Oleh: Verrel Rafiano
Latar Belakang
Kasus ini bermula ketika Prima menggugat perdata KPU di PN Jakpus pada tanggal 8 Desember 2022 karena Prima tidak lolos tahap verifikasi administrasi untuk mengikuti Pemilu 2024 karena tidak memenuhi syarat (TMS). Prima mengatakan bahwa mereka mencoba untuk melakukan verifikasi administrasi melalui Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) milik KPU namun beberapa kali mereka mengalami system error dan error bug di SIPOL yang menyebabkan pengisian SIPOL oleh Prima ditolak/gagal validasi sehingga Prima TMS. Prima sebelumnya mengajukan gugatan di Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) dimana Bawaslu mengeluarkan Putusan Bawaslu RI Nomor 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022[1] yang memberi tahu KPU untuk memperbolehkan Prima melakukan penyampaian dokumen persyaratan perbaikan untuk di verifikasi administrasi oleh KPU namun KPU tidak melaksanakan putusan Bawaslu dengan tidak memperbolehkan Prima melakukan perbaikan dokumen melalui Acara KPU Nomor 232/PL.01.1BA/05/2022.[2] Selain mengajukan gugatan di Bawaslu, Prima juga mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta namun gugatan tersebut ditolak oleh PTUN karena mengatakan bahwa gugatan Prima bukan merupakan kewenangan dari PTUN melalui penetapan dismissal proses nomor 468/G/2022/PTUN.JKT sehingga pada akhirnya Prima menyampaikan gugatan perdata di PN Jakpus.[3]
Prima meminta melalui gugatannya untuk KPU tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sehingga pemilu ditunda selama dua tahun empat bulan dan tujuh hari namun PN Jakpus mengejutkan semua orang dengan menerima gugatan Prima sehingga menetapkan KPU telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan menyuruh KPU untuk menunda Pemilu 2024. Isu yang muncul akibat keputusan ini terkait dengan kewenangan PN Jakpus untuk menunda Pemilu karena Pemilu seharusnya merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN sesuai dengan Pasal 468[4] dan Pasal 470[5] UU Pemilu sehingga dengan PN Jakpus menunda pemilu akan membuat sebuah preseden yang buruk untuk masa depan Pemilu karena partai-partai politik dapat dengan mudah menunda Pemilu sehingga kepastian hukum Pemilu menjadi dipertanyakan.
Melalui latar belakang tersebut, muncullah beberapa pertanyaan yang menjadi fokus dari penulisan ini yaitu:
Pembahasan
Penentuan Kompetensi Absolut dan Relatif Pengadilan: Kepastian Hukum vs Keadilan
Pengadilan di Indonesia memiliki kompetensi relatif dan kompetensi absolut dengan kompetensi relatif merupakan kewenangan suatu pengadilan untuk memeriksa kasus berdasarkan wilayah hukumnya yang merupakan tempat tinggal tergugat dan jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya maka memakai lokasi dimana tergugat sebenarnya berdiam sebagaimana diatur oleh Pasal 118 HIR[6] sementara kompetensi absolut merupakan kewenangan yang dimiliki oleh suatu pengadilan berdasarkan objek perkaranya sebagaimana diatur oleh Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.[7] Kompetensi absolut dan relatif diberlakukan di sistem hukum Indonesia untuk memastikan bahwa tidak ada konflik yurisdiksi dimana Hakim suatu peradilan akan bingung dengan dimana kewenangannya mulai dan berakhir seperti dengan apakah kasus ini masuk ke dalam wilayah hukum peradilan tersebut atau apakah objek perkara kasus tersebut merupakan kewenangan peradilan tersebut sehingga dengan tidak adanya konflik tersebut maka kepastian hukum dapat terjadi namun muncul pertanyaan yaitu apakah dengan kepastian hukum yang muncul dari kompetensi absolut dapat selalu menjamin keadilan sehingga keadilan dikorbankan demi menjamin kepastian hukum.
Kepastian hukum masih harus ditegakkan karena kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum, merupakan jaminan untuk memastikan hukum berjalan dengan baik dan dan putusannya dapat dilaksanakan. Keadilan pada sendirinya memiliki sifat yang berbeda dengan hukum dimana keadilan bersifat subjektif, individualistis, dan tidak sama rata sementara hukum memiliki sifat yang objektif, mengikat semua orang, dan sama rata. (Sudikno Mertokusumo, 2007)
Penundaan Pemilu Mengancam Demokrasi Di Indonesia
Hak untuk warga negara Indonesia untuk turut serta dalam Pemilihan umum setiap 5 tahun sekali untuk memilih pemimpin negara serta anggota DPR merupakan salah satu hak yang dimiliki sebagai warga negara suatu negara demokratis sebagaimana diatur oleh Pasal 22 E Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.[8] Dengan keputusan PN Jakpus untuk menunda Pemilu dengan pasti secara langsung mengancam pelaksanaan demokrasi di Indonesia karena menunjukan secara terang-terangan bahwa suatu Pengadilan Negeri dapat melanggar UUD 1945 selaku konstitusi negara Indonesia dengan mudah.
