Reportase Kasus Korupsi Timah 271 Triliun dari Kacamata Hukum: Suatu Analisis

Oleh: Brandon Mulya Wijaya

Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI

Belakangan ini, perkembangan teknologi telah membawa manusia kepada era dimana persebaran informasi dapat dilakukan dengan cepat. Walaupun tidak terlihat sebagai sebuah faktor yang esensial, perputaran informasi menciptakan berbagai perubahan. Salah satu contohnya adalah fenomena no viral no justice,  yakni ketika suatu proses penegakkan hukum hanya akan dijalankan dengan adanya ketidakpuasan dan perhatian di masyarakat. Fenomena no viral no justice bukanlah hal yang baru. Terdapat beberapa kasus yang tak luput dari pengaruh media massa yang menyertai dalam proses penegakan hukum seperti kasus korupsi timah Rp 271 T dan kasus Jessica Mirna. Meskipun putusan yang bersifat final and binding tetap berada di tangan hakim, opini publik dalam kasus tersebut ‘dapat’ menjadi salah satu media yang mempengaruhi penegakan hukum. Hal ini kemudian memantik pertanyaan bagaimanakah fakta mengenai media massa sebagai faktor yang mempengaruhi berjalannya hukum. Selain itu, apakah pengaruh media massa sedemikian besar dalam masyarakat modern ini?

Pada  27 Maret 2024, Tribun Jakarta Barat mempublikasikan sebuah berita dengan judul ‘Crazy Rich PIK Melakukan Korupsi sebesar Rp 271 T’. Sejak berita dengan judul itu, baik frasa “Crazy Rich PIK” dan “Rp 271 T” maupun keseluruhan berita kasus korupsi tersebut mulai bertebaran di sosial media. Faktanya, kasus korupsi timah tersebut berpotensi untuk menjadi kasus dengan kerugian negara terbesar di sepanjang sejarah Indonesia. Kasus yang menyebabkan kerugian negara pernah terjadi beberapa kali sebelumnya, seperti halnya pada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada tahun 2000 dengan jumlah kerugian Rp 138,44 T, maupun kasus penyerobotan lahan negara untuk kelapa sawit dari tahun 2003 hingga 2022 dengan kerugian negara Rp 104,1 T. Akan tetapi, kasus korupsi timah tersebut menempati posisi tertinggi dari jumlah kerugian yang dialami negara. Menanggapi kasus korupsi dengan nominal yang setara dengan 1,38% dari Gross Domestic Product (GDP) Indonesia, masyarakat Indonesia sangat terkejut sehingga opini publik pun bertebaran dengan masif di sosial media.

Kasus korupsi Timah tersebut bermula pada tahun 2018 saat Suwito Gunawan dan Hasan Tjhie menggunakan PT Stanindo Inti Perkasa dan CV Venus Inti Perkasa untuk membuat perjanjian kerjasama sewa menyewa peralatan peleburan timah dengan PT Timah Tbk. Perusahaan tersebut lantas digunakan oleh berbagai pihak yang bersangkutan, seperti (1) Emil Ermindra selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk., (2) Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah Tbk., dan (3) MB Gunawan selaku Direktur PT Stanindo Inti Perkasa untuk melaksanakan pertambangan timah secara ilegal pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang dimiliki PT Timah Tbk. Ada pula penggelapan dana tersebut dilakukan oleh Harvey Moeis dan berbagai rekanannya melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang disalurkan melalui PT Quantum Skyline Exchange. 

