Nama Jurnal : Lex Scientia Law Review
Pengarang : Rasdi, Pujiyono, Nur Rochaeti, dan Rehulina
Tahun : 2022
Diulas oleh : Aisyah Hurul ‘Ain
Pendahuluan
Seluruh dunia memberikan perhatiannya terhadap perlindungan anak, terutama anak yang berkonflik dengan hukum. Hal tersebut dapat dilihat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Deklarasi Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak (1966), dan Resolusi Nomor 40/33 Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (1985). Sementara itu, pengaturan perlindungan anak di Indonesia tercantum dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Terdapat beberapa kekurangan dalam UU SPPA. Pertama, dapat dilihat pada Pasal 7 ayat (2) UU SPPA yang sistemnya masih berorientasi pada aspek tindakan anak, bukan pada aspek pelaku (anak) itu sendiri. Kedua, UU ini belum memuat klasifikasi yang jelas terkait usia pertanggungjawaban anak yang berkonflik dengan hukum. Ketentuan pada Pasal 1 angka 3 UU SPPA hanya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berusia 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Batas usia minimum untuk diadili tersebut juga dinilai terlalu rendah. Kebijakan SPPA Indonesia yang berorientasi kepentingan terbaik bagi anak (the best interests of child) justru terhambat pelaksanaannya karena kelemahan-kelemahan tersebut.
Pancasila sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) menjadi keyakinan dan sumber justifikasi semua norma hukum di Indonesia. Dengan kata lain, setiap peraturan hukum yang berlaku di Indonesia harus selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, Keadilan Pancasila (Pancasila Justice) penting digunakan dalam melakukan reformulasi sistem peradilan pidana anak agar sesuai dengan cita-cita maupun karakter bangsa Indonesia.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum doktrinal dengan pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan komparatif. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer terdiri atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 juncto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan instrumen hukum internasional yang berhubungan dengan kebijakan terhadap anak seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948, Deklarasi Majelis Umum PBB tentang Hak Anak Tahun 1959, serta Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Anak Tahun 1966. Sementara itu, bahan hukum sekunder yang digunakan berupa studi kepustakaan dan dokumen penting yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan.
Pembahasan
Reformulasi sistem peradilan pidana anak dengan undang-undang yang berkeadilan Pancasila merupakan sebuah urgensi untuk memastikan sistem peradilan yang tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan dan kepentingan anak sebagai tujuan utamanya. Ketika melaksanakan reformulasi tersebut, terdapat tahap-tahap yang perlu dilaksanakan dengan cermat. Kebijakan legislatif menjadi tahap yang paling strategis karena pada tahap tersebut dirumuskan garis-garis kebijakan sistem peradilan pidana sebagai landasan hukum. Sebagaimana dikatakan oleh Muladi, sistem peradilan pidana memiliki tujuan untuk menanggulangi kejahatan dan dimaksudkan sebagai alat masyarakat dalam upaya mengatasi timbulnya kejahatan. Sistem peradilan pidana pada hakikatnya identik dengan kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana yang disebut “Sistem Peradilan Pidana Terpadu” yang meliputi sinkronisasi struktural, sinkronisasi substansial, dan sinkronisasi kultural.
Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) sendiri merupakan sistem penegakan hukum dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan terhadap perkara anak dengan tujuan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child). Pada UU SPPA, telah diatur mengenai apa yang dimaksud dengan anak yang berkonflik dengan hukum, yakni anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Batas usia tanggung jawab pidana minimum pada UU SPPA terlalu rendah jika dibandingkan dengan negara lain seperti negara Yugoslavia yang mengatur batasan usia minimum pertanggungjawaban anak di usia 14 tahun. Dengan batas usia ini, Yugoslavia memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap anak di bawah usia 14 tahun. Yugoslavia lebih memfokuskan penyelesaian sengketa pada pendekatan pendidikan dan rehabilitasi daripada hukuman atau sanksi bagi anak. Lebih lanjut, Yugoslavia juga memiliki klasifikasi usia pertanggungjawaban pidana anak yang lebih rinci. Oleh karena itu, terlihat bahwa terjadi ketidakseimbangan yuridis dalam UU SPPA mengenai batas usia minimum untuk pertanggungjawaban pidana anak. Ketidakseimbangan ini menghambat sistem untuk mencapai tujuannya serta tidak sejalan dengan nilai, prinsip, dan tujuan perlindungan anak.
Salah satu aspek penting dalam UU SPPA adalah prinsip keadilan restoratif (restorative justice) yang merupakan proses diversi di mana semua pihak yang terlibat dalam tindak pidana bersama-sama mengatasi masalah dan menciptakan kewajiban untuk memperbaiki situasi dengan melibatkan korban serta masyarakat dalam menemukan solusinya. Meskipun begitu, aturan diversi dalam UU SPPA masih memiliki kekurangan karena tidak berorientasi pada pelaku dan korban secara seimbang. Pasal 9 ayat (2) UU SPPA cenderung merugikan kedudukan anak pelaku tindak pidana untuk melaksanakan diversi. Kemudian, Pasal 112 hingga Pasal 117 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) juga merupakan hasil adopsi dari UU SPPA sehingga belum memenuhi prinsip the best interest of the child.
