Seminar Sciencesational : Ketahanan Energi & Pangan

Pancingan seminar pangan 

Apabila melihat lebih intim mengenai problematika kenegaraan Indonesia, merupakan suatu  yang masih merasuki tata kehidupan bangsa ini adalah mengenai kondisi tercukupinya kebutuhan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Suatu ketahanan pangan yang kokoh merupakan jaminan negara atas rakyatnya dalam pemenuhan kebutuhan primair umat manusia. Kondisi labilnya ketahanan pangan, merupakan problematika superlatif yang dapat mengguncang ketahanan nasional secara luas dan mendasar. Adapun yang disebut sebagai ketahanan pangan selalu diasosiasikan terhadap kondisi terpenuhinya pangan  bagi seluruh lapisan masyarakat yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam segi kuantitas, kualitas, serta keterjangkauan memperolehnya. Dalam mencapai tahap yang disebut sebagai ketahanan pangan, agaknya Indonesia mengalami degradasi antusiasme pasca orde baru berakhir. Hal ini dibuktikan dengan kegiatan import yang dari tahun ke tahun semakin progresif. Keadaan ini semakin memberikan jurang pemisah kepada tercapainya suatu ketahanan pangan yang mantap.

Melihat pada predikat yang diberikan kepada Indonesia sebagai negara agraris, adalah sangat memprihatinkan apabila neraca perdagangan kita pada posisi negatif, dalam artian kegiatan impor lebih besar dari pada kegiatan ekspor. Keadaan dewasa ini sejatinya merupakan suatu antiklimaks dari apa yang terjadi pada era pemerintahan alm. Presiden Soeharto, dimana Indonesia telah mencapai swasembada pangan. Hal ini merupakan potret eksistensi ketahanan pangan yang mengalami kemunduran dan perlu diadakannya restrukturisasi melalui deregulasi ketahanan pangan.

Kekhawatiran dan kecemasan bangsa terhadap ketahanan pangan yang kian merosot, mengisyaratkan dibutuhkannya konstruksi pemikiran yang implementatif serta berdayaguna dalam meneguhkan posisi ketahanan pangan yang merupakan garda terdepan sebagai jaminan kesejahteraan umat manusia. Telah kita ketahui bahwa saat ini cadangan beras pemerintah hanya menguasai 500 ribu ton stok beras yang notabene hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi selama enam hari. Merupakan suatu pukulan telak bagi bangsa kita, jika dikomparasikan dengan Cina yang telah mengamankan 34 juta ton beras sebagai lumbung cadangan pemerintah. Yang menjadi perhatian dalam menciptaakan ketahanan pangan disini, juga mencakup masalah distribusi terhadap seluruh lapisan masyarakat, mengingat kebutuhan akan pangan merupakan salah satu kebutuhan yang paling fundamental dalam tata kehidupan umat manusia.

Sebagai rumpun bangsa melayu yang secara turun temurun mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, menjadikan konsentrasi konsumerisme masyarakat terhadap komoditas pangan, terletak pada keberadaan beras. Adalah suatu konsekuensi logis, dengan pola konsumsi akan beras yang sedemikian tingginya, memberikan batu sandungan terhadap terciptanya suatu kondisi ketahanan pangan. Pemerintah merupakan aktor utama yang memainkan peran dalam menyusun kebijakan pengadaan beras sebagai makanan pokok bangsa Indonesia. Merupaka suatu paranoid apabila pemerintah gagal dalam memenuhi kebutuhan bangsa Indonesia akan produksi beras. Resesi yang terjadi antar sesama komoditi pangan selain beras, menjadi sintesa berpikir dalam mengoptimalkan komoditi pangan selain beras. Maka dari itu, diperlukan suatu diversivikasi pangan, guna memberikan indikasi terhadap terciptanya ketahanan pangan.

Sebagai suatu negara yang limpah ruah kekayaan alamnya, Indonesia  perlu disadarkan akan pemanfaatan kekayaan alam tersebut secara maksimal. Kegagalan Indonesia dalam mengakomodir kebutuhan pangan secara mandiri dan berdikari menjadi cambuk kebijakan pangan pemerintah kedepannya sehingga pemenuhan pangan tersebut akan berorientasi pada produksi dalam negeri secara masif. Kompetitor produksi pangan yang berasal dari kegiatan import pada dasarnya telah memenangkan persaingan pasar dewasa ini. Kondisi dependen terhadap mekanisme impor menjadikan produksi pangan dalam negeri menjadi terancam dan dalam posisi yang tidak diuntungkan.

Berkorelasi dengan problema-problema diatas diharapkan regulasi pemerintah yang menekankan pada ‘win-win solution’ dalam menciptakan suatu regulasi kepanganan yang mengakomodir kebutuhan masyarajkat luas. Eksistensi akan regulasi ini menjadinya dalam posisi sentral dalam merubah antiklimaks ini menjadi suatu titik kulminasi ketahanan pangan Indonesia yang dicita-citakan.

Berpangkal dari problematika tersebut , menjadikan sebuah urgensi nasional yang melatarbelakangi untuk diselenggarakannya seminar oleh Lembaga Kajian Keilmuan FHUI (LK2 FHUI) yang bertajuk “Indonesia Negara Agraris: Masihkah Harus Mengimpor?”. Diharapkan seluruh komponen mahasiswa yang secara nyata mengikrarkan dirinya sebagai “ the agent of change” mampu melihat gejolak dan permasalahan bangsa ini yang kian memburuk dan terbengkalai. Partisipasi aktif dan sumbangsih pemikiran mahasiswa akan menjadi  penyokong kerangka berpikir bangsa dalam menuntaskan dan menyelesaikan problematika ini.

