KORUPSI KOLOSAL E-KTP YANG MENCELAKAKAN NEGARA

Oleh: Antonius H. Priatmaja

Staf Bidang Penelitian LK2 FHUI 2017

 

Kartu Tanda Penduduk dapat dikatakan sebagai salah satu hak yang patut diperoleh bagi seluruh warga negara Indonesia. Hal ini dikarenakan Kartu Tanda Penduduk ini memuat dokumen kependudukan yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia. Saat ini, warga negara Indonesia dipermudah dengan kehadiran e-KTP atau KTP Elektronik yang lebih menjamin keamanan dokumen kependudukan tersebut. “Hanya negara-bangsa yang mampu mengembangkan kebijakan publik yang unggul, baik perumusan, implementasi, maupun evaluasi yang akan menjadi negara yang unggul dalam persaingan global” (Riant Nugroho, 2011). Dengan diberlakukannya e-KTP ini, pemerintah sudah mau mengambil kebijakan yang membuat Indonesia tidak tertinggal oleh perkembangan zaman dan menjadi negara yang unggul.

Semua warga negara Indonesia seharusnya dapat memperoleh secara “mudah” Kartu Tanda Penduduk mereka. Sayangnya, belakangan ini dapat kita rasakan bahwa masih saja terdapat kejadian dimana beberapa orang yang ingin mengurus pembuatan Kartu Tanda Penduduk terhambat karena proses administrasinya yang terkadang suka terbelit-belit. Dapat ditemui berbagai permasalahan yang dimulai dari hal teknis sampai yang non-teknis juga, seperti teknologi yang digunakan seringkali bermasalah, data kependudukan yang tidak mutakhir, dan sebagainya. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat kita katakan penyebabnya adalah pada tindakan korupsi di mega proyek e-KTP.

Korupsi yang terjadi melalui mega proyek e-KTP ini memang merugikan negara dalam skala yang cukup besar. “Korupsi ibarat penyakit menular yang menjalar pelan namun mematikan, menciptakan kerusakan yang sangat luas di masyarakat. Korupsi merusak demokrasi dan supremasi hukum, mendorong pelanggaran terhadap hak asasi manusia, mendistorsi perekonomian, menurunkan kualitas kehidupan dan memungkinakan organisasi kriminal, terorisme, dan berbagai ancaman terhadap keamanan untuk berkembang” (Kofi A. Annan; UN, 2004). Permasalahan korupsi dari mega proyek e-KTP ini menciptakan apa saja yang diibaratkan dalam pernyataan sebelumnya.

Kasus ini dapat dikatakan sebagai salah satu korupsi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Berawal dari dimenangkannya tender pengadaan e-KTP oleh konsorsium PT Percetakan Negara Republik Indonesia. Konsorsium ini terdiri dari Perum PNRI, PT Sucofindo, PT Sandhipala Arthapura, PT Len Industri, dan PT Quadra Solution. Anggaran yang dibawa oleh konsorsium tersebut untuk menjalankan proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik itu mencapai Rp5,9 triliun. Menurut ICW (Indonesian Corruption Watch), terdapat kejanggalan yaitu adalah post bidding, penandatanganan kontrak pengadaan e-KTP pada sanggah banding, dan persaingan usaha yang tidak sehatMuhammad Nur Rochmi, 2016).

Post bidding adalah suatu tindakan untuk mengubah, menambah, mengganti, dan atau mengurang dokumen pengadaan dan atau dokumen penawaran setelah batas akhir pemasukan penawaran (Jerome Wirawan, 2017). Pasca pengumuman tender, spesifikasi alat yang akan digunakan dalam proses pembuatan e-KTP, yaitu signature pad, diubah. Pelanggaran ini dinilai melanggar Pasal 79 ayat 2 Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 yang melarang tindakan post bidding. Pelanggaran ini juga disinggung oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) yang mana lembaga ini juga melakukan pengawasan terhadap permasalahan dalam proyek e-KTP tersebut. ICW dan LKPP menilai bahwa kontrak pengadaan e-KTP ditandatangani saat proses lelang tengah disanggah sehingga tidak memberi kesempatan kepada dua peserta lelang, yaitu Konsorsium Telkom dan Konsorsium Lintas Bumi Lestari, untuk memenangkan tender pengadaan e-KTP ini. Menurut LKPP sendiri, penandatanganan kontrak seharusnya ditunda sampai selesainya masa sanggah banding. Hal ini dikarenakan pada Pasal 82 Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 menyatakan bahwa sanggahan banding menghentikan proses lelang. Tetapi pada akhirnya, usaha LKPP untuk menunda penandatanganan kontrak tersebut tidak diindahkan.

