Hak Mogok Buruh Outsourcing Perusahaan Distribusi BBM

Oleh: Elang M.L, Staf Biro Jurnalistik LK2 FHUI 2017.

Dalam melihat konteks hukum perburuhan, kita tidak dapat terlepas dari kenyataan sosial yang berada di sekitar kita, yaitu adanya kesenjangan antara pekerja dan pengusaha. Hukum perburuhan bukanlah jenis hukum yang mengandaikan bahwa pihak yang terlibat di dalamnya memiliki kedudukan yang sedrajat (Imam Soepomo 2006). Walaupun secara yuridis setiap orang bebas, namun secara sosiologis buruh sangat terikat pada majikannya (ibid). Maka munculah perbedaan posisi tawar antara buruh dan majikan, yang membuat negara sepatutnya mengambil peran dalam hubungan tersebut.

Salah satu bentuk peranan negara dalam hubungan antara buruh dan majikan adalah dengan memberikan hak bagi buruh untuk melakukan mogok kerja. Mogok kerja didefinisikan oleh Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal (1) ayat 23 sebagai “tindakan pekerja/buruh yang direncanakan secara bersama-sama dan atau oleh serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.” Menurut Pasal 137, mogok kerja merupakan akibat dari gagalnya perundingan antara pengusaha dan buruh. Selain tetap mendapatkan gaji, aksi mogok buruh juga dijamin oleh Pasal 144, bahwa perusahaan tidak boleh menggantikan pekerja yang mogok dengan pekerja lain di luar perusahaan, dan tidak boleh memberikan sanksi atau balasan dalam bentuk apapun.

Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 65 ayat (1) juga membolehkan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain dengan sistem pemborongan (outsourcing). Terdapat beberapa syarat yang terdapat pada ayat (2-9) yang patut dipenuhi perusahaan untuk dapat membuat penyerahan sebagian pekerjaan. Salah satunya adalah dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, misalnya office boy di sebuah kampus. Kegiatan yang dilakukan oleh office boy terpisah dari kegiatan utama universitas dan bersifat penunjang, sebagai lembaga yang menjalankan kegiatan pendidikan. Maka berdasarkan undang-undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pihak universitas dapat menyerahkan pekerjaan tersebut ke badan usaha lain.

Konflik Awak Mobil Tangki dan Pertamina Petra Niaga

Perselisihan hubungan industrial antara awak mobil tangki dan Pertamina Petra Niaga berawal dari tuntutan awak mobil tangki outsource Pertamina Petra Niaga, yang melimpahkan sebagian pekerjaannya kepada PT Sapta Sarana Sejahtera (Ramadhan & Pribadi, 2016). Konflik tersebut berawal dari ketidakjelasan status hubungan kerja, karena para bekerja dengan masa kerja belasan tahun tetapi status hubungan kerja masih tenaga kontrak. Selain itu, waktu kerja 12 jam bahkan lebih setiap hari dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) tanpa dibayarkan lembur atas kelebihan jam kerja juga menajdi alasan para AMT berencana untuk mogok (ibid).

Sementara Pihak Pertamina Petra Niaga berargumen bahwa, karena hubungan kerja outsourcing maka wajar bahwa awak akan digantikan setiap dua tahun (ibid) . Selain itu upah yang diberikan kepada AMT juga sudah sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) di Jakarta. Selain itu, sebagai pengganti upah lembur, AMT diberikan tunjangan kinerja atau performa yang dimana tidak bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan di Indonesia (Budiman,2016) . Pihak Pertamina Petra Niaga juga menambahkan bahwa, sesuai dengan Peraturan Nomor 4 tahun 2009 oleh pihak Menteri Tenaga Kerja. Sementara, uang tunjangan Minyak dan Gas (Migas) sudah tidak berlaku lagi. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 27 tahun 2000 sudah mengganti dengan santunan para pekerja di pertambangan minyak dan gas bumi dalam bentuk pesangon (oxcit).

Aksi mogok ini menjadi menarik karena perusahaan yang buruhnya mogok tergolong perusahaan yang melayani kepentingan umum. Pertamina Petra Niaga merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengangkutan bahan bakar minyak (Pertamina Petra Niaga 2017). Sementara Depo Plumpang, yang pekerjanya mogok mendistribusikan BBM kepada 800 SPBU di kawasan Jakarta dan Sekitarnya (Faiz, 2016). Selain itu pihak perusahaan juga mempekerjakan pekerja dari perusahaan lain, dan bahkan TNI Divisi Perbekalan dan Pengangkutan ketika pekerjanya melakukan aksi mogok kerja (Budiman, 2016).

