Kewenangan Jaksa Ajukan PK Inkonstitusional: Tinjauan Putusan Mahkamah Konstitusi

Latar Belakang

            Kasus berawal dari putusan pidana kasasi seorang terdakwa yang ditinjau kembali oleh para jaksa. Pada kasus terdakwa bernama Hartono memiliki putusan tingkat pertama, banding, hingga kasasi memiliki putusan yang berbeda. Pada putusan pertama, ia diputuskan bersalah dan dipidana. Selanjutnya, pada putusan banding, ia diputuskan bebas dan lepas. Namun, pada putusan kasasi di Mahkamah Agung, ia diputuskan bersalah. Merasa bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah, maka ia ajukan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA). Permohonan PK dilayangkan oleh pihak terdakwa dan pada akhirnya terdakwa diputuskan tidak bersalah oleh majelis PK. Putusan PK ini seharusnya berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

            Akan tetapi, jaksa masih bersikukuh untuk menemukan keadilan. Jaksa menggunakan landasan hukum Pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang no. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan 2021”). Bunyi dari pasal itu:

            “Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 3OB Kejaksaan:

  1. mengajukan peninjauan kembali;”[1]

Melalui kewenangan yang didapatkan pada UU ini, para jaksa dari Kejaksaan Bali melayangkan PK kembali atas putusan PK oleh terdakwa. Oleh karena itu, jaksa menuntut kembali terdakwa pada sidang PK setelah putusan PK yang bernomor 41 PK/Pid/2021 berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Tak terima oleh langkah aksi tersebut, terdakwa bersama dengan tim penasihat hukumnya melakukan Pengujian Undang-Undang (PUU) terhadap Undang-Undang Dasar NRI 1945 (“UU NRI 1945”) dengan batu uji pasal 1 ayat (3), pasal 28D ayat (1), dan pasal 28I ayat (1) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Berikut adalah argumen-argumen dalam sosok kasus ini. Argumen-argumen pada diskusi ini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian I akan dibahas tentang lembaga PK di Indonesia yang diatur oleh pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Argumen-argumen akan dilayangkan oleh para pembicara secara praktis dan teoritis. Bagian II akan dibahas tentang lembaga PK Belanda dan bagian III adalah hasil putusan serta komentar umum terhadap hasil putusan tersebut oleh penulis.

Pembahasan

       I.            Pandangan Peninjauan Kembali pada Diskusi

            Indonesia sebelumnya mengenal kembali lembaga Peninjauan Kembali secara perdata dan pidana. Peninjauan kembali merupakan lembaga hukum yang dapat memberikan akses kepastian dan keadilan hukum bagi para pihak. Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa yang dapat dilalui terdakwa dalam putusan-putusan sebelumnya. Upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi hingga Kasasi di Mahkamah Agung merupakan salah satu opsinya. 

Pemantik Pihak Pro, yaitu Timotius Ebenezer mempermasalahkan pasal 30C huruf h yang memberikan kewenangan PK yang tidak disertai dengan penjelasan yang jelas. Pihak pro menyatakan penambahan kewenangan akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak sesuai dengan yurisprudensi MK, selain itu permasalahan mengenai makna filosofis PK muncul kembali, apakah Jaksa boleh melakukan upaya hukum PK. Menurut Timotius, upaya hukum PK oleh Jaksa diperbolehkan dengan ketat. Salah satunya adalah pandangannya terkait dengan upaya hukum PK di Belanda (akan dibahas di bagian selanjutnya).

Salah satu pendapat pembicara dalam Diskusi Rutin mengenai Inkonstitusi kewenangan jaksa, Abvianto salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada pihak pro  menyatakan bahwa secara filosofi, Jaksa harus mengedepankan keadilan dan kepastian umum bagi masyarakat sehingga memungkinkannya Jaksa untuk melakukan upaya hukum luar biasa. Hal ini seirama dengan pendapat Nys, Arfa dkk. bahwa menurut ketentuan pasal 263 KUHAP ayat 1 dan 3 memiliki norma yang bertentangan sehingga tidak jelas kepentingan siapa lembaga Peninjauan Kembali itu. Dalam pandangan Abviantio, JPU dapat menggunakan upaya hukum agar terlaksananya tupoksi Jaksa itu sendiri. Menurut UU Kejaksaan 2021 pasal 8 ayat (3), JPU harus senantiasa dalam senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan hati nurani dengan mengindahkan norma yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya. Hal ini mengindikasikan kepentingan JPU untuk dapat menegakkan hukum hingga tuntas sebagaimana masyarakat atau dalam hal ini kepentingan umum terjaga

