Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Larangan Pencatatan Perkawinan Beda Agama: Solusi atau Kemunduran Hukum?

Oleh: Dwimaya Ruth Diknasya Hutasoit

 

Tepat pada tanggal 17 Juli 2023, Mahkamah Agung (“MA”) telah secara resmi mengimbau hakim untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Imbauan tersebut dijelaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (“SEMA”) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Penerbitan SEMA Nomor 2 Tahun 2023 ini merespons dorongan dari pihak-pihak yang mengkritik putusan beberapa Pengadilan Negeri (“PN”), seperti PN Jakarta Selatan dan PN Surabaya yang mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama.

Penerbitan SEMA Nomor 2 Tahun 2023 ini dianggap sebagai langkah mundur yang menghambat perkembangan sistem peradilan dalam menjamin hak-hak warga negara dari berbagai latar belakang (Detik.com, 2023). Sebelumnya, beberapa PN telah menunjukkan kemajuan dalam memastikan hak-hak warga negara dengan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama, seperti yang terjadi di PN Jakarta Selatan, PN Yogyakarta, dan PN Surabaya. Namun, dengan adanya larangan ini, peluang untuk progresivitas dalam upaya menjamin hak-hak warga negara menjadi terbatas. Tidak hanya itu,  SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tersebut juga bertentangan dengan hukum positif, yaitu UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Reglement op de Gemengde Huwelijken (“GHR”).

Ketua Mahkamah Agung (“MA”), Prof. Dr. Syarifuddin, S.H., M.H., mengatakan bahwa SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tersebut diterbitkan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan, mengingat bahwa ada dorongan dari berbagai pihak mengenai pengabulan penetapan perkawinan beda agama. Juru bicara MA, Suharto, ikut menimpali bahwa SEMA tersebut memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan (CNNIndonesia.com, 2023).

Adapun isi yang tercantum dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2023 menjelaskan bahwa untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:

  1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.

Hanya saja, terdapat beberapa problematika yang mengindikasikan adanya kemunduran hukum dalam SEMA Nomor 2 tahun 2023. Hal ini dapat dilihat dari segi materil  SEMA tersebut yang bertentangan dengan isi Pasal 32 Huruf A UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang berbunyi “Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.” Adapun penjelasan Pasal 38 huruf a berbunyi, “Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda agama atau yang dilakukan penganut kepercayaan.” 

Wakil Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, menyatakan bahwa SEMA No 2 Tahun 2023 tidak berarti mengakhiri praktik perkawinan beda agama. Menurutnya, opsi perkawinan beda agama masih tetap ada berkat keberadaan Pasal 35 huruf (a) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang didasarkan pada semangat untuk memastikan hak administrasi warga tanpa adanya diskriminasi (Mediaindonesia.com, 2023). 

SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tidak hanya bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, tetapi bertentangan pula dengan Pasal 7 Ayat (2) GHR atau dikenal sebagai Peraturan Perkawinan Campuran yang di dalamnya mengatur tentang perkawinan beda agama. Dalam pasal tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa: “Perbedaan agama, bangsa, atau keturunan sama sekali bukan menjadi penghalang terhadap perkawinan.” Melalui isi pasal tersebut, sangat jelas bahwa GHR memperbolehkan adanya perkawinan beda agama. 

Adapun, hingga saat ini GHR merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Hal ini berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945  yang menyatakan bahwa segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada, masih berlaku sebelum diadakan peraturan baru. Berangkat dari pasal tersebut, dapat diketahui bahwa GHR masih berlaku sampai saat ini karena belum ada undang-undang yang mengatur mengenai perkawinan beda agama. Selain itu, Pasal 64 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) menyatakan bahwa apabila dalam UU Perkawinan belum mengatur suatu hal tertentu maka akan merujuk pada ketentuan yang sudah ada sebelumnya. Dalam UU Perkawinan saat ini, tidak terdapat ketentuan mengenai larangan perkawinan beda agama sehingga ketentuan yang masih berlaku adalah GHR.  

Melihat bahwa SEMA Nomor 2 Tahun 2023 telah menciptakan sebuah aturan baru yang bertentangan dengan UU Adminduk dan GHR, hal ini menjadi tanda tanya besar, apakah secara yuridis, SEMA dapat memuat suatu hukum yang baru? Pada dasarnya, SEMA dapat memuat suatu pengaturan yang bersifat membuat hukum baru dengan maksud mengisi kekosongan hukum. Hal ini selaras dengan Pasal 79 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa untuk mengatasi situasi atau masalah hukum yang tidak diatur secara rinci dalam undang-undang, MA memiliki kewenangan untuk mengeluarkan pengaturan pelengkap. Dalam hal ini, tentunya SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tidak sejalan dengan pasal tersebut karena pengaturan mengenai pencatatan perkawinan beda agama sudah ada dalam undang-undang sehingga tidak dapat dikatakan sebagai fenomena kekosongan hukum.

Selain itu, bunyi SEMA yang menjadi petunjuk hakim dalam mengadili perkara tidak sesuai dengan salah satu prinsip hukum, yaitu Judiciary Independence yang berarti seorang hakim harus bebas dari pengaruh atau campur tangan yang tidak semestinya. Adanya bunyi SEMA tersebut menandakan bahwa seorang hakim dilimitasikan haknya dalam memutuskan atau mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Semestinya, Judiciary Independence menjadi prinsip fundamental dalam masyarakat demokratis dan sangat penting untuk menjaga supremasi hukum serta melindungi hak-hak dan kebebasan individu. Kemerdekaan peradilan memastikan bahwa para hakim dan pengadilan dapat membuat keputusan yang adil dan tidak memihak tanpa dipengaruhi oleh berbagai hal, termasuk SEMA Nomor  2 Tahun 2023 tersebut. 

Pun, dalam memutus perkara secara konkrit, seorang hakim tidak dapat menciptakan hukum sendiri melalui SEMA. Penemuan hukum hanya dapat dilakukan oleh hakim melalui sebuah putusan. Jika kita melihat pada yurisprudensi yang ada, tercatat beberapa putusan telah mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa SEMA Nomor 2 Tahun 2023 yang dikeluarkan oleh Ketua MA tersebut telah menyimpangi kewenangan konstitusionalnya.