Diskusi Publik Bidang Jurnalistik LK2 FHUI: “Ruang Lingkup Kerugian Negara pada Delik Tindak Pidana Korupsi”

Oleh : Benedikta Tiara Suryaningtyas dan Rena Elvaretta Suryatantra
Staf Bidang Jurnalistik LK2 FHUI

Depok, 7 Mei 2024 – Bidang Jurnalistik Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LK2 FHUI) meraih kesuksesan dalam pelaksanaan Kegiatan Diskusi Publik (Dispub) pertama di kepengurusan tahun 2024 dengan mengangkat tema “Kerugian Negara pada Delik Tindak Pidana Korupsi”. Dispub yang diadakan secara luring di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), dihadiri oleh 4 (empat) pembicara yang sangat menarik, yakni Dr. Junaedi Saibih, S.H., M.Si., LL.M., Prof. Dr. M. R. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Andi Ahmad Nur Darwin, S.H., dan Bapak Hendro Dewanto, S.H., M.Hum. Penyelenggaraan Dispub ini ditujukan untuk memberikan pemahaman mendalam kepada masyarakat luas mengenai isu hukum terkini, khususnya mengenai kasus dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan pertambangan yang kian hangat dibicarakan sekarang. 

 

Akar Permasalahan Dari Timbulnya Perdebatan Antara Kerugian Negara dan Kerugian Lingkungan 

Topik pembahasan dalam Dispub berhubungan dengan salah satu isu yang baru saja terjadi, yakni korupsi timah yang menyebabkan kerugian negara dalam jumlah besar. Isu ini menyeret salah satu public figure yang cukup terkenal sehingga menjadi perbincangan panas di media sosial. Tak berhenti disitu, isu ini menimbulkan suatu perdebatan terkait apakah korupsi yang melibatkan salah satu sumber daya alam ini dikategorikan sebagai kerugian negara atau kerugian lingkungan? Banyak pihak yang mengira bahwa kerugian ini lebih cenderung pada kerugian negara karena mereka beranggapan bahwa sumber daya alam yang ada di suatu negara merupakan milik negara sehingga ketika terjadi kerusakan lingkungan, maka negara yang dirugikan akibat kerusakan tersebut. Di sisi lain, banyak pula yang menganggap bahwa korupsi yang terjadi menyebabkan kerugian lingkungan. Hal ini karena penambangan timah berpengaruh terhadap penurunan kualitas sumber daya air, tanah, dan udara yang juga berefek pada kualitas hidup masyarakat sekitar. Oleh karena itu, pada acara Dispub ini, keempat narasumber akan memberikan materi dari perspektif Hukum Lingkungan, Hukum Pidana, dan Hukum Acara sebagai landasan untuk menelaah lebih dalam terkait pengklasifikasian kerugian dari kasus korupsi ini. 

 

 

Penguasaan Tanah Oleh Negara Sebagai “Wali” 

Sebagai pengantar dalam diskusi kali ini, Prof. Dr. M. R. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M. yang biasa dikenal Prof. Andri memberikan pemaparan dasar dari kegiatan pertambangan. Beliau menyampaikan bahwa pada dasarnya negara mempunyai kekuasaan pada pemakaian tanah yang tercantum pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Kesepakatan penguasaan akan tanah ini bukan berarti menjadi hak milik penguasa, tetapi negara berkuasa sebagai “wali.” Maka dari itu, dalam kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh pihak swasta, adanya pemenuhan izin kepada negara diperlukan.

Selain bahasan di atas, saat ini, kita masih fokus pada kewenangan dan hak atas penggunaan tanah. Akan tetapi, kita juga perlu mengingat adanya kewajiban untuk memulihkan lingkungan. Selama tanah digunakan untuk kepentingan tertentu, maka diperlukan adanya penghitungan biaya kerusakan dari lingkungan dan dilakukan pemberian biaya pemulihannya. Hal ini menjadi titik fokus kasus korupsi timah bahwa sebenarnya letak kasus korupsi ini adalah tidak dibayarkannya biaya pemulihan terhadap lingkungan yang menjadi salah satu kewajiban kepada negara dan biaya pemulihan selepas pemanfaatan dari kegiatan pertambangan timah. Prof Andri menekankan bahwa biaya kerugian dihitung berdasarkan pendapatan negara apabila dibayarkannya hak negara atas izin pertambangan dan biaya kerusakan lingkungan pasca pertambangan. 

