbulkan kesepahaman antar warga terkait isu yang diperjuangkan bersama. Keberadaan pasal-pasal UU ITE yang membatasi pers dan kebebasan berpendapat di ruang umum dapat merusak dinamika checks and balances serta kontrol publik terhadap kinerja pemerintah. Pasal-pasal tersebut menimbulkan fenomena self-censorship di mana warga dengan sendirinya membungkam pendapatnya dengan alasan takut terhadap peraturan yang berlaku.
Permasalahan terkait UU ITE tidak berhenti di aspek internal pasal-pasalnya, tetapi berlanjut hingga implementasi pasal-pasal tersebut di masyarakat. Pemerintah telah menerbitkan surat keputusan bersama UU ITE (“SKB UU ITE”) sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam mengimplementasikan UU ITE. Namun, banyak pihak menilai bahwa kehadiran SKB UU ITE ini tidak menyelesaikan akar masalah dan justru dapat memperkeruh keadaan. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Erasmus Napitupulu mengatakan bahwa tidak seharusnya peraturan perundang-undangan hukum pidana memuat tafsir lain selain yang tercantum di aturan tersebut sedangkan SKB UU ITE memuat tafsir lain mengenai pasal-pasal di UU ITE. Selain itu, proses perumusan SKB ini juga dinilai tidak transparan dan minim partisipasi publik. Koalisi Serius Revisi UU ITE mengeluarkan rilis yang berisikan kekecewaannya terhadap SKB UU ITE. Mereka menilai keterlibatan publik merupakan bagian yang sangat penting dalam penyusunan SKB ini. Apabila SKB UU ITE ingin bekerja secara efektif dan inklusif, maka isi dari SKB UU ITE tidak boleh hanya bersifat formal, tetapi juga harus memuat keresahan-keresahan masyarakat.
Terlepas dari fakta bahwa SKB UU ITE diterbitkan sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum, realitanya, masih banyak aparat penegak hukum yang tidak paham dan/atau tidak menggunakan SKB ini sebagai dasar pertimbangan saat menghadapi kasus-kasus yang berkaitan dengan UU ITE. Contohnya pada Putusan Pengadilan Negeri Airmadidi Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2022/PN Arm dan Putusan Pengadilan Negeri Watampone Nomor 152/Pid.Sus/2022/PN Wtp. Kedua putusan tersebut belum memasukkan SKB UU ITE sebagai dasar pertimbangan hukumnya terlepas dari kesesuaiin putusan-putusan tersebut dengan SKB UU ITE. Aparat hukum masih asing terhadap pedoman yang diciptakan oleh pemerintah. Artinya tujuan pedoman tersebut sejatinya tidak tercapai.
15 tahun sudah berlalu sejak UU ITE disahkan. Cepatnya perkembangan dunia digital menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan aturan-aturan untuk menjaga ketertiban di dunia baru ini. Namun, UU ITE yang seharusnya bertujuan untuk menjaga keajegan dan kestabilan aktivitas-aktivitas elektronik yang dilakukan masyarakat, justru merampas kebebasan berpendapat yang mereka miliki. Pasal-pasal yang multitafsir, ambigu, dan rawan akan penyalahgunaan telah memakan korban dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat sipil, aktivis hingga pers. Eksistensi pasal-pasal tersebut telah menimbulkan ketakutan di masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya di ruang publik. Perubahan akan pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE sangat diperlukan segera supaya tidak menimbulkan kerusakan lebih jauh terhadap kehidupan negara dan masyarakat akibat terbatasinya hak kebebasan berpendapat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Budiman, Adhigama A.. Et al. Mengatur Ulang Kebijakan Tindak Pidana di Ruang Siber Studi Tentang Penerapan UU ITE di Indonesia. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), 2021.
Griffen, Scott dan Barbara Trionfi. Defamation and Insult Laws in the OSCE Region: A Comparative Study. Vienna: Organization for Security and Co-operation in Europe, 2017.
.
Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Checks And Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Repubik Indonesia, 2017.
Jurnal
Basuki, Tobias. Et al. “Unintended Consequences: Dampak Sosial dan Politik UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) 2008.” Centre for Strategic and International Studies. (2018). Hlm. 1-46.
Rahmazani. “PROBLEMATIKA HUKUM PENERAPAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE) DI INDONESIA.” Mimbar Hukum Universitas Gajah Mada. Vol. 34. No. 1 (2022). Hlm. 161-185.
