Oleh: Muhammad Hifdzi Maulana
Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI
Arus peradaban umat manusia selalu membawa peran serta konsekuensi baru bagi kehidupan. Tantangan besar yang sedang terjadi di depan mata adalah penetrasi teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) ke dalam kehidupan manusia. Penciptaan teknologi Artificial Intelligence (AI) ditujukan untuk membantu manusia meningkatkan efektivitas, ketepatan, dan skalabilitas dalam menyelesaikan pekerjaan. Dilihat dari karya yang dihasilkan, AI justru semakin mengaburkan perbedaan karakter alamiah manusia dengan mesin yang dijadikan alat substitusi. Di sisi lain, penciptaan AI ini menimbulkan persinggungan-persinggungan baru terutama pada bidang ilmu ekonomi, hukum, dan moralitas. Salah satunya adalah di bidang Hak Kekayaan Intelektual berupa Hak Cipta.
Artificial Intelligence yang berarti kecerdasan buatan memiliki makna bahwa pemahaman yang dimiliki AI dibuat hanya dari dari sesuatu yang sudah ditentukan sebelumnya. Model AI dibuat dengan melatih suatu algoritma terhadap data sampel yang kemudian disebut data latih untuk mengabstraksi pola, hubungan, dan pemahaman tentang sebuah hal. Misalnya untuk dapat menghasilkan puisi dengan gaya tertentu, model AI dilatih dengan puluhan hingga ratusan ribu puisi karya berbagai penyair yang memiliki gaya berbeda-beda. Sehingga apa yang dihasilkan oleh AI merupakan ekstrak dari sekian banyak data latih.
Pada tahun 2021, Microsoft melalui anak perusahaannya Github, yakni layanan sistem informasi yang menyediakan penyimpanan program perangkat lunak, meluncurkan program komputer AI berbayar bernama Copilot. Model dari Copilot sendiri diperuntukkan sebagai asisten yang dapat menyelesaikan barisan kode program dalam pengembangan perangkat lunak berdasarkan prediksi yang dibuatnya. Contoh sederhananya dapat terlihat ketika seseorang mengetik “Gejal…”, maka program Copilot akan melengkapinya dengan hasil yang memiliki posibilitas tertinggi untuk dituliskan, misalnya “Gejala Varian Baru Covid-19”. Untuk menghasilkan prediksi seperti ini, diperlukan serangkaian data latih berupa puluhan miliar baris kode dari perangkat lunak untuk “bahan baku” analisis pola pemodelan AI. Letak permasalahannya adalah Copilot menghimpun data latih yang bersumber dari program perangkat lunak milik pengguna Github yang disimpan di dalamnya.
Diketahui bahwa sebagian besar program perangkat lunak milik pengguna Github setidak-tidaknya berlisensi free & open source software (FOSS) licenses. Dengan begitu, program perangkat lunak tersebut secara otomatis terlindungi oleh Hak Cipta dan menjadi objek properti intelektual milik pengembang yang dilindungi hukum atas segala hak eksklusif terhadapnya. Alasan mendasar para pengembang perangkat lunak menggunakan lisensi open-source adalah penerbitannya bebas biaya. Selain itu, lisensi open-source mengizinkan berbagai pihak untuk turut berkontribusi pada objek perangkat lunak sehingga mendorong pengembangan yang masif serta sebagai upaya untuk meliberalisasi teknologi kepada semua golongan. Terdapat berbagai lisensi FOSS yang populer digunakan, seperti MIT License, Apache License, dan GNU License. Lisensi-lisensi tersebut memiliki ketentuan khusus dalam hal redistribusi perangkat lunak, yaitu tidak boleh untuk dikomersilkan namun boleh untuk mengatribusikan identitas pengembang. Lalu, berkenaan dengan pembuatan aplikasi derivatif dari perangkat lunak yang digunakan, haruslah bersifat free & open-source dan menggunakan lisensi yang sama seperti perangkat lunak originalnya. Atas dasar mekanisme pembuatan model AI milik Copilot yang telah dijelaskan, Copilot seharusnya dianggap sebagai aplikasi derivatif dari berbagai perangkat lunak yang berada di bawah lisensi FOSS.
Pada tahun 2022, 5 orang pengembang yang menyimpan program perangkat lunaknya di Github mengajukan gugatan class-action kepada US District Court di California secara anonim melawan Github sebagai induk perusahaan Copilot. Dalam gugatannya, mereka mendalilkan 12 tuntutan kepada Github, utamanya mengenai pelanggaran hak cipta berdasarkan Digital Millennium Copyright Act (DMCA) & Copyright Act serta pembangkangan terhadap klausul di dalam lisensi FOSS. Tetapi pada akhirnya hakim menolak gugatan yang diajukan karena gagal membuktikan adanya kesamaan letterlijk antara baris kode perangkat lunak milik pengembang dengan output dari Copilot, yang mana sebenarnya hanya berbeda tipis secara semantik tanpa mengubah proses algoritmanya. Alasan lainnya juga didasarkan pada Terms of Service Github yang membenarkan tindakan mereproduksi dengan tujuan komersial perangkat lunak milik pengembang yang disimpan di Github, namun hal ini tentunya menimbulkan masalah lain yaitu adanya pertentangan antara suatu perjanjian Terms of Service dengan perjanjian lain berupa lisensi FOSS. Secara singkat, kasus ini berfokus pada apakah pemanfaatan baris kode di perangkat lunak open-source untuk melatih Code-Generative AI, spesifiknya Copilot, merupakan pelanggaran hak cipta atau lisensi.
