Sirene Patwal: Penyalahgunaan Fasilitas Negara

Oleh Nalia Sakhailla
Staf Magang Bidang Jurnalistik LK2 FHUI 2024

Pernahkah Anda terjebak di tengah kemacetan? Di tengah kemacetan tersebut, apakah Anda pernah melihat kendaraan lain yang diberikan akses khusus dengan sirene untuk terbebas dari macet? “Mengapa harus sirene? Siapa mereka sampai wajib didahulukan? Saya juga takut terlambat, mengapa mereka tidak berangkat lebih awal saja?”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut pasti pernah terlintas ketika melihat kendaraan lain dikawal oleh sirene dan pengawalan (patwal) polisi. Bahkan, mungkin beberapa dari kita pernah berada di dalam kendaraan yang dikawal oleh polisi. Bagaimana perasaan Anda ketika dikawal oleh polisi? Apakah bangga dan memamerkannya pada media sosial?

Patwal sejatinya sering disalahgunakan untuk kepentingan pribadi maupun komersial. Contohnya adalah Sunday Morning Ride (sunmori) motor-motor gede (moge), rombongan liburan pejabat, dan pengawalan artis menuju lokasi syuting. Bahkan, ada pula kendaraaan sekolah dan kampus yang dikawal oleh polisi.

Fenomena ini memancing kemarahan masyarakat. Masyarakat berpikir bahwa hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran etika dan penyalahgunaan fasilitas negara. Akan tetapi, mereka tidak bisa bersuara karena hal tersebut sudah dinormalisasi. Lantas, apakah ada hal yang membenarkan kewajaran hal ini?

Mengapa Harus Ada Sirene?

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), sirene adalah alat untuk menghasilkan bunyi yang mendengung keras (sebagai tanda bahaya dan sebagainya). Berdasarkan Pasal 59 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), sirene dapat diartikan sebagai lampu isyarat yang berwarna merah, biru, dan kuning. Lampu tersebut berfungsi sebagai tanda kendaraan bermotor yang memiliki hak utama, tanda peringatan kepada pengguna jalan lain, dan tanda kendaraan bermotor khusus seperti petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, tahanan, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, jenazah, patroli jalan tol, pengawasan sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, derek, dan angkutan barang khusus. 

Sebagai warga negara yang taat pada hukum, kita perlu mendahulukan beberapa kendaraan. Hal ini tidak berdasarkan sirene yang berbunyi, tetapi Pasal 134–135 UU LLAJ. Berdasarkan pasa tersebut, pengguna jalan yang memperoleh hak utama adalah kendaraan pemadam kebakaran, ambulans, kendaraan pertolongan kecelakaan lalu lintas, kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia, kendaraan tamu internasional (pimpinan dan pejabat asing), iring-iringan pengantar jenazah, dan kendaraan konvoi atau kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sirene dapat juga dianggap sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah atas terjaminnya keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan berdasarkan Pasal 203 Ayat (1) UU LLAJ. Tanggung jawab tersebut diberikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf a UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tanggung jawab tersebut adalah melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat, dan pemerintah sesuai kebutuhan.

Akan tetapi, bagaimana petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia mempertimbangkan konvoi atau kendaraan yang memiliki kepentingan? Kegiatan masyarakat dan pemerintah apa saja yang membutuhkan pengawalan?

 

Patwal dalam Yuridis

Pasal 7 Ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Nomor 4 tahun 2017 tentang Penugasan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 4/2017) menyebutkan tentang jabatan fungsional dalam penugasan anggota Polri di dalam negeri. Bahkan, daftar pejabat negara atau pemerintah yang dapat mendapatkan pengawalan dijelaskan secara detail pada Pasal 8 Ayat (1) dan (2) pada Perkap yang sama. Akan tetapi, tidak ada keterangan tentang pengawalan terhadap kegiatan masyarakat sesuai kebutuhan seperti yang ada pada UU Polri. Hal tersebut menimbulkan keambiguan. 

Padahal, terdapat prosedur penyewaan jasa patwal yang dipublikasi oleh pihak kepolisian. Masyarakat dapat datang langsung ke Polda pada staf Sat Patwal atau dengan menghubungi TMC 1212 yang terhubung pelayanan 24 jam untuk meminta jasa pengawalan. Tidak hanya melengkapi persyaratan administratif, tetapi pihak kepolisian juga mematok tarif untuk layanan ini. Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu sumber yang dirahasiakan identitasnya, 

“Pengawalan menggunakan mobil patroli kisaran sampai Rp2.000.000,00 sedangkan pengawalan menggunakan sepeda motor mulai dari Rp750.000,00 hingga Rp1.000.000,00. Itu tergantung wilayahnya juga, tetapi sebagian besar tarif sewanya sebesar itu. Harga itu juga untuk sekali jalan, kalau pulang mau dikawal lagi berarti bayar dua kali.”

Menurut Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, pengawalan pada warga sipil dilarang karena hanya pejabat publik yang bisa mendapatkan fasilitas tersebut. Beliau menambahkan bahwa warga sipil bisa mendapatkan pengawalan dengan satu syarat, yaitu tengah mendapatkan ancaman keselamatan jiwa. Jangankan artis atau istri pejabat, DPR saja tidak boleh mendapatkan pengawalan karena statusnya merupakan warga sipil. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa banyak pelanggaran hukum mengenai patwal di Indonesia.

Dampak Penyalahgunaan Sirene dan Komersialisasi Jasa Patwal pada Hak Rakyat

“Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Penyalahgunaan sirene dan komersialisasi jasa patwal telah melanggar hak-hak rakyat yang diatur pada 28I Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut. Bayangkan saja berapa banyak masyarakat Jakarta yang ingin terbebas dari macet? Apakah hanya karena ada pihak yang dapat memberi beberapa lembar rupiah lantas ia dapat membeli keadilan di negeri ini?

Para pelanggar, baik yang memberi izin maupun yang diberi izin, dapat dikenai sanksi berdasarkan pasal 287 Ayat (4) UU LLAJ, yaitu pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Akan tetapi, penerapan sanksi tersebut masih belum maksimal. Masyarakat sudah menormalisasi hal ini dan pemerintah tidak terlihat memiliki niat untuk menegakkannya. Kondisi tersebut menciptakan ketimpangan. Ada masyarakat yang merasa diabaikan sementara di sisi lain banyak pihak yang memanfaatkan fasilitas negara untuk keperluan pribadi. Pembiaran terhadap pelanggaran ini dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

Pemerintah sudah seharusnya mengevaluasi regulasi penggunaan sirene dan patwal untuk kepentingan yang bertentangan dengan UU LLAJ. Keambiguan dari peraturan yang ada, penormalisasian dari masyarakat, dan kurangnya perhatian dari pemerintah memberikan dampak buruk pada tatanan etika di jalan raya dan hak rakyat. Dalam pelaksanaannya, seharusnya pemerintah konsisten dengan peraturan yang dibuat. Selain menyelaraskan peraturan, pemerintah dapat melakukan edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan sirene yang benar dan kendaraan apa saja yang dapat diprioritaskan di jalan.