 

Peran Pemerintah Terhadap Lingkungan 

Di sisi lain, Bapak Andi Ahmad Nur Darwin, S.H. sebagai praktisi hukum juga mengutarakan pendapat yang serupa. Beliau mengatakan bahwa kegiatan pertambangan sejak awal sudah pasti akan merusak lingkungan, maka diperlukan adanya kajian tertentu terlebih dahulu. Tak hanya itu, setelah kegiatan pertambangan dilaksanakan maka sangat diperlukan untuk dilakukannya pemulihan untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan berlebihan. Pada kegiatan pertambangan mengharuskan adanya izin dari negara termasuk pembayaran royalti kepada negara atas pengelolaan permukaan tanah. Hal inilah yang dapat menjadi kerugian negara, ketika royalti tersebut tidak dibayarkan terhitung sejak dimulainya eksplorasi kegiatan pertambangan. 

 

Kerugian Penambangan Ilegal dari Sisi Hukum Acara 

Selanjutnya, Dr. Junaedi, S.H., M.Si., LL.M. selaku salah satu dosen hukum acara pidana FH UI memfokuskan pembahasan bagaimana proses hukum dari kasus korupsi pertambangan seperti kasus timah saat ini. Beliau menjelaskan bahwa berdasarkan tuntutan terhadap kerugian negara atas penambangan yang ilegal, kerugian tersebut harus bersifat nyata. Kerugian nyata tersebut harus disertai bukti yang nyata dan bukan merupakan potensi atau kemungkinan. Biaya kerugian tersebut sebenarnya tidak dapat berupa potensi, hanya bersifat nyata. Akan tetapi, melalui jalur perdata, perhitungan potensi ini dimungkinkan dengan catatan masih dalam taraf wajar. Bukti juga perlu diperhatikan bahwa data yang diberikan berasa dari lembaga atau institusi yang ditunjuk oleh Perseroan Terbatas. Prof. Andri juga menekankan bahwa biaya kerugian yang berhasil didapatkan dari hasil gugatan hanya dapat digunakan untuk upaya pemulihan kerusakan lingkungan akibat pertambangan saja dan tidak untuk kepentingan lainnya. 

 

Kewajiban Pemerintah dalam Menjaga Lingkungan 

Selain pemaparan mengenai kerugian negara akibat korupsi pertambangan timah, acara diskusi publik ini juga membahas mengenai kewajiban pemerintah dalam upaya menjaga lingkungan. Sesuai dengan penjelasan dari Bapak  Hendro Dewanto, S.H., M.Hum., bahwa negara wajib untuk menyediakan lingkungan yang sehat bagi rakyat. Setiap rakyat memiliki hak yang sama untuk dapat menikmati lingkungan yang bersih dan memanfaatkannya untuk kepentingan bersama. Walaupun dalam pemanfaatan skala besar dilakukan oleh suatu badan, institusi, atau perusahaan tertentu, perlu diingat bahwa penguasa hanya merupakan wali dalam pemanfaatan lingkungan bersama.

Pemerintah perlu untuk melakukan ratio legis maupun ratio populis secara seimbang. Survei masyarakat menjadi sangat penting untuk dilakukan dalam rangka mengukur tingkat kepuasan masyarakat terhadap suatu program. Di sisi lain, penegakkan hukum perlu dilakukan dengan baik dan tegas selaras dengan tanggung jawab negara terhadap rakyat. Pada segi korupsi, pemerintah negara pun juga bertanggung jawab untuk memberikan tindak hukum terhadap pelaku. Pelaksanaan dari segi pidana, perdata, maupun administrasi dapat digunakan dalam rangka memenuhi penegakkan hukumnya. Korupsi bukan sekadar berupa biaya kerugian negara, melainkan kerugian lingkungan. Selain kedua dampak tersebut, pemerintah juga perlu memperhatikan potensi munculnya dampak lain dari kasus korupsi tersebut seperti krisis kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah memiliki peran sangat besar untuk tetap menjaga kestabilan dari segi lingkungan maupun masyarakat.

Kesimpulan dan Harapan  

Berdasarkan lampiran materi dan kasus di atas, tindak pidana korupsi timah dapat dikategorikan sebagai kerugian lingkungan. Partisipan diharapkan dapat memahami lebih mendalam mengenai biaya kerugian atas kegiatan pertambangan pada kasus korupsi pertambangan timah. Dengan kegiatan diskusi ini, masyarakat diharapkan lebih memahami mengenai kewajiban pemulihan lingkungan  pasca kegiatan pertambangan. Pemerintah harus tegas dalam menegakkan dan mengawasi pelaksanaan kegiatan pertambangan maupun upaya pemulihan dengan baik. Untuk kedepannya, masyarakat perlu turut aktif dengan secara sadar memahami pentingnya menjaga lingkungan dan melakukan kegiatan produksi sesuai standar yang telah diberlakukan sebagai bentuk kepedulian bersama.