Nama Jurnal : Indonesia Law Review
Pengarang : Fajar Dian Aryani, Pujiyono Pujiyono, dan Sidharta Sidharta
Tahun : 2024
Pengulas : Rifdah Zulhanzahira dan Raihan Fadlur Saban
Pendahuluan
Perkembangan korporasi merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini menimbulkan terjadinya pergeseran komponen korporasi dari organisasi yang berorientasi non-profit menuju korporasi yang profit oriented, serta perubahan bentuk organisasi dari skala nasional ke internasional. Sebagai salah satu konsekuensinya, korporasi sebagai organisasi berskala besar dapat melakukan kejahatan korporasi yang menimbulkan kerugian dan jumlah korban yang besar. Pola demikian menimbulkan kerugian antara lain kejahatan lingkungan hidup, kejahatan ekonomi, pencucian uang, kejahatan perbankan, kejahatan digital, kejahatan terhadap konsumen, persaingan yang tidak sehat, dan penipuan konsumen. Selain itu, terdapat tindakan penghindaran pajak, pelanggaran terkait ketenagakerjaan, manipulasi akuntansi, iklan palsu, penyelundupan, kejahatan hak kekayaan intelektual, dan kejahatan lainnya.
Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana dapat dilihat dalam Pasal 15 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1955 tentang Penyidikan, Penuntutan, dan Pengadilan Tindak Pidana Ekonomi (UU 7/1955). Perkembangan ini dibuktikan dengan liabilitas sistem tindak pidana korporasi dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang secara khusus dituangkan dalam Pasal 15 undang-undang tersebut. Akan tetapi, penerapan pertanggungjawaban pidana atau penjatuhan pidana terhadap korporasi dalam praktiknya belum optimal. Hal ini dibuktikan dengan sukarnya korporasi diadili, diperiksa, dan dijatuhi putusan oleh hakim. Sebagai contoh, kasus PT Lapindo pada tahun 2016 yang berusaha lepas tangan dengan memengaruhi pemerintah. PT Lapindo berusaha agar pemerintah menyatakan bencana lumpur Lapindo sebagai bencana alam melalui jalur politik dan birokrasi yang diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-X/2012. Di sisi lain, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengatur mengenai penuntutan pidana terhadap korporasi yang terlibat dalam korupsi. Empat korporasi telah dituntut berdasarkan undang-undang ini, yakni PT Girijaladhiwana, PT Cakrawala Nusadimensi, PT Indosat Mega Media, dan PT Nusa Konstruksi Engineering. Lebih lanjut, PT KA menjadi satu-satunya korporasi yang diadili sejak berlakunya Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain itu, masih terdapat perbedaan pada ratio decidendi dalam perkara Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2015 terhadap PT KA yang diwakili direkturnya, korporasi tersebut dikenai ancaman pidana minimal berupa denda dan tidak dijatuhi ancaman pidana maksimal dari segi pemulihan keuangan negara maupun pemberian sanksi tambahan seperti penutupan tempat usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 199 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Demikian pula dalam kasus PT GJW dan PT CND, kasus tersebut menetapkan kesalahan korporasi yang berfokus pada tindakan para eksekutif korporasi ditegaskan bahwa kesalahan yang dilakukan direksi dapat disebabkan oleh korporasi itu sendiri. Pengadilan menerapkan teori pertanggungjawaban pidana korporasi melalui identifikasi dan hukuman pidana utama, yaitu denda, dalam dua kasus tersebut. Namun, terdapat kejanggalan dalam penerapan sanksi pidana tambahan. Dalam kasus PT GJW, selain sanksi utama, PT GJW juga dikenakan sanksi tambahan berupa penutupan sebagian atau seluruhnya, sedangkan dalam kasus PT CND tidak dikenakan sanksi tambahan. Peristiwa ini menyoroti kekurangan dalam mencapai keadilan dan memulihkan keseimbangan masyarakat yang terganggu oleh aksi korporasi.
