Oleh: Afif Ramadhan
Pendahuluan
Putusan PN Jakarta Pusat dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.[1] mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024. Hal ini berkaitan dengan status partai Prima yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk menjadi partai calon peserta pemilu.[2] Banyak pihak yang menilai bahwa putusan PN tersebut cacat hukum, karena perkara administratif yang harusnya diselesaikan oleh PTUN menjadi diselesaikan di kamar perdata Pengadilan Negeri.
Meskipun begitu, terdapat alasan-alasan mengapa pada akhirnya Partai Prima membawa perkara ini ke pengadilan negeri untuk diselesaikan. Sebelum membawanya ke PN Jakpus, Partai Prima sudah melakukan upaya-upaya untuk mengubah status TMS-nya, sebagai berikut:
Dengan demikian, upaya hukum yang ditempuh oleh partai Prima semata-mata bertujuan untuk memenuhi hak politiknya yang “dirampas” oleh Komisi Pemilihan Umum. Putusan PN Jakarta Pusat mengenai pemilu yang dinilai berada di luar kompetensi absolutnya itu menandakan bahwa upaya hukum yang ada tidak mampu melindungi hak-hak partai Prima yang merasa dirugikan. Berdasarkan latar belakang tadi, maka timbul pertanyaan yang perlu dijawab, sebagai berikut:
Pembahasan
Sebelum ditangani oleh PN Jakarta Pusat, sebelumnya partai Prima telah menggugat KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan nomor register perkara 468/G/SPPU/2022/PTUN.JKT. Akan tetapi, PTUN beranggapan bahwa masalah tersebut berada di luar kewenangan (kompetensi absolutnya) karena tidak berhubungan dengan tata usaha negara (TUN).
Penting untuk dapat memahami dua konsep dalam ilmu hukum agar dapat mengerti permasalahan ini, yaitu Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau onrechtmatige daad dan Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah (PMHP/OOD) atau onrechtmatige overheidsdaad. PMH merupakan salah satu bentuk gugatan di dalam hukum perdata, selain wanprestasi. PMH diatur di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.[5] Secara sederhana, PMH dapat dimaknai sebagai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang menyebabkan kerugian kepada orang lain. Berbeda dengan wanprestasi di mana para pihak terlibat berada di dalam ikatan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya (dan kemudian gagal melaksanakan prestasi), PMH tidak mensyaratkan demikian.
Adapun dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019[6], PMHP/OOD diartikan sebagai sengketa yang di dalamnya mengandung tuntutan untuk menyatakan tidak sah dan/atau batal tindakan pejabat pemerintahan, atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat beserta ganti rugi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. PMHP dapat kita maknai sebagai PMH yang dilakukan oleh pemerintah/pejabat pemerintahan, berbeda dengan PMH yang berada di lingkup hukum perdata.
Perkara yang digugat oleh partai Prima ini termasuk ke dalam Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah (Onrechtmatig overheidsdaad/OOD) atau PMHP yang termasuk wewenang dari PTUN menurut ketentuan di dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan[7] dan Perma No. 2 Tahun 2019. Meskipun demikian, PTUN malah beranggapan bahwa gugatan tersebut berada di luar kompetensinya. Kesalahan/error pada PTUN inilah yang kiranya menyebabkan Partai Prima menempuh jalur perdata dengan menggugat KPU ke pengadilan negeri.
Upaya yang dilakukan oleh partai Prima untuk mempertahankan hak politiknya melalui kamar perdata pengadilan negeri sejalan dengan ungkapan Mr. Djokosoetono, dekan pertama Fakultas Hukum Universitas Indonesia, “Geordend denken, en geordend doordenken” (Berpikir tertib, dan berpikir menembus dengan tertib). Dari ungkapan tersebut dapat dimaknai bahwa, apabila seorang ahli hukum dihadapkan pada suatu masalah, maka masalah tersebut akan diselesaikan secara terorganisir lewat sistem dan kaidah hukum yang telah ada. Apabila menemui kebuntuan, dimana hukum yang ada tidak mampu menyelesaikan masalah, maka di saat itulah dobrakan di bidang hukum harus dilakukan. Terobosan dan gagasan baru harus dihadirkan semata-mata untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.
