Kuota Hare dan Sainte-Lague dalam UU Pemilu

Oleh: Samuel Tua Parulian Putera Simanjuntak

Staf Biro Jurnalistik LK2 FHUI 2018

Dalam beberapa bulan mendatang, rakyat Indonesia akan segera menghadapi sebuah tahapan demokrasi terbesar, yakni pemilihan umum (pemilu). Kita sebagai rakyat Indonesia mampu memberikan suara dan pilihan kita kepada wakil-wakil rakyat maupun Presiden dan Wakil Presiden yang akan menjalankan roda pemerintahan untuk waktu lima tahun mendatang. Proses pemilu merupakan hak bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menentukan arah jalannya bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Oleh karena itu, pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Undang-undang ini merupakan bentuk penggabungan beberapa undang-undang mengenai pemilu, misalnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagai penyederhanaan guna menyambut pemilu yang diadakan secara serentak sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.

Meskipun begitu, pada masa legislasi dan pembahasan hingga penetapan, banyak pihak yang tidak menyetujui bahkan menentang pemberlakuan UU Pemilu. Pasalnya, dalam undang-undang ini, terdapat beberapa perubahan ketentuan yang menyangkut beberapa hal, seperti patokan mengenai pengusungan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden hingga metode penetapan hasil pemilu bagi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Tulisan ini akan membahas lebih lanjut perihal perubahan metode penetapan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pemilu legislatif di Indonesia, selama ini, menggunakan suatu metode penetapan calon anggota DPR yang disebut Kuota Hare. Setelah ditetapkannya UU Pemilu, proses penghitungan suara dan konversinya ke dalam kursi di parlemen menggunakan metode Divisor Sainte-Lague. Lantas, apakah yang dimaksud dengan kedua metode penghitungan suara tersebut yang belakangan ini tengah menjadi isu yang cukup hangat di berbagai media?

Metode penghitungan suara merupakan variabel utama dalam suatu sistem pemilu yang berfungsi untuk mengonversikan perolehan suara partai politik dalam pemilu menjadi kursi di parlemen. Dalam konteks pemilu yang diadakan di Indonesia, sistem yang digunakan disebut List PR with Open List System. Dalam sistem List PR, proses konversi suara ke kursi dapat dilakukan dengan dua cara, yakni berdasarkan rata-rata tertinggi atau yang biasa disebut dengan metode pembagi (Devisor) dan berdasarkan suara sisa terbesar atau yang biasa disebut dengan metode Kuota.

 

Metode Kuota

Metode Kuota merupakan metode penghitungan suara yang pada umumnya menilik pada suara terbesar dalam suatu pemilu. Metode ini merupakan metode yang sistematika kerjanya terhitung lebih sederhana dibandingkan dengan metode Divisor, terutama dalam penentuan suara sisa. Metode Kuota terbagi atas dua macam formula yang umum digunakan, yakni Hare dan Droop (Nimatul Huda 2017).

 

Metode Kuota Hare

Metode Kuota Hare, sebagaimana diklasifikasikan ke dalam metode Kuota, adalah metode yang menilik jumlah minimal tertentu yang membuat suatu partai politik dapat memperoleh kursi di suatu daerah pemilihan (dapil). Dalam metode ini, terdapat dua buah tahapan yang perlu digunakan guna mengonversi suara menjadi kursi di parlemen. Sistematika tersebut lebih dikenal dengan istilah Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Pertama, dilakukan penghitungan “harga” satu buah kursi dalam suatu dapil dengan menggunakan rumus voice (jumlah suara) yang dibagi dengan seats (jumlah kursi yang ditentukan dalam suatu dapil). Kedua, dilakukan penghitungan jumlah perolehan kursi dari masing-masing partai politik dalam dapil yang dilakukan dengan cara membagi jumlah perolehan suara suatu partai politik dalam dapil dengan “harga” satu buah kursi.

