POLEMIK PENGGUNAAN BUKU BAJAKAN DI PERGURUAN TINGGI: ANALISIS SOSIOLEGAL TERHADAP DUGAAN PELANGGARAN HAK CIPTA BUKU

Oleh: Ebony Milda Puspita Sianturi

Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI

Indonesia menyabet urutan pertama sebagai negara dengan catatan pelanggaran hak kekayaaan intelektual terburuk di Asia. Indonesia pun menempati urutan ketiga dalam hal jumlah kasus pelanggaran hak cipta terbanyak di dunia, di mana buku merupakan salah satu objek yang hak ciptanya paling sering dilanggar. Menurut data dari Kompas yang dimuat pada artikel Parist.id, penggunaan buku bajakan sering dilakukan oleh para akademisi, termasuk mahasiswa. Penggunaan buku bajakan oleh mahasiswa dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk tidak meleknya mahasiswa terhadap keberadaan hak cipta dan perlindungannya.

Fakta mengkhawatirkan tentang penggunaan buku bajakan oleh mahasiswa dikuatkan oleh adanya hasil jajak pendapat yang dilakukan Paradigma Institute di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus yang menyatakan bahwa 82,2% dari 90 responden tidak mengetahui bahwa sebuah buku yang diterbitkan memiliki hak cipta yang dilindungi hukum. Selain itu, 86,6% responden pun beropini bahwa penggandaan buku dalam rangka menunjang pembelajaran bukanlah suatu masalah. Uraian tersebut menunjukkan bahwa pembajakan buku pada sektor pendidikan masih marak terjadi. Hipotesanya, fakta ini juga memperlihatkan tidak terpenuhinya kebutuhan penunjang pendidikan. Padahal, tercapai atau tidaknya tujuan dari pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk fasilitas, sarana, dan prasarana sehingga diperlukan pengelolaan sumber daya pendidikan secara efektif dan efisien. Adapun tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Terlihat bahwa pelanggaran hak cipta tidaklah sesuai dengan tujuan pendidikan di Indonesia.

Ketika mencapai tingkat pendidikan tinggi, peserta didik, yang disebut mahasiswa, diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional. Situasi ini berbeda dengan jenjang pendidikan dasar dan menengah di mana peserta didik sering kali hanya “disuapi” materi oleh pengajar. Sebagai insan dewasa, mahasiswa perlu proaktif dan mandiri dalam mencari materi pembelajaran dari berbagai sumber. Sayangnya, pada realitasnya mahasiswa sering kesulitan dalam mengakses sumber belajar, khususnya yang berbentuk buku. Terkadang, dosen pun menganjurkan atau bahkan mewajibkan mahasiswa untuk memiliki beberapa buku tertentu sebagai sumber belajar pokok di kelas. Mahasiswa tak jarang mengalami kesukaran ketika harus memiliki buku yang harganya tidak terjangkau atau mencari buku yang stoknya telah menipis di pasaran. Tingginya kebutuhan akan buku yang tidak diimbangi dengan kemudahan akses lantas memunculkan masalah baru berupa maraknya penggandaan buku secara ilegal. Aktivitas ini dapat pula disebut pembajakan. Pembajakan buku adalah tindakan di mana seseorang atau sekelompok orang menggandakan buku yang mana perolehan keuntungannya tidak turut diberikan kepada pencipta atau pemegang hak cipta. 

Fenomena pembajakan buku yang marak terjadi di lingkup pendidikan tinggi ditandai dengan banyaknya usaha fotokopi yang melakukan penggandaan buku secara ilegal di sekitar kawasan perguruan tinggi. Hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Universitas Airlangga (Unair) mengungkap bahwa terdapat banyak gerai fotokopi yang menerima pesanan untuk menggandakan buku secara utuh di sekitar kampus di Surabaya yang notabene termasuk daerah dengan angka pembajakan buku yang tinggi selain Yogyakarta dan Jakarta. Selain menggandakan buku secara utuh, tindakan membajak buku juga dapat dilakukan dengan menggandakan sebagian isi buku dengan tujuan meraup keuntungan. Seseorang bisa saja melakukan pembajakan buku tanpa menyadari bahwa tindakannya adalah sesuatu yang diancam dengan sanksi pidana. Ironisnya, seseorang pun bisa saja secara sadar dan sengaja melakukan pembajakan buku. Bahkan, pembajakan dapat menjadi sebuah lingkaran setan di mana suatu pihak bermodal menggandakan buku secara ilegal dan menjualnya dengan harga murah, kemudian pihak lain membelinya dan menjualnya kembali dengan mengambil keuntungan. Fenomena ini telah dinormalisasi oleh masyarakat dan menjadi masalah multidimensional yang mengakar.

