Oleh : Julian Marshall Eperimsa dan M. Riza Arrafi
Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI
“Kebebasan pers diakui oleh undang-undang tentang ketentuan pokok pers. Suatu kebebasan yang tidak libertarian, tidak mutlak sifatnya, melainkan bergerak dalam restriksi yang diperkenankan.” Kutipan tersebut diujarkan oleh Prof. Oemar Seno Adji ketika memenuhi kuliah umum bertemakan Etika/Moral Pers dan Berita Pengadilan dalam Mass Media. Sumbangsih dan ilmu pengetahuan yang beliau tabur tak lekang oleh waktu, terutama di bidang pers dan jurnalistik. Kendati demikian, nama beliau pun diabadikan dan disematkan sebagai nama ruangan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ruangan Prof. Oemar Seno Adji kerap digunakan sebagai ruangan pertemuan bagi seluruh sivitas akademika. Nama Prof. Oemar Seno Adji juga disematkan pada salah satu ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai tanda jasa dan apresiasi. Hal demikian menunjukkan bahwasannya Prof. Oemar Seno Adji telah menciptakan kebermanfaatan yang nyata di dunia hukum.
Latar Belakang Prof. Oemar Seno Adji
Prof. Oemar Seno Adji merupakan pria kelahiran Surakarta, 5 Desember 1915 dan merupakan anak dari Raden Tumenggung Tjitrobanudjo, seorang bupati pada Keraton Mangkunegaran, Solo. Sepak terjang Prof. Oemar Seno Adji dalam dunia akademis bermula pasca beliau menamatkan pendidikan pada MULO Solo dan AMS Yogyakarta. Beliau memilih untuk melanjutkan pendidikan tingginya pada pendidikan ilmu hukum di Rechtshogeschool, Jakarta. Setelah menyelesaikan pendidikannya, beliau memulai karier dengan bekerja dalam Departemen Kehakiman dari tahun 1946 hingga 1949.
Sembari meniti karirnya, Prof. Oemar Seno Adji melanjutkan perjalanan akademisnya dengan mendalami ilmu hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM). Pada 1949, beliau akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikan hukumnya. Prof. Oemar Seno Adji kemudian menjabat sebagai Jaksa Agung Muda pada periode 1950 hingga 1959. Sehabis masa jabatannya, beliau memilih untuk menjadi dosen sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Beliau juga sempat menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia periode 1966–1968.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, beliau tergabung ke dalam bagian Kabinet Pembangunan 1 sebagai Menteri Kehakiman tahun 1968 hingga 1973. Puncaknya, beliau diangkat dan menduduki posisi Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia periode 1974–1982 menggantikan R. Soebekti. Kiprah Prof. Oemar Seno Adji tampak jelas dalam bidang hukum, khususnya persoalan kebebasan serta perlindungan pers.
Pengaruh Prof. Oemar Seno Adji di Bidang Hukum Pers
Prof. Oemar Seno Adji merupakan tokoh yang menyumbang pemikirannya di bidang hukum secara melimpah, terutama hukum pers. Beliau mendefinisikan pers dalam arti sempit sebagai wujud dari freedom of press, sedangkan pers dalam arti luas merupakan wujud dari freedom of speech dan freedom of expression. Freedom of press adalah hak untuk mempublikasikan berita dan opini di media massa tanpa intervensi dari pemerintah untuk mengubah atau menghapus informasi apa pun. Menurut beliau, pers dalam arti sempit memuat siaran-siaran pikiran, ide ataupun berita-berita secara tertulis. Di lain sisi, pers dalam arti luas mengandung media mass communication yang menyebarkan ide-ide serta gagasan-gagasan seseorang, baik secara tertulis maupun lisan.
