Oleh Bintang Sheva Cahyadi dan Jasmine Nurhaliza Erlangga
Staf Magang Bidang Jurnalistik LK2 FHUI 2024
Berbagai Permasalahan yang Tidak Terselesaikan oleh Putusan MK Terkait UU Ciptaker
Sejak diumumkannya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) pada Januari 2020 lalu hingga diresmikan pada Oktober 2020, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) seringkali mendapatkan penolakan keras dari kalangan buruh. Penolakan ini didasarkan pada beberapa pasal dalam UU Ciptaker yang dinilai merugikan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau tenaga kerja lokal. Sejumlah serikat buruh, yakni Partai Buruh Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melayangkan sejumlah gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan uji materiil terhadap UU Ciptaker pada 1 Desember 2023.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan tersebut dalam Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang disambut dengan gembira oleh kalangan buruh dan tenaga kerja lokal. Namun, apabila ditilik lebih lanjut, putusan MK tersebut sesungguhnya belum ideal, salah satunya mengenai perlindungan tenaga kerja lokal yang berkaitan dengan pengaturan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia. Salah satu tujuan dihadirkannya TKA sebagaimana yang tercantum pada Pasal 81 angka 33 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2023, yaitu sebagai sarana alih pengetahuan dan keterampilan kepada tenaga kerja lokal (transfer of knowledge). Supaya hal tersebut bisa tercapai dengan optimal, pemerintah mengatur kualifikasi sebagai syarat awal sebelum TKA dapat masuk ke Indonesia melalui Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Akan tetapi, regulasi di Indonesia belum mengatur secara jelas mengenai standarisasi transfer of knowledge yang harus dilakukan. Hal ini berpotensi menyebabkan banyak TKA yang masuk ke Indonesia tidak profesional yang seharusnya memberikan alih pengetahuan kepada tenaga kerja lokal. Selain itu, RPTKA sendiri pun belum secara jelas mengatur batas maksimal perpanjangan RPTKA. Oleh karena itu, hal ini berpeluang menjadikan posisi yang diisi oleh TKA untuk jangka waktu yang berkepanjangan.
Polemik Penghapusan IMTA dan Keberlakuan RPTKA dalam UU Ciptaker
Sepanjang Januari–Oktober 2023 lalu, terdapat setidaknya 138.217 TKA yang masuk ke Indonesia, angka ini menunjukkan kenaikan sebesar 50,66% dari jumlah TKA pada tahun sebelumnya. Kenaikkan yang cukup signifikan ini diakibatkan oleh diberlakukannya UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan pada 31 Maret 2023. Pasal 42 UU Ciptaker menghapus kewajiban Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) bagi pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA di Indonesia. Penghapusan IMTA ini digantikan oleh RPTKA yang menjabarkan rencana penggunaan TKA dalam jabatan tertentu yang disusun oleh pemberi kerja untuk jangka waktu tertentu dan disahkan oleh menteri yang membawahi bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
Tentu saja, penghapusan IMTA kemudian menimbulkan polemik tersendiri di dunia persaingan lapangan pekerjaan terutama antara tenaga kerja lokal dan tenaga kerja asing. IMTA seharusnya berfungsi untuk memberikan kewenangan bagi pemerintah dalam mengawasi penggunaan TKA di Indonesia agar tidak menyalahi aturan dan memastikan stabilitas pasar tenaga kerja antara TKA dan tenaga kerja lokal. Dengan demikian, penghapusan IMTA dapat mereduksi kewenangan pemerintah untuk melakukan penindakan hukum saat terjadi penyalahgunaan kewenangan pemberi kerja dalam mempekerjakan TKA. Di sisi lain, Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang menyatakan bahwa RPTKA dapat diperpanjang sesuai dengan jenisnya. Namun, hingga saat ini belum terdapat pasal yang mengatur mengenai batas perpanjangan RPTKA di Indonesia dan kuota jumlah tenaga asing yang dapat dipekerjakan oleh pemberi kerja dalam satu perusahaan. Artinya kebijakan mengenai jangka waktu pemberian RPTKA ini akan bergantung pada kesepakatan antara TKA dan pemberi kerja, sehingga peran pemerintah semakin terbatas.
Penghapusan IMTA juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak dapat secara langsung memonitor pemberi kerja yang berkewajiban menyerap sekurang-kurangnya 10 TKI untuk merekrut 1 TKA. Maka, dengan hadirnya UU Cipta Kerja yang mendorong penghapusan IMTA dan penggunaan RPTKA tanpa kualifikasi batas perpanjangan dan kuota TKA, perlindungan bagi hak tenaga kerja lokal untuk dapat dipekerjakan akan semakin terancam. Hal ini juga akan mengakibatkan pemberi kerja semakin tidak memiliki dorongan atau kewajiban untuk memberdayakan tenaga kerja lokal. Oleh karena itu, Pemberi kerja akan cenderung berfokus pada penyerapan TKA yang seringkali dinilai lebih berkompetensi dibandingkan tenaga kerja lokal.