Maraknya pembajakan buku adalah suatu isu besar yang dapat merugikan banyak pihak. Dari sudut pandang masyarakat, masyarakat menginginkan produk dengan harga yang lebih bersahabat yang mana hal ini dapat ditemui pada buku bajakan. Berbeda dengan industri perbukuan yang perlu menanggung biaya akomodasi untuk para pihak mulai dari penulis, editor, desainer, penerbit, hingga toko buku, pihak produsen buku bajakan hanya perlu menanggung biaya percetakan. Itulah mengapa harga buku bajakan menjadi murah. Karenanya, masyarakat pun lebih memilih untuk membeli buku bajakan dan menjadi permisif terhadap tindakan pembajakan buku. Masyarakat juga menjadi lebih lunak ketika dihadapkan dengan kebutuhan akademis, terutama di perguruan tinggi. Kecenderungan ini menimbulkan terjadinya pelanggaran hak cipta. Jika pembajakan buku makin sering terjadi, para penulis akan kehilangan apresiasi dan motivasi yang cukup untuk kembali berkarya. Dengan demikian, pihak yang paling dirugikan dari fenomena pembajakan buku adalah para penulis buku yang kehilangan hak untuk mendapatkan royalti dari ciptaan mereka.

Pengaturan mengenai hak cipta dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC). Dalam undang-undang tersebut, hak cipta didefinisikan sebagai hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata dengan pembatasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Deklaratif berarti bahwa hak cipta langsung diperoleh tanpa melalui proses pendaftaran dan tanpa melihat apakah ciptaan tersebut sudah diterbitkan atau belum. Keberadaan hak cipta bertujuan untuk mengetahui pihak mana yang berhak memperoleh royalti atas suatu ciptaan. Berdasarkan Pasal 40 UUHC, ciptaan yang dilindungi mencakup ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, termasuk buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya. 

Lebih lanjut, hak cipta terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Disebutkan secara tegas bahwa setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Berbeda dengan hak moral yang tidak dapat dialihkan, hak ekonomi sebagai hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas suatu ciptaan dapat dialihkan kepada siapa pun. Izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya berdasarkan perjanjian tertulis diwujudkan dalam suatu lisensi. Selama lisensi tersebut berlaku, penerima lisensi tetap memiliki kewajiban untuk memberikan royalti kepada pemegang hak cipta. Adanya hak ekonomi memperbolehkan seseorang untuk melakukan beberapa tindakan terhadap ciptaan, termasuk menerbitkan, menggandakan, menerjemahkan, mendistribusikan, dan menyewakannya. Hak ekonomi memiliki masa berlaku, di mana hak cipta atas buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya berlaku selama pencipta hidup dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia. 

Tercantum pula dalam UUHC bahwa tiada orang yang boleh menggandakan dan/atau menggunakan ciptaan untuk kepentingan komersial tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta. Meskipun begitu, penggandaan ciptaan sebanyak satu salinan untuk kepentingan pribadi tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta masih diperbolehkan. Di luar itu, terdapat beberapa ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan hak cipta. Ketentuan-ketentuan tersebut mengecualikan beberapa perbuatan dari kategori pelanggaran hak cipta, misalnya membuat dan menyebarluaskan konten hak cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial, menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau tidak memuat keberatan pencipta atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut. Penggunaan, pengambilan, dan penggandaan sebagian atau keseluruhan substansi suatu ciptaan pun tidak tergolong sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, ataupun peninjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta.

Lantas bagaimana jika pelanggaran hak cipta telah terjadi? Guna menyelesaikan sengketa yang melibatkan pelanggaran hak cipta, dapat dilakukan alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan. Adapun pencipta atau pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada pengadilan niaga. Ganti rugi tersebut berhak diperoleh oleh pencipta dan pemegang hak cipta, bisa juga digantikan oleh ahli warisnya, yang mengalami kerugian hak ekonomi. Lebih lanjut, hak untuk mengajukan gugatan keperdataan atas pelanggaran hak cipta tidak mengurangi hak pencipta untuk menuntut secara pidana. Selain itu, pencipta atau pemegang hak cipta juga dapat memohon putusan provinsi atau putusan sela kepada pengadilan niaga untuk menyita ciptaan yang digandakan beserta alat penggandanya serta menghentikan kegiatan distribusi dan penggandaan ciptaan yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta.

