Plagiarisme bisa terjadi di manapun, termasuk di universitas top di Indonesia. Baru-baru ini, tengah viral kasus plagiarisme yang dilakukan oleh mahasiswi jurusan Manajemen berinisial S yang berasal dari universitas top di Surabaya yang juga seorang konten kreator pendidikan.
Kasus bermula saat P yang merupakan korban plagiarisme mengunggah tweet pada akunnya bahwa S dan kelompoknya menyalin tugas miliknya di salah satu mata kuliah mereka. Setelah itu, S menghubungi korban dan menjelaskan alasannya melakukan plagiarisme. Ia membuat korban mengunggah klarifikasi serta permintaan maaf atas masalah tersebut karena S mendapatkan intimidasi dari unggahan yang dibuat P.
Netizen menyayangkan hal tersebut karena menganggap bahwa korban tidak perlu melakukan klarifikasi. Peristiwa ini membuat nama S yang merupakan konten kreator cukup terkenal dalam bidang pendidikan pun tercoreng.
Respons Masyarakat dan Hukum dalam Menyikapi Plagiarisme
Plagiarisme termasuk ke dalam kejahatan yang bersifat melawan hukum karena merugikan orang lain, terkhusus pemilik karya. Tindakan plagiarisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Walaupun terdapat undang-undang untuk kasus plagiarisme, sampai saat ini belum ada kasus plagiarisme oleh mahasiswa yang benar-benar sampai ke pengadilan. Biasanya, kasus plagiarisme yang dibawa ke pengadilan adalah ketika adanya karya orang lain yang sudah memiliki lisensi “hak cipta” ditiru orang lain.
Penyelesaian kasus plagiarisme oleh mahasiswa dianggap belum memerlukan tindakan dari pengadilan dan memberikan kesempatan berupa sanksi lain. Hal ini karena adanya beberapa pertimbangan seperti karya plagiarisme yang diplagiat biasanya belum memiliki lisensi hak cipta dan ingin memberikan kesempatan lagi untuk pelaku. Sanksi yang diberikan kepada mahasiswa yang melakukan tindak plagiarisme masih berupa sanksi sosial dan akademik. Kedua sanksi ini dinilai lebih efektif terhadap mahasiswa karena masih dianggap “ringan” tetapi memberikan efek jera pada mahasiswa untuk tidak mengulanginya kembali.
Respon masyarakat terhadap perilaku plagiat tentu saja mencerminkan penolakan karena plagiat dinilai sebagai hal yang melanggar etika dan integritas. Hal tersebut dapat dilihat pada kasus Safrina. Netizen memberikan komentar buruk terkait perilaku Safrina melalui laman media sosial Safrina.
Kasus Safrina Bukanlah yang Pertama
Kasus Safrina bukanlah kasus plagiarisme yang pertama kali terjadi di lingkungan universitas. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara pada 7 Desember 2020, tingkat plagiarisme meningkat di kalangan mahasiswa, di mana terdapat kemiripan yang tinggi dari hasil turnitin sebesar 33% yang menunjukkan mahasiswa melakukan plagiarisme. Bahkan, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Hariri dan Pradana pada tahun 2019 di Universitas Islam Malang, terdapat 50% mahasiswa akutansi yang melakukan plagiarisme berdasarkan hasil pengecekan plagiasi tugas akhir.
Plagiarisme Sebagai Bentuk Pelanggaran Hak Cipta
Maraknya plagiarisme di kampus menunjukkan bahwa pelanggaran hak cipta merupakan isu yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Karya ilmiah yang bisa dikatakan sebagai bentuk plagiarisme dan melanggar hak cipta bukan hanya tulisan-tulisan yang didaftarkan. Pengacara Hak Kekayaan Intelektual, Ari Juliano Gema menyatakan bahwa hak cipta tidak perlu didaftarkan. Hal ini berarti apabila kita merasa telah menciptakan sebuah karya terlebih dahulu, kita berhak untuk menggugat pihak yang menjiplak karya yang kita buat.
Hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi didalamnya. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) poin a-e UU Hak Cipta, hak moral adalah hak yang melekat secara abadi yang ada pada diri pencipta, di mana yang menjadi bagian dari hak moral adalah keharusan mencantumkan nama pada salinan sehubungan pemakaian ciptaan untuk umum, menggunakan nama samaran, mengubah ciptaan sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat, mengubah judul dan anak judul ciptaan, dan mempertahankan haknya apabila terjadi distorsi ciptaan, mutilasi, modifikasi, atau hal yang merugikan kehormatan diri atau reputasi pencipta.
Jika melihat pasal 44 UU Hak Cipta bahwa “Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan: (a) pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta; (b) dst…..” Pasal ini pada intinya menjelaskan bahwa penggunaan karya tulisan orang lain sebagai referensi dan dengan mencantumkan nama pembuat karya tulis tersebut dalam sumber maka tidak akan dianggap sebagai plagiarisme. Sebaliknya jika tidak ada penyebutan sumber untuk penggunaan suatu karya ciptaan orang lain maka akan dianggap sebagai plagiarisme.
Merujuk pada kasus a quo, tindakan yang dilakukan oleh S dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak moral yang salah satu unsurnya, yaitu kewajiban untuk mencantumkan nama pencipta pada salinan sehubungan pemakaian ciptaan untuk umum. Hal ini dapat dibuktikan ketika S menggunakan karya tulis yang diciptakan oleh P tanpa penyertakan sumber dari pencipta karya tulis tersebut. S mengambil karya tulis P untuk kepentingannya sendiri dengan cara mengakui karya tulis P sebagai hasil yang dikerjakannya sendiri dengan tujuan memperoleh nilai bagus. Dengan tidak mencantumkan sumber asli dari tulisan S, tindakan S dalam hal ini secara jelas merupakan plagiarisme.
Pengenaan Sanksi atas Tindakan Plagiarisme
Pelanggaran hak moral dapat ditindaklanjuti secara perdata, yang dituju berarti menuntut adanya ganti rugi. Selain secara perdata, penyelesaian juga diatur dalam pasal 95 ayat (1) UU Hak Cipta yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa hak cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau jalur pengadilan.
Selain sanksi hukum secara perdata, pihak yang melakukan plagiarisme di kampus dapat mendapatkan sanksi berupa sanksi akademik yang telah diatur oleh universitas berdasarkan kebijakan masing-masing. Pada kasus S, pihak universitas memberikan sanksi akademik berupa digugurkannya nilai mata kuliah S dan seluruh anggota kelompoknya yang terlibat, dan mereka harus mengulang mata kuliah tersebut.
Sanksi akademik dapat direalisasikan melalui pelaporan dugaan plagiarisme pada pihak fakultas. Sebagai contoh, di Universitas Indonesia mahasiswa dapat melaporkan dugaan pelanggaran kode etik seperti plagiarisme pada Sistem Pelaporan Dugaan Pelanggaran Universitas Indonesia (SIPDUGA UI). Selain itu, di universitas top tersebut, khususnya Fakultas Ekonomi dan Bisnis, mahasiswa dapat melaporkan dugaan plagiarisme melalui saluran resmi Humas FEB universitas top tersebut. Mahasiswa juga dapat secara langsung melaporkan dugaan plagiarisme kepada dosen pengajar.
Kesimpulan dan Saran
Penting untuk mahasiswa mengetahui secara jelas mengenai plagiarisme. Mahasiswa yang merasa karyanya dijiplak sangat dianjurkan untuk melaporkannya kepada pihak kampus. Tindakan plagiarisme adalah tindakan yang tak hanya memiliki konsekuensi sanksi akademik dan sanksi sosial, tetapi juga sanksi hukum. Walaupun karya tulis tersebut tidak melanggar hak ekonomi, bentuk plagiarisme terhadap karya tulis seseorang tetap dapat dikatakan sebagai pelanggaran hak moral. Kepedulian diperlukan dari para mahasiswa bahwa plagiarisme tidak dapat ditoleransi. Dengan begitu, tindakan plagiarisme dapat dicegah dalam dunia akademik.