MEMBEDAH PUTUSAN MK TERKAIT PEMBOLEHAN KEGIATAN KAMPANYE DI LEMBAGA PENDIDIKAN: STUDI PERBANDINGAN ANTARA KAMPANYE DI PENDIDIKAN MENENGAH DAN DI PENDIDIKAN TINGGI

Oleh: Sandi Aditya Kesuma
Staf Magang Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2023

Pada hari Selasa, 15 Agustus 2023 yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian dengan memperbolehkan kegiatan kampanye di lembaga pendidikan dan fasilitas pemerintah. Munculnya putusan ini dilatarbelakangi oleh materi norma pada Pasal 280 ayat 1 huruf (h) Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang dianggap bertolak belakang (contradiction in terminis) dengan bagian penjelasannya. Dalam materi norma, Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu telah secara tegas menyatakan bahwa setiap pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan lembaga pendidikan untuk kampanye tanpa syarat dan tanpa pengecualian. Namun, pada bagian penjelasannya, Pasal 280 ayat 1 huruf (h) Undang-Undang No. 7 tahun 2017 UU Pemilu ini justru memberikan ruang agar dapat menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan lembaga pendidikan untuk kepentingan kampanye walaupun dengan syarat tertentu. 

Menanggapi adanya ketidakpastian hukum tersebut, MK kemudian segera melakukan uji materiil (judicial review) terhadap ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu. Hasilnya, MK pada akhirnya memperbolehkan kegiatan kampanye di lembaga pendidikan dan fasilitas pemerintah dengan syarat harus mendapat izin dari penanggung jawab pihak yang bersangkutan terlebih dahulu dan peserta pemilu tidak boleh membawa atribut-atribut pemilunya. Munculnya putusan ini juga turut menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat khususnya yang berkaitan dengan amar putusan yang memperbolehkan kampanye di lembaga pendidikan. Bagaimana tidak? Merujuk data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), 56% dari total keseluruhan pemilih pada pemilu 2024 nanti adalah generasi muda. Artinya dengan besarnya jumlah pemilih muda tersebut, suara generasi muda pasti akan diperebutkan pada pemilu 2024 nanti dan salah satu cara untuk memperoleh perhatian dari generasi muda adalah dengan berkampanye secara langsung di lembaga pendidikan. Korelasi antara besarnya pemilih muda pada pemilu 2024 nanti disertai adanya akses peserta pemilu untuk berkampanye di lembaga pendidikan inilah yang kemudian menjadikan putusan MK ini sebagai polemik yang sedang intens diperdebatkan dalam masyarakat. Banyak pihak yang merasa setuju akan adanya putusan ini, namun banyak pula pihak yang merasa kurang setuju dengan adanya putusan MK ini.

Misalnya, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merespon putusan MK secara terang-terang dengan mengkritik bahwa putusan MK ini buruk dan berbahaya karena berpotensi mengubah sekolah menjadi “ajang kampanye” yang menargetkan pemilih muda yang notabenenya masih lugu dan belum mengerti banyak mengenai politik dan pemerintahan. Kekhawatiran FSGI ini tidak boleh dipandang sebelah mata pasalnya kemungkinan terjadinya konflik kepentingan tersebut bisa saja dapat terjadi. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pengawasan dan/atau sistem pengawasan yang mumpuni oleh KPU maupun Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang dapat memastikan bahwa tenaga pengajar harus netral dalam ajang pemilu dan tidak terlibat dalam kegiatan kampanye dan ditakutkan adanya proses pengajaran yang terselubung pada institusi sekolah. Karenanya, pendapat FSGI dalam hal ini harus menjadi acuan dan patokan terhadap tenaga pendidik, khususnya guru dan dosen bahwa meskipun telah dibukanya kesempatan untuk melakukan kampanye di dalam institusi pendidikan, namun hal tersebut tetap tidak boleh disalahgunakan untuk turut serta melakukan kampanye di “tempat-tempat gelap.” Sejalan dengan pendapat FSGI, kritik juga diberikan oleh Ubaid Matraji selaku Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia yang berpendapat bahwa putusan MK ini dapat berdampak buruk bagi dunia pendidikan. Beliau menyatakan bahwa akan ada kemungkinan bahwa sekolah hanya akan mengundang satu peserta pemilu atau satu partai politik saja sehingga rawan terjadi konflik kepentingan (conflict of interest) di dalamnya. 

