Puisi Sukmawati: Perlukah Sebuah Karya Sastra Dikriminalisasikan?

Oleh: Hilma Aryudhia Tasya (Staf Biro Wirausaha LK2 FHUI 2018)

Sejak beberapa minggu terakhir nama Sukmawati Soekarnoputri kerap kali menghiasi berbagai media massa di Indonesia. Putri dari founding father bangsa Indonesia, Soekarno, ini menuai kontroversi setelah membacakan puisinya yang bertajuk ‘Ibu Indonesia’ di acara ‘29 Tahun Anne Avantie Berkarya’ di Indonesia Fashion Week 2018 kemarin. Kontroversi ini berakar dari adanya bait-bait di dalam puisi  tersebut yang dinilai menyinggung kelompok agama tertentu, yang dalam hal ini adalah agama Islam. Menukil dari puisi tersebut, Sukmawati menyatakan:

“Aku tak tahu Syariat Islam

Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah

Lebih cantik dari cadar dirimu

Gerai tekukan rambutnya suci

…..

Aku tak tahu syariat Islam

Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok

Lebih merdu dari alunan azanmu ….”

Bait-bait tersebutlah yang dianggap tidak sensitif dengan kondisi masyarakat sekitar, terutama yang terkait dengan SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) dan dianggap melecehkan agama Islam lantaran membanding-bandingkan konde dan kidung dengan cadar dan suara azan. Berbagai tanggapan bernuansa pro maupun kontra pun mengudara, bahkan tak sedikit pula yang akhirnya membawa permasalahan ini ke jalur hukum. Setidaknya, per tanggal 6 April 2018 kemarin, Sukmawati harus dihadapkan dengan adanya 14 laporan polisi atas dugaan tindak pidana pelecehan atau penodaan agama dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam hingga kalangan advokat dan Lembaga Bantuan Hukum atau LBH[i]. Dengan kasus tersebut, Sukmawati dijerat dengan pasal 156a KUHP tentang penistaan agama dengan ancaman pidana paling lama lima tahun penjara. Tidak hanya itu, Sukmawati juga dijerat dengan pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Berbagai pendapat bermunculan setelah adanya kasus ini. Sebagian merasa bahwa puisi yang dibawakan oleh putri ketiga Soekarno tersebut memang sarat akan polemik sehingga wajar apabila dimasukkan ke dalam jalur hukum. Menurut Sekretaris Jenderal IKAMI Djudju Purwantoro, puisi Sukmawati bisa menimbulkan kegaduhan, lantaran membandingkan ‘syariat Islam’, ‘cadar’, dan ‘suara azan’ dengan hal-hal lain yang tidak terkait dengan akidah agama Islam[ii].  Banyak pula yang mengaitkan kasus Sukmawati dengan kasus penistaan agama yang menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Bahkan, menurut Ketua Alumni Persaudaraan Aksi 212, Slamet Ma’arif, kasus Sukmawati ini dinilai lebih parah daripada kasus Ahok sebelumnya, karena tiadanya kemultitafsiran dalam kasus Sukmawati ini.[iii]

Di sisi lain, pendapat yang bernuansa membela pun turut mengemuka. Di antaranya ada pendapat dari Maman Mahayana, dosen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang mengatakan bahwa dilihat dari konteks kesusastraan, puisi yang dibawakan oleh Sukmawati ini tidak bersifat menyinggung, melainkan hanya sebagai suatu sarana untuk mengekspresikan pemikiran Sukmawati. Pendapat serupa diberikan oleh ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Menurutnya, langkah yang paling tepat untuk melihat permasalahan yang terdapat dalam puisi karya Sukmawati itu adalah dengan mengkajinya melalui kacamata kritik sastra. Ia pun beranggapan bahwa mempolemikkan karya sastra lewat jalur hukum dinilai tidak relevan.[iv]

Dengan berbagai pendapat yang beragam tersebut, penulis berusaha membaca kasus ini melalui dua sudut pandang, yakni sudut pandang hukum dan sudut pandang kesusastraan. Dari sisi hukum, pelaporan terhadap kasus Sukmawati memang diperbolehkan asalkan kasus tersebut memenuhi segala unsur-unsur yang ada di dalam Pasal 156a KUHP. Namun, pelaporan ini mencerminkan bahwa saat ini hukum pidana cenderung digunakan sebagai jalan keluar dari segala permasalahan. Pelaporan kasus Sukmawati ke jalur hukum sangat tidak sesuai dengan hakikat sanksi pidana yang seharusnya hanya digunakan sebagai alat terakhir (ultimuum remedium) dalam menangani suatu permasalahan. Sejatinya, kasus-kasus seperti demikian dapat diselesaikan dengan cara-cara yang bersifat kekeluargaan dengan mengedepankan prinsip restorative justice. Menurut R. Soesilo, barang siapa melanggar ketentuan dalam pasal 156a tersebut, si pelaku akan terlebih dahulu diberi peringatan untuk menghentikan perbuatannya melalui suatu keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.[v] Apabila setelah diberi peringatan pelaku tetap terus melanggar ketentuan, barulah sanksi pidana dapat diterapkan kepada si pelaku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menangani kasus ini, para penegak hukum tidak seharusnya serta-merta memberikan sanksi pidana kepada si pelaku. Ada tahapan tertentu, yakni tahapan pemberian peringatan kepada si pelaku tindak penistaan agama, sebelum akhirnya diberikan sanksi pidana sesuai yang termaktub dalam Pasal 156a KUHP. Hemat penulis, pendekatan yang bersifat restorative justice seharusnya sudah dapat mengakomodasi permasalahan ini. Terlebih lagi, Sukmawati telah menyampaikan permintaan maafnya mengenai puisinya kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI). Penggunaan langkah mediasi seharusnya dapat diutamakan untuk mempertemukan Sukmawati dengan pihak-pihak yang dianggap dirugikan atau tersinggung setelah dibacakannya puisi tersebut. Barulah apabila langkah mediasi dianggap tidak dapat menjembatani kepentingan antara dua belah pihak, penggunaan jalur hukum dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini.

