Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik: Bentuk Perlindungan atau Alat Kepentingan Pemerintah?

Oleh Thea Mutiara Khalifa

Staf Bidang Kajian Ilmiah LK2 FHUI 2018

 

Dewasa ini, terdapat beberapa hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan suatu individu dalam masyarakat. Salah satu dari beberapa hal tersebut adalah teknologi informasi. Teknologi informasi atau yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai information technology adalah istilah umum untuk teknologi apapun yang membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan, mengomunikasikan, dan/atau menyebarkan informasi. Individu-individu yang hidup di masyarakat pada umumnya sangat dependen pada teknologi informasi dalam kesehariannya. Sebagai contoh, tidak banyak orang yang dapat melalui kesehariannya tanpa memegang ponsel. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi  informasi sudah menjadi suatu hal yang vital dalam kehidupan manusia.

Semakin besar pengaruh teknologi informasi dalam kehidupan manusia, maka semakin besar pula risiko teknologi informasi untuk disalahgunakan. Pada realitanya, banyak  hal buruk yang dapat terjadi melalui teknologi informasi. Oleh karena itu, pemerintah merasa bahwa teknologi informasi tidak hanya perlu diperhatikan, tetapi juga perlu diatur dalam hukum. Pada saat ini, salah satu instrumen hukum yang mengatur teknologi informasi adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

UU ITE merupakan undang-undang yang mengatur segala hal tentang teknologi informasi yang berlaku di Indonesia. Undang-undang ini mulai dirancang pada tahun 2003 oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo). Kemudian, UU ITE terus diolah dan didiskusikan hingga akhirnya disahkan pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. UU ITE memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk warga negara yang melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. Beberapa materi yang diatur, antara lain:

 

  1. pengakuan informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 dan 6 UU ITE);
  2. tanda tangan elektronik (Pasal 11 dan 12 UU ITE);
  3. penyelenggaraan sertifikasi elektronik (Pasal 13 dan 14 UU ITE);
  4. penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 dan 16 UU ITE);
  5. perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam menggunakan terknologi informasi (cyber crime), antara lain:
  1. konten ilegal, yang terdiri dari kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pengancaman, dan pemerasan (Pasal 27, 28, dan 29 UU No. ITE);
  2. akses ilegal (Pasal 30);
  3. intersepsi ilegal (Pasal 31);
  4. gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
  5. gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);
  6. penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE).

Awal mula dirumuskan UU ini bertujuan untuk melindungi hak pengguna internet dan menjaga stabilitas arus internet dari hal yang dapat merusak. Bila melihat substansi UU ITE secara garis besar, tujuan ini dapat terlihat. Akan tetapi, dalam berbagai kajian yang membahas UU ITE secara mendalam, ditemukan kejanggalan-kejanggalan dalam UU ITE. Hal yang sering menjadi sorotan adalah ketentuan konten ilegal yang dinilai terlalu multitafsir dan dapat menyebabkan kriminalisasi yang berlebihan. Hal ini kemudian menuntun pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyepakati revisi terhadap UU ITE pada tanggal 27 Oktober 2016, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (revisi UU ITE).

Meskipun UU ITE sudah direvisi, masih terdapat kritik terhadap revisi UU ITE. Bahkan, substansi yang baru ditambahkan pada UU ITE turut pula dikritisi. Beberapa pihak yang sempat mengkritisi UU ITE di antaranya adalah Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers). Berikut adalah lima argumen ICJR dan LBH Pers terkait dengan revisi UU ITE.

  1. Pemerintah seharusnya mencabut ketentuan Pasal 27 ayat (3), tidak hanya mengurangi ancaman hukuman

Ketentuan mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE diubah dengan empat perubahan. Pertama, ditambahkan penjelasan atas istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”. Kemudian, ditegaskan bahwa UU ITE berdasarkan delik aduan (bukan delik umum). Ketiga, ditegaskan bahwa ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP. Terakhir, ancaman pidana diturunkan. Setelah direvisi, UU ITE masih tetap berpotensi mengancam kebebasan ekspresi karena revisi hanya menurunkan ancaman pidana, tetapi tidak menghapuskan. Kemudian, ada persoalan duplikasi tindak pidana karena ketentuan-ketentuan yang sama dalam KUHP masih mampu untuk menjangkau perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan media internet. Selain itu, ketentuan-ketentuan ini multitafsir, sehingga mudah disalahgunakan.

