Nama Jurnal : Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum (Journal Of Law)
Pengarang : Isnawati Isnawati, Adam Setiawan, Fatma Hidayati, Rezky Robiatul
Aisyiah Ismail
Tahun : 2023
Diulas oleh : Sophie Zebua
Pendahuluan
Presiden mempunyai hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan pegawai pemerintahannya tanpa harus meminta persetujuan dari cabang kekuasaan lain. Hal ini dapat dilihat lewat hak istimewa presiden terkait pengangkatan dan pemberhentian menteri oleh presiden demi membantunya dalam melaksanakan kegiatan tertentu dalam pemerintahan. Dalam praktiknya, presiden kadang kala tidak menggunakan haknya karena konsekuensi koalisi dari sistem kepartaian multipartai, yang juga berimplikasi pada praktik pengangkatan menteri dan wakil menteri. Oleh karena itu, presiden menjadi tidak bersikap independen dalam memilih tokoh-tokoh yang menduduki jabatan politik strategis, terutama sebagai menteri.
Hak prerogatif presiden sendiri tidak efektif karena dibatasi oleh kepentingan pragmatis partai politik. Padahal, hak prerogatif adalah hak khusus yang muncul dari sisa kebebasan berdiskresi. Secara konseptual, diskresi dijalankan oleh pejabat pemerintah untuk mengatur pemerintahan dengan membuat kebijakan administratif. Diskresi adalah kebijakan yang berada dalam wilayah kepatutan dan tidak memiliki dimensi hukum. Bukan berarti peraturan perundang-undangan, tapi secara faktual menginterpretasikan maksud peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan pemerintahan. Meskipun keputusan akhir berada di tangan presiden untuk menentukan kabinet berdasarkan diskresi atau kebebasan wewenang, presiden masih harus mempertimbangkan kepentingan pragmatis dari partai politik yang mendukungnya.
Berdasarkan uraian di atas, materi dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), tidak secara tegas menyebutkanjenis sistem pemerintahan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Tidak jelasnya substansi UUD NRI 1945 bertentangan dengan kesepakatan pokok Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang salah satunya menekankan pemerintahan presidensial. Salah satu praktik yang dianggap antitesis dari sistem pemerintahan presidensial adalah presiden harus membentuk koalisi akibat dari sistem partai multipartai yang diterapkan, sehingga berimplikasi pula pada praktik pengangkatan menteri dan wakil menteri yang diisi oleh elit-elit partai pendukung pemerintah. Berdasarkan pemaparan tersebut, menarik untuk menelusuri secara komprehensif bagaimana sistem pemerintahan Indonesia pasca amandemen UUD NRI 1945.
Metode Penelitian
Penelitian ini mengadopsi penelitian hukum normatif. Lalu, terdapat tiga pendekatan yang digunakan. Pertama, penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan tema yang dibawakan. Kedua, pendekatan konseptual yang umumnya dipakai untuk menjelaskan dan menganalisis permasalahan penelitian yang timbul dari norma yang tidak jelas. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan konseptual untuk bergerak dari pandangan dan doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Ketiga, pendekatan komparatif akan dimanfaatkan dengan maksud untuk memahami institusi sistem hukum yang diterapkan di berbagai negara. Melalui pendekatan komparatif ini, akan dapat diketahui kesamaan, perbedaan, kelebihan, dan kekurangan sistem hukum tersebut.
Pembahasan
Apabila melihat secara bulat dan utuh, pengertian sistem pemerintahan adalah pemerintahan, sedangkan komponennya adalah legislatif, eksekutif, dan yudisial. Sistem pemerintahan dapat digolongkan menjadi dua sistem utama, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer. Selain itu, kedua sistem tersebut adalah sistem campuran atau quasi parlementer atau quasi presidensial. Dalam tulisan ini, fokus pembahasan akan terletak pada sistem pemerintahan presidensial yang juga diterapkan oleh Indonesia. Dalam sistem presidensial, keberadaan lembaga eksekutif tidak bergantung kepada lembaga perwakilan rakyat. Sistem pemerintahan presidensial merupakan sistem yang memisahkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif, sehingga sistem ini disebut juga dengan sistem dengan kekuasaan terpisah. Indonesia sendiri menerapkan sistem multipartai dalam sistem presidensialnya. Walaupun terdapat kekurangan, sistem presidensial multipartai adalah pilihan yang cocok untuk Indonesia, yang memiliki masyarakat multikultural dan beragam, sehingga penyederhanaan menjadi dua partai tidak akan efektif.
Hak prerogatif Presiden Indonesia dalam mengangkat menteri sendiri diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Berdasarkan hukum yang berlaku, presiden memiliki wewenang absolut dalam proses pengangkatan dan pemberhentian menteri. Namun, dalam pelaksanaannya, presiden tidak dapat sepenuhnya menggunakan hak prerogatifnya karena adanya sistem multipartai yang mewajibkan presiden untuk membentuk koalisi, seperti yang terlihat dalam praktik pemerintahan Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kabinet Joko Widodo. Sejumlah analisis menunjukkan bahwa Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999) dianggap sebagai kabinet yang signifikan karena sebagian besar anggotanya adalah profesional, meskipun tetap terdapat keterlibatan partai politik dalam penunjukan mereka. Dengan demikian, praktik penggunaan hak prerogatif dalam pengangkatan menteri, terutama pada masa reformasi, seringkali dilakukan sebagai bentuk apresiasi politik atas dukungan yang diberikan kepada presiden, baik oleh partai politik maupun kalangan profesional.