Konsep dari Keadilan Pancasila memiliki makna yang berbeda dengan konsep keadilan menurut para ahli hukum, seperti Aristoteles dan John Rawls. Hal ini dikarenakan dalam Keadilan Pancasila, terdapat nilai-nilai filosofis, sosio-kultural, dan sosio-politik bangsa Indonesia. Oleh karena itu, penerapan sistem pidana dalam hukum Indonesia seharusnya mengacu pada Pancasila yang tidak hanya menegakkan hukum yang tertulis, tetapi juga hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup di masyarakat (living law). Kesepakatan diversi juga harus dicapai atas dasar musyawarah mufakat antara pelaku, korban, dan pihak-pihak terkait secara seimbang.
Penutup
Urgensi reformulasi sistem peradilan pidana untuk anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan keadilan Pancasila harus ditekankan. Hal ini dikarenakan UU SPPA yang mengatur mengenai hal tersebut masih mengandung kelemahan yuridis. Reformulasi dapat dilakukan dengan menaikkan batas usia pertanggungjawaban pidana bagi anak menjadi 14 tahun, sehingga aturan yang berlaku dapat lebih sesuai dengan kondisi emosional, mental, dan intelektual anak mengikuti instrumen hukum internasional maupun regulasi di negara lain. Kemudian, syarat diversi yang tercantum pada Pasal 7 ayat (2) UU SPPA dapat dirancangkan dengan lebih matang, seperti asas proporsional yang sesuai dengan Keadilan Pancasila.
Catatan Kritis
Ditinjau dari aspek teoritis, penelitian ini mengusung konsep Keadilan Pancasila dalam menjawab rumusan masalah. Pertimbangan yang memadai mengenai urgensi reformulasi SPPA agar sesuai dengan tujuan pemidanaan yang seyogyanya telah dipaparkan secara komprehensif. Penulis menganalisis bagaimana kebijakan yang ada di Indonesia menyikapi anak yang berkonflik dengan hukum seperti dalam RUU KUHP (sekarang sudah disahkan menjadi KUHP Nasional) yang mengadopsi tentang diversi dari UU SPPA. Tidak hanya itu, penulis juga memperhatikan perjanjian internasional, seperti Deklarasi Majelis Umum PBB tentang Hak Anak. Namun, penulis seharusnya juga memperhatikan situasi faktual yang ada di masyarakat Indonesia serta mencari tahu alasan regulator kebijakan Indonesia menetapkan batas usia minimum yang lebih rendah dari rekomendasi hukum internasional.
Ditinjau dari aspek metodologis, penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum doktrinal dengan pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan komparatif yang sudah sesuai dengan tujuan penelitian. Komparasi hukum yang dilakukan dengan negara Yugoslavia dan Yunani membantu para perancang peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam melakukan reformulasi SPPA yang sudah ada. Akan tetapi, sebaiknya Penulis juga memaparkan mengenai bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian serta metode analisis yang digunakan dalam pendekatan komparatifnya.
Ditinjau dari hasil penelitian, terdapat satu rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian tersebut, yakni alasan harus dilakukannya reformulasi sistem peradilan pidana anak berdasarkan keadilan Pancasila yang sudah terjawab secara garis besar pada penelitian. Kontribusi dari penelitian ini membantu penegakan hukum di bidang pidana anak agar bisa semakin sejalan dengan tujuan pemidanaan yang tertuang dalam Pasal 51 KUHP Nasional. Terdapat tiga masalah dalam UU SPPA yang ditemukan oleh penulis. Pertama, batas minimum pertanggungjawaban pidana anak yang terlalu rendah di usia 12 tahun. Kedua, tidak adanya pembagian istilah anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan kelompok usia seperti yang ada di Yugoslavia. Ketiga, formulasi norma Pasal 7 ayat (2) UU SPPA tidak sejalan dengan prinsip dalam Standard Minimum Rule Juvenile Justice (SMR – JJ) atau Beijing Rule, yang menekankan bahwa keputusan dalam kasus anak harus mempertimbangkan kebutuhan dan kesejahteraan anak. Oleh karena itu, penelitian ini menegaskan pentingnya reformulasi sistem peradilan pidana anak di Indonesia agar lebih responsif terhadap kebutuhan dan kesejahteraan anak, serta sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan Pancasila dan standar internasional, sehingga diharapkan dapat menciptakan sistem yang lebih adil dan rehabilitatif bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Sebagai saran, penulis sebaiknya mempertimbangkan untuk melakukan analisis lebih mendalam mengenai implementasi dari rekomendasi reformulasi yang diusulkan, serta dampaknya terhadap praktik peradilan pidana anak di lapangan, agar hasil penelitian dapat memberikan panduan yang lebih konkret bagi pembuat kebijakan dan praktisi hukum.