Putusan pengadilan dianggap tidak memadai dalam memenuhi harapan masyarakat terhadap keadilan dan memulihkan keseimbangan masyarakat yang terganggu oleh aksi korporasi. Putusan pengadilan tersebut menimbulkan kritik terhadap integritas peradilan dan menimbulkan persepsi bahwa keadilan dapat dipengaruhi atau “dibeli”. Hal ini mencerminkan kekecewaan masyarakat yang timbul dari kelemahan dalam praktik penegakan hukum. Oleh karena itu, penting untuk menyelaraskan hasil hukum dengan prinsip-prinsip dasar hukum yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat.
Pembahasan
Ketika menentukan suatu putusan terhadap suatu perkara, seorang hakim harus mempertimbangkan penilaiannya dengan melihat tindakan terdakwa dan keadaan di sekitarnya untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan yang memuaskan semua pihak. Ketidakberpihakan suatu peradilan memiliki peran yang penting dalam penegakan hukum di pengadilan. Dalam membuat keputusan, seorang hakim dapat menggunakan alasan yang dapat dibenarkan dalam sistem common law. Contohnya di Inggris, hukum pidana yang mereka gunakan adalah sistem common law yang merupakan bagian dari hukum positif di Inggris yang berasal dari kebiasaan dalam masyarakat yang kemudian dikembangkan menjadi suatu putusan pengadilan. Dalam pemahaman hukum, common law biasanya disebut sebagai case law atau precedent law. Common law yang berkembang dari putusan pengadilan memiliki kewenangan yang cukup berpengaruh karena Inggris memegang asas stare decisis atau kekuatan mengikat yang mewajibkan hakim untuk mengikuti putusan pengadilan sebelumnya.
Kekuatan mengikat dari hukum preseden ada pada salah satu bagian putusan yang disebut dengan ratio decidendi, yaitu segala bagian dari putusan atau pertimbangan hukum yang mendasari keputusan pada kasus tertentu. Aspek lain seperti pembahasan fakta yang tidak berhubungan secara langsung dengan perkara, disebut obiter dicta, tidak memiliki kekuatan mengikat. Ratio decidendi, oleh seorang hakim, dibuat dengan memperhatikan fakta-fakta materiil dan penilaiannya berdasarkan fakta-fakta materiil tersebut. Oleh karena itu, fakta-fakta materiil tersebut bisa menjadi alasan untuk membentuk dua keputusan yang berbeda.
Berdasarkan penelitian, dalam ratio decidendi, dominasi dari tradisi civil law masih sangat kuat. Hal itu dapat kita lihat pada hakim yang menghubungkan fakta terhadap hukum. Pada konteks ini, ketika hakim menangani sebuah perkara, undang-undang menjadi sumber hukum primer yang diaplikasikan dalam peristiwa konkret sehingga menggeneralisasi kasus-kasus berdasarkan bukti hukum dari penyelidikan. Dalam hal ini, hakim mengutamakan pasal-pasal dalam undang-undang sebagai sumber hukum primer serta silogisme dan juga sebagai referensi untuk memutuskan suatu kasus. Sementara itu, ketika regulasi hukum yang kurang jelas atau kurang komprehensif, seorang hakim atau badan peradilan lainnya harus menafsirkan pasal dalam undang-undang. Ketika dikaitkan dengan konsep hukum pidana korporasi yang peraturannya menganggap korporasi sebagai subjek tindak pidana termasuk pertanggungjawaban pidananya, inkonsistensi yang ada menjadi semakin jelas terlihat. Di satu sisi, terdapat peraturan yang menganggap korporasi sebagai subjek tindak pidana tetapi tidak mempunyai ketentuan yang jelas atas pertanggungjawaban pidana mereka. Di lain sisi, terdapat ketentuan yang mengatur tindak pidana yang dilakukan korporasi termasuk pertanggungjawaban dan sanksinya.