Pemantik Pihak Kontra, yaitu Justin Huang berargumen dengan adanya novum maka terdakwa dapat memiliki akses keadilan yang sebelumnya tidak pernah dilihat oleh majelis hukum sebelumnya. Apalagi jika sebenarnya terdakwa adalah diputuskan bebas sebelumnya. Maka dari itu, dengan adanya  PK sebagai upaya hukum, seseorang yang seharusnya bebas akan mendapatkan akses hukum yang lebih aman dan nyaman.. terdapat pandangan lain yang menyebutkan bahwa lembaga hukum seharusnya digunakan hanya untuk terdakwa pada upaya hukum sebelumnya. JPU yang melakukan PK dinilai tidak rasional dan menyalahi norma kepentingan umum itu sendiri karena tidak memikirkan bahwa terdapat kepastian hukum yang harus dijaga oleh jaksa untuk kepentingan umum berdasarkan persamaan legal standing. Justin Huang juga menambahkan, bahkan untuk tidak menyalahi Hak Asasi Manusia (HAM) Jaksa tidak boleh melakukan PK. Oleh karena itu, Masalah akan muncul jika upaya PK dilakukan oleh JPU karena akan menutupi akses hukum terdakwa tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan hukum sebagai kepastian. Perdebatan pada akhirnya menyusut kepada pertanyaan konstruktivis, bagaimana seharusnya perbuatan/upaya hukum PK tersebut dilakukan? dan bagaimana cara kita memahami PK tersebut?

    II.            Peninjauan Kembali di Belanda: Batu Uji PK yang Baik

            Salah satu hal yang dapat dimengerti oleh diskursus adalah pembelajaran komparatif dengan sistem hukum lain dalam melihat upaya hukum. Salah satu pendapat yang dapat diutarakan adalah pendapat Timotius Ebenezer. Ia berpendapat bahwa salah satu batu Uji yang tepat sebagai lembaga PK adalah negara Belanda. Bagaimanapun, Belanda sebagai negara mempunyai faktor sosio-historis dengan pembangunan hukum di Indonesia. 

Timotius Ebenezer berargumen bahwa negara Belanda layak ditelusuri karena Indonesia mewarisi sistem PK-nya yang telah berubah sesuai konteks di sana. Awalnya putusan bebas di Belanda juga dilindungi dengan finalitas absolut oleh pengadilan. Salah satu argumentasi yang ada adalah tak adil jika negara bisa terus menuntut warga negara, termasuk lewat PK, setelah yang bersangkutan bebas dari dakwaan (Van Hattum, 2012). Namun, argumen ini hanya persuasif bagi terdakwa yang memang tak bersalah karena dapat melindungi hak terdakwa. Sama sekali tak persuasif bagi pelaku kejahatan yang lolos dari jerat hukum lewat penipuan dan intimidasi (Miller, 1927). Butuh waktu lama hingga PK terhadap putusan bebas diadopsi di Belanda. Meski sudah dibahas kalangan ahli hukum sejak 1873, baru pada 1 Oktober 2013 hal itu diakui hukum acara pidana Belanda. Yang berhak memohonkan adalah Procureur General (PG), melalui prosedur superketat, hanya dengan alasan novum dan falsum.

Novum dalam PK terhadap putusan bebas dibatasi berupa:

(1) pengakuan kredibel terdakwa yang bebas dari tuduhan pembunuhan, bahwa dia pelaku sesungguhnya; atau

(2) hasil penelitian teknis berupa ”hard evidence”

mengenai kesalahan terdakwa. Sementara falsum adalah kejahatan yang mencemari lahirnya suatu putusan bebas. Falsum terdiri dari:

(1) bukti palsu;

(2) keterangan palsu;

(3) kejahatan terhadap pejabat atau individu yang terkait dengan suatu proses pidana; atau

(4) hakim yang disuap.

PG juga berwenang mengajukan PK bagi terpidana dengan kriteria tertentu. PG bisa membantu terpidana mencari bukti dan memperkuat argumentasi jika terdapat alasan untuk memohonkan PK (Brants & Field, 2011). Namun patut dicatat, PG tak sama dengan Kejaksaan. PG mengepalai sebuah kantor di Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) yang bertanggung jawab menuntut tindak pidana yang dilakukan pejabat publik, serta menyampaikan pendapat kepada Hoge Raad atas setiap perkara kasasi. PG juga mengajukan kasasi demi kepentingan hukum, termasuk mengajukan permohonan PK.