Dengan membawa perkara ini ke pengadilan negeri, dengan menggugat KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) sehingga merugikan partai Prima, PN Jakpus tentunya tidak akan menolak untuk mengadili dan menjatuhkan putusan, semata karena penggugat merasa haknya dirampas karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Alasan PN Jakpus mengeluarkan putusan mengenai penundaan pemilu karena KPU dianggap mengabaikan putusan Bawaslu RI Nomor 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022 agar KPU memberikan kesempatan kepada Partai Prima memberikan dokumen persyaratan perbaikan dalam waktu 1 x 24 jam. PN Jakpus menilai pengabaian KPU terhadap putusan Bawaslu itu bertentangan dengan Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022 bahwa partai politik dapat memperbaiki dan menyampaikan dokumen persyaratan perbaikan kepada KPU melalui sipol.
Tindakan serupa, di mana Pengadilan Negeri dapat mengadili PMHP/OOD dapat dilihat di Putusan MA 69K/Pdt/2006. Putusan tersebut mengenai gugatan penyitaan dan pelelangan harta pribadi penggugat untuk melunasi utang penggugat kepada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Mataram pada tahun 1969 yang dianggap PMHP/OOD.
Kesimpulan
Dari paparan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan berkaitan dengan putusan ini. Pertama, dapat diketahui bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu bukan begitu saja keluar tanpa sebab, melainkan ada alasan-alasan yang mendahuluinya. Partai PRIMA membawa perkara tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bukan sebagai langkah hukum pertama yang mereka ambil, melainkan setelah upaya-upaya sebelum itu. Partai Prima sudah melaporkan KPU ke Bawaslu, dan BAWASLU memutus agar KPU memberikan kesempatan pada PRIMA mengirim dokumen perbaikan, akan tetapi KPU mengabaikan putusan BAWASLU dan PRIMA tetap berstatus Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Tak berhenti sampai di sana, PRIMA membawa perkara ini ke PTUN akan tetapi ditolak dengan alasan tidak ada hubungan hukum dengan PTUN. Padahal, Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah/PMHP menjadi wewenang PTUN untuk mengadili. Dengan demikian, membawa perkara ini ke PN Jakpus adalah solusi terakhir.
Putusan ini perlu dikaji lebih mendalam, karena diadilinya suatu perkara pada kamar pengadilan yang tidak seharusnya tentu menyimpangi aspek kepastian hukum. Akan tetapi, jika kita melihat dari aspek keadilan hukum, agaknya putusan itu keluar dengan pertimbangan-pertimbangan yang mendasarinya. Pertimbangan PN Jakpus mengeluarkan putusan itu karena KPU mengabaikan putusan BAWASLU dan tidak memberi kesempatan pada PRIMA. Padahal, dalam Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022 dikatakan diterangkan bahwa partai politik dapat mengirimkan dokumen persyaratan perbaikan lewat SIPOL sehingga tindakan KPU telah bertentangan dengan peraturan internalnya sendiri. Dengan demikian, putusan PN Jakpus berfokus pada hak politik PRIMA yang terampas.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio. (Jakarta: Balai Pustaka, 2014), Ps. 1365
Indonesia. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014
Indonesia, Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechmatige Overheidsdaad).Perma No. 2 Tahun 2019
Yurisprudensi/Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.
Badan Pengawas Pemilu. Putusan No. 002/PS REG/BAWASLU/X/2022.
Mahkamah Agung. Putusan No. 69K/Pdt/2006.
Internet
Subarkah, Tri. “Prima Gagal Jadi Parpol Peserta Pemilu 2024.” https://mediaindonesia.com /politik-dan-hukum/575543/prima-gagal-jadi-parpol-peserta-pemilu-2024. Diakses 16 Juni 2023
[1] Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst
[2] Tri Subarkah, “Prima Gagal Jadi Parpo Pesertal Pemilu 2024,” https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/575543/prima-gagal-jadi-parpol-peserta-pemilu-2024, diakses 16 Juni 2023
[3] Badan Pengawas Pemilihan Umum, Putusan No. 002/PS REG/BAWASLU/X/2022
[4] Pengadilan Tata Usaha Negara, Putusan No. 468/G/SPPU/2022/PTUN.JKT
[5] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio, (Jakarta: Balai Pustaka, 2014), Ps. 1365
[6] Indonesia, Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechmatige Overheidsdaad), Perma No. 2 Tahun 2019
[7] Indonesia, Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014