Bertolak belakang dengan kedua pendapat tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD mendukung adanya putusan MK ini karena kampanye di lembaga pendidikan dapat dijadikan sebagai edukasi politik yang objektif dan akademis bagi kalangan pelajar. Beliau menambahkan bahwa kampanye memang sudah seharusnya dilakukan di ruang publik dimana salah satunya adalah lembaga pendidikan bagi sekolah maupun perguruan tinggi. Satu pendapat dengan Menkopolhukam, Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba), Edi Setiadi berpendapat bahwa tidak ada salahnya kampanye di lingkungan kampus asalkan harus ada petunjuk teknis (juknis) yang jelas. Juknis tersebut dapat berupa batasan-batasan terhadap lembaga pendidikan seperti apa yang dimaksud, prosedur spesifik mengenai kampanye, izin atau tembusannya harus kepada siapa saja, metode kampanye apa yang sekiranya sesuai dengan lembaga pendidikan, apa saja atribut kampanye yang boleh digunakan, hingga batasan terhadap waktu penyelenggaraan kampanye di lembaga pendidikan agar tidak bertabrakan dengan waktu pembelajaran. 

Sebagaimana telah disebutkan di atas, putusan MK yang memperbolehkan kampanye di lembaga pendidikan masih menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Di satu sisi masyarakat menganggap bahwa putusan MK ini bisa dijadikan sebagai landasan ajang edukasi politik bagi anak muda. Namun, disisi lain masyarakat juga menyebut bahwa putusan MK ini rawan menimbulkan konflik kepentingan di antara tenaga pendidik, seperti misalnya kepala daerah pertahanan yang dapat mengerahkan kepala dinasnya untuk masuk ke sekolah-sekolah ataupun pejabat-pejabat yang merangkap jabatan sebagai pemilik kampus baik negeri maupun swasta. Oleh sebab itulah, pada penulisan esai kritis kali ini, penulis bertujuan untuk memberikan suatu pencerahan atas pro dan kontra yang terjadi dalam masyarakat dengan menganalisis apakah putusan MK yang memperbolehkan kampanye di lembaga pendidikan ini sudah tepat atau justru malah menjadi “boomerang” tersendiri bagi lembaga pendidikan. Selain itu, pada esai kritis kali juga akan dibahas mengenai kemungkinan “ternodainya kesucian lembaga pendidikan” akibat adanya putusan MK ini. 

Sebelum menganalisis lebih dalam mengenai dampak putusan MK terhadap lembaga pendidikan, terdapat kejanggalan yang penulis temukan dalam kandungan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu yang telah direvisi oleh MK. Dalam amar putusannya MK tidak menegaskan secara lebih lanjut mengenai lembaga pendidikan apa yang dimaksud disini, apakah lembaga pendidikan menengah atau lembaga pendidikan tinggi. Multitafsir pada ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu inilah yang kemudian membuat penulis dalam esai kritis kali ini mencoba untuk membedah dampak putusan MK terhadap lembaga pendidikan dari dua sisi, yaitu dari sisi lembaga pendidikan menengah yaitu dalam hal ini SMA, SMK, ataupun lembaga pendidikan setingkatnya dan dari sisi lembaga pendidikan tinggi yaitu dalam hal ini universitas, politeknik, ataupun lembaga setingkatnya. 