Walaupun tidak disebutkan secara terperinci, kasus korupsi timah ini melibatkan 16 tersangka. Berdasarkan kronologi kasus tersebut, sejatinya pihak yang seharusnya diperbincangkan lebih banyak adalah Suwito Gunawan dan Hasan Tjhie karena keterlibatannya yang lebih besar dalam kasus korupsi terkait. Akan tersebut, nyatanya pihak media berita memberikan penamaan judul yang bertolak pada Harvey Moeis dan Helena Lim. Meskipun kedua tersangka tersebut memiliki peran yang besar dalam kasus korupsi timah tersebut, sungguh janggal bagi setiap berita untuk bertolak pada kedua nama tersebut dan tidak satupun yang memberikan nama-nama tersangka yang lain. Saat ditinjau secara mendalam, peranan Harvey Moeis di balik skema korupsi timah tersebut berada pada peranannya dalam menggunakan dana CSR pada perusahaan ‘boneka’-nya untuk menutupi aksinya. 

CNBC Indonesia, 29 Maret 2024: “Terkuak Peran Crazy Rich Helena Lim dalam Korupsi Timah Rp 271 Triliun”, Detikhot, 25 April 2024: “Suami Sandra Dewi Tak Menyangka Dijadikan Tersangka Kasus Korupsi Timah”, adalah dua judul clickbait dari ratusan judul berita yang telah disebarkan mengenai kasus ini. Walaupun penulisan judul berita tersebut mengandung unsur kebenaran di dalamnya, unsur berita tersebut tidak seluruhnya melingkupi perihal yang berkaitan dengan kasus yang terjadi. Tentunya, tak dapat dipungkiri bahwa pemilihan judul tersebut banyak mengambil perhatian para pembaca mengingat rendahnya minat membaca dan jangka waktu perhatian orang Indonesia, sehingga menjadi pilihan sumber berita untuk meningkatkan jumlah pembaca dari berita. Akan tetapi, tidak jarang bahwa judul dalam sebuah berita dapat menimbulkan opini dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. Dalam kasus ini, “Crazy Rich” dapat memicu adanya pemikiran bahwa “Crazy Rich” cenderung merupakan orang yang jahat karena menggunakan metode yang melawan hukum untuk memperoleh kekayaan mereka. Pembelokan fakta dengan adanya kesenjangan antara fakta yang sebenarnya dengan fakta yang dimuat oleh media demi menaikan jumlah pembaca berita, menunjukan adanya pemanfaatan informasi yang “kurang tepat” untuk digunakan sebagai senjata sesuai dengan kepentingan dan keperluan media. 

Hal serupa pun terjadi dalam kasus Jessica Mirna dengan ditayangkannya Film Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso keluaran Netflix, membuat masyarakat kembali berdebat mengenai kebenaran terhadap kasus Jessica Mirna. Pada dasarnya, kasus Jessica Mirna merupakan sebuah kasus pembunuhan antara dua orang teman, yaitu Jessica dan Mirna. Setelah bertemu di sebuah cafe, tiba-tiba Mirna terjatuh di lantai. Setelah itu, berbagai kejanggalan bermunculan, seperti ditemukannya racun sianida di jenazah Mirna yang keesokan harinya secara gaib menghilang, perilaku Jessica yang dicurigai atas adanya kesehatan mental yang tidak beres, maupun adanya itikad buruk dari Jessica atas dasar iri hati karena harta dan pasangan yang dimiliki Mirna. 

Menurut Radhiyya Indra, film dokumenter Netflix membawakan cahaya berbeda dan perdebatan baru, dalam segi campur tangan pemerintah AS yang dipandang buruk oleh masyarakat maupun ayah dari Mirna yang menjadi ‘antagonis’ dalam film tersebut. Terlepas dari pendapat masyarakat, kasus pembunuhan Jessica Mirna telah berkekuatan hukum tetap dan Jessica Wongso harus memenuhi masa hukumannya di penjara. Menanggapi hal tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berpendapat bahwa beberapa stasiun televisi turut serta dalam menggiring opini publik dalam kasus Jessica Mirna. Dalam pendapat tersebut, dinyatakan bahwa tingginya tingkat kontroversi dan ketidakjelasan dalam kasus tersebut membuat kasus Jessica Mirna, yang pada saat itu merupakan topik hangat menjadi ‘hiburan’ bagi masyarakat. Mengetahui peluang tersebut, saluran siaran televisi tidak akan berdiam diri dan berusaha untuk turut serta dengan perkembangan kasus tersebut. Jika memungkinkan, saluran siaran televisi justru akan turut serta dengan memanaskan berita tersebut melalui judul dan pembuatan alur berita yang  hiperbola. Keviralan kasus Jessica Mirna mencapai tahap tertinggi dengan adanya penggunaan tagar #SidangJessica yang mencapai penggunaan 24 ribu kali hanya dalam jangka waktu satu minggu. Hasilnya, masyarakat memiliki pendapat yang berbeda-beda seiring dengan berjalannya kasus, setiap orang berdebat dengan orang di sekitar mereka dengan usaha untuk menemukan titik temu dari kasus ini.