Pancingan seminar energi

Tak dapat disangkal lagi bahwasannya energi  merupakan bagian integral dari berbagai konstelasi problematika di Indonesia. Energi merupakan ‘titik episentrum’ dari aktivitas-aktivitas yang menghidupi kehidupan manusia.  Sebegitu vitalnya peran energi dalam perikehidupan manusia, membuat negara dalam kondisi yang dependen terhadap eksistensi energi yang memadai. Dalam situasi yang sedemikian rupa tersebut, Indonesia dihadapkan pada dua pilihan, yaitu untuk tetap mempertahankan pola ketergantungan terhadap energi yang ada atau melakukan suatu tindakan revolutif melalui ketahanan energi.

Konsepsi Ketahanan energi merupakan sebuah konsep dimana negara sebagai pengelola kekayaan alam demi menjamin kemashalatan hidup orang banyak sedia  untuk mengoptimalkan  serta mengamankan ketersediaan energi dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, maupun untuk diekspor sebagai sumber devisa negara. Dalam menghidupkan harapan bangsa tersebut, perlu disadari bahwa proses pengelolaan terhadap energi merupakan titik tolak berpikir dalam menciptakan kondisi ketahanan pangan tersebut. Sembari menilik fakta lapangan, bahwa alokasi energi terbesar dalam mengoperasikan kehidupan manusia  saat  ini adalah BBM. Sebuah fenomena ‘bom waktu’ apabila umat manusia secara kontinyu mengeksploitasi minyak yang pada hakekatnya merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable recources).

Suatu tiang pancang pergerakan yang digalakkan oleh pemerintah, bahwasannya pada tahun 2018 sedianya dapat menciptakan kondisi ketahanan energi yang mumpuni. Bukanlah suatu pemikiran utopis mengenai wacana penciptaan ketahanan energi di tahun 2018, dan masih memungkinkan dilakukannya suatu gebrakkan ke arah kondisi ketahanan energi, asalkan ketergantungan umat manusia terhadap minyak bumi dapat dilakukan secara gradual. Telah diprediksi bahwa cadangan minyak bumi Indonesia rata-rata hanya dapat mengakomodir kebutuhan nasional selama 20 hari saja. Merupakan suatu komparasi yang timpang apabila melirik ketersediaan minyak bumi Israel yang dapat mencapai 300 hari pemakaian.

Untuk menyikapi hal tersebut, dalam waktu dekat ini diperlukan konkretisasi atas wacana tersebut dengan melakukan diversivikasi energi, guna menghentikan ketergantungan manusia terhadap minyak bumi secara masif. Dengan jalan konversi energi ini diharapkan dapat menopang terciptanya ketahanan energi yang dicita-citakan. Konversi energi ini merupakan cara membudidayakan energi substitusi dalam menjawab problematika negara ini. Salah satu sumber energi yang dapat dimanfaatkan keberadaannya selain dari pada gas  adalah batu bara. Ketersediaan batu bara yang terbilang cukup besar di Indonesia, akan menjadi sangat brilian apabila dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi kedepannya. Mengalihkan alokasi energi pada batu bara memang merupakan cikal bakal terciptanya ketahanan energi dalam dimensi futuristik. Namun, dalam menjawab fenomena yang memiliki pengaruh secara holistik ini, diperlukan adanya pemikiran terhadap pendayagunaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, mengingat gas dan batubara merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Pembaharuan paradigma ini merupakan momentum sentral yang menjadi alat rekonstruksi kondisi ketahanan pangan di Indonesia yang kian memprihatinkan.

Berkorelasi dengan ekses berpikir tersebut, diperlukan adanya implementasi konkrit serta sinergisasi dari semua lapisan masyarakat dalam mendukung tercapainya ketahanan energi. Namun dalam menciptakan kondisi tersebut, tidaklah semudah yang dibayangkan, dikarenakan gerakan revolutif ini memiliki dampak yang signifikan, terutama dalam mengalterasi kebiasaan masyarakat yang bergantung pada minyak bumi. Serta mengenai pengelolaan energi yang belum mencapai ‘titik equilibrium’ dalam menjamin kesejahteraan umat manusia menjadi problematika tersendiri di kalangan pemerintah. Maka dari iitu diperlukan suatu simbiosis mutualisme serta harmonisasi antara masyarakat luas dan pemerintah demi menciptakan ketahanan energi.

Berbagai aspek kehidupan yang melatarbelakangi dan mewarnai gagasan inovatif tersebut, menjadikan urgensi nasioanal yang menjadi titik tolak untuk diselenggarakannya seminar oleh Lembaga Kajian Keilmuan FHUI (LK2 FHUI) yang bertajuk “Ketahanan Energi Indonesia Tahun 2018, Akankah Terwujud?”. Diharapkan seluruh komponen mahasiswa yang secara nyata mengikrarkan dirinya sebagai “ the agent of change” mampu melihat gejolak dan permasalahan bangsa ini yang kian memburuk dan terbengkalai. Partisipasi aktif dan sumbangsih pemikiran mahasiswa akan menjadi  penyokong kerangka berpikir bangsa dalam menuntaskan dan menyelesaikan problematika ini.

Leave a Reply