Apabila ditinjau dari pelaksanaannya di lingkungan kampus, penulis berpendapat bahwa setidaknya terdapat 4 alasan yang membuat penulis yakin mengapa kampanye perlu diadakan di kampus. Pertama, tidak semua mahasiswa yang ada di Indonesia merupakan mahasiswa rumpun sosial humaniora (soshum) yang bidang kajiannya erat dengan isu-isu sosial-politik yang ada di Indonesia. Namun, terdapat juga mahasiswa-mahasiswa rumpun sains dan teknologi (saintek) yang dinilai kurang mendapatkan isu-isu sosial-politik di Indonesia. Seperti yang diungkapkan Alfaruqy dkk dalam penelitiannya, terdapat perbedaan tingkat keterlibatan politik antara mahasiswa rumpun saintek dengan mahasiswa rumpun soshum. Mahasiswa saintek disinyalir kurang mendapat paparan informasi terkait isu sosial-politik dibandingkan mahasiswa soshum. Oleh sebab itu, diharapkan dengan adanya kampanye di lingkungan kampus ini dapat menjadi pemantik khususnya bagi para mahasiswa saintek tersebut untuk dapat lebih mengenal calon-calon yang akan mereka pilih pada 2024 nanti. 

Kedua, mendorong terselenggaranya pemilu yang adil dan bebas dari intervensi dari pihak manapun. Dengan pelaksanaan kampanye di lingkungan kampus, mahasiswa dapat bertanya atau bahkan mengkritisi program kerja, gagasan, visi-misi, hingga citra diri lain yang ingin ditampilkan oleh para peserta pemilu secara langsung. Dampak positifnya bagi mahasiswa dalam hal ini adalah walaupun mereka dikategorikan sebagai pemilih pemula namun dengan adanya sesi tanya jawab ini dapat memberikan pencerahan atau gambaran terkait model kepemimpinan para peserta pemilu ketika menjabat nantinya. Sehingga pada saat waktu pencoblosan tiba, mahasiswa tidak akan lagi bingung dalam menentukan peserta pemilu mana yang harus mereka coblos. Hal ini dirasa perlu karena pada dasarnya dalam mencoblos peserta pemilu, kita harus berlandaskan atas asas adil dan bebas sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).

Ketiga, meningkatkan partisipasi politik di antara generasi muda. Sudah sepantasnya bahwa apabila generasi muda sebagai penerus bangsa kedepannya harus memiliki kesadaran akan berpolitik. Namun kenyataanya, pada masa kini masih banyak generasi muda yang bersifat apatis terhadap perkembangan politik di negeri ini. Hal itu disinyalir disebabkan karena adanya anggapan dalam generasi muda yang memandang politik sebagai suatu jalan yang kotor dan identik dengan kekuasaan. Oleh karena itu, dengan diselenggarakannya kampanye ini diharapkan dapat dijadikan sebagai ajang edukasi politik untuk merubah persepsi generasi muda bahwa politik itu bukan hanya sekedar mengenai kekuasaan tetapi politik itu adalah amanat untuk menjalankan tanggung jawab yang besar dalam kehidupan negara dan bermasyarakat. Selain itu, ajang kampanye ini juga dapat digunakan sebagai ajang pencarian kebenaran oleh mahasiswa atas berita-berita yang selama ini hadir dan mereka baca dalam laman media sosial. Sebab, penting untuk disadari oleh generasi muda bahwa tidak semua berita-berita mengenai isu-isu politik tersebut adalah benar, terdapat beberapa berita hoaks yang ditujukan untuk menjatuhkan pamor pesaing politiknya. Dengan terciptanya generasi muda yang tidak mudah termakan akan isu-isu hoaks maka kemudian hal ini akan turut berimplikasi pada terciptanya generasi-generasi muda yang “melek” akan kondisi politik bangsa ini sehingga perpecahan-perpecahan yang mungkin timbul akibat adanya polarisasi politik dapat diminimalisir.