Walaupun perdebatan tersebut terus dilakukan oleh masyarakat di berbagai sosial media, pendapat masyarakat hanya memberikan pemikiran setiap individu, sedangkan yang terpenting dalam putusan adalah hakim yang sedang menangani kasus tersebut. Secara tidak langsung, dapat dikatakan bahwa hakim memiliki kekuasaan yang mutlak dalam memutuskan sebuah kasus, meskipun hakim juga memiliki beban pertimbangan yang lain dengan pengaruh-pengaruh dari masyarakat. Berdasarkan penelitian oleh Mahkamah Agung, opini publik memiliki pengaruh terhadap independensi hakim. Meskipun opini publik tidak berkekuatan hukum, pendapat masyarakat memiliki kekuatan memaksa. Pada sistem hukum di Indonesia, hakim diberikan kekuasan yudikatif untuk menjatuhkan hukuman dan menentukan kesalahan seseorang maupun suatu entitas. Akan tetapi, sebagai manusia, hakim tidak terlepas dari kemanusiaannya untuk dipandang baik oleh masyarakat. Tentunya, hal tersebut berdampak pada putusan yang diberikan hakim dalam pengadilan, bahwa dengan tidak bertindak sebagaimana diinginkan masyarakat, hakim akan dipandang buruk dalam masyarakat. Tentunya, seorang hakim tidak ingin memiliki gambaran publik yang kurang baik atas dirinya. Selain itu, adanya keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi dapat berujung pada ancaman-ancaman kepada hakim yang bersangkutan. Walaupun hal tersebut dapat diibaratkan sebagai bermain dengan hakim sendiri, tindakan tersebut nyata. Terlebih lagi, tidak jarang bahwa hakim akan ditekan pula dengan pemberian ancaman kepada orang di sekeliling hakim. 

Terlepas dari setiap faktor yang menunjukkan peranan pendapat masyarakat secara kolektif dan dampak yang dapat disebabkannya, media sosial sebenarnya memiliki pengaturan yang tertera dalam berbagai peraturan di Indonesia. Dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), dinyatakan bahwa menyebarluaskan berita atau pemberitahuan dengan pengetahuan bahwa berita atau pemberitahuan tersebut merupakan sesuatu yang tidak benar dan dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dapat dipidana. Walaupun media sosialtelah menyebarluaskan berita atau pemberitahuan yang tidak sepenuhnya benar mengenai kasus korupsi timah, penegak hukum tidak dapat membuktikan bahwa tindakan tersebut dilaksanakan atas dasar pengetahuan bahwa berita atau pemberitahuan tersebut tidak benar. 

