Alternative Vote System : Untuk Parlemen Indonesia yang Akuntabel dan Representatif

Oleh Aditya Wahyu Saputro (Staf Magang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2018)

Parlemen adalah perwujudan dan lambang sebuah Negara demokrasi dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum atau pemilu. Sistem pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif secara garis besar terdapat dua tipe, yaitu plurality-majorty, Semi-PR dan proportional representation (PR).[i] Sistem plurality-majority menganut prinsip satu daerah pemilihan diwakili seorang wakil atau single-member constituency. Indonesia sebagai Negara demokrasi terbesar ketiga didunia menggunakan sistem proporsional sebagai sistem pemilihan umum anggota badan legislatif.[ii] Dimana sebuah daerah pemilihan diwakili oleh beberapa orang wakil secara proporsional atau multi-member constituency. Penggunaan sistem proporsional dalam pemilihan legislatif ini karena sistem tersebut lebih mampu mewakili masyarakat yang berbeda secara suku, ras, agama, budaya, bahasa, etnis, dan identitas geografis.[iii]. Namun, sistem proporsional terbuka membuat akuntabilitas wakil rakyat dengan konstituen rendah, sedangkan Sistem Alternative Vote, termasuk jenis plurality-majority, yang telah diterapkan di Australia, Fiji, Nauru, dan Papua New Guinea memiliki keunggulan yang dapat menjawab kekurangan sistem proporsional.[iv]

Dalam sistem AV, seorang pemilih akan memilih dengan cara memberi nomor urut kepada calon yang diurutkan dari angka terkecil berdasarkan calon yang paling disukai dan seterusnya. Calon yang menang adalah mereka yang memperoleh suara 50%+1 atau jika tidak ada maka calon dengan suara terkecil akan dieliminasi hingga terdapat calon yang memperoleh suara mayoritas.[v] Oleh karena itu calon selain memastikan pendukung setianya memilih mereka pada preferensi pertama, calon juga harus mencoba mendekati pemilih calon lain agar ia mendapat suara mereka setidaknya pada preferensi kedua atau ketiga.

Masalah proporsionalitas selalu menjadi alasan utama untuk mempertahankan sistem proprosional yang Indonesia diterapkan. Namun, sistem AV sendiri dapat juga mengatasi masalah proporsionalitas dengan sistem nomor urut preferensi dalam pemilihan calon di surat suara. Secara tidak langsung membuat calon harus mendekati semua elemen dan golongan atau kelompok yang ada agar meraup suara 50%+1.[vi]

Pengalaman Papua New Guinea menjadi bukti bahwa masyarakat minoritas akan tetap terjaga aspirasi dan kepentingannya dengan sistem AV. Seorang calon pasti menjadi preferensi pertama dalam klan atau kelompoknya, namun hal tersebut belum menajadikan calon tersebut menang karena memerlukan dukungan minimal 50%+1 untuk sebuah kursi disebuah daerah pemilihan. Calon yang akan menang ialah mereka yang mampu meraih preferensi kedua dengan cara berkerjasama dan membentuk aliansi dengan klan-klan yang lain. Proses tersebut menjadi sarana terjalinnya komunikasi antar klan dan wakil yang terpilih benar-benar mendapat dukungan dari berbagai kelompok yang ada di masyarakat daerah pemilihan calon tersebut. Selain itu kepentingan minoritas tetap terjamin dengan dibukanya ruang dialog dan komunikasi antra kelompok dalam masyarakat oleh calon.[vii]

Sisi akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya menjadi keunggulan sistem plurality-majority yang salah satunya sistem AV. Kelemahan sistem proporsional dalam hal akuntabilitas disebabkan karena dalam sistem proporsional wilayah daerah pemilihan yang luas dan peranan partai yang besar dalam pemilihan umum.[viii] Ini membuat calon yang terpilih harus menjangkau daerah yang luas dan lebih memfokuskan diri pada kepentingan partai yang menjadi kendaraan politiknya. Sistem AV yang menganut satu daerah pemilihan (dapil) satu wakil praktis lebih mudah baginya untuk menyerap apirasi rakyat dan membela kepentingan masyarakat karena hanya dia wakil dapil tersebut, selain wilayah dapil yang relatif kecil.. Ketokohan dan kedekatan dengan rakyat di daerah pemilihan sangat dibutuhkan mengingat hanya satu kursi yang diperebutkan dalam sebuah dapil.