Keempat, mengakomodir hak kebebasan berpendapat dan berkumpul bagi generasi muda. Sebagaimana telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Tentunya setiap orang yang dimaksud disini adalah setiap warga negara Indonesia, tidak terkecuali generasi mudanya. Namun sayangnya, pengimplementasian pasal tersebut terhadap generasi muda dinilai masih belum maksimal. Hak generasi muda untuk turut menyuarakan pendapatnya dalam politik sering dianggap sebelah mata. Hal ini disebabkan karena dalam kancah perpolitikan, generasi muda sering diidentikan sebagai pemilih pemula yang dianggap masih labil, gegabah, haus akan perubahan, hingga mudah “disetir” oleh elite penguasa untuk kepentingan politik pribadinya. Oleh karenanya, dengan adanya kampanye ini diharapkan mampu digunakan oleh para mahasiswa sebagai ajang pembuktian untuk setidaknya mematahkan adanya stigma tersebut. Melalui kematangan bertindak, kemampuan berpikir kritis, lingkungan pertemanan, organisasi, hingga fasilitas kampus yang memadai. Mahasiswa dinilai mampu atau bahkan dapat lebih vokal dalam menyuarakan suaranya mengenai siapa peserta pemilu yang menurut mereka benar-benar layak serta mampu untuk mengamanatkan kehendak dari rakyat sehingga proses demokrasi dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya.

Sementara apabila meninjau pelaksanaan kampanye di lingkungan sekolah. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti perbedaan tenaga pendidik, perbedaan pola pikir, hingga perbedaan fasilitas serta sumber daya yang ada di dalamnya, penulis beranggapan bahwa sekolah bukanlah ranah yang tepat untuk dilakukan kegiatan kampanye karena dapat berakibat pada terganggunya proses pembelajaran siswa. Esensi dari lingkungan sekolah sendiri merupakan lembaga yang objektif, rasional, dan jauh dari keberpihakan sehingga apabila diterapkan kampanye politik, maka akan rawan menimbulkan polarisasi politik di kalangan siswanya. Berbeda dengan mahasiswa yang dinilai dapat mengatasi perbedaan ragam pandangan politik yang ada, ketika siswa dihadapkan kepada pandangan politik yang beragam, tanpa arahan yang baik tentang bagaimana berdiskusi dengan baik dan hormat, lingkungan sekolah berisiko berubah menjadi medan perang tempat pandangan saling bentrok dan konflik muncul. Oleh karena itu, untuk mencegah sekolah menjadi medan perang politik maka pendekatan politik yang seharusnya diterapkan dalam pendidikan SMA dan sederajatnya adalah pendidikan yang memberikan pandangan secara objektif kepada siswa, tanpa memberikan preferensi tertentu.

Kemudian, mengenai netralitas lembaga pendidikan. Penulis turut mengamini dan tidak dapat mengelak bahwa putusan ini memang dapat menyebabkan rusaknya netralitas lembaga pendidikan baik dari taraf pendidikan menengah hingga perguruan tinggi karena timbulnya praktik konflik kepentingan dan politik praktis di dalamnya. Penulis beranggapan konflik kepentingan dan politik praktis yang berpotensi terjadi di lembaga pendidikan memang merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari. Hal-hal seperti kepala daerah petahana yang memasukkan bawahannya untuk melakukan kampanye di sekolah, tenaga pendidik yang melakukan kampanye di tempat-tempat “gelap” kepada anak didiknya, lembaga pendidikan hanya mengundang satu peserta pemilu saja (tidak setiap peserta pemilu memiliki akses yang sama untuk masuk ke lembaga pendidikan), mengiming-iming tenaga pendidik dengan kenaikan jabatan atau ditempatkan di pekerjaan yang lebih layak apabila mau menuruti permintaan dari calon peserta pemilu, hingga calon peserta pemilu membagi-bagikan uang atau benda lainnya kepada tenaga pendidikan maupun anak didiknya dengan syarat harus memilihnya pada pemilu nanti merupakan suatu hal yang lumrah terjadi dalam dunia perpolitikan di Indonesia.  