Relevankah Tindakan Pertamina Petra Niaga?

Mogok kerja sebagai gagalnya perundingan pengusaha dan buruh, merupakan cara buruh untuk secara kolektif menaikan posisi tawar mereka sehingga menekan manajemen untuk mengabulkan tuntutan (Thomas Metcalf n.d). Penulis melihat bahwa latar belakang tersebutlah yang menjadi alasan mengapa hak mogok, secara khusus dilindungi undang-undang. Agar posisi tawar buruh dapat naik secara kolektif dan mampu menekan manajemen perusahaan agar mengabulkan tuntutan.

Tentu jika perusahaan dapat menggantikan buruh yang mogok dengan pekerja lain dari luar

perusahaan, maka posisi tawar buruh akan kembali turun. Sebab produksi yang diharapkan oleh perusahaan dapat berlanjut, seperti sebelum aksi mogok dari pekerjanya terjadi. Maka mogok kerja dari buruh akan impoten, karena tidak menimbulkan efek yang menekan perusahaan untuk mengabulkan tuntutan dari pekerja. Maka sangat wajar jika tindakan tersebut dilarang dalam Pasal 144 UU Nomor 13 Tahun 2003.

Maka tindakan dari Pertamina Petra Niaga yang telah menggantikan awak mobil tangki dari luar perusahaannya merupakan melanggar pasal 144 UU no.13 Tahun 2003. Bahwa status kerja pekerja tersebut adalah pekerja outsourcing dari PT Sapta Sarana Sejahtera. Maka tanggungjawab atas perlindungan kesejahteraan perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menurut pasal 66 ayat (2). Pasal 65 ayat (4) megatur bahwa pekerja outsourcing memiliki perlindungan kerja serta syarat-syarat kerja yang sama pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ditambah lagi bahwa pasal 144 tidak secara limitatif menentukan pengusaha mana yang dilarang menggantikan pekerja yang mogok. Maka baik pengusaha yang memberikan pekerjaan, maupun penyedia tenaga kerja menghadapi larangan yang sama.

Namun tentu juga penting untuk mempertimbangkan bahwa Pertamina Petra Niaga adalah anak perusahaan dari Pertamina (Pertamina Petra Niaga 2017). Sebuah perusahaan BUMN yang bertujuan untuk melayani kepentingan umum, terlebih lagi bahwa mandeknya distribusi BBM dapat mengganggu kepentingan umum. Menurut pasal 139, maka mogok kerja sepatunya diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum. Dalam kasus ini, dilakukan dengan menggunakan pekerja di luar perusahaan, termasuk TNI dan pengemudi yang bukan merupakan pekerja dari perusahaan tersebut.

Kesimpulan dan Saran

Perselisihan hubungan industrial antara Pertamina Petra Niaga, dan pekerja outsource-nya merupakan contoh konflik yang dapat muncul akibat lemahnya regulasi pemerintah mengenai sistem kerja outsourcing. Penerapan hubungan kerja tersebut dalam praktiknya dapat merugikan buruh, dan dalam kasus seperti diatas dapat saja merugikan kepentingan umum. Apalagi jika hubungan kerja seperti itu diimplementasikan pada perusahaan yang berfungsi melayani kepentingan umum dan vital dalam perekonomian.

Selain itu kasus tersebut juga menunjukkan pertentangan antara hak kolektif pekerja untuk dapat melakukan mogok kerja, dan kepentingan umum yang muncul akibat perusahaan yang kebetulan melayani kepentingan umum. Rumusan pasal yang sangat rancu pada pasal 139 UU No.13 Tahun 2003, mengenai “kepeningan umum” dan “diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. Rumusan pasal tersebut membuat pelanggaran atas pasal 144 untuk atas dasar pembenar tersebut, tetap menjadi “abu-abu” sehingga tidak menciptakan kepastian hukum. Penulis merasa perlu ada rumusan pasal yang lebih jelas agar hak kolektif buruh untuk mogok, yang sangat terkait dengan kesejahteraannya tidak hilang. Namun, jangan sampai kepentingan umum yang tidak mungkin tidak terpenuhi seperti kebutuhan air, bensin, dan listrik terkorbankan.

Leave a Reply