Ketertiban Umum sebagai Dasar Penolakan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing di Indonesia

oleh : Justitia Avila Veda* (tulisan ini digunakan sebagai essay untuk Lomba Debat Hukum Internasional Universitas Tarumanegara yang dikoordinasikan oleh International Law Debate Society (ILDS))

Dewasa ini, banyak kita dengar berita mengenai sengketa yang melibatkan Indonesia dalam hubungan kerjasama baik bilateral maupun multilateralnya dengan negara lain. Penyelesaian sengketa tersebut banyak ditempuh melalui jalan arbitrase, yang dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, didefinisikan sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Arbitrase dinilai efektif karena bersifat final, mengikat, dan menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa (win-win solution). Berkoherensi dengan metode ini, kerap pula kita mendengar seruan, ‘kemenangan dalam lingkungan hukum dan peradilan Indonesia semata-mata adalah kemenangan di atas kertas’. Hal ini muncul sebagai respon dari banyaknya putusan arbitrase asing yang ditolak untuk dilaksanakan di Indonesia dengan alasan melanggar ketertiban umum. Mengapa paradoks ini bisa terjadi? Bukannya putusan arbitrase asing bersifat final dan mengikat?

Regulasi mengenai arbitrase asing di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award atau Konvensi New York tahun yang telah diratifikasi oleh Keputusan Presiden No. 34/1981, UU No.30/1999, dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1/1990 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap. Dalam beberapa ketentuan di peraturan perundang-undangan tersebut, seperti pasal III Konvensi New York 1958 dinyatakan bahwa setiap negara anggota konvensi harus mengakui putusan arbitrase asing sebagai putusan yang mengikat dan mempunyai ekekusi terhadap para pihak. Hal ini dapat kita temui pula dalam pasal 17 ayat (2) UU No.30/1999, yang berbunyi, ‘… dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah diperjanjikan bersama’. Demikian pula dalam pasal 45 ayat (2), pasal 53, pasal 60, dan pasal 68 ayat (1) undang-undang yang bersangkutan.

Putusan arbitrase asing bersifat final, memiliki arti bahwa putusan tersebut sudah tidak dapat diajukan upaya hukum lagi, dan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya sehingga para pihak wajib untuk melaksanakan keputusan arbitrase tersebut secara suka rela. Selain itu, dalam pasal 2 PERMA No. 1/1990, kita dapat melihat adanya asas executorial kracht (kekuatan eksekutorial), yang artinya putusan arbitrase asing ‘disamakan’ dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, secara hukum, putusan arbitrase asing yang diajukan permintaan eksekusinya di Indonesia harus diakui keabsahannya dan harus dilaksanakan eksekusinya. Namun, bertolak belakang dari asas ini, putusan arbitrase masih dapat diajukan pembatalan dan penolakan.

Menurut Guru Besar Hukum Internasional FHUI, Prof. Hikmahanto Juwana dilihat dari pengaturan proses dan alasan, penolakan adalah suatu kondisi refusal, berakibat pada putusan yang tidak dapat dilaksanakan di yurisdiksi pengadilan yang menolaknya, dalam hal di Indonesia yaitu Pengadilan Jakarta Pusat seperti yang diatur dalam Pasal 65 UU No. 30/1999. Salah satu kondisi yang menjadi dasar penolakan putusan arbitrase asing adalah a quo yaitu apabila melanggar kepentingan umum. Hal ini dapat kita temui dalam Pasal V ayat (2) atau Konvensi New York tahun 1958 yang berbunyi, “pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat ditolak jika badan yang berwenang di negara tempat pengakuan dan pelaksanaan memutuskan, (b) pengakuan atau pelaksanaan putusan akan bertentangan dengan kepentingan umum.” Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (3) PERMA No. 1/1990, dan juga pasal 66 UU No.30/1999  huruf C memberikan pernyataan yang serupa. Yang menjadi pokok permasalahan, keseluruh peraturan perundang-undangan tersebut tidak memberikan definisi yang limitatif secara jelas mengenai istilah ‘ketertiban umum’. Tidak didapatkan kejelasan mengenai ketertiban umum seperti apa dan ketertiban umum milik siapa yang akan dilanggar apabila putusan tersebut dieksekusikan. Sekalipun terdapat definisi mengenai apa itu ketertiban umum, hal tersebut merupakan doktrin dari ahli dan itu pun berbeda-beda antara satu doktrin dengan doktrin yang lain. Sebagai contoh, beberapa ahli merumuskan ketertiban umum sebagai ketentuan dan sendi-sendi pokok hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa, tetapi pada praktiknya penjelasan tersebut masih diinterpretasikan secara meluas sehingga tidak jelas batasan dan pengaturannya. Dengan demikian, hal ini tidak memenuhi asas hukum yang paling mendasar yaitu asas kepastian hukum. Sehingga keadilan masyarakat dan kemanfaatan sebagai cita-cita luhur dari penegakan hukum tidak tercapai.

