oleh : Justitia Avila Veda* (tulisan ini digunakan sebagai essay untuk Lomba Debat Hukum Internasional Universitas Tarumanegara yang dikoordinasikan oleh International Law Debate Society (ILDS))
Dalam puluhan dekade yang lalu, Lord Acton pernah berkata, “Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely”. Kiranya ini adalah petikan quote yang tepat untuk menggambarkan betapa kentalnya korupsi dengan kekuasaan yang telah menimbulkan instabilitas dalam bidang-bidang strategis di Indonesia. Dalam laporan hasil survei yang dilansir oleh Transparency International pada tahun 2011, diperoleh data bahwa Corruption Perception Index (CPI) Indonesia sebesar 3.0, naik 0.2 dibanding survei sebelumnya yaitu 2.8. Dalam survei ini, semakin kecil CPI suatu negara, maka negara tersebut semakin rawan mengalami kasus korupsi. Dari survei tersebut diketahui bahwa Indonesia menempati peringkat ke-100 dari 183 negara dan menempati peringkat yang cukup buruk untuk kelas Asia Tenggara. Hasil ini telah cukup merefleksikan kurang efektifnya pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah dielu-elukan pemerintah dan presiden melalui program-program rancangannya. Mengapa hal ini masih terjadi?
Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, dinyatakan bahwa korupsi merupakan ‘perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi’, ‘bersifat melawan hukum’, dan ‘dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara’. Sedangkan pada bagian konsiderans Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai revisi atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, tertulis bahwa korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Ditambah lagi dengan konsiderans United Nations Concention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, yang mempertegas bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus diperangi karena menimbulkan dampak yang masif bagi kehidupan negara. Sehingga pemberantasannya harus dilaksanakan secara luar biasa pula.
Lalu, apakah tindakan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pihak berwajib telah cukup luar biasa untuk mengimbangi kasus korupsi yang kian marak? Jawabannya, belum. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakukan bagi pelapor tindak pidana (Whistle Blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu. Justice Collaborator (JC) adalah sebutan bagi pelaku kejahatan yang bekerjasama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum. Selanjutnya JC tersebut akan memperoleh penghargaan yang dapat berupa penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, pemberian remisi dan asimilasi, pembebasan bersyarat, penjatuhan pidana paling ringan di antara terdakwa lain yang terbukti bersalah, perlakukan khusus, dan sebagainya. Munculnya eksistensi JC didasari oleh beberapa ketentuan meliputi:
- Pasal 37 ayat (2) UNCAC 2003 yang berbunyi: “…mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan/penuntutan…”
- Pasal 37 ayat (3) UNCAC 2003 yang berbunyi: “… sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan ‘kekebalan penuntutan’ bagi pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan/penuntutan…”
- Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
(1) Saksi korban dan Pelapor tidak dapat dituntut atas laporan dan kesaksiannya
(2) Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
- Pasal 197 angka (1) huruf F KUHAP mengenai surat putusan pemidanaan yang salah satu bagiannya membahas tentang ‘keadaan memberatkan dan meringankan terdakwa’. Dalam hal ini, keadaan meringankan meliputi memberikan keterangan yang tidak berbelit-belit, kooperatif, belum pernah dihukum sebelumnya, berusia muda, baik/sopan selama persidangan, dan memiliki tanggungan anggota keluarga.
Selain itu, keberadaan Justice Collaborator juga didukung dengan Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua LPSK tentang perlindungan bagi pelapor, Whistle Blower, dan Justice Collaborator. Hampir sama dengan ketetapan dalam pasal 37 UNCAC 2003, yaitu pasal 26 United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime 2000 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2009. Kriteria untuk menjadi JC tercantum dalam SEMA No. 4 tahun 2011 pada Angka (9a) dan (b) dan keterangan dari Kementerian Hukum dan HAM, yaitu digunakan dalam mengungkap tindak pidana yang luar biasa/terorganisir, JC bukanlah pelaku utama, keterangan yang diberikan pelaku harus signifikan, relevan, dan andal, pelaku mengakui tindakan yang dilakukannya disertai kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dengan pernyataan tertulis, mau bekerja sama dan kooperatif dengan penegak hukum.