Muldani, Trisno. “Implikasi Awal Penerbitan SKB UU ITE Pasal 27 Ayat (3).” MUKASI: Jurnal Ilmu Komunikasi. Vol. 1. No.2 (2022). Hlm. 148-163.
Tesis
Ratnayutika, Ni Putu. “Prinsip Kepastian Hukum Penerapan Surat Keputusan Bersama Dalam Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik.” Tesis Magister Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember, 2023.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008. UU Nomor 19 Tahun 2016. LN Tahun 2016 No. 251, TLN No. 5952.
United Nations, Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights. “Annual report of the United Nations High Commissioner for Human Rights.” Geneva, 2013.
Putusan Pengadilan
Mahkamah Konstitusi. Putusan No. 50/PUU-VI/2008. Narliswandi Piliang (Pemohon) (2008).
Internet
Syafina, Dea Chadiza. “Indonesia Urutan Kedua Terbesar Negara Asal “Cyber Crime” di Dunia,” Kompas.com, 12 Mei 2015. Tersedia pada https://nasional.kompas.com/read/2015/05/12/06551741/Indonesia.Urutan.Kedua.Terbesar.Negara.Asal.Cyber.Crime.di.Dunia#google_vignette , diakses pada tanggal 26 November 2023.
Friastuti, Rini. “Polri: Kasus UU ITE Terbanyak Terkait Pencemaran Nama Baik, Ada 1.794 Laporan,” KumparanNEWS, 10 Maret 2021. Tersedia pada https://kumparan.com/kumparannews/polri-kasus-uu-ite-terbanyak-terkait-pencemaran-nama-baik-ada-1-794-laporan-1vKQXFs6cNx/full , diakses pada tanggal 26 November 2023.
Aliansi Jurnalis Independen. “SERANGAN TERHADAP KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN KEBEBASAN PERS BERBAHAYA BAGI SEMUA HAK ASASI MANUSIA LAINNYA,” AJI, 3 Mei 2023. Tersedia pada https://aji.or.id/read/press-release/1563/serangan-terhadap-kebebasan-berekspresi-dan-kebebasan-pers-berbahaya-bagi-semua-hak-asasi-manusia-lainnya.html# , diakses pada tanggal 27 November 2023
Saubani, Andri dan Ali Mansur. “Didakwa Cemarkan Nama Baik Luhut, Haris Azhar Dijerat UU ITE,” Republika, 3 April 2023. Tersedia pada https://news.republika.co.id/berita/rsj9gp409/didakwa-cemarkan-nama-baik-luhut-haris-azhar-dijerat-uu-ite , diakses pada tanggal 28 November 2023.
Ristianto, Christoforus dan Diamanty Meiliana. “7 Tahun Baiq Nuril, Berawal dari Pelecehan, Tersangka UU ITE, hingga Terima Amnesti,” Kompas.com, 30 Juli 2019. Tersedia pada https://nasional.kompas.com/read/2019/07/30/09564421/7-tahun-baiq-nuril-berawal-dari-pelecehan-tersangka-uu-ite-hingga-terima?page=all , diakses pada tanggal 28 November 2023.
Dewi, Santi. “ICJR: SKB 3 Pejabat Tidak Pas Dijadikan Panduan untuk Pahami UU ITE,” IDNTimes, 8 Juni 2021. Tersedia pada https://www.idntimes.com/news/indonesia/santi-dewi/icjr-skb-3-pejabat-tidak-pas-dijadikan-panduan-untuk-pahami-uu-ite , diakses pada tanggal 29 November 2023.
Koalisi Serius Revisi UU ITE. “Koalisi Serius Mendesak Penundaan Pengesahan Revisi Kedua UU ITE,” KontraS, 22 November 2023. Tersedia pada https://kontras.org/2023/11/22/koalisi-serius-mendesak-penundaan-pengesahan-revisi-kedua-uu-ite , diakses pada tanggal 29 November 2023.
Safenet Voice. “[Rilis Pers] PAKU ITE Serukan Hapus Seluruh Pasal Karet UU ITE,” SAFEnet, 4 November 2018. Tersedia pada https://kontras.org/2023/11/22/koalisi-serius-mendesak-penundaan-pengesahan-revisi-kedua-uu-ite , diakses pada tanggal 27 November 2023.
Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts. Separated they live in Bookmarksgrove right at the coast of the Semantics, a large language ocean. A small river named Duden flows by their place and supplies it with the necessary regelialia. It is a paradisematic country, in which roasted parts of sentences fly into your mouth.