Kembali pada karakter hukum Indonesia yang paling mendasar, yaitu negara kita menganut sistem hukum Eropa Kontinental, yaitu sistem hukum yang menganut hukum tertulis sehingga pihak legislatif dan eksekutif yang diminta untuk membuat batasan dalam interpretasi seperti yang terdapat  dalam ketentuan pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, pasal 70 ayat (1) mengenai wewenang legislasi dan pasal 71 huruf (a) dan (b) UU No.27 tahun 2009 tentang  MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta tidak boleh melebihi undang-undang yang telah dibuatnya. Hakim sifatnya hanya sebagai corong, sebagai jalan untuk mengaktualisasikan norma ke dalam kasus, tetapi tetap saja undang-undang merupakan sumbernya. Definisi mengenai ketertiban umum ini harus dilihat kasus per kasus, oleh karena itu memang sudah sepantasnya dibuat satu patokan khusus oleh undang-undang agar interpretasi definsi ketertiban umum tidak berlebihan. Akan menjadi sebuah masalah mengenai penafsiran macam apa yang akan digunakan untuk mengartikan ketertiban umum, apakah penafsiran sempit atau penafsiran luas. Jika penafsiran sempit, maka range-nya akan seluas apa, dan jika penafsiran luas, range-nya akan sesempit apa. Dapat dikatakan bahwa pembuatan UU No.30/1999 tersebut tidak sesuai dengan asas pembuatan UU yang terdapat dalam pasal 5 huruf (f) UU No.2/2011 khususnya asas kejelasan rumusan, yaitu harus dipenuhi persyaratanp penggunaan bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi.

Definisi yang multitafsir ini justru sering disalahgunakan dengan cara dijadikan legitimasi oleh salah satu pihak untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Sebagai contoh kasus penolakan eksekusi putusan arbitrase karena alasan ketertiban umum yaitu putusan antara pihak Bankers Trust melawan PT Mayora Indah Tbk dan Bankers Trust melawan PT Jakarta International Development Tbk.  Dalam bukunya Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Erman Rajagukguk juga menyatakan bahwa penolakan eksekusi tersebut banyak dipengaruhi pertimbangan politis yang dikemas dengan pernyataan bahwa kaidah asing tidak sesuai dengan ketertiban umum. Banyak dari putusan-putusan arbitrasi yang berujung tanpa kelanjutan. Menurut informasi yang bersumber dari Panitera Arbitrase Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, untuk tahun 1999 terdapat 6 putusan arbitrase asing yang tidak dikeluarkan eksekusinya dengan alasan mengganggu ketertiban umum.  Untuk tahun 2000, terdapat kasus Noble Cocoa melawan PT Wahana Adireksa yang kemudian telah keluar putusan eksekusinya, dan satu kasus lain yang tak jelas bagaimana akhirnya.

Secara eksplisit, fenomena putusan yang tidak memperoleh eksekusi bersifat kontradiktif dengan asas executorial recht itu sendiri. Karena pada akhirnya, putusan tersebut tidak dilaksanakan dan seluruh upaya peradilan arbitrase berujung sia-sia. Seharusnya, asas executorial recht yang merupakan salah satu ciri khas putusan arbitrase, diutamakan dan asas-asas lainnya dibentuk seiringan dengan asas executorial recht. Selain itu sudah seharusnya pihak-pihak yang bersengketa melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela seperti yang telah dikemukakan sebelumnya karena hal ini telah diakomodir oleh asas pacta sunt servanda, yaitu setiap persetujuan yang sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak, dan hanya dapat ditarik kembali dengan kesepakatan bersama para pihak. Sehingga jika kedua belah pihak sudah bersepakat untuk menyelesaikan masalah melalui arbitrase, maka itu adalah keputusan mutlak.  Prof. Sudargo Gautama juga menjelaskan bahwa lembaga ketertiban umum sepatutnya bersifat defensif terhadap hukum asing. Namun dalam kenyataan yang seperti ini, lembaga ketertiban umum justru mematikan dan menutup diri dari hukum asing, dalam kata lain bersifat ofensif.

Selain itu, Indonesia telah melanggar kesepakatan ketika pada akhirnya Indonesia memutuskan untuk turut berpartisipasi dalam Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other States  atau Konvensi Bank Dunia yang bermaksud untuk mendorong penanaman modal asing dengan meyakinkan pihak investor menyelesaikan sengketa dengan arbitrase. Konvensi ini diratifikasi dengan UU No.5 tahun 1968. Hal ini semestinya menjadi bukti kesungguhan Pemerintah idnoensia untuk menyelesaikan sengketa penanaman modal asing melalu arbitrase. Selain itu, dengan berlakunya Keppres no. 34 tahun 1981, Indonesia telah mengikatkan diri untuk mengakui dan mematuhi pelaksanaan eksekusi atas setiap putusan arbitrase asing karena demikianlah spirit yang terdapat dalam Konvensi New York 1958. Menurunnya minat investasi asing di Indonesia menjadi salah satu penyebab nyata dari ketidakjelasan hukum, salah satunya dalam hal arbitrasi. Penolakan putusan arbitrasi dengan alasan ketertiban umum hanya justru membuat Indonesia semakin sepi akan investor dan akan berakibat fatal bagi pertumbuhan ekonomi negara.

*Justitia Avila Veda adalah mahasiswi angkata 2011 FHUI, tahun 2012 ini, dia menjabat sebagai Sekretaris Bidang POSDM.

Leave a Reply