Menanggapi adanya potensi timbulnya konflik kepentingan dan politik praktis di lembaga pendidikan, pemerintah sebenarnya telah melakukan upaya preventif dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang membatasi tenaga pendidik untuk bersikap netral selama berlangsungnya tahun politik ini. Peraturan tersebut termuat dalam Pasal 5 huruf (n) angka 1 PP Nomor 94 tahun 2021 yang menjelaskan bahwa “Pegawai Negeri Sipil (PNS) dilarang untuk memberi dukungan kepada para peserta pemilu dengan cara ikut berkampanye. Selain membatasi PNS, pemerintah juga dalam hal ini turut membatasi ruang gerak tenaga pendidik yang berprofesi sebagai ASN dengan menetapkan Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2023  yang menyatakan bahwa: “Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. 

Berangkat dari kedua pasal tersebut seharusnya PNS atau ASN dapat bertindak profesional dengan bertindak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun faktanya justru berbanding terbalik, berdasarkan hasil pengawasan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menyatakan bahwa dosen dan guru merupakan PNS dan ASN dengan jumlah terbanyak yang melanggar netralitas pemilu dengan jumlah 373 PNS dan ASN (70%). Adapun jenis pelanggaran yang banyak dilakukan adalah kampanye/sosialisasi media sosial (posting/comment/share/like) (34,9%); mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan (27,8%); foto bersama bakal calon/pasangan calon (14,5%); dan menjadi peserta kampanye dengan memakai atribut partai/atribut PNS/tanpa atribut (4,5%). Menurut Arie Budhiman selaku Komisioner KASN Pengawasan Bidang Penerapan Nilai Dasar, Kode Etik, Kode Perilaku dan Netralitas ASN (NKKNet) menjelaskan bahwa terdapat 2 faktor yang mendorong guru dan dosen melakukan pelanggaran netralitas. Pertama, faktor ikatan persaudaraan antara guru dan dosen dengan calon peserta Pemilu dan Pemilihan. Kedua, adanya kepentingan pragmatis pada sebagian kalangan guru untuk berpindah ke jabatan struktural tertentu. 

Tingginya jumlah pelanggar netralitas lembaga pendidikan  di antara para tenaga pendidik menunjukan bahwa pelaksanaan kedua pasal seperti yang dimaksud di atas masih lemah dalam hal penegakan hukumnya. Ini merupakan catatan penting bagi Bawaslu dan juga polisi, hakim, dan jaksa selaku aparat penegak hukum untuk kedepannya dapat lebih tegas dan cermat dalam menindaklanjuti oknum-oknum tenaga pendidik yang melakukan pelanggaran netralitas. Selain itu, jika kita melihat fakta yang ada di atas, dapat kita lihat jenis pelanggaran yang paling banyak dilakukan oleh tenaga pendidik adalah menunjukan keberpihakannya dengan cara like, posting, dan comment pada media sosial salah satu peserta pemilu. Ini juga merupakan catatan penting untuk  KPU dan Bawaslu selaku pihak yang berwenang dalam hal ini untuk kemudian membuat peraturan yang lebih tegas terutama dalam mengatur peraturan perundang-undangan kampanye melalui media sosial. Koordinasi antara KPU, Bawaslu, serta para aparat penegak hukum penting untuk dilakukan agar praktik-praktik seperti ini dapat terhindarkan sehingga marwah lembaga pendidikan selaku lembaga yang netral dapat tetap terjaga.

