Nama Jurnal : Hasanuddin Law Review
Pengarang : Febrian, Iza Rumesten, Nurhidayatuloh, dan Neisa Angrum Adisti
Tahun : 2022
Diulas Oleh : Samuel Gabriel Manurung
Pendahuluan
Demokrasi dalam pemilihan kepala daerah merupakan hal penting di Indonesia. Di Indonesia, demokrasi tersebut dilatarbelakangi tidak adanya keterlibatan rakyat dan pilihan bagi rakyat dalam pemilihan-pemilihan di masa orde baru karena kepala daerah dipilih oleh pemerintah pusat dan berdasarkan calon usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam demokrasi, rakyat harus diberikan pilihan dalam menentukan pemimpin atau wakil mereka. Perwujudan demokrasi tersebut dilakukan melalui pengadaan pemilihan dengan pasangan calon yang lebih dari satu yang dimulai dari Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2007 yang diikuti dua pasangan calon. Akan tetapi, kondisi demokrasi di Indonesia bisa dikatakan berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Hal itu disebabkan oleh meningkatnya jumlah calon tunggal pada pemilihan kepala daerah (walikota, bupati atau gubernur) di Indonesia. Fenomena calon tunggal ini terjadi secara tiba-tiba dan berpotensi memangkas hak untuk memilih dalam kehidupan bernegara di Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi. Tentunya hal ini merupakan kemunduran dalam demokrasi yang ada di Indonesia. Hal ini dikatakan sebagai kemunduran karena demokrasi seharusnya membuka peluang bagi banyak orang untuk bisa maju dan memberikan lebih banyak pilihan kepada masyarakat.
Fenomena ini dimulai pada tahun 2015. Dilihat dari jumlahnya, persentasenya terus meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi, walaupun dianggap sebagai kemunduran demokrasi, fenomena calon tunggal ini tidak melanggar peraturan yang ada di Indonesia, baik Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) atau Undang-Undang “(UU)”. Bahkan, terkait pemilihan dengan calon tunggal ini difasilitasi oleh beberapa aturan, yaitu UU Nomor 10 Tahun 2016 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2018. Hal itu menandakan hukum di Indonesia melegalkan peristiwa ini.
Berbagai alasan melatarbelakangi terjadinya fenomena calon tunggal ini, baik yang bersumber dari eksternal atau internal. Alasan-alasan yang bersumber dari eksternal artinya berasal dari luar diri calon. Contohnya antara lain adalah penghilangan salah satu pasangan calon dengan sengaja atau koalisi partai yang tidak memberikan pengganti kepada calonnya yang gagal maju. Sementara itu, faktor dari internal atau dari dalam diri yang berpengaruh adalah adanya calon yang meninggal dan ketidakmampuan untuk melengkapi syarat-syarat formil. Apabila dibiarkan, peristiwa ini akan memberikan dampak negatif ke pemerintahan, seperti korupsi dan penurunan kualitas pemerintah.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif. Terdapat dua jenis bahan dalam penelitian ini, yaitu bahan primer yang berupa Undang-Undang Nomor 10 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang Tahun 2016 dan Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon serta bahan sekunder (jurnal dan buku). Sementara itu, metode analisis yang digunakan dalam jurnal in adalah metode yuridis kualitatif.
Pembahasan
Fenomena calon tunggal melawan kotak kosong yang sekarang banyak terjadi bisa dikatakan sebagai konsekuensi dari demokrasi. Dalam hal ini, konsekuensi calon tunggal lebih mengarah ke arah yang buruk. Selain itu, akibat lainnya adalah masyarakat tidak diberikan banyak opsi memilih karena mereka bisa dibilang hanya bisa setuju (memilih calon) atau tidak setuju (kotak kosong). Ada juga beberapa hal yang menjadi faktor maraknya fenomena calon tunggal ini. Pertama adalah aturan-aturan yang ada. Aturan pertama adalah Pasal 40 UU No. 10 Tahun 2016 terkait minimal jumlah kursi DPRD koalisi partai pengusung di wilayah tempat pemilihan. Jumlah kursi DPRD ini membuat seorang calon harus menggunakan politik uang dan mempunyai ketenaran yang luas agar bisa maju.
Kedua adalah Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XII/2015 terkait keharusan untuk mengundurkan diri dari jabatan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), atau DPRD yang ingin maju di pemilihan kepala daerah. Resiko dari kekalahan dan tidak bisa kembali ke jabatan yang lama membuat orang yang sudah duduk di kursi perwakilan menjadi enggan untuk maju. Ketiga adalah Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XII/2015 yang ikut melancarkan fenomena ini.
