Oleh: Joy Chahayani
Staf Biro Jurnalistik LK2 FHUI 2023
Korean popular music atau yang kerap dikenal K-pop adalah musik populer yang berasal dari Korea Selatan sebagai bagian dari budaya Korea Selatan yang mencakup gaya dan genre dari seluruh dunia. K-pop terkenal dengan perpaduan musik sintesis, rutinitas tarian yang tajam, dan pakaian yang modis dan penuh warna (Institut national de l’audiovisuel, 2013). Selain itu, para idol K-pop juga terkenal dengan usianya yang masih sangat muda. Salah satu grup K-pop yang sedang naik daun adalah New Jeans, girl group bentukan agensi All Doors One Room (ADOR) Entertainment yang aktif sejak tahun 2022. Grup ini memiliki 5 anggota, yaitu Minji, Hanni, Danielle, Haerin, dan Hyein. Semua anggota tersebut masih berumur belia, termasuk member termuda mereka, Hyein, yang tahun 2023 ini baru berumur 15 tahun.
Debutnya artis-artis muda bukanlah suatu fenomena yang baru terjadi di dunia K-pop. Lee Seung-Gi, artis multitalenta yang sangat terkenal di Korea Selatan, menjalani debutnya pada tahun 2004 ketika ia masih berusia 17 tahun. Lee Seung-Gi mulai berselisih dengan mantan agensinya, Hook Entertainment, pada bulan Desember 2022 dengan mengklaim bahwa perusahaan tersebut telah gagal membayarnya sesuai dengan pendapatan yang dia peroleh. Ia telah menjadi penyanyi populer sejak debutnya pada tahun 2004 dan telah merilis total 137 lagu selama 18 tahun terakhir. Namun, baru-baru ini diketahui oleh publik bahwa dia belum menerima pembayaran apa pun untuk streaming digital atau download lagu-lagunya (Korea JoongAng Daily, 2023).
Kasus Lee Seung-Gi ini pun terdengar oleh pemerintah Korea Selatan. Pada bulan April lalu, Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Majelis Nasional Korea Selatan berhasil mengesahkan Popular Culture and Arts Industry Development Act atau yang populer disebut sebagai Lee Seung-Gi Situation Prevention Act. Kebijakan ini mengharuskan agensi hiburan secara teratur menyerahkan laporan rekening keuangan kepada Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata setidaknya setahun sekali. Kebijakan tersebut juga memberikan wewenang yang lebih besar kepada Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata untuk memanggil karyawan agensi hiburan dan afiliasinya selama penyelidikan atas transaksi keuangan yang mencurigakan atau ilegal. Kebijakan ini juga memperluas peraturan untuk perlindungan individu di bawah umur yang aktif di bidang budaya dan seni populer. Agensi hiburan akan dilarang melanggar hak pendidikan anak di bawah umur, dilarang berbahasa yang kasar, dan memberikan tekanan berlebihan terhadap pemeliharaan kecantikan. Kebijakan ini juga mengatur secara spesifik jumlah jam kerja maksimum yang diperbolehkan bagi anak di bawah umur. Mereka yang berusia kurang dari 12 tahun diperbolehkan bekerja hingga 25 jam seminggu, maksimal 6 jam sehari. Mereka yang berusia 12–15 tahun diperbolehkan bekerja 30 jam seminggu, sedangkan mereka yang berusia di atas 15 tahun dapat bekerja 35 jam seminggu, kedua kelompok umur dibatasi 7 jam sehari (Insider.com, 2023).
Kebijakan baru ini berpotensi memberikan dampak baik bagi industri K-pop. Sebelumnya, banyak idol K-pop yang harus berhenti sekolah karena jadwal yang sangat padat, sebut saja Doyoung NCT, Haechan, Jeno, dan Jaemin NCT DREAM, Rose Blackpink, Hoya INFINITE, dan Minzy 2NE1. Dengan adanya kebijakan baru ini, hak pendidikan anak para idol tidak dilanggar. Selain itu, adanya transparansi keuangan akan berdampak baik bagi artis yang selama ini mengalami ketidakadilan. Bukan hanya Lee Seung-Gi, kasus-kasus seperti yang menimpa tiga anggota TVXQ, Kim Junsu, Kim Jae-joong, and Park Yoo-chun, terkait ketidakadilan pembagian honor juga dapat terhindarkan, juga kasus EXO-CBX (Chen, Baekhyun, dan Xiumin) yang mengklaim bahwa agensi mereka tidak mengungkapkan rincian lengkap terkait pembayaran mereka, dan kasus LOONA yang mengajukan penangguhan kontrak eksklusif dengan agensi mereka karena menjadi sasaran distribusi keuntungan yang tidak adil dan bekerja terlalu keras.
Meskipun berpotensi mencegah kasus-kasus di atas, kebijakan ini mendapat reaksi keras dari beberapa asosiasi K-Pop, yaitu Korea Music Content Association, Korea Entertainment Producer’s Association, Korea Management Federation, Recording Industry Association of Korea, dan Record Label Industry Association of Korea. Mereka menyebutkan bahwa kebijakan tersebut menghalangi kemajuan industri budaya pop. Para idol menghabiskan berjam-jam hanya untuk riasan dan mobilisasi ke tempat pertunjukan. Mengurangi jam kerja anggota underage memerlukan beberapa perubahan lanjutan, seperti lebih banyak latihan koreografi tanpa anggota underage yang menyebabkan terbatasnya aktivitas grup idol yang beranggotakan berbagai usia. Mereka juga menyatakan bahwa tidak adil jika pelajar bisa belajar hingga larut malam, namun remaja yang ingin menjadi artis K-pop tidak diperbolehkan melakukan aktivitas yang diinginkan.