Faktanya, media massa dapat “mengkambinghitamkan” siapapun maupun memberitakan fakta yang tidak terverifikasi kebenarannya dengan mencantumkan sumber berita yang anonim. Jika kalaupun penegak hukum hendak menelusurinya, media massa dapat memberikan asal berita tersebut. Akan tetapi, tidak jarang bahwa  sumber berita yang diberikan akan memberikan sumber-sumber lain sehingga sumber berita yang sesungguhnya menjadi tidak jelas. Oleh sebab itu, penegak hukum tidak dapat mengadili media massa atas dasar pemberitaan berita hoaks. Hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP Nasional yang menyatakan bahwa menyebarluaskan berita atau pemberitahuan tersebut dengan dugaan kebohongan dalam berita tersebut dapat dipidana. Walaupun dalam ayat ini menunjukkan adanya unsur dugaan sehingga pembuktiannya tidak harus konkrit, penggunaan ayat ini tidak sepenuhnya efektif karena unsur dugaan sendiri yang sangat rancu. Unsur dugaan disini bersifat subjektif, di mana media massa dapat memberikan pembenaran bahwasannya hal tersebut merupakan fakta yang masuk akal atau yang benar menurut pembawa berita tersebut. Sekali lagi, media massa menjadi sumber-sumber berita yang berdasarkan atas opini sehingga unsur-unsur seperti “dugaan” dan “dengan pengetahuan” tidak mudah untuk dibuktikan.

Meskipun dalam praktiknya peraturan yang ada tidak mampu menanggulangi setiap berita hoaks secara efektif, peraturan yang ada tetap memberikan pengaturan dasar mengenai larangan dalam penyelenggaran berita kepada masyarakat. Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa selain fungsi sebagai media informasi, pendidikan, dan hiburan pers nasional memiliki fungsi sebagai kontrol sosial. Artinya, media massa yang sejatinya memiliki fungsi kontrol sosial wajib mempertahankan fakta-fakta yang benar dan terverifikasi sebelum disajikan kepada masyarakat; dengan cara tidak memberitakan berita yang akan dan dapat menyebabkan kegaduhan di dalam masyarakat. Jika terdapat berita yang meresahkan, media massa dapat dan dianjurkan untuk menyampaikannya dengan tata bahasa yang lebih indah sehingga masyarakat dapat memberikan reaksi yang lebih baik. Fungsi kontrol sosial juga berarti media massa dapat digunakan negara untuk mengarahkan masyarakat kepada arah yang ingin ditujukannya, mencintai atau membenci suatu pemahaman atas dasar keinginan dan kepentingan negara. Mengenai hal tersebut, dinyatakan pada Pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999 bahwa pers memiliki kemerdekaan yang dijamin dalam hak asasi warga negara. 

Media massa juga tidak akan dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran, diberikan pula hak mencari, memperoleh, dan penyebarluasan gagasan dan informasi dalam usaha menunjang fungsi media massa sebagai penyiar berita. Akan tetapi, sebagaimana ayat pengaturan media massa memiliki keterbatasan, Pasal 4 ayat (4) juga menyatakan bahwa media massa diwajibkan memberikan pertanggungjawaban walaupun diberikan pula hak tolak oleh wartawan. Meskipun Pasal 4 ayat (4), yang berbunyi “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak”, media massa dapat menggunakan haknya sebagai wartawan atau dengan mengalihkan kewajibannya untuk mempertanggungjawabkan berita yang disiarkan terhadap sumber beritanya. Kenyataannya, sumber berita dapat mengarahkan penegak hukum dari satu sumber kepada yang lain hingga akhirnya tidak ditemukan asal usul berita tersebut sehingga tidak ada pertanggungjawaban yang dapat diberlakukan. Terlepas dari kebebasan dalam bertindak yang dimiliki media massa, Pasal 18 menyatakan bahwa penghambatan pelaksanaan tugas dan wewenang media massa sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dapat dikenakan hukum pidana. 