Demokrasi di Indonesia seharusnya dilakukan sebagaimana diatur oleh Pasal 22E, Undang-Undang Dasar 1945 dimana di dalam pasal tersebut sudah diatur mengenai waktu penyelenggaraan Pemilu yaitu lima tahun dan segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu merupakan urusan Komisi Pemilihan Umum. UU ini sudah jelas ketentuannya dan tidak dapat diperdebatkan lagi sehingga keputusan PN Jakpus sudah jelas melanggar ketentuan ini dan dianggap tidak valid di mata hukum.
Kepercayaan Publik Kepada Pemerintah Terancam Menurun
Bahkan sebelum keputusan PN Jakpus untuk menunda Pemilu dikeluarkan, Isu penundaan Pemilu 2024 merupakan suatu isu yang sering dipermasalahkan oleh banyak pihak yang mendukung Pemilu ditunda baik dari partai-partai politik maupun dari dalam pemerintahan sendiri melalui menteri-menteri. (Fitria Chusna Farisa, 2023)
Sikap Pemerintah dalam menanggapi perkara ini juga banyak dianggap kurang atau tidak tegas (Iqbal Basyari, 2022) sehingga isu penundaan Pemilu akan terus menjadi suatu perihal yang diperdebatkan meskipun semestinya sudah ditetapkan bahwa Pemilu diadakan setiap lima tahun sekali sehingga jika ini terus terjadi maka kepercayaan publik kepada pemerintah akan dengan pasti menurun karena pemerintah yang seharusnya melindungi demokrasi dan reformasi di Indonesia justru saling bertengkar sesama lain untuk membahas suatu perihal yang sebenarnya sudah pasti dan sudah ditentukan oleh hukum.
Profesionalisme Hakim Menjadi Dipertanyakan
Hakim sebagai penegak hukum jelas terang harus memiliki nilai seperti integritas, profesional, berpengalaman di bidang hukum serta mengikuti Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 5 Ayat 2 dan 3, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.[9]
Namun dengan putusan hakim PN Jakpus untuk menunda Pemilu dari sebuah gugatan perdata meskipun Pemilu merupakan perihal administrasi maka profesionalisme hakim tersebut menjadi dipertanyakan karena Hakim yang merupakan suatu pekerjaan yang memiliki profesionalisme dan kode etik yang tinggi sehingga dengan hakim melakukan kesalahan pada titik paling dasar yaitu pada kompetensi absolutnya sehingga benar terdapat alasan untuk mempertanyakan profesionalisme hakim. (Idul Rishan, 2023)
Kesimpulan
Dari keputusan hakim PN Jakpus ini mengakibatkan banyak sekali dampak yang terjadi akibat kesalahan ini mulai dari masalah kompetensi peradilan, ancaman terhadap demokrasi, penurunan kepercayaan publik kepada Pemerintah, dan independensi hakim yang menjadi dipertanyakan, penulis merasa bahwa dengan dikeluarkan putusan PN Jakpus untuk menunda Pemilu merupakan suatu kesalahan yang sangat fatal dan tidak bisa dijustifikasi sehingga penulis berharap pemerintah bersikap tegas dengan kasus ini agar kasus ini tidak akan terjadi lagi di waktu mendatang.
Daftar Pustaka
Buku
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2002.
Peraturan Perundang-Undangan
Herzien Inlandsch Reglement.
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum, UU Nomor 7 Tahun 2017.
Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 48 Tahun 2009.
Putusan
Badan Pengawas Pemilu, Putusan No. 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022 (2022).
Komisi Pemilihan Umum, Putusan No. 232/PL.01.1BA/05/2022 (2022).
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Putusan No. 468/G/2022/PTUN.JKT, Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil dan Makmur dan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (2023).
Internet
Basyari, Iqbal. “Sikap Tegas Presiden Bisa Akhiri Usulan Penundaan Pemilu,” Kompas.id, 26 Februari 2022. Tersedia pada https://www.kompas.id/baca/utama/2022/02/26/sikap-tegas-presiden-bisa-akhiri-usulan-penundaan-pemilu, diakses pada tanggal 15 Juni 2023.
Farisa, Chusna. “Mereka yang Pernah Bunyikan Isu Pemilu Ditunda, dari Menteri Jokowi hingga Ketum Parpol,” Kompas.com, 9 Maret 2023. Tersedia pada https://nasional.kompas.com/read/2023/03/09/10244401/mereka-yang-pernah-bunyikan-isu-pemilu-ditunda-dari-menteri-jokowi-hingga, diakses pada tanggal 15 Juni 2023.
Rishan, Idul. “Profesionalisme Hakim Penunda Pemilu,” Kompas.id, 14 Maret 2023. Tersedia pada https://www.kompas.id/baca/opini/2023/03/13/profesionalisme-hakim-penunda-pemilu, diakses pada tanggal 15 Juni 2023
[1] Badan Pengawas Pemilu, Putusan No. 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022 (2022), hlm 167.
[2] Komisi Pemilihan Umum, Putusan No. 232/PL.01.1BA/05/2022 (2022)
[3] Pengadilan Tata Usaha Negara, Putusan No. 468/G/2022/PTUN.JKT (2023), hlm 174.
[4] Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum, UU No. 7 Tahun 2017, Pasal 468.
[5] Ibid, Pasal 470
[6] Herzien Inlandsch Reglement, Pasal 118
[7] Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, Ps. 25
[8] Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 22 E
[9] Ibid, Pasal 5 ayat (2–3)