Berdasarkan pemaparan argumen dan fakta-fakta yang telah dijabarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa penulis setuju mengenai adanya putusan MK yang memperbolehkan pelaksanaan kampanye di lembaga pendidikan. Namun dalam hal ini penulis tidak sepenuhnya setuju mengenai putusan tersebut. Penulis hanya menyetujui apabila yang dimaksud lembaga pendidikan dalam ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf h yang telah direvisi MK adalah kampus maupun lembaga setingkatnya. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh faktor-faktor seperti mahasiswa yang memang sudah seharusnya terbuka wawasannya akan isu–isu dan berita politik, termasuk dalam hal ini merupakan mahasiswa saintek yang jarang mendapatkan isu-isu ataupun pembelajaran yang berbau politik. Selain itu, kampanye di lingkungan kampus dapat mendorong terselenggarakannya pemilu yang adil dan bebas dari intervensi pihak manapun sesuai dengan asas penyelenggara pemilu sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Selanjutnya, kampanye ini juga dapat meningkatkan partisipasi politik generasi muda yang kemudian berujung pada terciptanya generasi muda yang “melek” akan politik, dan yang terakhir yaitu kampanye di lingkungan kampus ini diharapkan dapat mengubah stigma masyarakat kepada generasi muda dalam kancah perpolitikan. Bahwa peran generasi muda disini tidak hanya sebagai pengisi suara saja, namun lebih dari sekedar itu. Generasi muda melalui pendapat serta pandangan cenderung lebih rasional dan visioner dinilai dapat berperan sebagai agen perubahan yang kemudian dapat menciptakan perubahan bagi bangsa Indonesia menuju ke arah dan kondisi yang lebih baik. 

Sementara apabila ditinjau dari lingkungan SMA dan sederajatnya, penulis dalam hal ini tidak setuju dikarenakan hal tersebut dapat menimbulkan perpecahan dan mengganggu proses pembelajaran siswa. Terkait bagaimana edukasi politik yang kemudian pantas untuk didapatkan siswa, penulis beranggapan bahwa masih terdapat cara lain yang dinilai lebih sesuai dengan pola pikir serta kondisi akademis di lingkungan sekolah seperti dengan cara mengintegrasikan edukasi politik melalui kurikulum pendidikan yang ada. Materi-materi ketatanegaraan dan sejarahnya yang termuat dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia dapat digunakan sebagai cara alternatif yang dinilai lebih efektif dan tepat untuk memberikan edukasi politik bagi siswa yang berada di lingkungan SMA dan sederajatnya. Selain itu, alternatif lain yang  juga bisa dilakukan adalah dengan mengikuti organisasi-organisasi yang ada pada tingkat SMA dan sederajatnya seperti OSIS, MPK, dan Pramuka yang dinilai selain dapat memberikan pemahaman yang sesuai kepada siswa mengenai pendidikan politik juga  dapat melatih jiwa kepemimpinan para siswa.

Namun, berbeda cerita jika membahas mengenai masalah netralitas lembaga pendidikan. Dalam hal ini penulis meyakini bahwa kampanye di lembaga pendidikan pasti akan menimbulkan konflik kepentingan dan politik praktis di dalamnya. Hal ini jelas akan mengganggu netralitas lembaga pendidikan sebagai lembaga yang objektif, netral, jauh dari isu-isu maupun propaganda politik yang sarat akan pemutarbalikan fakta. Oleh karena itu, untuk menjaga marwah lembaga pendidikan sebagai lembaga yang netral selama berlangsungnya tahun politik ini, penulis memberikan beberapa saran kepada KPU selaku lembaga yang berwenang yang menindaklanjuti putusan MK kali ini agar kemudian dampak maupun hal-hal negatif yang berpotensi dapat terjadi selama pelaksanaan kampanye di lembaga pendidikan dapat diminimalisir, saran-saran tersebut berupa: 