Sistem AV jika dibandingkan sistem-sistem lain dalam single-member constituency seperti first-past-the-post (FPTP) memiliki keunggulan dalam hal legitimasi calon dan proporsionalitas.[ix] Dalam FPTP calon hanya perlu mendapat suara yang paling banyak (tidak harus mencapai 50%+1) untuk menang di sebuah dapil. Dengan sistem yang demikian, maka calon hanya akan focus ke kelompoknya saja dan merasa tidak perlu mendekati kelompok lain karena dukungan dari kelompoknya cukup membuat ia menang tanpa suara 50%+1.[x]

Amerika Serikat menggunakan sistem FPTP dalam pemilihan anggota House of Repreentative[xi], namun untuk perwakilan daerah-daerah memiliki sistem yang berbeda. Di California Bay Area sebagian kota-kota yang ada  mengadopsi sistem AV sebagai formula baru dalam sistem pemilihan umum mereka seperti Kota Berkeley, San Fracisco, Oakland, dan San Leandro.[xii] Penggunaan sistem AV dalam kota-kota tersebut meningkatkan partisipasi sebagai kandidat dalam pemilihan umum dari golongan minoritas terlihat dari keunikan sebesar 9 poin persentase.[xiii] Selain itu, sistem AV yang diterapkan di sebagian kota-kota di California Bay Area tersebut membawa arus peningkatan kemungkinan menang dalam pemilihan umum oleh perempuan, terutama perempuan dari golongan minoritas.[xiv]

Sistem AV sangat mungkin dilaksankan di Indonesia karena dapat menampung aspirasi agar parlemen lebih representatif dan juga akuntabel terhadap konstituen. Penerapan sistem AV dalam pemilihan umum di Indonesia adalah jalan reformasi kepemiluan untuk jangka panjang. Meski begitu sistem ini juga memiliki kekurangan, yakni masalah angka melek huruf yang menjadi isu krusial ketika pelaksanaan sistem AV, oleh karena itu sistem ini dapat dikaji lebih lanjut dan dapat diterapkan pada 10 atau 15 tahun mendatang.

 

[i]  Andrew Reynolds dan Ben Reilly, “The International IDEA Handbook of Electoral System Design”, Handbook Series 1/97, (2002), hlm. 37

[ii]Associated Press, “A Look at Election in Indonesia Wrolds 3rd Largest Democracy and Most Populous Muslim Nation”, https://www.foxnews.com/world/a-look-at-election-in-indonesia-worlds-3rd-largest-democracy-and-most-populous-muslim-nation, diakses 24 November 2018

[iii] Miriam Budiarjo,  Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet.6 (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 469

[iv] Andrew Reynolds  “The International IDEA Handbook”, hlm. 37

[v] John et al, “The alternative vote : do chages in single-member voting systems effects descriptive representation of women and minorities?”, Electoral Studies 54, (2018), hlm. 92

[vi] Andrew Reynolds  “The International IDEA Handbook”, hlm. 38

[vii] Ibid. hlm. 40

[viii] Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hlm. 469

[ix] John et al, “The alternative vote”, hlm. 92

[x] Andrew Reynolds  “The International IDEA Handbook”, hlm. 30

[xi] House Representative adalah salah satu kamar parlemen sebagai majelis rendah dalam sistem bikameral di Amerika Serikat atau secara kelembagaan dapat dipersamakn dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

[xii] John et al, “The alternative vote”, hlm. 90 dan 94

[xiii] Ibid. hlm. 97

[xiv] Ibid. hlm. 98-101

Leave a Reply