Pendapat Timotius tersebut berpusat kepada hukum prosedural yang berlaku pada negara Belanda serta pengajuan terhadap lembaga hukum yang berbeda dengan kejaksaan yang diketahui di Indonesia. Secara grammatikal, hal ini ada benarnya. Pertama, Indonesia sebagai negara yang mempunyai umur yang relatif pendek belum dapat mencari data atau telusuran secara filosofis-historis mengenai bagaimana upaya PK dapat dilakukan. Hal ini sebisanya dapat dibantah dengan 2 putusan-putusan MK yang menggambarkan situasi genting terhadap upaya PK secara pidana misalnya Putusan MK No.16/PUU-VI/2008 sebagai pengejawantahan hakim MK berpendapat bahwa Pranata PK diadopsi semata-mata untuk kepentingan terpidana/terdakwa atau ahli warisnya, menghilang atau diganggunya maksud dari tujuan tersebut akan membuat makna PK hilang atau tidak bernilai. Setelah itu dengan adanya Putusan MK No. 20/PUU-XXI/2023 maka pintu PK seharusnya ditutup kecuali ketentuan luar biasa. Kedua, lembaga hukum yang berbeda untuk melakukan upaya hukum luar biasa. Indonesia belum mempunyai lembaga hukum seperti PG untuk dapat melakukan upaya hukum luar biasa melainkan dari kejaksaan itu sendiri. Hal ini tentunya masih menyatukan kewenangan upaya hukum PK masih ada di dalam kejaksaan. Apakah kejaksaan sendiri itu sebenarnya berwenang?

            Menambahkan pendapat Timotius Ebenezer, penulis berpendapat bahwa PK oleh pihak penuntut harus ada karena berhubungan dengan perluasan tujuan Jaksa oleh pasal 8 UU Kejaksaan 2021 itu. Menurut pendapat Yading Arianto, putusan bebas yang dilakukan PK tidak bermasalah karena sesuai dengan pranata PK itu sendiri sedangkan putusan lepas yang dilakukan PK lah yang bermasalah. Putusan lepas seharusnya dilakukan kembali dengan perlakuan penerapan Judex Jurist yang diperluas penafsirannya (penafsiran ekstensif) (Arianto, 2015). Akan tetapi, menurut Arianto, bukanlah kewenangan jaksa untuk melakukan hal tersebut karena secara penafsiran grammatikal maka akan ditemukan kekaburan norma, yaitu terhadap siapa (addresat norm). Oleh karena itu, Arianto mempermasalahkan legal standing terhadap kewenangan jaksa untuk melakukan PK. Penulis setuju akan penafsiran tersebut.

            Penulis menyetujui pendapat-pendapat tersebut karena urgensinya kepastian hukum yang jelas serta prosedural yang transparan. Pertama, kepastian hukum mengenai lembaga PK mengkhawatirkan bila seandainya JPU melakukan PK berulang untuk menakuti terpidana kembali kecuali memang terbukti putusan lepas. Kepastian hukum merupakan hak rakyat Indonesia untuk digunakan sebebas mungkin, apalagi jika diperhatikan paradigma pidana Indonesia sudah berubah untuk menjadi restitusi. Maksudnya, memiliki fokus pemidanaan untuk mengembalikan kepada seharusnya. Jika JPU harus melakukan PK terus menerus tanpa adanya legal standing yang tepat, maka rakyat sama saja dihantui terus menerus dari negara yang seharusnya melindungi mereka. Penambahan oleh penulis seirama dengan pendapat Justin Huang sebagai pihak kontra. Seharusnya, bukan jaksa lagi yang melakukan upaya hukum PK akan tetapi badan lain yang independen dari jaksa.  Kedua, prosedural yang transparan dengan terjadinya badan baru dalam kasus PK akan membawa marwah baik bagi upaya hukum Indonesia. Pembagian fokus bagi upaya hukum biasa dan luar biasa oleh JPU dan badan baru yang menangani upaya luar biasa tersebut akan membawa kestabilan dan prosedur yang jelas secara kewenangan. Hal ini tentu saja akan berdampak dengan sistem hukum pidana yang efisien, efektif, dan transparan.