Dalam hukum pidana terdapat asas bahwa tidak selalu pelaku dapat dikenakan pertanggungjawaban secara pidana meskipun perilakunya dapat dibuktikan dengan jelas. Hal tersebut dapat terjadi bukan karena kurangnya bukti perilakunya, tetapi karena ketika peristiwa pidana itu terjadi, terdapat suatu sebab yang oleh undang-undang dianggap menghalangi pengenaan pertanggungjawaban pidana terhadap pelakunya. Penyebab ini terbagi menjadi dua macam, yaitu pembenaran dan dalih. Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, timbul sebuah pertanyaan, yaitu apakah pembenaran atau dalih yang berlaku pada individu yang tindakannya berhubungan dengan korporasi, seperti anggota dewan direksi suatu korporasi, bisa meniadakan pertanggungjawaban pidana korporasi. Remmelink, seorang sarjana hukum dari Belanda, menyatakan bahwa dalih yang menghilangkan kesalahan individu tidak selalu melepaskan korporasi dari kesalahan. Misalnya dalam kasus HR pada 27 Januari 1948 No.197, terdapat suatu tindakan dilakukan oleh seorang karyawan di luar kebijakan korporasi, tetapi Hoge Raad, peradilan pada zaman Belanda, memutuskan bahwa korporasi tetap harus menanggung pertanggungjawaban pidana.
Menurut Remmelink jika suatu kondisi yang dapat membatalkan masalah bisa dijadikan sebagai pembenaran terhadap tindakan yang dilakukan, maka korporasi juga bisa mendapatkan manfaatnya. Misalnya, dalam keadaan darurat (noodtoestand) yang merupakan suatu pembenaran, korporasi dapat menggunakan ini untuk menghilangkan masalah. Namun, ketika menyangkut alasan pribadi seperti gangguan mental pada direktur, pertanggungjawaban pidana korporasi mungkin tidak secara otomatis dihapuskan. Penulis jurnal berpendapat bahwa sebab yang digunakan untuk menghilangkan pertanggungjawaban pidana entah itu pembenaran atau dalih, yang berlaku bagi orang yang berkuasa atas korporasi, seharusnya juga diberlakukan untuk korporasi. Maksudnya, jika direktur yang berkuasa atas suatu korporasi terbebas dari pertanggungjawaban pidana, maka secara langsung korporasinya juga.
Dalam hukum perdata, ketika memutus suatu perkara, seorang hakim harus mengacu pada undang-undang. Prof. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa konsep ini memiliki kelemahan karena hukum tidak selalu lengkap dan jelas yang membuat hakim harus menafsirkan peraturan untuk mencari solusi. Dalam konteks hukum pidana korporasi, penafsiran atau interpretasi dapat dilakukan oleh hakim atau badan peradilan lainnya ketika menghadapi suatu peristiwa konkret yang terkait dengan tindak pidana korporasi. Lalu, hal tersebut dihubungkan dengan peraturan umum yang tidak jelas atau tidak lengkap. Selanjutnya, penting untuk mengikuti prinsip penafsiran yang disebutkan oleh para yuris, contohnya seperti Remmelink, sebagai petunjuk untuk hakim dan badan peradilan lainnya dalam hukum pidana korporasi. Prinsip-prinsip ini memastikan bahwa penafsiran tidak hanya bergantung pada kebijakan pengadilan tetapi juga didasarkan pada perlindungan hukum dan upaya mencapai keadilan serta prinsip-prinsip hukum yang hidup.
Penutup
Beberapa peraturan hukum yang mengakui korporasi sebagai subjek kejahatan tidak mendefinisikan dengan jelas pertanggungjawaban pidananya, sedangkan peraturan lainnya menspesifikan pelanggaran korporasi serta tanggung jawab dan hukuman yang terkait dengannya. Inkonsistensi yang menimbulkan ambiguitas ini membuat hakim yang bertugas mengadili korporasi yang dituduh melakukan tindak pidana mau tidak mau harus menggunakan penafsiran hukum untuk menavigasi ketentuan hukum yang tidak pasti tersebut. Metode-metode seperti penafsiran gramatikal, sistematis, teleologis, historis, harmonisasi, ekstensif, dan doktrinal dianggap sangat relevan dalam konteks masyarakat Indonesia, yakni ketika kondisi sosiologis memengaruhi penerapannya. Cara-cara tersebut diterapkan secara fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan spesifik perkara pidana yang dihadapi hakim dan badan peradilan lainnya yang menangani tindak pidana korporasi. Selain itu, penting untuk melihat prinsip-prinsip penafsiran yang dikemukakan oleh para sarjana hukum, seperti Remmelink, sebagai prinsip panduan bagi hakim dan badan peradilan lainnya dalam hukum pidana korporasi. Prinsip-prinsip ini memastikan bahwa penafsiran tidak semata-mata bergantung pada kebijaksanaan yudisial, tetapi didasarkan juga pada perlindungan hukum dan upaya mencapai keadilan serta prinsip-prinsip hukum yang hidup.
