Resolving the Conflict of Interest Issue Within the Laws Concerning the Political Matters : Deliberative Democracy or Empowering Dewan Perwakilan Daerah?

Nama Jurnal : Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)

Pengarang : Muhamad Dzadit Taqwa, Melinda Yunita Lasmaida Sirait, Ahmad Alfarizy

Tahun : 2023

Diulas oleh : Paula Gracianindya Udie Wicaksana 

Pendahuluan

Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) kerap dianggap sebagai ajang adu kepentingan bagi partai politik. Dalam hal ini, menjadi pertanyaan seberapa objektif lembaga legislatif dalam penyusunan RUU. Salah satu produk legislatif yang dinilai perlu dipertanyakan objektivitasnya adalah paket undang-undang politik. Pada Pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diatur bahwa suatu partai politik dapat menempatkan anggotanya di parlemen apabila memenuhi ambang batas suara dalam pemilihan umum sebanyak 4%. Melihat hal tersebut, ketentuan ambang batas parlemen pada UU Pemilu dapat menjadi suatu hambatan bagi partai-partai baru untuk menempatkan anggotanya di parlemen. Hal ini dapat menggambarkan bahwa UU Pemilu tersebut merupakan suatu produk legislatif yang dijadikan strategi partai politik yang sedang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaan di parlemen.

         Konflik kepentingan yang terjadi pada penyusunan RUU ini perlu untuk dicari akar permasalahan dan solusinya. Terdapat beberapa negara yang menggunakan konsep demokrasi deliberatif kontemporer. Konsep demokrasi delebratif ini lebih menekankan keterlibat pihak eksternal, dalam hal ini adalah masyarakat untuk turut ikut serta mengkaji RUU. Penerapan konsep ini tentu akan menimbulkan suatu tantangan dan kompleksitas. Konsep ini juga masih perlu untuk dikaji ulang, apakah konsep demokrasi deliberatif ini dapat dijadikan  daripada tantangan yang timbul akibat undang-undang yang berkaitan erat dengan masalah politik yang ada di Indonesia. 

Metode Penelitian

Secara implisit penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menganalisis implikasi dari suatu sistem hukum. Metode penelitian ini menitikberatkan pada analisis dari konflik kepentingan terhadap penyusunan RUU yang berkaitan dengan masalah politik. Selain itu, metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode kepustakaan. 

Pembahasan

Produk lembaga legislatif kerap dinilai sebagai suatu strategi untuk mempertahankan suatu kekuasaan. Sebagai contoh adalah Paket Undang-Undang Politik, terdapat lima undang-undang yang disahkan pada masa pemerintahan Ppresiden Soeharto. Paket Undang-Undang Politik ini kerap dinilai sebagai salah satu usaha untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingan oligarki. Sebagai sebuah permisalan adalah UU Partai Politik dan Golongan Karya tahun 1985 yang mengatur bahwa di Indonesia hanya terdapat dua partai politik, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta sebagai tambahan adalah Golongan Karya (Golkar). Undang-Undang ini dianggap sebagai suatu strategi untuk mencapai suatu kepentingan politik dengan membatasi terbentuknya partai-partai baru. Sejatinya untuk menetapkan bahwa suatu undang-undang tidak terpengaruh oleh unsur kepentingan politik merupakan suatu yang sulit untuk dilakukan. 

         Selanjutnya, yang perlu diperhatikan adalah keselarasan antara parlemen dan presiden. Scott Mainwaring berpendapat bahwa sistem presidensial yang dipadukan dengan suatu sistem politik multi partai menyebabkan terhambatnya stabilitas demokrasi pada suatu negara. Hal ini terjadi jika presiden mendapatkan dukungan besar dari parlemen, maka kemungkinan untuk disetujuinya suatu usulan presiden menjadi semakin besar, termasuk pula pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Akibat dari situasi ini adalah para presiden yang ada di Indonesia cenderung untuk mencari dukungan dari parlemen. Partai-partai yang akhirnya memilih untuk mendukung presiden nantinya akan berkoalisi. Di Indonesia sendiri koalisi dari partai-partai yang mendukung presiden inilah yang mendominasi parlemen. Dominasi koalisi ini tentu menyebabkan terganggunya sistem check and balances dalam proses legislasi. Presiden dan koalisi DPR akan cenderung selalu sejalan dalam mengambil keputusan.Hal ini menyebabkan kurangnya pengawasan terhadap proses pembentukan undang-undang itu sendiri. Selanjutnya, peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menguji undang-undang yang menyangkut masalah politik. MK dalam hal ini tidak dapat berperan banyak karena berbenturan dengan open legal policy. Implikasi dari open legal policy adalah walaupun presidential threshold menyebabkan masyarakat mengalami kerugian secara konstitusional. Akan tetapi karena tidak bertentangan dengan UUD 1945, tidak melampaui kewenangan legislatif, dan tidak melakukan kekerasan maka Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkan kebijakan tersebut.