  • Sebagai contoh, dalam Pemilu 2019, perolehan suara dalam suatu dapil memiliki alokasi empat kursi. Partai A memperoleh 220.000 suara, Partai B memperoleh 100.000 suara, Partai C memperoleh 30.000 suara, Partai D memperoleh 25.000 suara, sedangkan Partai E, F, G, H, dll. memperoleh 25.000 suara. Jumlah suara sah adalah 400.000. Dengan demikian, harga satu kursi adalah 100.000 suara. Jika menggunakan BPP atau metode Kuota Hare, perolehan kursi pada tahap I adalah Partai A mendapatkan 2 kursi dengan sisa suara 20.000, Partai B mendapatkan 1 kursi dengan sisa suara 0, sedangkan Partai C dan D mendapatkan 0 kursi.
  • Pada tahap II, karena masih ada sisa satu kursi, sisa kursi diberikan kepada partai yang mempunyai sisa suara terbanyak secara berurutan. Partai A memiliki sisa 20.000 suara, Partai B memiliki sisa 0 suara, Partai C memiliki sisa 30.000 suara, sedangkan Partai D memiliki sisa 25.000 suara. Oleh karena itu, yang mendapat kursi di tahap II adalah Partai C. Secara keseluruhan, Partai A mendapatkan 2 kursi, Partai B mendapatkan 1 kursi, Partai C mendapatkan 1 kursi, sedangkan Partai D tidak mendapatkan kursi.

Metode Kuota Hare diciptakan oleh Sir Thomas Hare, ahli hukum asal Inggris yang di negerinya dikenal sebagai ahli hukum yang tertarik untuk melakukan reformasi terhadap sistem pemilu di Inggris. Metode ini dibuat sebagai upaya menciptakan sistem pemilu yang dapat memberikan hasil yang proporsional dan merata bagi setiap kalangan. Metode Kuota Hare telah digunakan di banyak negara, misalnya di Austria, Filipina, Italia, Korea Selatan, Meksiko, dan berbagai negara di Afrika (Kompas 2017).

 

Metode Divisor

Metode Divisor atau metode bilangan pembagi adalah metode yang konversinya menggunakan suatu angka pembagi. Metode ini dilakukan dengan menggunakan nilai rata-rata tertinggi atau yang biasa disebut dengan Bilangan Pembagi (BP). Metode Divisor sendiri memiliki dua macam varian, yakni Sainte-Lague dan d’Hondt (P. Kartawidjaja dan F. Aminuddin 2014). Dalam metode Divisor, tidak ditetapkan “harga” satu buah kursi sebagai bilangan pembagi. Metode ini memiliki bilangan tetap untuk membagi perolehan suara masing-masing partai politik dengan logika jumlah perolehan tertinggi dari hasil suara partai politik dalam pemilu, dengan logika jumlah perolehan tertinggi diurutkan sesuai dengan alokasi kursi yang disediakan dalam suatu dapil (Tirto.id 2017).

 

Metode Divisor Sainte-Lague

Metode Sainte-Lague merupakan metode yang menggunakan cara penghitungan yang digunakan dalam metode Divisor. Metode Sainte-Lague murni menggunakan rumus seluruh jumlah suara yang masuk dibagi dengan angka pembagi yang berbasis rata-rata jumlah suara tertinggi guna menentukan alokasi kursi dalam suatu dapil. Metode Sainte-Lague, dalam praktiknya, dapat dikatakan lebih kompleks dibandingkan dengan metode Kuota Hare. Dengan metode Sainte-Lague, pembaginya bukan kuota kursi, melainkan perolehan suara yang dibagi oleh bilangan pembagi yang merupakan angka ganjil yang sesuai dengan jumlah alokasi kursi per dapil untuk urutan masing-masing kursi (Pasal 415 ayat (2) UU Pemilu). Apabila kita menggunakan metode Sainte-Lague terhadap contoh dari penjelasan mengenai metode Kuota Hare, hasil perhitungannya dijelaskan sebagai berikut.