Ketidakpastian Mengenai Batas Maksimal Perpanjangan RPTKA
Selain permasalahan dalam penghapusan IMTA, apabila kita lihat kembali pada rumusan norma Pasal 42 ayat (4) UU Ciptaker, terdapat 3 kriteria kumulatif agar TKA dapat dipekerjakan, yaitu: 1) Untuk jabatan tertentu, 2) waktu tertentu, dan 3) memiliki kompetensi yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki. Namun, nomenklatur “waktu tertentu” memiliki permasalahan sendiri. Pasalnya untuk setiap jenis RPTKA yang diregulasi oleh pemerintah selalu mencantumkan “dapat diperpanjang”. Artinya, meskipun pada RPTKA telah tertera jangka waktu kerja yang disepakati oleh pemerintah, tetapi perpanjangan jangka waktu dalam RPTKA tidak dijelaskan secara rinci.
Kekosongan hukum ini berpotensi mengakibatkan jabatan yang semula diisi oleh tenaga kerja lokal kemudian akan secara terus-menerus diisi oleh TKA. Selain itu, ketiadaan batas maksimal perpanjangan RPTKA akan sangat merugikan tenaga kerja lokal apabila ternyata TKA yang diserap tidak memiliki kompetensi dan pengetahuan yang cukup untuk bisa melakukan transfer of knowledge sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang. Pemberi kerja melalui RPTKA memiliki keleluasaan untuk secara masif mempekerjakan TKA tanpa memperhatikan esensi dari transfer of knowledge. Hal tersebut akan merugikan tenaga kerja lokal dari 2 sisi, pertama, tenaga kerja lokal tidak mendapatkan kesempatan untuk mengisi posisi tersebut, kedua, tidak mendapatkan keterampilan dan pengetahuan yang seharusnya mereka dapatkan. Padahal, RPTKA memegang peranan penting sebagai “pintu masuk” TKA yang akan bekerja di Indonesia. Upaya pemerintah membuka kesempatan sebesar-besarnya penyerapan TKA untuk meningkatkan kemampuan tenaga kerja lokal berpotensi gagal. Indonesia akan semakin sulit mencapai Visi Indonesia Emas tahun 2045 mendatang. Oleh karena itu, guna memperbaiki regulasi mengenai batas perpanjangan waktu kerja TKA, sebaiknya diatur dalam produk hukum seperti Peraturan Pemerintah. Hal ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan menjamin pemenuhan hak-hak tenaga kerja lokal.
Urgensi Penyempurnaan Regulasi terkait Kualifikasi dan Kuota TKA di Indonesia
Apabila dilakukan komparasi dengan negara Singapura yang juga berada di kawasan Asia, terdapat kesenjangan pengaturan mekanisme mengenai perizinan masuknya TKA untuk bekerja di Singapura. Di Singapura, TKA wajib memiliki visa dan izin bekerja, yakni Employment Pass ataupun S-Pass, setelah dinyatakan lolos memenuhi kriteria sistem penilaian kelayakan yang disebut dengan Complementarity Assessment Framework (COMPASS).
Mekanisme COMPASS diberlakukan dengan tujuan untuk menciptakan kesempatan yang adil bagi tenaga kerja lokal dan memastikan bahwa TKA yang dipilih oleh pemberi kerja telah memenuhi kualifikasi pemerintah serta dapat mengisi kesenjangan akan keterampilan tenaga kerja lokal. Adapun terdapat perbedaan di antara kedua jenis visa kerja bagi TKA di Singapura, dimana Employment Pass dikhususkan bagi tenaga kerja profesional dan S-Pass bagi tenaga kerja terampil. Kuota S-Pass bagi TKA di Singapura pun dibatasi berdasarkan sektor pekerjaan yang tersedia dan gaji yang dapat diberikan oleh perusahaan.
Melihat komparasi tersebut maka, usaha perlindungan hak tenaga kerja lokal di Indonesia dalam regulasi pemberian kerja terhadap TKA masih belum maksimal. Putusan MK yang menetapkan bahwa tenaga kerja lokal akan diprioritaskan seharusnya menjadi dasar bagi pemerintah Indonesia untuk membentuk regulasi lebih lanjut mengenai RPTKA dan pembatasan kuota serta kualifikasi perpanjangan kontrak TKA yang dapat dipekerjakan di Indonesia. Dengan adanya pembatasan kuota dan kriteria RPTKA bagi TKA yang diatur oleh kebijakan hukum yang mengikat, tenaga kerja lokal dapat kemudian memiliki landasan konkret untuk memperjuangkan hak mereka untuk dapat diprioritaskan dalam lapangan pekerjaan di sekitarnya.