Meskipun mendapat reaksi keras dari asosiasi Korea, seorang kritikus musik bernama Seo Jeong Min-gap berpendapat bahwa kebijakan tersebut memang diperlukan. Ia menjelaskan bahwa jam kerja yang intensif memang berkontribusi terhadap kesuksesan K-pop, namun kini aspek tersebut patut dipertanyakan apakah tetap penting sebab kesejahteraan para idola, terutama mereka yang masih sangat muda, harus dipertimbangkan. Menteri Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan, Park Bo-gyun, menyebutkan bahwa kebijakan ini akan menghapus praktik-praktik industri yang tidak masuk akal di balik pengembangan K-pop, dan menyediakan lingkungan yang melindungi hak asasi anak dan remaja idol K-pop yang ingin mengejar impian mereka.
Permasalahan terkait kurangnya perlindungan hak asasi artis anak tidak hanya terjadi Korea Selatan, tetapi juga di Indonesia. Banyak terjadi kasus artis Indonesia yang putus sekolah karena berbagai alasan. Sebut saja Abidzar Al Ghifari yang putus sekolah dan masuk ke dunia entertainment dan Farel Aditya yang putus sekolah demi fokus menjadi artis. Ada juga Natasha Wilona, Iko Uwais, dan Inul Daratista yang terpaksa putus sekolah karena masalah perekonomian. Anak seharusnya didorong dan didukung untuk mendapatkan pendidikan, sejalan dengan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua Anak.”
Selain itu, anak yang berprofesi sebagai entertainer, baik itu penyanyi, aktor, atau profesi lain, patut diberikan perlindungan hukum. Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa institusi yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi entertainer muda, seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memegang peranan penting dalam mengawasi konten penyiaran dan melindungi anak-anak serta remaja dari konten yang tidak sesuai atau berpotensi merugikan bagi mereka, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang memiliki tugas pokok untuk melakukan upaya-upaya perlindungan bagi anak-anak Indonesia, dan Pengawas Ketenagakerjaan yang merupakan pengawas dan penegak pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan menurut Pasal 1 angka 32 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan jo. Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan. Akan tetapi, baik KPI, KPAI, maupun Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi melalui Pengawas Ketenagakerjaannya belum memiliki tugas khusus dalam hal pengawasan perlindungan hak-hak artis anak ini.
Selain institusi, Indonesia memiliki beberapa regulasi yang berhubungan dengan perlindungan kepada anak-anak yang bekerja, misalnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Dalam Pasal 71 UU Ketenagakerjaan, anak-anak diizinkan bekerja dalam rangka mengembangkan bakat dan minatnya dengan memenuhi beberapa syarat, yaitu adanya pengawasan orang tua, jam kerja tidak lebih dari tiga jam, dan lingkungan bekerja yang ramah anak. Usia anak yang diperkenankan bekerja, jika konsisten dengan pasal sebelumnya, dibatasi pada usia diatas 14 tahun. Meskipun demikian, UU Ketenagakerjaan kurang diterapkan dengan sungguh-sungguh dan tidak memberi catatan khusus tentang pekerja anak dalam industri hiburan. Ada juga Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 yang melindungi penonton televisi anak-anak atas konten yang dimuat di media, tapi tidak ada perlindungan pada pekerja anak dalam industri penyiaran.
Kurangnya perlindungan terhadap anak tidak hanya terlihat dari kurangnya instansi dan regulasi yang mengatur, tetapi juga dari kesadaran masyarakat. Meskipun masyarakat sudah mulai vokal mengenai eksploitasi seksual terhadap artis anak, tampaknya belum banyak masyarakat yang tersadar akan eksploitasi ekonomi terhadap anak yang mirisnya kerap kali dilakukan oleh orang tua anak itu sendiri. Tak jarang kita melihat fakta bahwa anak-anak yang masih belia sudah dijadikan konten oleh orang tuanya, tanpa mengonsiderasi kemungkinan sang anak tidak ingin tumbuh menjadi seorang artis. Belum lagi kenyataan bahwa artis anak tidak pernah dilihat sebagai pekerja, melainkan sebagai “bintang” yang menyebabkan terabaikannya hak si artis anak.
Oleh karena itu, seharusnya Indonesia bercermin dari Korea Selatan yang mulai mempertegas perlindungan atas artis K-pop underage. Perlindungan ini merupakan tanggung jawab sosial dan moral yang harus diemban oleh masyarakat, industri hiburan, dan pemerintah. Perlindungan artis anak di Indonesia dapat dimulai dengan pengawasan ketat terhadap jam kerja artis anak dan akses ke pendidikan yang layak. Selain itu, perlu ada kebijakan yang jelas untuk melindungi artis anak dari eksploitasi fisik, seksual, emosional, dan ekonomi sehingga mereka terlindungi dari tekanan berlebihan yang berpotensi membahayakan mental dan fisik mereka. Pendidikan dan pemahaman tentang hak mereka juga harus ditingkatkan sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam mengambil keputusan terkait karir mereka dengan lebih bijak.