Penulis berpendapat bahwa pasal 156a dinilai cukup menjadi tantangan bagi para penegak hukum untuk menerapkannya pada suatu kasus. Pasalnya, sampai saat ini tidak ada batasan yang tegas dan jelas mengenai tindakan penistaan agama. Hal ini karena adanya batas tipis antara penyaluran ekspresi dengan penghinaan. Padahal, apabila hal ini terus dibiarkan terjadi, pasal tersebut dapat menjadi pasal karet yang dapat memicu kriminalisasi yang tidak seharusnya dan bahkan mengancam kebebasan berpendapat masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pasal 156a KUHP tersebut yang dinilai dapat memicu subjektivitas yang dikhawatirkan tidak dapat memberikan kepastian hukum yang jelas bagi masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya reformasi lebih lanjut mengenai pasal penistaan agama ini. Terlebih lagi, apabila pasal ini digunakan sebagai ajang polarisasi masyarakat dalam rangka kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) maupun pemilihan presiden (Pilpres) yang saat ini tengah menjadi topik panas di tengah-tengah masyarakat. Tentunya, pemberlakuan pasal ini juga seharusnya tidak luput dari tujuannya untuk memfasilitasi hak-hak warga negara dalam memeluk agama dan menjalankan kegiatan beribadahnya, seperti halnya yang sudah dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Selain itu, dilihat dari sudut pandang kesusastraan, agaknya terasa ganjil untuk menjerat sebuah hasil karya sastra dengan kasus penistaan agama. Menurut pendapat penulis, substansi dari puisi tersebut lebih menekankan pada ihwal kecintaan Sukmawati terhadap Indonesia yang melebihi kecintaannya terhadap agama Islam. Pemikiran yang demikian pun sebenarnya sah-sah saja, mengingat keyakinan seseorang merupakan suatu hal yang personal dan tidak dapat diintervensi oleh orang lain. Indonesia memang negara berpenduduk mayoritas Islam, tetapi bukan berarti bahwa seluruh derajat keimanan para pemeluknya harus disamakan. Apalagi jika melihat struktur sosial yang ada di masyarakat Indonesia di mana konfigurasi pemeluk ajaran agama Islam ini terbagi lagi menjadi Islam Santri, Abangan, hingga Priyayi. Namun, tetap saja, hak-hak memeluk agama oleh para pemeluk agama Islam memang sudah sepatutnya dihormati dan dijamin oleh negara. Akan menjadi masalah apabila puisi tersebut dijadikan sarana untuk menghasut orang lain untuk meninggalkan ajaran agama Islam. Namun, sepanjang yang penulis baca dari puisi ‘Ibu Nusantara’ karya Sukmawati itu secara holistik, penulis tidak menemukan adanya unsur yang dapat dikategorikan sebagai unsur penistaan agama. Menurut hemat penulis, puisi tersebut memang sarat dengan sifat menyinggung dan mempunyai potensi untuk menimbulkan konflik bagi pemeluk agama Islam di Indonesia, tetapi tidak sampai dalam tahap penistaan agama. Pendapat penulis ini bisa jadi berbeda dengan pendapat orang lain, dan ini menjadi cerminan bagi para penegak hukum betapa subjektifnya Pasal 156a mengenai penistaan agama tersebut. Adalah tantangan bagi para penegak hukum untuk menghadirkan serta menerapkan regulasi yang tepat dalam kasus penistaan agama sehingga dapat menjadi jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak sekaligus memberikan kepastian yang nyata bagi masyarakat.

Indonesia merupakan negara beragama yang hak-hak memeluk keyakinannya dijamin secara pasti oleh negara di dalam konstitusi, dan segala bentuk penistaan terhadap agama maupun bentuk kepercayaan lain jelas tidak dibenarkan, kecuali apabila kepercayaan tersebut dianggap sebagai suatu kepercayaan yang sesat. Namun, tindak kriminalisasi yang berlebihan menggunakan dalih penistaan agama juga tidak dapat dibenarkan—apalagi jika tindak kriminalisasi ini dilatarbelakangi oleh motif-motif yang tidak seharusnya. Di sini peran seluruh elemen penegak hukum sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian bagi masyarakat agar dapat memfasilitasi segala hak dan kewajiban yang ada serta menciptakan ketertiban di tengah-tengah masyarakat dan di seluruh masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

 

[i] Martahan Sohuturon, “Puisi Sukmawati Soekarnoputri Berbuah 14 Laporan Polisi,” https://cnnindonesia.com/nasional/20180405211030-12-288686/puisi-sukmawati-soekarnoputri-berbuah-14-laporan-polisi, diakses 10 April 2018.

[ii]  Mufti Sholih, “Puisi Sukmawati, Sekadar Ekspresi atau Penghinaan?” https://tirto.id/puisi-sukmawati-sekadar-ekspresi-atau-penghinaan-cHaa, diakses 10 April 2018.

[iii]  Syafiul Hadi, “Alumni 212: Sukmawati Soekarnoputri Lebih Parah daripada Ahok,” https://metro.tempo.co/read/1076993/alumni-212-sukmawati-soekarnoputri-lebih-parah-daripada-ahok, diakses 12 April 2018.

[iv] Tirto.id, “Puisi Sukmawati, Sekadar Ekspresi atau Penghinaan?” https://tirto.id/puisi-sukmawati-sekadar-ekspresi-atau-penghinaan-cHaa

[v] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), hlm. 134-135.

Leave a Reply