  • Alokasi kursi pertama

Dalam alokasi kursi pertama, perolehan suara dibagi satu. Perolehan suara Partai A 220.000/1, Partai B 100.000/1, Partai C 30.000/1, sedangkan Partai D 25.000/1. Jadi, Partai A mendapatkan satu kursi karena memperoleh suara terbanyak.

  • Alokasi kursi kedua

Jika suatu partai telah mendapatkan kursi di tahap pertama, perolehan suara partai tersebut dibagi tiga, sedangkan perolehan suara partai yang belum mendapatkan kursi tetap dibagi satu. Perolehan suara Partai A 220.000/3 = 73.333, Partai B 100.000/1 = 100.000, Partai C 30.000/1 = 30.000, sedangkan Partai D 25.000/1 = 25.000. Dari hasil ini, Partai B mendapatkan satu kursi karena memperoleh suara terbanyak di alokasi kursi kedua.

  • Alokasi kursi ketiga

Perolehan suara Partai A 220.000/3 = 73.333, Partai B 100.000/3 = 33.333, Partai C 30.000/1 = 30.000, sedangkan Partai D 25.000/1 = 25.000. Jadi, Partai A kembali mendapatkan satu kursi karena memiliki suara terbanyak di alokasi kursi ketiga.

  • Alokasi kursi keempat

Jika suatu partai telah mendapatkan kursi di tahap ketiga, perolehan suara partai tersebut dibagi lima. Perolehan suara Partai A 220.000/5 = 44.000, Partai B 100.000/3 = 33.333, Partai C 30.000/1 = 30.000, sedangkan Partai D 25.000/1 = 25.000. Jadi, Partai A kembali mendapatkan satu kursi karena memiliki suara terbanyak di alokasi kursi keempat. Dengan demikian, total akhir perolehan kursi adalah Partai A mendapatkan 3 kursi, Partai B mendapatkan1 kursi, Partai C mendapatkan 0 kursi, sedangkan Partai D mendapatkan 0 kursi.

Nama Sainte-Lague sendiri diambil dari nama seorang matematikawan Prancis, Andre Sainte-Lague, yang memperkenalkan metode penghitungan ini dalam artikelnya yang ditulis pada tahun 1910. Sistematika penghitungan suara Sainte-Lague selama ini memang kurang lazim dipergunakan dalam proses pemilu di dunia. Akan tetapi, seorang pengamat pemilu asal Australia, Antony Green, mengusulkan agar sistematika penghitungan suara dalam pemilu di negaranya yang selama ini menggunakan metode Kuota Hare diganti dengan metode Divisor Sainte-Lague. Menurutnya, sistem penghitungan suara berbasis Kuota memiliki sejumlah permasalahan, misalnya dalam kasus pemilu Dewan Legislatif Daerah Australia Selatan pada tahun 1993 dan 2010 (Antony Green 2017).

Metode Sainte-Lague sesungguhnya tidak memberikan keuntungan secara signifikan kepada partai-partai politik yang selama ini selalu memiliki tren suara yang tinggi serta merugikan partai-partai politik kelas “menengah ke bawah”. Keberlakuan metode Sainte-Lague dimaksudkan untuk menjamin keadilan bagi setiap partai politik dalam hal perolehan suara dan konversinya ke dalam kursi di parlemen (August Mellaz 2017). Hal ini tentu membantah banyak opini yang beredar bahwa penggunaan metode Divisor Sainte-Lague mematikan keberadaan partai-partai politik yang dianggap tidak memiliki basis massa tradisional dan besar. Meskipun begitu, dengan telah diundangkannya UU Pemilu, sebaiknya seluruh pihak, baik elit politik maupun mereka yang tengah mempersiapkan diri untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, perlu mempersiapkan diri dan mempelajari lebih lanjut mengenai tata cara dan sistematika penghitungan suara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada akhirnya, bagaimanapun metode penghitungan suara yang digunakan, wakil-wakil rakyat yang terpilih harus selalu setia bekerja dan mewakili aspirasi rakyat dalam berbagai dinamika yang ada selama masa jabatannya.

Leave a Reply