Oleh karena itu, rekonstruksi pola pengangkatan menteri seharusnya dilakukan dengan melibatkan DPR dan DPD yang menjalankan fungsi representasi. Menteri, yang memiliki peran krusial dalam pelayanan publik, tidak boleh terpilih hanya berdasarkan kompromi politik. Di negara yang menerapkan sistem presidensial multipartai, presiden perlu membentuk koalisi untuk mendapatkan dukungan politik di parlemen melalui pembentukan kabinet koalisi dari partai pendukung. Keterlibatan lembaga-lembaga lain, sebagai bentuk checks and balances, memiliki peran dalam memberikan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian menteri sesuai dengan standar konstitusi.
Penutup
Panitia Ad Hoc I MPR telah memutuskan untuk mengimplementasikan dan memperkuat sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Hal tersebut tercermin dalam karakteristik yang dijabarkan dalam amandemen UUD 1945. Salah satu karakteristik sistem pemerintahan presidensial adalah kewenangan prerogatif presiden untuk menunjuk dan memecat menteri, sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (2) UUD NRI 1945. Secara sederhana, kewenangan prerogatif dapat diartikan sebagai hak yang dimiliki presiden untuk mengelola pemerintahan secara diskresioner tanpa intervensi dari pihak lain. Namun, dalam praktik pemerintahan era reformasi, kewenangan prerogatif presiden ini seringkali tidak dapat dijalankan. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, tercatat peningkatan yang signifikan dalam jumlah menteri dan wakil menteri dari partai politik. Kondisi ini adalah konsekuensi dari sistem multipartai yang kompleks, yang tidak dapat dielakkan mengingat keragaman dan multikulturalisme masyarakat Indonesia. Akibatnya, presiden mengalami kesulitan dalam menggunakan kewenangan prerogatifnya secara efektif karena kewenangan tersebut bersifat diskresioner.
Melalui penelitian dan perbandingan tentang aturan penunjukan menteri dalam berbagai sistem pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai, terungkap bahwa penunjukan menteri bukanlah hak absolut presiden karena melibatkan partisipasi lembaga lain sebagai bentuk pengawasan dan keseimbangan. Oleh karena itu, kita perlu merekonstruksi model penunjukan menteri agar tidak lagi menjadi hak eksklusif presiden dengan melibatkan lembaga lain yang mewakili rakyat sebagai bentuk pengawasan dan keseimbangan. Mengingat posisi menteri memiliki dampak strategis yang langsung dirasakan oleh masyarakat dan dapat memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Catatan Kritis
Ditinjau dari aspek teoritis, pembahasan dari artikel bertajuk “The Indonesian President’s Prerogative Rights In The Appointment Of Ministers After The Amendment To The 1945 Constitution,” sendiri sudah memuat penjelasan yang cukup komprehensif dalam membahas rumusan masalah yang ada. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam bagian pembahasan, Penulis menjelaskan bahwa diperlukan rekonstruksi model pengangkatan menteri. Hal ini disebabkan karena sistem pemerintahan presidensial dan multipartai tidak cocok dengan sistem pemilihan menteri melalui hak prerogatif presiden. Sebab pemilihan menteri lewat hak prerogatif presiden cenderung imobilitas dan mengalami kebuntuan. Sistem multipartai berimplikasi pada inkonsistensi penyelenggaraan pemerintahan dengan sistem pemerintahan presidensial serta tidak termanfaatkannya hak prerogatif secara efektif.
Ditinjau dari aspek metodologis, metode penelitian hukum normatif sudah sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang, konseptual, dan komparatif karena penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis permasalahan penelitian yang timbul dari norma yang tidak jelas. Selain itu, mengetahui kesamaan, perbedaan, kelebihan, dan kekurangan sistem hukum tersebut.
Ditinjau dari hasil penelitian, penelitian ini sudah cukup menjawab rumusan masalah yang ada di awal. Penelitian ini juga mengkomparasikan beberapa negara soal mekanisme pemilihan menteri. Hal ini dapat jadi bahan pertimbangan terhadap persoalan pemilihan menteri yang sarat akan kepentingan politik. Akan tetapi, terdapat kekurangan pada penelitian ini, yakni Penulis menerangkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia antara legislatif dan eksekutif terpisah. Kenyataannya, presiden sendiri dapat melakukan pekerjaan legislatif yaitu memberikan rancangan undang-undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Terakhir, hasil penelitian ini dapat menjadi ide terhadap penelitian lainnya yang membahas lebih dalam soal hak prerogatif presiden.