UUHC juga mengatur mengenai ketentuan pidana terkait pelanggaran hak cipta. Dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta menggandakan ciptaan dalam segala bentuknya untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00. Lebih lanjut, setiap orang yang melakukan pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00. Pengelola tempat perdagangan pun dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta di tempat perdagangan yang dikelolanya. Dengan demikian, tidak heran bahwa setiap pengelola segala bentuk tempat perdagangan yang mengetahui dan dengan sengaja membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta di tempat perdagangan yang dikelolanya diancam pidana dengan denda paling banyak Rp100.000.000,00. Terakhir, tindak pidana sebagaimana dimuat dalam UUHC merupakan delik aduan.

Regulasi selain UUHC yang dapat pula digunakan untuk menganalisis kasus pembajakan buku adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan (UU Sistem Perbukuan). Sistem perbukuan sendiri adalah tata kelola perbukuan yang secara menyeluruh dan terpadu mencakup pengembangan buku elektronik, pendistribusian, penyediaan, dan pengawasan buku. Dalam UU Sistem Perbukuan, disebutkan bahwa masyarakat berhak mendapatkan kemudahan akses terhadap buku bermutu dan informasi perbukuan. Adapun terdapat dua jenis buku, yaitu buku pendidikan dan buku umum, di mana buku pendidikan merupakan buku yang digunakan dalam beberapa jenis pendidikan, salah satunya ialah pendidikan akademik. Buku pendidikan terdiri atas buku teks dan nonteks, yang mana buku teks dikategorikan pula ke dalam buku teks utama dan buku teks pendamping. Buku teks utama dapat dikonversi ke bentuk buku elektronik untuk memudahkan masyarakat memperoleh dan mengakses dan dapat pula diunduh secara gratis dan digandakan.

Serupa dengan inti pembahasan pada UUHC, UU Sistem Perbukuan pun menyebutkan bahwa penulis selaku salah satu pelaku perbukuan memiliki hak cipta atas naskah tulisannya dan berhak mendapatkan imbalan atas hak penerbitan naskah tulisannya. Disebutkan pula bahwa pemerintah pusat dan daerah bersama-sama memiliki tanggung jawab untuk menjamin penyelenggaraan ekosistem perbukuan yang sehat agar tersedia buku bermutu, murah, dan merata tanpa diskriminasi serta memastikan tersedianya buku teks utama untuk pembelajaran bagi setiap peserta didik. Dinyatakan pula bahwa penerbitan buku untuk jenjang pendidikan tinggi dapat dikelola oleh perguruan tinggi serta difasilitasi oleh kementerian yang bertanggung jawab sesuai bidangnya. 

Terakhir, pembahasan mengenai fenomena pembajakan buku pada jenjang pendidikan tinggi juga bersinggungan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Dijelaskan dalam UU Dikti bahwa dosen secara perorangan atau berkelompok wajib menulis buku ajar atau buku teks, yang diterbitkan oleh perguruan tinggi dan/atau publikasi ilmiah sebagai salah satu sumber belajar dan untuk pengembangan budaya akademik. Tidak hanya itu, perguruan tinggi sudah sepatutnya berkewajiban menyediakan, memfasilitasi, dan memiliki sumber belajar sesuai dengan program studi yang dikembangkan. Kewajiban tersebut selaras dengan adanya tugas perguruan tinggi untuk menyediakan sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, potensi, dan kecerdasan mahasiswa.