Catatan Kritis
Ditinjau dari aspek teoritis
Informasi yang termuat dalam artikel ilmiah berjudul “The Judicial Policy Of Ratio Decidendi Regarding Corporate Criminal Liability Towards Just Judgments,” sudah mencakup pembahasan yang cukup komprehensif. Dapat dilihat dari terjawabnya secara menyeluruh bagaimana seorang hakim atau badan peradilan lainnya dapat mengeksekusi perkara yang berkaitan dengan pertanggungjawaban suatu korporasi. Seorang hakim atau badan peradilan lainnya dapat menafsirkan undang-undang atau peraturan yang kurang jelas sebagai petunjuk dalam menyelesaikan perkara. Ini merupakan hal penting mengingat peraturan kita yang masih bersifat ambigu dalam mengatur pertanggungjawaban korporasi.
Ditinjau dari aspek metodologis
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum doktrinal. Dilihat dari judul dan rumusan masalahnya, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana seharusnya interpretasi terhadap unsur kesalahan korporasi dalam ratio decidendi hakim, sehingga dapat memperbaiki peraturan perundang-undangan mengenai tanggung jawab korporasi. Penelitian ini memerlukan analisis mendalam dengan menggunakan berbagai peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, doktrin, buku dan jurnal hukum dan rujukan-rujukan lainnya yang sesuai dengan isu tersebut. Berdasarkan rujukan sumber pada penelitian ini, dapat dikatakan bahwa metode penelitian yang digunakan sudah sesuai. Akan tetapi, terdapat sedikit kekurangan, yaitu ketika penulis membawa contoh kasus dari pengadilan luar negeri yang tidak memuat penjelasan pengadilan apa atau dari mana asalnya. Seharusnya penulis menjelaskan meskipun hanya sekilas agar tidak terjadi kebingungan dalam memahami konteks yang dituliskan dalam bagian tersebut.
Ditinjau dari hasil penelitian
Penelitian ini berhasil memberikan jawaban terhadap rumusan masalah secara komprehensif. Pada rumusan masalah pertama, dijelaskan secara rinci bagaimana korelasi dominasi oleh paradigma positivisme hukum yang kaku dan terbatas. Selain itu, penelitian ini juga menjabarkan bahwa penalaran hukum oleh hakim yang masih dipengaruhi oleh sistem hukum kolonial Belanda telah mengakar dan memengaruhi keputusan yang dihasilkan oleh hakim terhadap kejahatan korporasi. Penelitian ini juga menonjolkan potensi kelemahan hakim dalam menginterpretasi kejahatan korporasi akibat ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang menjadikan korporasi sebagai pelaku kejahatan. Adapun pada rumusan masalah kedua mengemukakan secara rinci bahwa semakin banyak peraturan yang tidak jelas, ambigu, dan multitafsir ketika menghadapi peristiwa tindak pidana korporasi mendorong adanya interpretasi hakim dengan pendekatan yang berbeda, antara lain melakukan interpretasi dan konstruksi hukum dengan mempertimbangkan pendekatan oleh Remmelink sebagai asas dalam melakukan interpretasi hukum. Hanya saja, penelitian ini lebih condong membahas terkait cara interpretasi hakim saja dan tidak terlalu banyak mengaitkannya dengan tindak pidana korporasi.