  1. KPU perlu memperjelas lagi klasifikasi tempat pendidikan mana yang dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h di atas;
  2. KPU perlu menjelaskan secara lebih lanjut bagaimana prosedur atau mekanisme pelaksanaan kampanye di lembaga pendidikan secara lebih spesifik;
  3. KPU harus mengatur kepada siapakah izin atau tembusan sebagaimana dimaksud dalam prasyarat kampanye di lembaga pendidikan itu harus diberikan;
  4. KPU perlu melimitasi terkait konfigurasi bentuk kampanye seperti apa saja yang sesuai dengan kode etik dan nilai-nilai akademis yang terdapat dalam lembaga pendidikan;
  5. KPU dan Bawaslu perlu berkoordinasi untuk memperjelas peraturan perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan kampanye di lembaga pendidikan serta menyelaraskan peraturan-peraturan yang telah ada. Termasuk di dalamnya yaitu penggunaan media sosial dan media jaringan dalam kegiatan kampanye di lembaga pendidikan;
  6. KPU dan Bawaslu harus memastikan bahwa distribusi peserta pemilu dalam kampanye politik ini harus adil dan merata sesuai dengan prinsip keberimbangan, keadilan perlakuan, dan kesempatan yang sama untuk menghindari adanya konflik kepentingan di antara pejabat lembaga pendidikan dengan peserta pemilu;
  7. Dan yang paling penting ialah KPU juga harus mensosialisasikan kampanye bersyarat di lembaga pendidikan ini karena seolah-olah pada saat ini masyarakat menafsirkan putusan MK ini seperti “tarung bebas” di antara para peserta pemilu tanpa adanya syarat apapun. 

Sebagai penutup, di akhir esai kritis kali ini, penulis berharap bahwa dengan terselenggaranya kampanye di lembaga pendidikan ini dapat mendorong para partai politik serta peserta pemilu untuk merespons isu-isu yang menjadi perhatian civitas akademika khususnya anak muda, seperti isu pendidikan, pemberantasan korupsi, dan lapangan kerja. Partai politik dan kandidat capres dapat merespon melalui kampanye yang informatif dan edukatif untuk menarik suara anak muda yang belum menentukan pilihannya.

DAFTAR PUSTAKA

JURNAL

Nazmi, Didi. “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 tentang Kampanye di Ranah Pendidikan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.” UNES Law Review. Vol. 6. No. 1 (2023). Hlm. 58.

Lubis, Fidyan Hamdi dan Putri Ramadayanti Nasution. “Problematika Penyelenggaraan Kampanye Politik di Lingkungan Universitas.” Grondwet: Jurnal Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Vol. 2. No. 2. (2023). Hlm. 269.

Alfaruqy, Muhammad Zulfa, Anandaru Padmonurcahyo, dan Adinda Zahrah Salsabila. “Explaining the forms of generation Z’s political engagement: A study on generation Z in Semarang, Indonesia.” Simulacra. Vol. 5. No. 2 (2022). Hlm. 106.

Perdana, Aditya dan Muhammad Imam. “Peran Universitas dalam Upaya Meningkatkan Partisipasi Politik Menjelang Pemilu 2024.” Jurnal Demokrasi. Edisi Desember (2022). Hlm. 20-22.

Zulfa, Anisah Nasih, Eka Putri Permata Sari, dan Anita Trisiana. “Meningkatkan Kesadaran Politik di Kalangan Anak Muda.” Jurnal Global Citizen. Vol. 7. No. 1 (2019). Hlm. 19-26.

Zakirah, Dinda Marta Almas. “Pengaruh Hoax di Media Sosial Terhadap Preferensi Sosial Politik Remaja di Surabaya.” Jurnal Media Kita: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam. Vol. 4. No. 1 (2020). Hlm. 4.

Azirah. “Partisipasi Politik Pemilih Pemula Dalam Pesta Demokrasi.” Politica. Vol. 6. No. 2 (2019). Hlm. 90-91.

Ibrahim, Mohammed Sani. “Kepemimpinan Sekolah dan Keberhasilan Pelajar.” Dinamika Pendidikan UNY. Vol. 18. No. 2 (2011). Hlm. 27-28.

 

PUTUSAN PENGADILAN

Mahkamah Konstitusi. Putusan No. 65/PUU-XXI/2023. Handrey Mantiri dan Ong Yenny. (Pemohon) (2023).

 

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28E ayat (3).

Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum. UU Nomor 7 Tahun 2017. LN Tahun 2017 No. 182 TLN No. 6109.