         Dalam kurun beberapa dekade ini, solusi yang kerap ditawarkan dan bahkan diterapkan untuk mengatasi kekurangan daripada sistem demokrasi yang dijalankan oleh partai politik adalah sistem demokrasi deliberatif. Sistem ini dianggap suatu alternatif yang rasional terlebih sistem demokrasi deliberatif  sendiri sudah diterapkan oleh beberapa negara seperti Kanada, Irlandia, dan Inggris. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah sistem demokrasi deliberatif sendiri bisa diterapkan di Indonesia. Menurut Habermas dan ahli teori lainnya, terdapat beberapa ketentuan untuk membuat suatu sistem demokrasi deliberatif sendiri bisa berjalan dengan baik dalam suatu negara. Ketentuan tersebut antara lain adalah: (1) terdapat partisipasi terbuka (dalam suatu musyawarah diharapkan setiap pesertanya berhak untuk mengemukakan pemikirannya dengan bebas); (2) menggunakan penalaran yang valid dan rasional dalam mengajukan argumen;(3) kepentingan Bersama harus selalu didahulukan; (4) menghargai suatu pendapat dan argumentasi dari kelompok sosial yang berbeda; (5) tercapainya suatu solusi yang dapat diterima bersama serta (6) dan suatu argumen diharapkan bukan berdasar preferensi politik pribadi, tetapi bersifat otentik. Kurangnya pendidikan di Indonesia dapat menjadi sebab sulitnya menyampaikan suatu argumen yang rasional dan valid. Selain daripada itu, keberagaman yang ada di Indonesia juga berpotensi menjadi suatu permasalahan dalam menerapkan sistem demokrasi deliberatif. Selanjutnya, yang akan menjadi masalah adalah otak keberpihakan. Jay Van Bavel dan Andrea Pereira menyatakan bahwa seseorang akan enggan untuk mengambil perspektif dari yang mereka yakini dan seseorang akan cenderung membenarkan suatu argumen apabila yang menyampaikan argumen tersebut seseorang yang memiliki kesamaan identitas dengan mereka. Melihat kondisi ini, menjadi suatu kesulitan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menerapkan sistem demokrasi deliberatif.

Solusi alternatif yang ditawarkan dalam mengatasi kekurangan dalam sistem demokrasi yang ada dalam proses legislasi di Indonesia adalah pemberdayaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sistem dua kamar dalam parlemen dinilai dapat membantu proses check and balances menjadi lebih dinamis. DPD dinilai tidak akan berbenturan dengan suatu kepentingan politik partai karena DPD  merupakan perwakilan dari suatu daerah bukan dari suatu partai politik. DPD sendiri juga sudah memenuhi kualifikasi dan juga kompetensi sebagai bagian dari penyusun RUU bila ditinjau dari aspek komposisi DPD itu sendiri. Selanjutnya, yang menjadi masalah adalah terbatasnya ruang bagi DPD untuk ikut serta dalam merancang suatu undang-undang. Pemberdayaan lebih DPD ini sendiri memerlukan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Oleh karena itu, perlu dilakukan banyak diskusi publik untuk memutuskan apakah pemberdayaan DPD ini sesuatu yang layak untuk dilakukan.

Kesimpulan

         Undang-Undang yang berkaitan dengan masalah politik kerap menjadi suatu tantangan konstitusional kontemporer yang memerlukan solusi. Konflik kepentingan rawan terjadi mengingat undang-undang masalah politik erat hubungannya dengan pembuat undang-undang itu sendiri. Maka dari itu, diperlukan suatu solusi dalam mengatasi masalah tersebut. Tulisan ini menjelaskan bahwa Pemberdayaan DPD adalah suatu solusi yang realistis untuk menghadapi tantangan tersebut dengan mempertimbangkan elemen-elemen penting dalam demokrasi deliberatif. Indonesia sendiri dinilai kurang mampu untuk melaksanakan penerapan langsung demokrasi deliberatif. DPD diharapkan dapat menjadi lembaga yang nantinya berperan melakukan check and balances terhadap undang-undang yang berkaitan dengan politik.

Catatan Kritis 

Ditinjau dari aspek teoritis, konsep-konsep yang dibahas dalam artikel jurnal berjudul “Resolving the Conflict of Interest Issue Within the Laws Concerning the Political Matters: Deliberative Democracy or Empowering Dewan Perwakilan Daerah?” sudah cukup komprehensif dalam menjawab rumusan masalah yang diajukan di awal. Ditinjau aspek metodologis, metode penelitian normatif yang menganalisis implikasi dari suatu sistem politik di Indonesia terhadap proses legislasi di Indonesia sehingga bisa dirumuskan solusi yang tepat sesuai dengan masalah yang ada. Penulis dalam aspek metodologis menyajikan data statistik yang jelas terkait dengan dominasi partai politik pendukung presiden di dalam parlemen. Selanjutnya, penulis juga menyajikan data tingkat pendidikan yang ada di Indonesia untuk memperkuat argumen terkait mengapa demokrasi deliberatif tidak bisa dilakukan di Indonesia. Ditinjau dari aspek hasil penelitian, rumusan masalah dari penelitian ini adalah konflik kepentingan dalam proses legislasi yang berkaitan dengan masalah politik, selanjutnya pemberdayaan DPD dinilai menjadi solusi yang lebih rasional dibandingkan dengan penerapan demokrasi deliberatif. Akan tetapi yang perlu menjadi perhatian selanjutnya adalah tentang kualitas anggota DPD. Penulis memberikan data-data bahwasanya anggota DPD rata-rata memenuhi prasyarat untuk menerapkan demokrasi deliberatif, akan tetapi, penulis kurang memperhatikan bahwa terdapat anggota DPD yang tidak memenuhi prasyarat kualitas yang harus dimiliki seseorang untuk berpartisipasi dalam demokrasi deliberatif.