Menggunakan peraturan perundang-undangan tersebut, fenomena pembajakan buku di perguruan tinggi dapat dianalisis dari sudut pandang sosiolegal. Dari pasal-pasal dalam UUHC, dapat ditafsirkan bahwa penggandaan buku menggunakan mesin fotokopi yang kerap dilakukan oleh para pelaku ekonomi adalah pelanggaran hak cipta, khususnya terhadap hak ekonomi penulis buku. Faktanya, sering kali kali para pelaku ekonomi tidak hanya memfotokopi buku karena ada pesanan, tetapi juga melakukannya dengan inisiatif pribadi dan menjual kembali hasil penggandaan buku tersebut untuk mencari keuntungan. Hal ini terjadi di pertokoan buku pada area Stadion Diponegoro, Semarang, di mana pembajakan dilakukan dengan cara memfotokopi atau mencetak ulang buku secara massal. Maraknya pembajakan buku menandakan lemahnya perlindungan hukum bagi para penulis buku sebagai pemilik hak cipta. Dapat dikatakan bahwa terjadi pelanggaran hak di dalam fenomena pembajakan buku, di mana para penulis buku kehilangan haknya untuk memperoleh royalti. Fenomena ini terjadi karena masyarakat memiliki kesadaran hukum yang rendah terhadap keberadaan hak cipta pada buku. Kalaupun sadar, ketentuan dalam UUHC masih sering ditafsirkan secara kurang tepat, di mana pendidikan justru dijadikan tameng untuk melanggengkan pembajakan buku.

Kendati demikian, kewajiban pertanggungjawaban pidana atas terjadinya pembajakan buku tidak sepenuhnya berada pada mahasiswa sebagai pengguna buku bajakan, melainkan juga pada pelaku penggandaan dan pembajakan serta pengelola tempat perdagangan buku yang mengetahui dan menghendaki penggandaan dan penjualan buku di tempat perdagangan yang dikelolanya. Dengan begitu, alih-alih persoalan legalitas, persoalan sebenarnya yang dihadapi oleh mahasiswa selaku pengguna buku bajakan di perguruan tinggi adalah perihal moral dan etika. Penggunaan buku bajakan dapat menjadi bentuk pengingkaran terhadap kreativitas penulis buku yang telah mengerahkan dan mengekspresikan kemampuan, pikiran, imajinasi, keterampilan, atau keahliannya dalam bentuk nyata. Tidak sampai di situ, adanya ketentuan bahwa tindak pidana dalam UUHC merupakan delik aduan menjadi tambahan kendala dalam memberantas para pelaku pembajakan buku. Adanya ketentuan ini akan mempersulit perlindungan hak cipta bagi para penulis buku karena aparat penegak hukum baru berhak memberikan sanksi setelah ada aduan pelanggaran hak cipta dari pencipta, pemegang hak cipta, atau pihak lain.

Walau larangan pembajakan buku telah diatur sebagaimana termuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang disebutkan sebelumnya, legalitas penggunaan buku bajakan belum secara eksplisit disebutkan di dalamnya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang turut menyuburkan fenomena pembajakan buku. Aturan yang melahirkan ruang ambiguitas ini berpotensi dimanfaatkan sebagai celah hukum bagi oknum yang tidak bertanggung jawab. Salah satu upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi hal ini adalah menerbitkan peraturan pemerintah (PP) turunan dari UU Sistem Perbukuan. Tanpa adanya PP sebagai peraturan pelaksana, adopsi dan adaptasi undang-undang ke peraturan daerah akan lebih sulit dilakukan. Hal ini disebabkan peraturan daerah seharusnya merujuk pada substansi PP itu sendiri yang mana di dalamnya berisikan ketentuan detail dan aturan teknis untuk melaksanakan suatu undang-undang. Akibat tidak adanya PP tadi, hak pelaku perbukuan, termasuk penerbit dan penulis, menjadi rawan dilanggar. Selain itu, pemerintah perlu bekerja sama dengan pengelola tempat perdagangan buku dan usaha fotokopi di skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk mengadakan evaluasi terhadap kendala yang selama ini dihadapi, sosialisasi mengenai UUHC, dan pendataan usaha secara berkala. Dengan demikian, diharapkan muncul progres dalam upaya menegakkan perlindungan hukum terhadap hak cipta penulis buku.

Maraknya pembajakan buku juga menandakan perlunya evaluasi kebijakan dari pemerintah itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam UU Dikti, perguruan tinggi seharusnya menyediakan, memfasilitasi, dan memiliki sumber belajar sendiri yang dapat dibagikan kepada mahasiswa. Jika mahasiswa masih perlu mengakali hukum dengan cara membeli buku bajakan, artinya belum terwujud akses yang mudah terhadap buku yang bermutu, murah, dan merata. Banyaknya buku yang harus dimiliki dalam satu semester dan harga satuannya yang kurang terjangkau mendorong mahasiswa untuk mencari alternatif agar tetap bisa mengikuti perkuliahan dengan baik. Faktor tersebut, didukung fakta bahwa penyewaan atau peminjaman buku dari perpustakaan pun tak jarang terkendala pada jumlah buku dan waktu peminjaman yang terbatas, menjadikan mahasiswa pada akhirnya terpaksa membeli dan menggunakan buku bajakan. Hal demikian merupakan cerminan dari adanya permasalahan struktural di masyarakat di mana kendala finansial dan keterbatasan akses menjadi kata kunci dalam situasi tersebut.