Prof. Oemar Seno Adji juga memberikan sumbangsih dan memperjuangkan kebebasan pers pada era Orde Baru. Pada era Orde Baru, terjadi serangkaian peristiwa pembredelan pers. Berbagai surat kabar, seperti Majalah Tempo, Harian Kompas, koran Sinar Harapan, dan The Indonesian Time dibredel oleh pemerintah Orde Baru. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mewajibkan kepemilikan Surat Izin Terbit (SIT), dari Departemen Penerangan, dan Surat Izin Cetak (SIC), dari lembaga militer KOPKAMTIB, sebagai syarat penerbitan surat kabar. Apabila salah satu atau kedua dari surat izin tersebut dicabut, maka media penerbitan surat kabar tersebut tidak bisa lagi memproduksi surat kabarnya. Puncak dari rangkaian pembredelan pers oleh orde baru adalah dicabutnya Surat Izin Terbit dari 12 surat kabar oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia. Pemerintah Orde Baru beralasan bahwa surat kabar-surat kabar tersebut telah melakukan penghasutan dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Peristiwa ini merefleksikan betapa represifnya kebijakan-kebijakan orde baru terhadap pers. Ketentuan ini tentunya sangat rawan untuk disalahgunakan sebagai alat guna membungkam kebebasan pers. Menurut Prof. Oemar Seno Adji, inti dari pers yang bebas adalah tidak adanya langkah preventif dalam kehidupan hukum pers, seperti sensor dan pembredelan, termasuk melalui pencabutan SIT. Segala perizinan yang bersifat mengekang dapat dianggap sebagai tindakan yang dilarang dan tidak dibenarkan oleh prinsip freedom of press. Jika memang suatu pers diduga melakukan tindakan-tindakan tertentu yang dilarang, seperti penghinaan, penghasutan, dan penyebaran berita bohong, maka pers tersebut bisa dituntut ke pengadilan tanpa dibredel izin terbitnya.
Setelah SIT ditiadakan dengan terbitnya UU Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers (UU Pokok Pers), beberapa pihak menganggap bahwa akhirnya kebebasan pers dapat benar-benar ditegakkan. Meskipun SIT tidak lagi diperlukan, pada kenyataannya pemerintah masih mensyaratkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) bagi perusahaan penerbitan yang ingin beroperasi. SIUPP merupakan surat izin usaha yang seharusnya memuat sebatas ketentuan-ketentuan formil sebagai syarat berdirinya suatu badan usaha pers, seperti aspek keuangan dan hukum suatu badan usaha pers. Namun, eksistensi dan konsekuensi SIUPP berujung seperti SIT yang sama-sama digunakan untuk membredel pers-pers yang ada pada era orde baru. Menurut Prof. Oemar Seno Adji, hal ini telah menyalahi fungsi dari SIUPP itu sendiri. SIUPP memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan SIT. SIUPP tidak dapat digunakan untuk membredel pers berdasarkan materi atau gagasan yang diterbitkan.
Peninggalan
Sebagai seorang guru besar di bidang Hukum, Prof. Oemar Seno Adji memberikan sebuah kontribusi terhadap hukum pers di Indonesia. Prof. Oemar Seno Adji memberikan peninggalan berupa pemikiran-pemikiran teoritis, hal ini tercermin dari pendapat Prof. Oemar Seno Adji mengenai definisi pers dalam arti luas dan sempit. Sederhananya, Prof. Oemar Seno Adji memberikan sebuah batasan-batasan tertentu terhadap bentuk pers itu sendiri. Selain kiprah beliau dalam hukum pers yang tercermin dalam buku Mass media dan hukum yang ditulisnya. Prof. Oemar Seno Adji juga mennyumbangkan ide dan pemikirannya tentang hukum dengan cakupan yang lebih luas dalam buku-bukunya yang lain, yakni:
Berbicara perihal pers, sering kali kita melihat peristiwa-peristiwa yang membatasi kebebasan pers itu sendiri. Pembatasan kebebasan pers benar-benar mencerminkan peristiwa yang terjadi pada masa orde baru, pada masa itu pers dibatasi karena dianggap sebagai sebuah ancaman bagi politik dan kekuasaan yang ada di negara. Padahal saat itu UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers telah hadir sebagai sebuah pedoman bagi berjalannya entitas pers yang aktif. Hal tersebut bisa dikatakan seperti itu karena pada masa orde baru masih ada budaya telepon, pembatalan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP), pembredelan pers dan sebagainya. Padahal jika kita kembali merujuk pada konstitusi negara Indonesia kebebasan atau kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan suatu hal yang krusial, penting, serta dijunjung tinggi. Hal tersebut tercermin pada Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Prof. Oemar Seno Adji juga memberikan suatu pendapat tentang kebebasan pers dalam salah satu karyanya Mass Media dan Hukum, buku itu berisikan mengenai aspek-aspek dalam kebebasan pers. Beliau menafsirkan kebebasan pers adalah free expression press, memberikan kemerdekaan dalam menyatakan pendapat melalui pers. Namun, beliau mengemukakan pendapat bahwa kebebasan pers bersifat limitatif. Menurutnya, setiap kebebasan dalam pers yang dikehendaki bukan kebebasan tanpa adanya batas dan syarat sehingga tidak mutlak sifatnya. Pembatasan tersebut bersifat represif yang mana menjadi konsekuensi atas tugas beserta fungsi dari pers itu sendiri. Tugasnya sebagai kritik konstruktif yang berkarakter negatif juga disertai inisiatif pemerintah yang berkarakter positif.