Kemudian, persaingan usaha yang tidak sehat terdapat pada persekongkolan yang dilakukan oleh panitia tender, PNRI (Percetakan Negara Republik Indonesia), dan PT Astra Graphia Tbk. Masalah persaingan usaha tidak sehat ini dibeberkan oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Bentuk persaingan usaha yang tidak sehat itu, seperti PNRI dan Astra Graphia yang dinilai copypaste dokumen tender dan panitia lelang yang melakukan post bidding. Jika kita melihat semua kejadian di atas, proyek pengadaan e-KTP ini dilakukan penuh dengan kecurangan.

 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian menyelidiki kasus dugaan korupsi proyek e-KTP sejak pertengahan tahun 2014. Penyelidikan yang dilakukan oleh KPK ini sudah berlangsung hampir 3 tahun dan KPK telah memeriksa 280 orang dalam kasus ini. KPK baru dapat menetapkan dua tersangka yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman, dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, yaitu Sugiharto. Kedua orang tersebut diduga melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam proyek e-KTP. Irman yang waktu ditetapkan tersangka menjabat Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik, merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) proyek e-KTP, sedangkan, Sugiharto adalah Pejabat Pembuat Komitmen proyek tersebut. Kedua orang tersebut disangkakan dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Dikatakan oleh KPK bahwa penyelidikan masih terus berlangsung karena ternyata banyak sekali pihak terkait yang menerima aliran uang dari dana proyek pengadaan e-KTP tersebut. Masih terdapat sejumlah politikus dan anggota dewan yang menerima uang haram tersebut dan masih belum tertangkap oleh KPK.

Pada akhirnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa tindak pidana korupsi ini adalah korupsi yang paling besar dan merugikan negara kita. Dapat kita lihat dari kasus tersebut bahwa banyak orang di luar sana, apalagi pejabat-pejabat negara kita yang masih saja haus akan uang. Banyak dari mereka yang diduga terlibat dalam korupsi ini, masih tidak mau mengakui keterlibatannya. Penulis sangat berharap bahwa mereka sungguh-sungguh melihat kerugian sebesar apa yang mereka ciptakan kepada negara ini. Jika melihat kembali undang-undang mengenai tipikor pada UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pada Pasal 12 disebutkan bahwa denda maksimal untuk pelaku korupsi sebesar Rp1 miliar, penulis tidak yakin bahwa kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun itu dapat ditutup dengan menetapkan denda tersebut. Pada akhirnya, kita (masyarakat) lagi yang berusaha bekerja dengan jujur untuk menutupi kerugian negara.

Masalah korupsi e-KTP ini juga menimbulkan permasalahan dalam pembuatan e-KTP itu sendiri. Kerap kali kita menemukan masyarakat mengeluh dan sebagainya karena proses mengurusnya sangat lama dengan alasan yang dapat dikatakan bukan menjadi alasan seharusnya yang membuat proses pembuatan bisa sampai selama itu. Terhambatnya orang-orang untuk menerima e-KTP ini akan merugikan dalam berbagai hal, seperti tidak bisa bepergian keluar kota dengan transportasi umum yang memerlukan e-KTP, tidak bisa membuka dan mengurus rekening tabungan, dan segala kegiatan admnistrasi lainnya yang membutuhkan e-KTP bahkan dengan tidak adanya e-KTP pada masyarakat akan menghambat hak elektoral mereka. Maka itu, kita sebagai masyarakat hanya dapat berharap supaya KPK berhasil menangkap pejabat-pejabat dan politikus-politikus yang terlibat dengan masalah korupsi e-KTP ini.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA 

Egi. “Jejak Korupsi KTP Elektronik, Indonesia Corruption Watch.” Antikorupsi.org. Diakses pada 5 Juni 2017. http://www.antikorupsi.org/id/content/jejak-korupsi-ktp-elektronik.

Liputan 6. “Aliran Dana Kasus Dugaan Korupsi E-KTP.” Diakses pada 7 Juni 2017. http://news.liputan6.com/read/2881520/aliran-dana-kasus-dugaan-korupsi-e-ktp

Rochmi, Muhammad Nur. “Kronologi Sengkarut Korupsi e-KTP.” Beritagar.id. Diakses pada 5 Juni 2017. https://beritagar.id/artikel/berita/kronologi-sengkarut-korupsi-e-ktp.

Wirawan, Jerome. “Dugaan Korupsi KTP Elektronik Melewati Tiga Tahapan Ini.”  BBC. Diakses pada 6 Juni 2017. http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39207486.

Leave a Reply