Untuk mengatasi permasalahan struktural tersebut, diperlukan adanya intervensi dari pemerintah sebagai penyedia akses utama. Contoh tindakan yang dapat diupayakan oleh pemerintah ialah pemberian subsidi terhadap bahan baku percetakan, misalnya terhadap kertas. Dengan begitu, diharapkan harga buku dapat terstandar ke rentang yang lebih terjangkau. Meskipun demikian, kebijakan subsidi ini dapat menimbulkan kekhawatiran akan adanya penawaran berlebih pada kertas yang pada akhirnya membuat kebijakan ini kurang ramah lingkungan. Untuk mengantisipasinya, pemerintah dapat memprioritaskan pemberian subsidi pada produk kertas yang ramah lingkungan, misalnya yang terbuat dari pulp. Dengan menggunakan bahan baku pulp, biaya produksi kertas juga relatif lebih rendah. Hal ini akan membuat pemerintah justru dapat memasang harga jual lebih murah.

Selain memberi subsidi terhadap bahan baku percetakan, pemerintah juga harus mendorong dan memastikan dosen-dosen di perguruan tinggi mau menulis dan menerbitkan buku ajar atau buku teks secara perorangan ataupun berkelompok atas nama perguruan tinggi tersebut sebagai salah satu sumber belajar yang tersedia secara gratis untuk mahasiswa. Jika tidak memungkinkan untuk menyusun buku ajar atau buku teks tersebut, perguruan tinggi dapat menambah stok terhadap beberapa buku dan membuat mekanisme peminjaman kepada mahasiswa melalui perpustakaan. Apabila masih tidak memungkinkan untuk meminjamkannya, buku ajar atau buku teks tersebut dapat disediakan dalam bentuk electronic book (e-book) untuk memudahkan mahasiswa mengakses dan mengunduhnya secara gratis. Pada intinya, pemerintah harus meningkatkan ketersediaan dan kemudahan akses buku-buku berkualitas dan merupakan bacaan wajib bagi mahasiswa. Pemerintah dapat pula menganggarkan dana untuk membeli hak cipta suatu buku, kemudian memberikan akses seluas-luasnya dalam bentuk digital kepada mahasiswa khusus untuk digunakan pada sektor pendidikan. Hal ini akan memenuhi hak terhadap mahasiswa dan penulis buku.

Pada akhirnya, kendati telah memiliki payung hukum, perlindungan terhadap hak cipta buku di Indonesia belum terjamin secara maksimal. Permintaan yang tinggi akan bahan ajar di perguruan tinggi membuat mahasiswa menormalisasi posisinya sebagai konsumen buku bajakan. Fenomena pembajakan buku sendiri telah meluas dan menjelma menjadi masalah struktural yang terjadi secara sistematis. Walaupun mahasiswa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan menggunakan buku bajakan, nyatanya persoalan moral dan etika yang dihadapi oleh mahasiswa ketika menggunakan buku bajakan menjadi suatu hal yang patut dipertanyakan. Di sisi lain, pemerintah sebagai pengemban tanggung jawab utama untuk memenuhi hak-hak mahasiswa memiliki peran krusial dalam upaya menemukan titik terang dari fenomena pembajakan buku. Dengan demikian, adanya kesadaran kolektif dari berbagai pihak diperlukan guna merespons adanya polemik penggunaan buku bajakan di perguruan tinggi. Tidak lupa, evaluasi terhadap substansi dan makna UUHC, UU Sistem Perbukuan, dan UU Dikti perlu ditelisik lebih dalam beserta implikasinya terhadap masyarakat sebagai subjek hukum.

 

DAFTAR RUJUKAN

 

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Tentang Hak Cipta, UU Nomor 28 Tahun 2014. LN Tahun 2014 No. 266 TLN No. 5599.