Dewasa ini, teknologi informasi dan media sosial semakin luas cakupannya berimplikasi terhadap kompleksitas penerapan free expression press sebab ruang untuk masyarakat berpendapat semakin bebas. Akan tetapi, dengan adanya ruang berpendapat yang semakin bebas, masih terdapat hak khusus yang dimiliki pembicara dan pendengar dalam hal berpendapat, hak dari kedua subjek tersebut terkadang bertentangan dan sulit untuk didamaikan. Sementara kebebasan berekspresi di media sosial memungkinkan siapapun menyampaikan suaranya tanpa adanya batasan fisik, tetapi hal tersebut juga membuka peluang tentang penyebaran hoax dan hate speech, hal tersebut tercermin dari beberapa kasus berita palsu semasa pemilu kemarin. Tentunya, perlu adanya pertanggungjawaban dari penyebaran berita palsu tersebut. Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Prof. Oemar Seno Adji, kebebasan yang ada dalam pers sifatnya juga represif dimana konteks kebebasan dan tanggung jawab juga harus berjalan seimbang dalam penerapannya. Ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga selaras dengan pendapat Prof. Oemar Seno Adji bahwa sifat dari kebebasan berpendapat itu limitatif, ayat tersebut menyatakan bahwa dalam menyampaikan sebuah pendapat kita perlu memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Berdasarkan ayat tersebut, pemahaman yang terkandung memiliki sebuah batasan-batasan tertentu yang tidak boleh kita lewati garisnya.
Melalui pengabdian dan kontribusinya di bidang hukum pers, Prof. Oemar Seno Adji memberikan pelajaran yang baik bagi kita semua. Ilmu serta ajaran dari beliau tentang kebebasan pers dan tanggung jawab dalam menyampaikan informasi harus dijadikan pedoman dalam perkembangan pers indonesia yang menuju masa depan yang lebih visioner. Sebagai generasi penerus bangsa, mari kita mengawal ide dan gagasan yang telah diutarakan oleh Prof. Oemar Seno Adji, agar warisan penting tersebut tidak hanya menjadi sebuah sejarah, tetapi juga menjadi penopang yang kokoh bagi perkembangan bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen IV.
JURNAL
Arinato, Satya. “Pembredelan Pers di Indonesia Pasca Pencabutan Pembatalan SIUPP”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 22, No. 1 (1991). Hlm. 36.
Imron, dan Tri Yunianto Sariyatun. “Pembredelan Pers Pada Masa Pemerintahan Orde Baru Dan Relevansinya Bagi Mata Kuliah Sejarah Indonesia Mutakhir.” Jurnal CANDI. Vol. 13, No. 1 (2016).
Eddyono, Aryo Subarkah. “Pers Alternatif pada Era Orde Baru: Dijinakkan hingga Dibungkam.” Komunika: Jurnal Ilmu Komunikasi. Vol. 8, No. 1 (2021). Hlm. 53-60.
Voges, Stefan Obadja. “Kemerdekaan Pers dalam Perspektif Hukum Pers di Indonesia”, Jurnal Lex et Societatis. Vol. 2, No. 9 (2014). Hlm.51.
INTERNET
Al-Fatih, Sholahuddin. “Kebebasan Berpendapat di Media Sosial: Antara Hak Konstitusional dan Batasan Paradigma Moral.” Papers.ssrn.com, 8 Oktober 2021. Tersedia pada https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3896756. Diakses pada tanggal 30 April 2024.
Hutabarat, Delvira. “20 Januari 1978, Rezim Orde Baru Larang 7 Surat Kabar Terbit.” Liputan6.com, 20 Januari 2021. Tersedia pada https://www.liputan6.com/news/read/4461290/20-januari-1978-rezim-orba-larang-7-surat-kabar-terbit?page=3. Diakses pada tanggal 1 Mei 2024.
Oxford Advanced Learner’s Dictionary, “Definition of freedom of the press noun.” Oxfordlearnersdictionaries.com. 25 April 2018. Tersedia pada https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/. Diakses pada 29 April 2024.
Perpusnas, “Koleksi Nasional Buku Oemar Seno Adji.” Onesearch.id. Tersedia pada https://onesearch.id/Author/Home?author=Oemar+Seno+Adji. Diakses pada tanggal 29 April 2024.