Selain itu, ada juga faktor-faktor lain di luar regulasi yang ada. Pertama adalah mahalnya biaya pencalonan beserta proses-prosesnya. Hal ini akan memicu terjadinya politik uang dimana hanya orang-orang yang kaya yang bisa maju menjadi kepala daerah. Kedua adalah ketidakmampuan partai politik dalam menyediakan kader yang berkualitas dan berkecukupan serta meregenerasi partai. Ketidakmampuan itu membuat partai harus mengambil calon dari luar atau juga berkoalisi dengan partai lain walau tidak sesuai dengan visi dan misi mereka. Ketiga adalah terlalu banyak jumlah KTP (Kartu Tanda Penduduk) masyarakat pendukung di daerah pemilihan yang harus dikumpulkan yang membuat banyak pasangan calon tidak berhasil melewati tahap verifikasi berkas.
Faktor-faktor tersebut memicu berbagai dampak, yaitu terhadap demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan edukasi politik. Demokrasi yang ada seharusnya membuat setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk maju dan hak untuk memilih berbagai macam pilihan. Selain itu, demokrasi juga menginginkan partisipasi penuh rakyat dalam pemerintahan. Oleh karena itu, calon tunggal dalam pemilihan menghianati makna dan tujuan demokrasi karena masyarakat tidak bebas memilih dan minimnya kontestan dalam pemilihan.
Selain itu, calon tunggal juga menyebabkan pelanggaran HAM karena mempersempit kesempatan orang untuk bisa menaikan derajat mereka melalui pemilihan kepala daerah. Hal tersebut hampir sama dengan era orde baru karena hanya kaum militer yang bisa menjadi kepala daerah sehingga rakyat biasa diperkecil kesempatannya. Selain itu, melalui calon tunggal, tidak akan ada sesi debat atau juga kampanye yang masif sehingga pendidikan terkait politik akan semakin berkurang di masyarakat.
Penutup
Berdasarkan pemaparan diatas, diperoleh beberapa kesimpulan. Kesimpulan pertama adalah ada beberapa aturan di Indonesia yang menjadi pelumas dalam fenomena pemilihan kepala daerah calon tunggal sehingga fenomena adalah hal yang legal di Indonesia. Selanjutnya, diperoleh juga kesimpulan bahwa fenomena calon tunggal ini terjadi karena pengaruh dari sistem demokrasi dan sistem politik di Indonesia yang terlalu berat persyaratannya. Kesimpulan ketiga adalah pemilihan calon tunggal ini banyak berdampak negatif ke berbagai bidang, terutama bagi demokrasi yang perlahan-lahan menjadi mundur dan tidak sesuai makna serta tujuan aslinya lagi.
Catatan Kritis
Ditinjau dari aspek teoritis, isi pembahasan dari jurnal Phenomenon of the Increasing Single Candidates and Backsliding Democratic Values in Indonesia hasil karya Febrian, Iza Rumesten, Nurhidayatuloh dan Neisa Angrum Adisti sudah cukup rinci dan singkat dalam menjelaskan tema dan tujuan dari bahasan, yaitu alasan fenomena pemilihan dengan calon tunggal membuat demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran dan faktor-faktor yang berpengaruh dalam fenomena tersebut.
Ditinjau dari aspek metodologis, Penulis menerapkan metode yuridis normatif dalam pembuatan jurnal ini dengan sumber primer berupa perundang-undangan dan sumber sekunder berupa buku serta jurnal. Beberapa undang-undang yang menjadi landasan hukum terjadinya fenomena calon tunggal ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 beserta Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2018. Ada juga beberapa sumber buku dan jurnal yang menjadi referensi Penulis, seperti Hasanuddin Law Review, Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law), Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga: Suatu Pengantar, dan lainnya. Metode ini sudah tepat karena masalah yang dibahas memang berkaitan dengan peraturan-peraturan yang dijadikan sumber dan terlihat sumber masalah melalui peraturan yang dibawa. Selain itu, melalui metode ini, rumusan masalah yang ada juga dapat terjawab.
Ditinjau dari hasil penelitian, terkait tujuan pembahasan tentang hubungan fenomena calon tunggal di pemilihan kepala daerah dengan penurunan nilai demokrasi sudah jelas penjabarannya dan sesuai dengan tujuan bahasan. Melalui jurnal ini, dapat dimengerti pemilihan dengan calon tunggal akan menghilangkan kesempatan orang untuk maju dan mempersempit hak memilih masyarakat yang merupakan kebalikan dari demokrasi. Hasil penelitian juga telah berhasil menjelaskan berbagai sebab dan akibat dari terjadinya fenomena pemilihan dengan calon tunggal. Akan tetapi, jurnal ini kurang rinci dalam menjelaskan alasan PKPU Nomor 13 Tahun 2018 yang menjadi salah satu sumber primer dalam jurnal ini. Seharusnya, semua sumber primer yang merupakan acuan utama dalam jurnal dijelaskan keterkaitannya dengan topik bahasan agar pembaca bisa tahu alasan peraturan tersebut dijadikan sumber primer.