Oleh: Saniyyah Defarianty
Staf Biro Jurnalistik LK2 FHUI 2023
Seperti yang kita ketahui, beberapa waktu yang lalu, media sempat dihebohkan dengan film dokumenter original netflix yang mengangkat cerita kasus sianida Jessica Wongso dan Wayan Mirna Salihin. Film dokumenter ini heboh bahkan hingga ke beberapa sosial media membicarakan terkait film ini. Pada tahun 2016 silam, Indonesia dihebohkan adanya kasus pembunuhan dengan kopi sianida hingga pada saat persidangan kasus ini, banyak wartawan yang berbondong-bondong masuk ke dalam persidangan untuk meliput kasus ini. Dari film dokumenter tersebut, dapat dilihat bahwa ada beberapa penegakan hukum pada persidangan kasus kopi sianida yang dapat kita telusuri apakah penegakan hukum dalam sidang tersebut sudah tepat untuk digunakan. Salah satu teori hukum acara pidana yang menjadi sorotan dalam tulisan ini adalah penerapan circumstantial evidence sebagai alat bukti tidak langsung untuk menjatuhkan tuntutan kepada Jessica Wongso. Circumstantial evidence ini digunakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai alat bukti karena tidak adanya bukti direct yang menunjukkan bahwa Jessica Wongso menuang sianida ke dalam kopi Wayan Mirna Salihin dalam CCTV.
Otto Hasibuan, selaku kuasa hukum Jessica Wongso, menyatakan bahwa Jessica Wongso tidak pernah menuang sianida ke dalam kopi yang diminum oleh korban, yakni Wayan Mirna Salihin. Otto juga menyatakan bahwa hakim tidak dapat menyatakan Jessica bersalah, karena tidak adanya bukti yang menunjukkan darimana sianida itu berasal (Salihin, et al. 2023). Selain itu, alat bukti CCTV tidak cukup membuktikan bahwa Jessica Wongso adalah pembunuh. Karena dalam cuplikan CCTV pada saat kejadian, Mirna tertutup oleh shopping bag Jessica sehingga tidak ada bukti konkrit yang menunjukkan bahwa sianida dimasukkan ke dalam kopi milik Mirna. Selanjutnya, pihak tergugat memanggil ahli patologi forensik, yaitu Djaja Surya Atmadja, ia menyatakan bahwa dalam tubuh Mirna hanya ditemukan 0.2 g sianida setelah 90 hari ia meninggal yang berarti kandungan tersebut tidak mematikan (Salihin, et al. 2023) .
Berbeda dengan pandangan Jaksa, menurut mereka, tidak perlu ada alat bukti langsung untuk menyatakan bahwa Jessica bersalah karena pembuktian tidak harus selalu direct (Salihin, et al. 2023). Mereka dapat menggunakan circumstantial evidence atau alat bukti tidak langsung untuk membuktikan suatu kesalahan tindak pidana dalam persidangan. Dengan circumstantial evidence, pembuktian dilakukan dengan melihat kedekatan alat bukti dan fakta yang dibuktikan di persidangan (Fathurrachman 2018). Menurut pernyataan JPU dalam kasus Jessica-Mirna ini, alat bukti tidak langsung ini digunakan dengan cara melihat dari rangkaian beberapa peristiwa yang akan menunjukkan bahwa seseorang tersebutlah yang melakukan kesalahan (Salihin, et al. 2023).
Di Indonesia, dalam pengaturan mengenai alat bukti untuk diajukan di persidangan yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) tidak mengatur secara terang terkait alat bukti langsung dan alat bukti alat bukti tidak langsung. Alat bukti tidak langsung ini hanya diatur dalam 164 HIR sebagai indirect evidence untuk persidangan perdata, sedangkan untuk persidangan pidana alat bukti tidak langsung ini didasari oleh doktrin-doktrin hukum (Mardhatillah and Mahyani 2019).
Dalam sidang Jessica-Mirna, JPU menemukan fakta-fakta sebagai alat pembuktian, yakni berupa footage dalam kamera CCTV cafe di tempat kejadian perkara. Kamera CCTV tersebut tepat merekam pada saat keberadaan Jessica serta shopping bag Jessica yang ditaruh di atas meja. Di dalam rekaman CCTV tersebut, kamera terhalang oleh shopping bag milik Jessica sehingga tidak terlihat apakah Jessica benar-benar memasukkan sianida atau tidak. tidak lama kemudian, Mirna yang berada tepat di sebelah Jessica langsung kejang-kejang saat meminum kopi yang dipesan Jessica. Dari sinilah, JPU menemukan “clue” untuk memberlakukan circumstantial evidence karena JPU dapat mengaitkan antara kejadian dan fakta yang ada bahwa orang yang pertama kali memesan serta fakta yang mencurigakan ada di Jessica.
Pemberlakuan circumstantial evidence ini menimbulkan beberapa pertanyaan, seberapa jauh JPU dapat menuntut tersangka dalam persidangan dengan alat bukti tidak langsung ini. Dalam beberapa kasus, seperti kasus persaingan usaha, circumstantial evidence ini kerap digunakan karena sulit untuk membuktikan perbuatan yang dilanggar atau dilarang dalam persaingan usaha serta sulitnya untuk menghadirkan alat bukti langsung untuk kasus ini (Siregar 2018). Namun, penggunaan circumstantial evidence ini di sisi lain juga menimbulkan masalah dalam sistem peradilan pidana di Indonesia karena penggunaannya yang hanya menggunakan spekulasi dan keyakinan hakim tanpa bukti langsung yang menunjukkan apakah seseorang benar-benar melakukan pidana atau tidak. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kepastian hukum. Penggunaan circumstantial evidence dalam kasus Jessica-Mirna ini kurang memberikan kepastian hukum karena fakta-fakta bahwa Jessica yang memesan kopi lebih dulu dan menaruh shopping bag di atas meja dan perbuatan tersebut dianggap untuk menutupi perbuatannya meracuni Mirna, tidak cukup membuktikan bahwa Jessica adalah pelakunya (Dhani 2016).
Dari pernyataan di atas, dalam film dokumenter Jessica-Mirna terdapat banyak teori Hukum Acara Pidana yang dapat kita analisis, salah satunya adalah penggunaan circumstansial evidence oleh JPU sebagai alat bukti tak langsung untuk menjatuhkan hukuman ke Jessica. Tidak adanya bukti langsung yang dapat membuktikan bahwa Jessica adalah orang yang membunuh Mirna dalam rekaman CCTV Olivier Cafe tersebut menjadi jalan JPU untuk menggunakan circumstansial evidence karena Jessica adalah orang yang dianggap paling dekat dengan fakta-fakta dari alat bukti yang ada di persidangan. Namun, penggunaan circumstantial evidence ini kurang memberikan kepastian hukum karena tidak dapat menunjukkan fakta terkait terbunuhnya Mirna oleh Jessica secara langsung.