Ide lahirnya Justice Collaborator berasal dari spirit untuk membongkar kasus yang lebih besar, mengingat korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang melibatkan beberapa orang dalam satu lingkaran koordinasi untuk mencapai tujuan yang sama. Terkadang, para pelaku juga membentuk kerja sama yang kolutif dengan aparat penegak hukum serta membentuk jejaring komplotan koruptor yang solid. Berada dalam kelompok ini menimbulkan apa yang disebut dalam dunia psikologi sebagai ‘paranoid solidarity’, yaitu perasaan takut akan dikucilkan, dibenci, dan dijerumuskan dalam kelompok, sehingga mau tak mau para pelaku akan saling melindungi satu sama lain.
Terlebih lagi, tindak pidana korupsi merupakan kelompok kejahatan kerah putih, yaitu kejahatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan dan kedudukan penting dalam institusi negara. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi biasa dilakukan oleh orang-orang yang cerdas, orang-orang yang mengerti seluk-beluk keuangan dan birokrasi dalam institusinya. Untuk menutupi perilakunya, para pelaku cenderung akan membuat sebuah skenario yang rapi dan sulit diidentifikasi oleh penyidik dan kejaksaan sehingga mempersulit proses pemeriksaan di persidangan. Sebagai contoh, kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Angelina Sondakh dan Nazaruddin yang juga menyeret nama Anas Urbaningrum. Dalam aksinya, mereka menggunakan istilah dan kode yang sulit dimengeri oleh orang awam seperti ‘Apel Washington’ dan ‘Apel Malang’. Oleh karenanya, akan sangat efektif dan efisien jika para penegak hukum mengajak para pelaku kejahatan untuk bekerja sama menyelesaikan kasus korupsi yang sedang ditangani dengan menjadi seorang JC, yang artinya para aktor itu sendiri yang akan ‘bercerita’ tentang keseluruhan aksi korupsi yang dilakukan oleh komplotannya. Hal ini dapat kita lihat dalam kasus korupsi cek pelawat dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Goeltom dimana Agus Condro berperan sebagai JC. Tudingan Agus terhadap 41 anggota DPR RI telah menerima suap dari Miranda Goeltom, dan hal ini dibuktikan dengan penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Contoh lain adalah kasus kourpsi pengadaan wisma atlet dimana Mindo Rosalina Manulang dengan keterangannya berhasil menyeret Angelina Sondakh hingga kini berstatus sebagai tersangka.
Sebagian orang mengatakan bahwa keberadaan JC hanya digunakan sebagai sarana negoisasi para narapidana agar dapat lolos dari jeratan hukum dan opini yang tersebar mengatakan bahwa ini adalah wujud ketidakmampuan KPK dalam menangani kasus korupsi. Namun kiranya kita perlu melihat sisi kemanfaatan dari keberadaan JC sebagai salah satu langkah yang luar biasa. Mungkin KPK akan mampu mengusut kasus korupsi tanpa bantuan JC sekalipun tetapi sangat mungkin bahwa hal itu memakan waktu yang cukup lama, sedangkan keuangan dan stabilitas negara tidak dapat ditempatkan dalam kondisi yang tidak pasti karena dapat mengganggu laju pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di negara itu sendiri. Selain itu, besar kemungkinan bahwa aparat penegak hukum tidak akan menemukan ujung dari permasalahan ini, sehingga kasus ini nantinya terbengkalai dan menguap begitu saja tanpa penyelesaian. Sebut saja kasus Wesel Ekspor Berjangka Unibank di tahun 2006 yang menyebabkan kerugian hingga US$ 230 juta, kasus korupsi pengadaan jasa konsultan BPH Migas yang memakan uang sebesar 82 miliar, dan banyak kasus yang tak terselesaikan lainnya. JC juga bukanlah sarana negoisasi narapidana, karena penjatuhan pidana berdasarkan asas pertimbangan rasa keadilan masyarakat tidak boleh terlanggarkan di sini. Sangatlah wajar apabila JC mendapatkan penghargaan atas keberaniannya mengungkap kejahatan besar yang diwujudkan dengan pemberian keringanan pemidanaan dan perlindungan. Kini, apa esensi dari memidana seorang koruptor dengan berat tetapi keseluruhan dari jejaring pelakunya tidak terungkap? Maka, JC merupakan salah satu langkah konkrit untuk menumpas korupsi hingga ke akar-akarnya.
*Mahasiswi angkatan 2011. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Bidang POSDM 2012