Undang-Undang Tentang Pendidikan Tinggi, UU Nomor 12 Tahun 2012. LN Tahun 2012 No. 158 TLN No. 5336.

Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 20 Tahun 2003. LN Tahun 2003 No. 78 TLN No. 4301.

Undang-Undang Tentang Sistem Perbukuan, UU Nomor 3 Tahun 2017. LN Tahun 2017 No. 102 TLN No. 6053.

 

Artikel

Agustian, Syailendra dan Indri Fogar Susilowati. “PELANGGARAN HAK CIPTA BUKU UNTUK KEPENTINGAN PENDIDIKAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA.” Novum: Jurnal Hukum. Vol. 6. No. 3 (2019). Hlm. 25-35.

Alauddin, Rusdin dan Dahlai Hasyim. “Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Pembajakan Buku: Tantangan dan Perkembangan.” Amanna Gappa. Vol. 31. No. 2 (2023). Hlm. 139-148.

Munirah. “Sistem Pendidikan di Indonesia: Antara Keinginan dan Realita.” Auladuna. Vol. 2. No. 2 (2015). Hlm. 233-245.

 

Tesis

Masitoh, Siti. “Proses Keputusan Pembelian Buku Bajakan pada Mahasiswa di Kota Surabaya.” Tesis Magister Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, 2020.

 

Internet

Amir. “PaperOne, Produk Kertas Berkualitas Ramah Lingkungan, Kini Rambah 110 Negara di Dunia.” BeritaKotaMakassar.com. 6 November 2023. Tersedia pada https://beritakotamakassar.com/berita/2023/11/06/paperone-produk-kertas-berkualitas-ramah-lingkungan-kini-rambah-110-negara-di-dunia/. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2024.

Anas, Khoerul dan Sitta Zukhrufa. “Tinggi, Penggandaan ‘Buku Ilegal’ di Perguruan Tinggi.” Parist.id. 12 Februari 2017. Tersedia pada https://www.parist.id/2017/02/tinggi-penggandaan-buku-ilegal-di.html. Diakses pada tanggal 23 Juni 2024.

Antara News. “Indonesia Teratas Dalam Daftar Pembajakan Hak Cipta di Asia.” AntaraNews.com. 25 Agustus 2010. Tersedia pada https://www.antaranews.com/berita/217697/indonesia-teratas-dalam-daftar-pembajakan-hak-cipta-di-asia. Diakses pada tanggal 20 Juli 2024.

Anwar, Laraswati Ariadne. “Peraturan Pemerintah Perbukuan Ditunggu Masyarakat,” Kompas.id, 9 Agustus 2019. Tersedia pada https://www.kompas.id/baca/humaniora/2019/08/09/peraturan-pemerintah-perbukuan-ditunggu-masyarakat/. Diakses pada tanggal 24 Juni 2024.

Besar. “Penggandaan Buku Menurut UU Hak Cipta dan Permasalahannya.” Binus.ac.id. 30 April 2016. Tersedia pada https://business-law.binus.ac.id/2016/04/30/penggandaan-buku-menurut-uu-hak-cipta-dan-permasalahannya/. Diakses pada tanggal 30 April 2024.

Deepublish. “Pembajakan Buku, Sanksi, Cara Penulis Mengatasinya.” Deepublish.com, 2 Mei 2023. Tersedia pada https://penerbitdeepublish.com/pembajakan-buku/. Diakses pada tanggal 1 Mei 2024.

Gracia. “Perlunya Studi Socio-Legal: Pendekatan Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial.” HeyLaw.id. 23 April 2023. Tersedia pada https://heylaw.id/blog/perlunya-studi-socio-legal, diakses pada tanggal 24 Juni 2024.

Rifda. “Apa Saja Perbedaan Hak Cipta, Hak Paten dan Hak Merek?” IZIN.co.id. 8 Desember 2022. Tersedia pada https://izin.co.id/indonesia-business-tips/2022/12/08/apa-saja-perbedaan-hak-cipta-hak-paten-dan-hak-merek/. Diakses pada tanggal 1 Mei 2024.

Sekretariat. “Pembajakan Buku Membunuh Kreativitas.” Ikatan Penerbit Indonesia, 20 Mei 2023. Tersedia pada https://www.ikapi.org/2023/05/20/pembajakan-buku-membunuh-kreativitas/. Diakses pada tanggal 1 Mei 2024.