Undang-Undang Tentang Aparatur Sipil Negara. UU Nomor 20 Tahun 2023. LN Tahun 2023 No. 141 TLN No. 6897.

Peraturan Pemerintah Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. PP Nomor 94 Tahun 2021. LN Tahun 2021 No. 202 TLN No. 6718.

 

INTERNET

Humas KPU. “55% Pemilih Didominasi Generasi Muda, Bantu KPU Dalam Penyelenggaraan Pemilu 2024.” Komisi Pemilihan Umum. 23 Juni 2023. Tersedia pada https://www.kpu.go.id/berita/baca/11684/55-pemilih-didominasi-generasi-muda-bantu-kpu-dalam-penyelenggaraan-pemilu-2024. Diakses pada tanggal 22 September 2023.

Khoirunnisa, Syifa. “Pro-Kontra Kampanye Politik di Lingkungan Pendidikan.” suaramahasiswa.info. 30 Agustus 2023. Tersedia pada https://suaramahasiswa.info/alternatif/artikel/pro-kontra-kampanye-politik-di-lingkungan-pendidikan/. Diakses pada tanggal 25 November 2023.

Admin Polpum. “Pakar Pendidikan Kritik Putusan MK Bolehkan Kampanye di Sekolah-Kampus.” 22 Agustus 2023. Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri. Tersedia pada https://polpum.kemendagri.go.id/pakar-pendidikan-kritik-putusan-mk-bolehkan-kampanye-di-sekolah-kampus/. Diakses pada tanggal 5 Desember 2023.

Kirana, Dina. “MK Izinkan Kampanye Politik di Sekolah, Mahfud: Pasti Objektif dan Akademis.” kompas.tv. 22 Agustus 2023. Tersedia pada https://www.kompas.tv/nasional/437055/mk-izinkan-kampanye-politik-di-sekolah-mahfud-pasti-objektif-dan-akademis?page=all. Diakses pada tanggal 25 November 2023.

Latamaniskha, Sophia. “Unisba Beri Lampu Hijau Kampanye di Kampus dengan Petunjuk Teknis.” suaramahasiswa.info. 8 September 2023. Tersedia pada https://suaramahasiswa.info/berita/berita-kampus/unisba-beri-lampu-hijau-kampanye-di-kampus-dengan-petunjuk-teknis/. Diakses pada tanggal 25 November 2023.

Suwidiyanti. “Putusan MK Membuka Medan Perang Politik di Sekolah.” kompas.id. 4 September 2023. Tersedia pada https://www.kompas.id/baca/opini/2023/09/03/putusan-mk-membuka-medan-perang-politik-di-sekolah. Diakses pada tanggal 5 Desember 2023.

Publikasi KASN. “Tenaga Pendidik dan Kampus Wajib Jaga Nilai Kebenaran, Tidak Partisan, dan Tidak Berpihak Warna Politik.” Komisi Aparatur Sipil Negara. 27 Juli 2023. Tersedia pada https://www.kasn.go.id/id/publikasi/tenaga-pendidik-dan-kampus-wajib-jaga-nilai-kebenaran-tidak-partisan-dan-tidak-berpihak-warna-politik. Diakses pada tanggal 25 November 2023.

 

YOUTUBE

Koesoema, Doni. “MK Izinkan Kampanye Peserta Pemilu di Kampus Apa Dampaknya.” KOMPAS TV DEWATA. Dipublikasikan tanggal 24 Agustus 2023. Dirasi video: 30:16. Tersedia pada https://youtu.be/Gef2uraVeTQ?si=cosxVDMMF0EY_UYo. Diakses pada tanggal 25 November 2023.

ClientThe Car Rental Co
SkillsPhotography / Media Production
WebsiteGoodlayers.com

Project Title

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts. Separated they live in Bookmarksgrove right at the coast of the Semantics, a large language ocean. A small river named Duden flows by their place and supplies it with the necessary regelialia. It is a paradisematic country, in which roasted parts of sentences fly into your mouth.