Pasca Pembubara BP Migas: Selanjutnya Lembaga Apa Lagi?

BP Migas dibentuk berdasarkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan PP No. 42 Tahun 2002. Lahirnya BP Migas sendiri secara rinci atas perintah Pasal 4 ayat (3) UU Migas yang menyatakan “Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 23”

Fungsinya ialah sebagai pembina dan pengawas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) didalam menjalankan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pemasaran minyak dan gas (migas) Indonesia, sehingga BP Migas yang berwenang mewakili negara untuk menandatangani kontrak, megontrol dan mengendalikan cadangan dan produksi migas sebagaimana dinyatakan di Pasal 44 UU Migas.

Sebagai catatan, UU Migas sejak awal menuai kontroversi  karena ditengarai tidak menjiwai Pancasila, dan juga karena dianggap sebagai salah satu agenda reformasi yang juga mempengaruhi konfigurasi politik yaitu dalam hal pembentukan UU Migas dalam bentuk desakan internasional untuk mereformasi sektor energi khususnya Migas. Substansi UU No 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi disebut-sebut merupakan bagian dari paket Letter of Intent (LoI), yang dipaksakan oleh IMF dan dibantu World Bank, untuk meliberalisasi dan menderegulasi sektor-sektor strategis di Indonesia misalnya minyak dan gas bumi sementara LoI tersebut merupakan sejumlah ketentuan yang wajib dilakukan oleh Indonesia, sebagai syarat untuk menerima “bantuan” dalam penanganan krisis moneter satu dekade lalu, jadi tidak heran jika lembaga ini menuai pro dan kontra, undang-undang yang menjadi dasar hukum pembentukannya saja sudah menuai pro dan kontra.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, BP Migas berwenang mewakili negara dalam kontrak, maka pihak yang diajak BP Migas berkontrak ialah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), yaitu para kontraktor BP MIGAS yang memiliki hak untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pemasaran minyak dan gas bumi di Indonesia. Kerjasama dengan pihak ini adalah kerjasama yang memiliki persetujuan melalui suatu kontrak tertentu. Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terdiri dari perusahaan luar dan dalam negeri, serta joint-venture antara perusahaan luar dan dalam negeri (Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap). Daftar ini selalu berkembang, mengikuti dari tender konsesi yang dilakukan oleh BP Migas setiap tahunnya.

Salah satu hal yang sering keliru dibedakan masyarakat setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini adalah perbedaan mengenai BP Migas dan BPH Migas. Badan yang disebut belakangan ini bukan merupakan lembaga yang dibubarkan melalui putusan MK. Perbedaannya ialah peran regulator di sektor hulu dijalankan oleh BP Migas yang sedangkan peran regulator di sektor hilir dijalankan oleh BPH Migas yang dibentuk dua tahun setelahnya yaitu pada 2004. Jadi, BP Migas hanya mengurusi urusan hulu, sementara BPH Migas mengurusi bagian hilir seperti distribrusi.  Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang bertumpu pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Eksplorasi  adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan migas di wilayah kerja tertentu. EKSPLOITASI merupakan lanjutan eksplorasi, yakni rangkaian kegiatan yang bertujuan menghasilkan migas dari Wilayah Kerja yang ditentukan. Terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian migas. Jadi, wilayah kewenangan pengawasan dan pelaksanaan BP Migas adalah sejak proses mencari informasi mengenai tempat dimana terdapat minyak dan gas bumi sampai pengeboran dan pembangunan sarana-sarana untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi. Sedangkan, BPH Migas berperan di sektor hilir yaitu KEGIATAN meliputi pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan/atau niaga minyak dan gas bumi.

Pengajuan pengujian judicial review atas Pasal yang menjadi dasar hukum BP Migas tersebut dimohonkan oleh 12 ormas dan 30 orang -perorangan, seperti Hasyim Muzadi, Komaruddin Hidayat, Fahmi Idris, Marwan Batubara, dll. Inti pola pikir pemohon ialah menilai bahwa UU Migas membuka liberalisasi, penuh praktek korupsi, permohonan yang merupakan permohonan kali kedua atas undang-undang ini pun akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas dalam UU no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yaitu Frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat. Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Salah satu hakim yang mengadili perkara tersebut, Bapak Harjono mengemukakan dissenting opinionnya, alasannya adalah tentang legal standing pemohon: para tokoh dan organisasi yang memohonkan hal ini sejatinya tidak punya kepentingan langsung terhadap pokok perkara sehingga permohonan mereka seharusnya ditolak dan sesuatu hal yang keliru bahwa putusan berdasarkan adanya frasa ‘yang berpotensi melanggar konstitusi pun bisa diputus oleh MK sebagai perkara konstitusionalitas.

Mengutip pandangan Profesor Hikmahanto Juwana, perlu dicermati apakah memang putusan ini rasional atau tidak. Dalam bentuk tabel ringkas disebutkan:

Parameter

Keterangan

Soal penyalahgunaan wewenang MK seolah-olah mencari tikus, tetapi dengan membakar lumbung padi
Tudingan inskonstitusional BP Migas Inefisiensi tidak bisa disamakan dengan inkonstitusional. Bukankah konstitusional tidaknya suatu lembaga harus dirujuk pada pasal dalam UUD?
Kelembagaan BP Migas MK melihat pemerintah & BP Migas secara dikotomis sebagai 2 lembaga. Seolah-olah BP Migas mendapat ‘outsource‘ dari negara untuk menjalankan kewenangannya.

Presiden tidak tinggal diam dengan pembubaran BP Migas ini, Pemerintah memutuskanmengeluarkan Perpres No 95/2012 untuk membentuk Unit Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, sebagai langkah pasca putusan Mahkamah Konsitusi tersebut. Hal ini juga menjadi topik diskusi pada diskusi rutin kali ini, apakah unit pelaksana ini seolah-olah BP Migas “bayangan”? kalau toh fungsi dan wewenangnya sama dengan BP Migas, untuk apa dibentuk? Apakah unit pelaksana ini tidak bertentangan dengan visi MK membubarkan BP Migas? Para peserta diskusi mengemukakan pendapat mereka terkait hal ini tentunya tidak bertentangan dengan visi MK membubarkan BP Migas, unit ini dibentuk tentu dengan rasio demi kepentingan yang perlu untuk ditangani segera mengingat lalu lintas bisnis minyak dan gas mobilisasinya tinggi setiap harinya.

Lalu apa yang perlu diteropong lewat putusan ini? Mengingat bahwa ide utama permohonan judicial review adalah menghilangkan akses liberalisme dan praktek korupsi, maka BPH Migas perlu hati-hati, memang fungsi dan wewenangnya mempunyai perbedaan, namun sebagai badan pelaksana yang juga “sepaket” dianggap bernuansa liberal dan sarat akan pengaruh asing, maka bukan tidak mungkin BPH Migas yang menjadi korban berikutnya.

Leave a Reply