Dengan demikian, pemberitaan kasus korupsi timah dapat dikatakan tidak memberikan ‘kegaduhan’ yang berarti bagi masyarakat, justru dengan pemberitaan ini dapat diwujudkan adanya pengungkapan kasus yang lebih luas. Selain itu, walaupun judul yang diberikan menyesatkan persepsi publik, judul tersebut tidak mengandung hoaks apapun. Artinya, media massa dalam kasus korupsi timah mempergunakan kemampuannya untuk meningkatkan ketertarikan masyarakat dalam isu tersebut. Akan tetapi, konklusi yang sama tidak dapat dikatakan pada kasus Jessica Mirna. Pada kasus tersebut, walaupun tahapan awal pengadilan menunjukkan media massa yang belum menentukan sebuah pihak, beban pembuktian pada tahap akhir pengadilan dicondongkan untuk menunjukkan bahwa Jessica merupakan pelaku yang sesungguhnya. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi fungsi sosial dan tidak menciptakan sebuah kegaduhan di tengah masyarakat. Terlepas dari kebenaran dibalik kasus tersebut, pembebanan kesalahan kepada Jessica dilakukan untuk memastikan bahwa masyarakat tidak menciptakan kegaduhan atas jatuhnya hukuman pidana pada orang yang menurut mereka salah. Dengan kata lain, media massa menggunakan fakta-fakta untuk mengendalikan pikiran yang muncul dari pihak masyarakat.

Pembahasan yang telah dielaborasikan sebelumnya bermuara pada kesimpulan bahwa media massa dapat dikatakan sebagai senjata bagi orang atau perusahaan yang mampu mempergunakannya. Dengan menggiring opini publik, hakim akan turut serta merasakan tekanan dari pihak masyarakat sehingga mempengaruhi hasil putusan yang dibawakannya. Walaupun hukum memiliki tujuan untuk mewujudkan keadilan di tengah masyarakat, perlu diingat bahwa sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat merupakan tindakan yang tidak tepat untuk dilaksanakan. Dalam kasus timah, kasus korupsi timah, tersangka yang dibawakan dalam berita memiliki peran dalam pelaksanaan kasus tersebut. Meskipun demikian, media massa membawakan berbagai unsur yang tidak relevan dengan kasus tersebut sehingga mengaburkan pemahaman masyarakat atas peristiwa hukum itu sendiri. 

Di dalam kerancuan tersebut, media massa diberikan kekuasaan oleh negara untuk menjalankan fungsi-fungsi kepentingan negara, di dalamnya termasuk hak tolak wartawan. Oleh sebab itu, walaupun berita yang dibawakan media massa tidak sepenuhnya benar, dapat dipastikan bahwa media massa akan menjadi efektif dalam menghindarkan negara dari situasi dan keadaan genting dalam saat tertentu. Dalam usaha menghindarkan adanya kesalahpahaman dan mempertahankan kesejahteraan di tengah masyarakat, media massa harus berusaha untuk mewujudkan penulisan berita sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan negara. 

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Mahkamah Agung RI. Pengaruh Tekanan Opini Publik Media Massa Terhadap Kemandirian Hakim. Mahkamah Agung RI. 2014. 

 

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Permen Nomor 7 Tahun 2014. BN 2014 No. 1726.

Peraturan Pemerintah Tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas, PP Nomor 47 Tahun 2012. LN Tahun 2012 No. 89 TLN No. 5305.

Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 31 Tahun 1999. LN Tahun 1999 No. 140 TLN No. 3874.

Undang-Undang Tentang Peraturan Tentang hukum Pidana, UU Nomor 1 Tahun 1946, selanjutnya disebut KUHP. 

Undang-Undang Tentang Pers, UU Nomor 40 Tahun 1999. LN Tahun 1999 No. 166 TLN No. 3887.

Undang-Undang Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 4 Tahun 2009. LN Tahun 2009 No. 4 TLN No. 4959. 

Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Nomor 1 Tahun 2023. LN Tahun 2023 No. 1 TLN No. 6842.

 

Internet

 Aryandani, R. “Pasal untuk Menjerat Penyebar Hoax.” hukumonline.com. 15 April 2024. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/pasal-untuk-menjerat-penyebar-ihoax-i-lt5b6bc8f2d737f/. Diakses pada 3 Mei 2024. 

Badan Pusat Statistik. “Ekonomi Indonesia Tahun 2022 Tumbuh 5,31 Persen.” Badan Pusat Statistik. 6 Februari 2023. Tersedia pada https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2023/02/06/1997/ekonomi-indonesia-tahun-2022-tumbuh-5-31-persen.html. Diakses pada 23 April 2024. 