 III.            Hasil Putusan

            Sebagai penghujung dari argumen-argumen tersebut, pada akhirnya putusan PUU MK nomor 20/PUU-XXI/2023 mengabulkan pencabutan kewenangan PK jaksa oleh MK. Melalui permohonan terdakwa/pemohon Hartono, majelis hakim berpendapat bahwa MK tidak dapat melupakan putusan PUU sebelumnya. Apalagi dengan argumen-argumen pemohon sudah mencakup pokok perkara dengan baik.

Salah satu argumen pemohon adalah bagaimana majelis MK untuk konsisten terhadap putusan terdahulu mengenai permohonan yang sama seperti ketika Anna Boentaran istri dari Djoko Chandra memohon permasalahan yang sama (bukan pasal yang sama) oleh karena itu tidak ni bis in idem, Penulis berpendapat bahwa hal tersebut seharusnya memang dilakukan kecuali dilakukan sebaliknya. MK sebagai lembaga yudikatif negatif, artinya hanya dapat mengurangi dan menginterpretasi, tidak bisa melakukan perubahan Undang-Undang sehingga yang hanya bisa dibuat MK adalah membuat yurisprudensi berbasis interpretasi Undang-Undang. Hal ini layaknya sama dengan komparatifnya di Mahkamah Agung Amerika Serikat (Supreme Court of America) yang hanya bisa melakukan Judicial Review negatif. Namun, perbedaan tradisi serta bagaimana hukum bekerja di sana perlu menjadi dikaji lebih dulu. Penulis berpendapat jika MK mengakui kewenangan Jaksa yang boleh melakukanan upaya PK, maka boleh saja tidak mengakui putusan terdahulu atas nama keadilan.

Argumen kedua adalah seperti topik pembicaraan adalah komparasi dengan negara-negara lain seperti Belanda dan Jerman yang sama dengan bagians sebelumnya. Legislator harus melihat kajian tersebut untuk membuat lembaga PK independen. Hal ini diupayakan reformasi hukum yang baik.

Kesimpulan

            Untuk menutup kajian reportase terhadap tema kewenangan jaksa dalam melakukan PK, penulis ingin membawa pesan bahwa terhadap dialektika permasalahan kewenangan PK. Permasalahan ini harus dibaca, dipahami, dan didialektikan dengan semangat membangun. Bahwasanya di dalam dialektika pada Diskusi Rutin secara prinsip dilakukan dengan kebebasan akademik yang bertujuan untuk mengkrititsi, membangun, dan menciptakan ide yang sehat untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Hasil pihak Pro yang menentang pranata PK memiliki inti bahwa kepastian hukum terpidana bagaimanapun harus dilihat sedangkan pihak kontra mendukung pranata PK memiliki prinsip kepentingan umum yang harus dijaga.

            Oleh karena itu, perdebatan akan kewenangan jaksa melakukan PK memiliki poin yang baik dalam pembangunan hukum di Indonesia. Hal tersebut harus diperdebatkan dan dikritisi supaya pembangunan hukum Indonesia menjadi maju.

 

Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar NRI 1945.

Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia  No. 16 Tahun 2004, UU Nomor 12 Tahun 2021. LN Tahun 2021 No. 298, TLN No. 6755.

Indonesia. Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981. LN Tahun 1981 No. 76. TLN No. 3209.

Jurnal

Ariyanto, Yading. Hak Jaksa Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali dalam Perspektif Keadilan Hukum di Indonesia. Brawijaya University, 2015.

Arfa, Nys. Nur, Syofyan. Munandar, Tri Imam. “Pengaturan Peninjauan Kembali Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.” Jurnal Sains Sosio Humaniora Volume 4 Nomor 1 Juni 2020. Hlm. 102-112.

Yurisprudensi/Putusan

Mahkamah Konstitusi. Putusan No.16/PUU-VI/2008. Pollycarpus Budihari Priyanto. (Pemohon) (2008).

Mahkamah Konstitusi. Putusan No. 33/PUU-XIV/2016.  Anna Boentaran (Pemohon) (2016).

Mahkamah Konstitusi. Putusan No. 20/PUU-XXI/2023. Hartono (Pemohon) (2023).

Internet

Binzaid Kadafi. “Peninjauan  Kembali oleh Jaksa.” Diakses pada tanggal 19 April 2023. Pada link https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/artikel-hukum/2045-peninjauan-kembali-oleh-jaksa-binziad-kadafi.

 

[1] Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia  no. 16 Tahun 2004, UU Nomor 12 tahun 2021, LN Tahun 2021 No. 298, TLN No. 6755, selanjutnya disebut UU Kejari perubahan pertama, pasal 30c huruf h.