Kisruh Mantan Napi Korupsi Ikut Serta dalam Pemilu 2019: Bagaimana Seharusnya?

Oleh Ikhsanul Fikri (Sekretaris Bidang Pengembangan Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2018)

Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 baru akan berlangsung kurang lebih satu tahun lagi. Meskipun begitu, pendaftaran bakal calon Presiden dan Wakil Presiden serta anggota legislatif sudah dimulai sejak 4 Juli 2018 sampai dengan 17 Juli 2018.[i] Salah satu hal yang cukup menarik perhatian masyarakat pada pendaftaran Bakal Calon Legislatif (Bacaleg) kali ini adalah saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Pasal 4 Angka (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota tidak memperbolehkan para Bacaleg yang pernah menjadi narapidana kasus korupsi untuk ikut bertarung pada pemilihan legislatif tahun 2019. Pasal 4 Angka (3) tersebut berbunyi “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.”

Para Bacaleg mantan narapidana kasus korupsi menanggapi larangan tersebut dengan cara melaporkan hal tersebut ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait aturan PKPU yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Bawaslu memutuskan untuk tetap meloloskan para mantan narapidana kasus korupsi ini sebagai Bacaleg. Putusan tersebut berakibat pada berubahnya status Tidak Memenuhi Syarat (TMS) Bacaleg mantan napi korupsi menjadi Memenuhi Syarat (MS). Artinya, mantan narapidana kasus korupsi diperbolehkan untuk maju sebagai calon anggota legislatif. Alasan diloloskannya mantan narapidana kasus korupsi adalah karena Bawaslu mengacu pada UU Pemilu yang tidak melarang mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai calon anggota legislatif. Hingga Senin (10/9/2018), terdapat sebanyak 38 Bacaleg mantan narapidana kasus korupsi telah diloloskan Bawaslu.[ii] Meski telah dikeluarkannya putusan oleh Bawaslu, Ketua KPU Arief Budiman sebelumnya berkukuh aturan yang tertuang dalam PKPU itu tetap harus dijalankan sepanjang tidak ada perubahan. Namun Bawaslu menegaskan bahwa semua pihak harus mengikuti aturan sesuai prosedur demi melindungi hak-hak konstitusional warga negara.

Ahli Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf menilai PKPU yang mengatur larangan itu masih berlaku dan mengikat, meskipun Bawaslu telah mengabulkan gugatan para mantan narapidana kasus korupsi yang mendaftar sebagai calon anggota legislatif. Hal ini disebabkan tidak adanya ketentuan yang dibatalkan oleh Bawaslu terkait gugatan tersebut. Yusuf menambahkan bahwa seharusnya aturan mengenai larangan tidak boleh ikutnya mantan narapidana kasus korupsi dalam pemilihan legislatif harus diatur dalam undang-undang agar tidak terjadi lagi bertentangannya aturan mengenai syarat Bacaleg.[iii] Hal berbeda justru disampaikan oleh Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun. Menurut Refly, putusan Bawaslu justru sudah tepat karena mengikuti peraturan perundang-undangan. Refly juga menegaskan bahwa pembatasan hak dipilih bagi mantan narapidana kasus korupsi hanya bisa diatur dalam UU. Sesuai ketentuan hukum, apabila ada dua aturan yang sama dan saling bertentangan maka berlaku asas lex superior atau peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal ini PKPU berada di bawah UU Pemilu.[iv]

Setelah bergulir cukup lama Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengeluarkan putusan terkait dengan calon anggota legislatif mantan narapidana kasus korupsi. Dalam putusannya, MA memutuskan untuk meloloskan calon anggota legislatif mantan narapidana kasus korupsi ke pemilihan legislatif tahun 2019. Salah satu pertimbangan Majelis Hakim meloloskan calon anggota legislatif mantan narapidana kasus korupsi adalah karena PKPU terkait dianggap bertentangan dengan UU Pemilu yang secara hierarki kedudukannya lebih tinggi.[v] Putusan MA ini pun mengakhiri kisruh mengenai pencalonan mantan narapidana kasus korupsi di pemilihan legislatif tahun 2019. Dari kisruh yang telah terjadi sebenarnya dapat disadari bahwa tujuan KPU sudah sangat baik, namun hal yang perlu dibenahi bagi KPU dan instansi lain dalam membuat peraturan harus selalu mengutamakan hierarki peraturan perundangan-undangan yang ada. Hal ini terjadi karena MA sebagai lembaga yang berwenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan di bawah undang-undang akan tetap membatalkan peraturan yang bertentangan dengan undang-undang.

Untuk DPR sendiri, meski UU Pemilu baru saja disahkan salah satu peraturan yang diterapkan KPU dalam PKPU yakni tidak bolehnya mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri menjadi Bacaleg harus dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam rancangan UU Pemilu selanjutnya agar aturan tersebut benar-benar terealisasi sesuai dengan harapan masyarakat. Ini disebabkan karena di lain sisi aturan-aturan yang menuju perbaikan bagi wakil rakyat harus terus dilakukan perbaikan dan didukung penuh baik bagi masyarakat maupun pemerintah.

[i]Dewi Nurita, “Hari Ini, KPU Buka Pendaftaran Caleg Pemilu 2019” https://nasional.tempo.co/read/1103311/hari-ini-kpu-buka-pendaftaran-caleg-pemilu-2019, diakses 16 September 2018.

[ii]Fitria Chusna Farisa, “KPU: Larangan Mantan Napi Nyaleg Bentuk Keberpihakan pada Antikorupsi”, https://nasional.kompas.com/read/2018/09/11/21593711/kpu-larangan-mantan-napi-nyaleg-bentuk-keberpihakan-pada-antikorupsi, diakses 16 September 2018.

[iii]Priska Sari Pratiwi, “Polemik Larangan Mantan Napi Korupsi Nyaleg di Pemilu 2019” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180905021138-32-327730/polemik-larangan-mantan-napi-korupsi-nyaleg-di-pemilu-2019, diakses 16 September 2018.

[iv]Ibid.

[v]Afriani Susanti, “MA Akhirnya Loloskan Caleg Mantan Napi, https://www.idntimes.com/news/indonesia/afrianisusanti/ma-akhirnya-loloskan-caleg-mantan-napi, diakses 16 September 2018.

 

Leave a Reply