Deplatforming Mantan Kabem Belum Tentu Melanggar UU ITE: Sampai Kapan Kita Biarkan Pelaku Kekerasan Seksual Berkeliaran?

Oleh : Davy Raymanda Prayoga dan Benedikta Tiara Suryaningtyas
Staf Bidang Jurnalistik LK2 FHUI

Siapa sangka orang yang sering menyuarakan ruang aman bagi korban kekerasan seksual justru menjadi pelaku kekerasan seksual? Beberapa waktu lalu, media dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual  yang terjadi di Universitas Indonesia (UI) yang melibatkan mantan Mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (Kabem UI), Melki Sedek Huang. Berdasarkan data dari CNN Indonesia, mantan Kabem UI ini terbukti telah melakukan tindakan kekerasan seksual berdasarkan hasil pemeriksaan, alat bukti serta keterangan pihak terkait lewat Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Rektor dari universitas pelaku pun telah menetapkan sanksi administratif berupa pemberian skorsing akademik selama satu semester melalui  Surat Edaran Keputusan Rektor UI Nomor 49/SK/R/UI/2024.

Meskipun mantan Kabem UI ini telah terbukti melakukan kekerasan seksual, hal tersebut tidak membatasi aktivitasnya  di media sosial. Terlihat melalui akun Instagram-nya bahwa mantan Kabem UI tersebut masih aktif dalam Forum Anomali, yaitu suatu forum diskusi yang melibatkan aktivis serta tokoh politik untuk mengkritik sistem pemerintahan Indonesia. Tak hanya itu, meskipun telah terbukti melakukan kekerasan seksual, mantan Kabem UI ini kerap menuliskan pernyataan kontroversial seperti “yakin tidak melakukan kekerasan seksual.” Melihat hal tersebut, keaktifan mantan Kabem UI ini di media sosial sangat berpotensi untuk membuat hubungan hierarkis yang dapat merugikan korban belum sepenuhnya terputus. Hubungan ini dapat disebut juga dengan relasi kuasa.

Peran Relasi Kuasa dalam “Mengontrol” Korban Kekerasan Seksual

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Yang Berhadapan Dengan Hukum (Perma 3/2017), relasi kuasa merupakan relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah. Relasi kuasa ini merupakan alasan utama mengapa kekerasan seksual terjadi karena pelaku merasa bahwa ia “berhak” untuk melakukannya. Pemanfaatan relasi kuasa paling mudah dilakukan melalui media sosial sebab media sosial memfasilitasi aktivisme dalam menyampaikan pendapatnya secara lugas dan mudah. Relasi kuasa juga berdampak bagi ruang gerak korban terutama untuk mendapatkan perlindungan sebab besarnya tekanan relasi kuasa oleh pelaku membuat korban tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Untuk itu, perlu suatu instrumen perlindungan bagi korban kekerasan seksual yang masih terikat relasi kuasa dengan pelakunya di media sosial, yaitu dengan melakukan deplatforming. 

 

Deplatforming Sebagai Jawaban dalam Memutus Rantai Relasi Kuasa

Dikutip dari HopeHelps UI, Richard Rogers memaknai deplatforming sebagai upaya penghapusan media sosial seseorang sebagai sanksi sosial karena ia telah melakukan sesuatu yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Dalam konteks lain, deplatforming dapat dilakukan dengan melakukan perbuatan yang dapat menghentikan pemberian panggung pada pelaku seperti pemecatan dari jabatan dalam organisasi. 

Dengan melakukan deplatfroming, hal ini akan memberikan kekuasaan kembali pada korban serta menciptakan ruang aman bagi korban. Selain itu, deplatforming juga dapat menjadi sarana efektif guna melindungi korban dari eksposur pelaku yang menebar ancaman secara tidak langsung lewat penegasan relasi kuasa di media sosial. Deplatforming sendiri pernah dilakukan terhadap Presiden Amerika Serikat, yakni Donald Trump. Ia sempat di-banned dari media sosial karena menghasut masyarakat Amerika Serikat (AS) untuk menyerang Capitol. Maka sejumlah media sosial seperti Twitter, Tiktok, Instagram, dan lainnya melakukan deplatforming terhadap akun Donald Trump. Deplatforming dapat membantu memutus rantai informasi yang memuat kekerasan terkait pemilu yang berpotensi pada penyerangan Capitol. Berangkat dari kasus ini, deplatforming dapat menjadi instrumen yang efektif guna memutus rantai relasi kuasa. 

 

Peran UU ITE Dalam Mengakomodasi Deplatforming

Apabila ingin melakukan upaya deplatforming terhadap pelaku kekerasan seksual, masyarakat harus memperhatikan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 (UU ITE), yakni Pasal 27A dan Pasal 28 ayat (2). Pasal 27A UU ITE pada intinya melarang seseorang untuk melakukan pencemaran nama baik dengan cara menuduhkan sesuatu dengan maksud agar hal tersebut dapat diketahui oleh umum.  Batasan lainnya, yaitu Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang melarang deplatforming mengarah pada ujaran kebencian berdasarkan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Masyarakat harus mengetahui batasan ini dan tidak melebihinya, terutama ujaran kebencian berbasis SARA ketika melakukan deplatforming

          Melihat batasan yang ada dalam melakukan deplatforming,  cara yang paling sederhana dalam mewujudkan deplatfoming terhadap pelaku kekerasan seksual adalah dengan menyebarkan informasi tentang penetapan seseorang sebagai pelaku kekerasan seksual. Penetapan Surat Keputusan universitas tersebut dan memboikot acara-acara yang melibatkan mantan Kabem dalam media sosial menjadi contoh nyata deplatforming yang tidak melanggar batasan dalam UU ITE. Dengan melakukan tindakan serupa,  panggung dari pelaku kekerasan seksual akan semakin menyempit sehingga korban mendapatkan ruang yang aman. .

 

Kesimpulan dan Saran 

  Sejatinya, pemberian panggung kepada pelaku kekerasan seksual tersebut oleh para aktivis terutama aktivis mahasiswa merupakan suatu pengkhianatan terhadap semangat yang mendasari pergerakan sosial politik. Makna “Hidup perempuan yang melawan” seolah-olah hanya menjadi jargon yang diteriakan dan dipercayai hanya ketika tidak ada kepentingan lain yang bertabrakan. Masyarakat harus berani untuk melakukan deplatforming kepada pelaku kekerasan seksual meskipun pelaku tersebut merupakan tokoh masyarakat atau seseorang berpengaruh. Dengan demikian, masyarakat juga harus bijak dalam deplatforming agar tidak terjerat ketentuan dalam UU ITE.