  1. Perubahan hukum acara pidana terkait UU ITE memberikan kewenangan diskresi aparat penegak hukum yang terlalu luas tanpa melalui pengadilan

Sebelumnya, proses penangkapan dan penahanan dalam UU ITE masih memerlukan izin dari ketua pengadilan [Pasal 43 ayat (6)] dan hal ini menunjukkan kemajuan Indonesia dalam menyelaraskan ketentuan hukum nasional dengan kewajiban-kewajiban internasional Indonesia. Dengan menghilangkan izin dari ketua pengadilan, upaya paksa akan menjadi diskresi aparat penegak hukum.

  1. Pidana cyberbullying berpotensi lebih buruk dari Pasal 27 ayat (3)

Cyberbullying disisipkan pula di Pasal 29. Kebijakan kriminalisasi yang memasukkan cyberbullying ini juga berpotensi menimbulkan kriminalisasi yang berlebihan karena pengertian perundungan masih sangat luas, yang disebabkan oleh tidak adanya definisi baku mengenai perundungan tradisional. Oleh karena itu, tindak pidana ini bersifat lentur dan multitafsir, sehingga berpotensi besar disalahgunakan dalam penegakannya.

  1. Penapisan dan blocking konten

Pemerintah menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:

Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang, sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

Pemerintah dalam melakukan pencegahan berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum. Hal ini mempermudah pemerintah untuk melakukan penapisan dan blocking konten. Prosedur pemutusan akses yang minim ditambah dengan indikator yang tidak memadai terhadap konten “muatan yang dilarang” akan mengakibatkan kewenangan yang eksesif dan mudah disalahgunakan oleh pemerintah.

  1. Pasal soal pemberitaan negatif terhadap seseorang di masa lalu (right to be forgotten)

Pengaturan revisi UU ITE perihal right to be forgotten dapat digunakan setelah disetujui pengadilan. Pasal 26 menyatakan bahwa “Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan”. Menurut LBH Pers, ketentuan ini dapat menjadi alat ganda pemerintah selain adanya kewenangan penapisan konten. Ketentuan ini berpotensi negatif karena dapat menjadi alat baru untuk melakukan sensor atas berita publikasi media dan jurnalis di masa lalu.

Sejak lahirnya UU ITE sampai dengan Agustus 2017 telah ada 205 kasus yang menjerat pengguna layanan digital di Indonesia. Menurut data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Indonesia, korban jeratan UU ITE terdiri atas beragam profesi, mulai dari warga, dosen, pengusaha, pegawai negeri, pelajar, mahasiswa, aktivis, anggota DPR, wartawan, dan artis. Tidak sedikit korban yang telah dinyatakan bersalah, sedang dalam proses mediasi, hingga masih dalam proses pengadilan.

UU ITE secara sekilas memang dimaksudkan untuk melindungi hak pengguna internet dan menjaga stabilitas arus internet dari hal yang dapat merusak. Akan tetapi, apabila ditelisik lebih dalam, UU ITE dapat dijadikan alat ganda oleh pemerintah untuk melakukan opresi terhadap kebebasan berekspresi masyarakat dan memberikan pemerintah kekuatan yang berlebihan untuk mengontrol ITE. Revisi yang telah dilakukan juga tidak dapat dikatakan berhasil dalam memperbaiki UU ITE, bahkan memberikan pemerintah lebih banyak kekuasaan. Oleh karena itu, satu hal yang patut dipertanyakan adalah tujuan dari UU ITE, apakah benar untuk melindungi pengguna ITE atau dijadikan alat bagi pemerintah?

DAFTAR PUSTAKA

 

Anonim. “Sudah Ada 205 Korban Terjerat UU ITE.” https://www.viva.co.id/digital/digilife/944381-sudah-ada-205-korban-terjerat-uu-ite. Diakses 14 Maret 2018.

Hidayat, Rofiq. “5 Alasan ICJR dan LBH Pers Tolak UU ITE Hasil Revisi.” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5816fa1df364a/5-alasan-icjr-dan-lbh-pers-tolak-uu-ite-hasil-revisi. Diakes 14 Maret 2018.

Muhammad, Baihaqi. “Analisa UU ITE.” Makalah Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Leave a Reply