BBC News Indonesia. “Pemberitaan sidang Jessica Wongso ‘berpotensi giring opini publik’.” BBC News Indonesia. 15 Agustus 2016. Tersedia pada https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/08/160815_trensosial_jessica. Diakses pada 28 April 2024. 

CNBC Indonesia Research. “10 Skandal Korupsi Terbesar: Kasus Timah Harvey Moeis – Helena Lim No. 1?.” CNBC Indonesia. 29 Maret 2024. Tersedia pada https://www.cnbcindonesia.com/research/20240329091021-128-526547/10-skandal-korupsi-terbesar-kasus-timah-harvey-moeis-helena-lim-no1. Diakses pada 23 April 2024. 

Dilanggi, M, R. “Kronologi Lengkap Korupsi Timah yang Seret Harvey Moeis hingga Sandra Dewi Turut Diperiksa.” Tribun News. 4 April 2024. Tersedia pada https://www.tribunnews.com/nasional/2024/04/04/kronologi-lengkap-korupsi-timah-yang-seret-harvey-moeis-hingga-sandra-dewi-turut-diperiksa. Diakses pada 23 April 2024. 

Indra, R. “Bersalah seperti yang dituduhkan?: Film dokumenter baru menghidupkan kembali perdebatan tentang kasus terkenal Jessica Wongso.” The Jakarta Post. 7 Oktober 2023. Tersedia pada https://www.thejakartapost.com/culture/2023/10/07/guilty-as-charged-new-documentary-reignites-debate-on-jessica-wongsos-infamous-case.html. Diakses pada 28 April 2024. 

Malaka, T. “Sosok Prof Bambang Hero Saharjo yang Sebut Kerugian Kasus Tata Niaga Timah di Babel Capai Rp 271 T.” Bangkapos. 21 Februari 2024. Tersedia pada https://bangka.tribunnews.com/2024/02/21/sosok-prof-bambang-hero-saharjo-yang-sebut-kerugian-kasus-tata-niaga-timah-di-babel-capai-rp-271-t. Diakses pada 28 April 2024. 

Putri, Z. “Kerugian Lingkungan Kasus Timah Rp 271 T dari Ahli IPB, Ini Hitungannya.” detiknews. 28 Maret 2024. Tersedia pada https://news.detik.com/berita/d-7267633/kerugian-lingkungan-kasus-timah-rp-271-t-dari-ahli-ipb-ini-hitungannya. Diakses pada 28 April 2024. 

Regina, S, D. “Sosok Helena Lim Crazy Rich PIK, Tersangka Kasus Korupsi Timah, Rugikan Negara Rp 271 Triliun.” Tribun Jabar. 27 Maret 2024. Tersedia pada https://jabar.tribunnews.com/2024/03/27/sosok-helena-lim-crazy-rich-pik-tersangka-kasus-korupsi-timah-rugikan-negara-rp-271-triliun. Diakses pada 23 April 2024. 

Rismoyo, M. “Suami Sandra Dewi Tak Menyangka Dijadikan Tersangka Kasus Korupsi Timah.” detikhot. 25 April 2024. Tersedia pada https://hot.detik.com/celeb/d-7310566/suami-sandra-dewi-tak-menyangka-dijadikan-tersangka-kasus-korupsi-timah. Diakses pada 28 April 2024. 

Winarno, S. “Meresensi Film Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso.” Jawa Pos. 11 Oktober 2023. Tersedia pada https://www.jawapos.com/opini/013063386/meresepsi-film-ice-cold-murder-coffee-and-jessica-wongso. Diakses pada 28 April 2024. 

Yanwardhana, E. “Terkuak Peran Crazy Rich Helena Lim dalam Korupsi Timah Rp 271 Triliun.” CNBC Indonesia. 29 Maret 2024. Tersedia pada https://www.cnbcindonesia.com/news/20240329160802-4-526603/terkuak-peran-crazy-rich-helena-lim-dalam-korupsi-timah-rp271-triliun. Diakses pada 28 Maret 2024.