The International Seabed Authority: Transfer of Technology Menjadikan Negara Berkembang Sebagai Free Rider?

Oleh Jocelyn Aprilia (Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI)

The Area didefinisikan dalam Artikel 1 di UNCLOS sebagai “the sea-bed and ocean floor and subsoil thereof beyond the limits of national jurisdiction.” Seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan teknologi, kegiatan eksplorasi di Area ini sudah dapat dilaksanakan. Beberapa ahli juga memprediksi bahwa kegiatan eksploitasi akan terwujud beberapa tahun kedepan. Dengan adanya aktivitas-aktivitas pengambilan manfaat dari area yang adalah bagian dari area internasional, dibutuhkan pengelolaan yang efektif dan tidak berpihak. Setelah bertahun-tahun tidak terdapat kompromi antara negara-negara dalam mengorganisir Area ini, barulah kemudian dibentuk suatu badan internasional di bawah Bagian XI Bab 4 UNCLOS untuk merealisasikan pengaturan yang terstuktur dan tidak berpihak yang dinamakan The International Seabed Authority.
The International Seabed Authority (ISA) adalah sebuah badan internasional yang mempunyai jurisdiksi atas seluruh aktivitas dasar laut di luar perairan nasional. ISA dapat dibilang sebagai sebuah badan pemerintahan internasional yang mempunyai lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatifnya sendiri, yang mengatur mengenai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di daerah dasar laut internasional. ISA atau The Authority terdiri atas tiga organ utama yaitu The Assembly, The Council, dan The Secretariat, dengan dua organ khusus yaitu The Legal and Technical Commission dan The Finance Committee. Seluruh organ ini menjalankan tugas lembaga legislatif dan eksekutif pada umumnya, sedangkan untuk penyelesaian masalah akan dilakukan oleh the Seabed Dispute Chamber melalui organ The Council.
Dalam pekembangannya, banyak ahli yang mendiskusikan permasalahan-permasalahan terkait dengan mandat ISA yang dinilai kurang luas dan final. Salah satunya adalah mengenai kebijakan bagi ISA untuk memsupervisi pembagian pengetahuan mengenai daerah yang masih cukup asing bagi kaum awam ini dan transfer of technology dari negara yang telah maju dan institusi-institusi privat yang telah mempunyai pengetahuan teknologi untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, kepada negara-negara berkembang. Banyak ahli dari negara-negara maju berpendapat bahwa apabila negara berkembang diberikan pengetahuan dan teknologi tentang pertambangan dasar laut, mereka akan mendapat keuntungan yang tidak layak mereka dapatkan, menjadikan mereka selayaknya seorang Free Rider (seseorang yang tidak berkontribusi dalam sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama dan ia akan mengambil keuntungan dari jerih payah yang lainnya). Di sisi lain, negara berkembang memang tidak memiliki kemampuan, pengetahuan, dan dana untuk ikut serta dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sehingga membutuhkan bantuan informasi dan teknologi. Ditambah lagi dengan sifat UNCLOS yang tidak bersifat mengikat sehingga negara-negara maju yang tidak meratifikasi UNCLOS, seperti Amerika Serikat, dapat mengambil manfaat secara leluasa tanpa memiliki kewajiban.
Di dalam Artikel 136 dikatakan bahwa “The Area and its resources are the common heritage of mankind”. Doktrin ini mengindikasikan bahwa daerah Area yang dimaksud adalah milik semua umat manusia dan bahwa sumber daya yang tersedia dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh semua orang, dengan mempertimbangkan generasi masa depan dan kebutuhan negara-negara berkembang. Sehingga, tidak ada negara yang dapat mengklaim atau melaksanakan kedaulatan atau hak untuk berdaulat atas setiap bagian dari The Area. Doktrin ini diperlukan untuk membatasi kewenangan negara dan institusi-institusi privat dalam mengambil manfaat dari Area yang telah diperjanjikan. Artikel ini juga secara tidak langsung mewajibkan pihak-pihak yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi untuk membagi manfaat yang mereka dapat dengan seluruh umat manusia, termasuk manfaat ilmiah, materi, dan ekonomi. Selanjutnya, di dalam Artikel 144 Pasal 1 Nomor b, dikatakan bahwa ISA harus mengambil langkah-langkah untuk mempromosikan dan menganjurkan adanya transfer of technology untuk negara-negara berkembang seperti teknologi dan pengetahuan ilmiah sehingga seluruh negara dapat menikmati manfaatnya.
Transfer of technology, pada faktanya, penting untuk dilaksanakan karena beberapa alasan. Pertama, transfer of technology menjadi salah satu cara untuk memastikan doktrin common heritage of mankind dapat terlaksana secara lebih efektif dan menjamin keterlibatan negara berkembang dalam kegiatan pertambangan dasar laut internasional. Oleh karena itu, seluruh negara dituntut untuk bekerjasama demi penggunaan manfaat yang lebih tertib dan adil. Kedua, adanya transfer of technology tidak mengharuskan negara berkembang menjadi Free Rider. Pengetahuan ilmiah dan teknologi yang ditransfer kepada negara berkembang dapat menjadi aset bagi mereka agar dapat menjadi partner yang bermanfaat dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Negara berkembang akan menjadikan pengetahuan ini sebagai sumber agar dapat dikembangkan untuk kedepannya agar dapat membantu negara maju dalam kegiatan pertambangan dasar laut.
Ketiga, transfer of technology dapat menjadi salah satu cara bagi negara maju dalam “membayar” kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan dasar laut. Banyak ahli dari negara maju yang tidak mengindahkan bahwa daerah-daerah dasar laut yang potensial untuk dieksplorasi dan dieksploitasi letaknya berdekatan dengan jurisdiksi perairan nasional negara berkembang, seperti Indonesia dan negara-negara di Afrika. Kegiatan pertambangan yang pada faktanya merusak lingkungan maritim daerah sekitarnya mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi negara-negara tersebut. Adanya transfer teknologi selain dapat memastikan partisipasi negara pesisir, juga dapat menebus kerusakan lingkungan maritim di daerahnya.
Namun, memang terdapat beberapa kekurangan dan kendala dalam prosedur implementasi transfer of technology. Hingga saat ini ISA belum menetapkan prosedur yang tepat untuk menjalankan mandatnya yang satu ini. Penulis menganjurkan bahwa seluruh kegiatan transfer of technology dapat dilaksanakan atas sepengetahuan ISA, atau dengan kata lain dilakukan dibawah supervisi salah satu organ ISA agar apabila terjadi konflik, penanganannya dapat dilakukan dengan lebih mudah. Transfer of technology antarnegara dapat dilakukan dengan perjanjian bilateral atau multilateral apabila pihak dari perjanjian tersebut lebih dari satu. Namun, anjuran ini tidak menutup kemungkinan dilakukannya cara-cara lain.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa transfer of technology merupakan sebuah kebijakan yang menimbulkan keuntungan bagi seluruh pihak dan turut diimplementasikan untuk menjunjung doktrin dari pemanfaatan area yang menjadi objek internasional. Namun, untuk pelaksanaan yang lebih efektif, dibutuhkan prosedur yang jelas dari The Authority sebagai badan internasional yang mengorganisir seluruh aktivitas dalam area dasar laut internasional.

Leave a Reply