DUKA PARA ANAK DIBAWAH UMUR

Oleh: Sisca Pratiwi, Staf Bidang Kajian Ilmiah LK2 FHUI 2017.

Maraknya pemberitaan yang tak sedikit menyiarkan kasus kekerasaan seksual terhadap anak dibawah umur kian sering terjadi. Fenomena ini dikarena anak dibawah umur yang enggan untuk melapor kepada orang tua atau orang terdekat lainnya. Maka dari itu fungsi orang tua haruslah ditingkatkan dengan mengenali tanda-tanda anak yang menjadi korban. Kekerasan seksual terhadap anak dapat berakibat panjang kedepannya, baik dampak fisik maupun psikis anak. Secara fisik mungkin tidak ada yang dipermasalahkan namun secara psikis atau kejiwaan anak inilah yang akan berakibat panjang mulai timbul adanya trauma anak, pembalasan dendam, malu untuk berinteraksi karena stigma negatif dari orang sekitar, hilangnya rasa pecaya diri hingga  hilangnya kepercayaan antara anak dengan orang tuanya. Oleh karena itu, diperlukan peranan yang sangat besar dari pihak-pihak terkait untuk mengatasi permasalahan ini dan membantu korban dalam mendapatkan haknya kembali.

Baru-baru ini terdengar kasus yang menghebohkan, yaitu kasus grup online yang terdapat di salah satu social media “facebook” bernamakan “Offical candy’s group”. Grup ini adalah grup yang dibuat oleh dan teruntuk para pedofilia yang berjumalah hampir ribuan anggota dengan menyebarkan konten aktivitas seksual terhadap anak. Para pelaku penyebar kegiatan seksual tersebut akan mendapatkan Rp15.000.000,00 dalam satu kali menyebar konten yang mana korban tersebut tidak boleh sama dari korban sebelumnya. Mencuatnya kasus ini membuat para orang tua dan public mengecam karena kebiadaban para pelaku terhadap anak dibawah umur. Pelaku adalah mereka yang melakukan kegiatan seksual dengan korbannya adalah anak dibawah umur atau disebut dengan pedofillia. Pedofillia dapat dieja ‘paedofilia’, atau disebut gangguan pedofilia, gangguan psikoseksual di mana orang dewasa memiliki fantasi seksual tentang atau terlibat dalam tindakan seksual dengan anak praremaja dari jenis kelamin yang sama atau sebaliknya[1].

  Data menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus.[2] Kekerasan seksual Menurut Ricard J. Gelles (Hurairah, 2012), kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak (baik secara fisik maupun emosional). Bentuk kekerasan terhadap anak dapat diklasifikasikan menjadi kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologi, kekerasan secara seksual dan kekerasan secara sosial. Kekerasan seksual terhadap anak menurut End Child Prostitution in Asia Tourism.[3] Kekerasan terhadap anak adalah kekerasan dengan memanfaatkan anak untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hubungan seksual, tidak hanya sebatas itu saja kadang kala pelaku memaksakan untuk melakukan aktivitas seksual dengan anak.

Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena anak selalu diposisikan sebagai kaum yang lemah dan selalu bergantung pada orang dewasa yang berada di sekitar mereka. Kelemahan tersebut dapat menjadi ancaman bagi anak itu sendiri, kebergantungan anak terhadap orang dewasa mengakibatkan mereka akan mengikuti perkataan orang dewasa ketika mereka diancam atau diberikan sesuatu hadiah ataupun hal lainnya. Orang dewasa terdekatlah yang terkadang menjadi pelaku kejahatan seksual terhadap anak namun siapapun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual tanpa ada karakteristik yang dapat diidentifikasi atau dicirikan. Faktor yang menjadi pendorong meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur, antara lain faktor internal dan eksternal. Faktor internal atau faktor dari dalam diri pelaku yang berhubungan dengan kejahatan seksual misalnya adanya faktor dorongan  biologis pelaku, faktor kejiwaan yang tidak stabil, dan faktor moral pelaku. Sedangkan faktor eksternal, yaitu faktor di luar diri pelaku yang mempengaruhi tindakan pelaku, contohnya media masa.

Lalu bagaiamanakah, perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak kejahatan kekerasan seksual di Indonesia? Perlinkorban terhadap anak diatur di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan hukum positif  (perundang-undangan), yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Perlindungan di dalam KUHP diatur mengenai perbuatan cabul pada Pasal 289, 292, 293, 294, 295 , dan 298. Perlindungan terhadap anak diatur di dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang berbunyi:

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

pelibatan dalam sengketa bersenjata;

pelibatan dalam kerusuhan sosial;

pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan

pelibatan dalam peperangan.[4]

 

Untuk menghindari terjadinya kejahatan-kejahatan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual maka Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menitikberatkan serta memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga dan Orang Tua atau Wali dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang diatur dalam Pasal 20 BAB IV Kewajiban Dan Tanggung Jawab dan selanjutnya dalam Pasal 21-26 undang-undang ini menjelaskan secara terperinci masing-masing peran dan tugas Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Perlindungan terhadaap anak yang jelas diatur di dalam KUHP dan peraturan positif, namun upaya perlindungan tersebut haruslah seiring dengan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum dan masyarakat secara luas. Penegakan hukum adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan kekerasan seksual terhadap anak dengan memberikan saksi kepada pelaku sebagai tujuan memeberi efek jera. Saat ini dengan adanya peningkatan yang sangat signifikan terhadap kekerasan seksual terhadap anak, para orangtua dan khalayak ramai haruslah mengambil tindakan yang efektif untuk mengurangi tindak kriminal ini, mengingat anak adalah generasi penerus bangsa yang akan mengisi kemerdekaan Indonesia. Peran dari berbagai pihak sangatlah penting, terutama orang tua yang menjadi tempat utama anak tumbuh dan berkembang, mendapatkan perlindungan dan kasih sayang. Pemulihan terhadap anak yang menjadi korban harus dilakukan oleh pihak yang kredibel dan orang tua dengan tindakan pendekatan psikis kepada anak.  Untuk pelaku kejahatan tindak kriminal ini, hukum harus dapat ditegakkan dengan tegas terhadapnya.

 

 

[1]  The Editors of Encyclopædia Britannica, “Pedophilia PSYCHOSEXUAL DISORDER,” https://www.britannica.com/topic/pedophilia, diakses pada hari Kamis 30 Maret 2016 pukul 13.19 WIB

[2] KPAI, “Pelaku Kekerasan terhadap Anak Tiap Tahun Meningkat,” http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/, diakses pada Kamis 30 Maret 2016 pukul 14.24 WIB.

[3] Ivon Noviana, “Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya,” http://ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/download/87/55, diakses pada hari Kamis 30 Maret 2016 pukul 2.23 WIB.

[4] Anastasia Ana Sitompul, “Kajian Hukum tentang Kekerasan Seksual terhadap Anak Indterhaa,” http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/viewFile/6999/6504, diakses pada hari jumat 31 maret 2016 pukul 12.43 WIB.

Leave a Reply