Fokus utama dari tulisan ini terletak pada legalitas pengumpulan data latih oleh perusahaan Code-Generative AI secara general. Dalam pembahasan mengenai hal tersebut, terdapat dua rumusan permasalahan hukum yang timbul. Di antaranya adalah potensi pelanggaran Hak Cipta pada data latih yang dihimpun jika dibandingkan dengan output AI yang dimodifikasi secara semantik; serta potensi pertentangan klausul di dalam lisensi FOSS dengan Terms of Service pada layanan semacam Github. Pembahasan regulasi dalam keseluruhan tulisan berdasar pada pengandaian jika kasus sedemikian rupa terjadi di Indonesia dan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sebab belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesifik mengenai teknologi AI, penulis berusaha menggunakan pendekatan ekstensif dari sudut pandang Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) sebagai pisau analisis.
Keberadaan hak kekayaan intelektual berangkat dari pemahaman teologi yang menyatakan bahwa manusia lahir dibekali oleh Tuhan dengan akal budi serta kreativitas yang sangat beragam. Karya cipta yang dibuatnya adalah sebagai perwujudan eksistensi diri dan pemikiran di tengah-tengah kehidupan sosial. Berdasarkan hal tersebut, hubungan antara pencipta dengan karya ciptaannya tidak dapat dipisahkan karena terkandung sebagian dari identitas diri berupa intelektualitas, sehingga atas karyanya, perlu dilindungi hukum agar tidak diusik oleh karya manusia lainnya. Jika diterjemahkan secara leksikal, Intellectual Property Rights yang asalnya dari berbagai konvensi internasional memiliki arti berupa “hak milik intelektual”. Terjemahan tersebut kurang tepat karena tidak selamanya Intellectual Property Rights merupakan hak milik, masih terdapat hak selain itu seperti hak sewa ataupun hak untuk memperbanyak. Dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Tahun 2000 mengakibatkan munculnya suatu nomenklatur yang baku untuk mendefinisikan Intellectual Property Rights sehingga kerap disebut sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Berne Convention Tahun 1971 menyatakan perbedaan batas ruang lingkup Hak Cipta berupa karya sastra (literary) dan seni (artistic), termasuk karya saintifik yang dilihat dari wujudnya sebagai karya sastra. Pembedaan ini berpengaruh pada cara pengekspresian ide mengenai suatu ciptaan. Secara konseptual, Hak Cipta bukan bertujuan untuk melindungi ide, namun hasil ciptaan konkret yang sudah diekspresikan. Karya sastra diekspresikan dengan rupa tulisan yang selanjutnya dipublikasi, sedangkan karya seni dianggap sudah memenuhi bentuk konkret apabila setidaknya sudah terdapat garis dan warna. Mengenai bentuk dari program perangkat lunak komputer, untuk dapat dikategorikan ke dalam ruang lingkup Hak Cipta, menurut Berne Convention perlu adanya kejelasan apakah termasuk ke dalam karya sastra (literary) atau karya seni (artistic). Selanjutnya dalam WIPO Copyright Treaty 1996 di bawah Berne Convention, disetujui untuk memperluas subjek yang dilindungi Hak Cipta berupa program komputer terlepas dari apapun bentuknya, dan juga kompilasi data atau database.
Untuk membahas output barisan kode yang dihasilkan oleh Code-Generative AI sebagai suatu objek ciptaan dalam rezim Hak Cipta, perlu dilakukan kajian secara doktrinal pada syarat substantif Hak Cipta berupa originalitas dan fiksasi. Berne Convention sendiri tidak memberikan panduan terkait definisi originalitas dalam suatu ciptaan, tetapi secara tersirat mewajibkan suatu ciptaan untuk mengandung kreativitas penciptanya. Pasal 7 UU Hak Cipta menjelaskan bahwa pencipta dapat memiliki informasi manajemen yang mengandung sistem untuk membuktikan unsur originalitas substansi dari suatu ciptaan dalam rangka untuk melindungi hak moral yang dimiliki oleh pencipta. Pengertian originalitas ditegaskan dalam makna Pasal 1 angka 2 UU Hak Cipta bahwa unsur originalitas dari suatu ciptaan harus terdapat proses dan metode kreatif berdasarkan intelektual pencipta dalam pembentukan ciptaan.
Sebagaimana pula jika melihat pada pengaturan di negara civil law lainnya, prinsip author’s own intellectual creation yang lebih menekankan pada hak moral dari penciptanya juga jamak diterapkan. Secara garis besar, Jerman dan Italia mensyaratkan suatu kesan personal pada ciptaan yang dapat dipenuhi apabila sang pencipta melakukan penciptaan karya secara independen dalam prosesnya (independent effort). Selanjutnya Prancis, dilihat dari yurisprudensi pengadilan, pemaknaan terhadap originalitas pada suatu ciptaan juga kurang lebih sama dengan negara civil law pada umumnya. Tetapi seiring berkembangnya zaman, French Supreme Court (Cour de Cassation) berupaya menerapkan unsur originalitas terhadap ciptaan berupa perangkat lunak komputer. Hal tersebut dilakukan dengan tidak membatasi unsur originalitas hanya terpaku pada kesan personal pencipta dalam ciptaan perangkat lunak komputer, tetapi kontribusi intelektual serta usaha oleh pencipta.
Pengaturan mengenai originalitas ciptaan dalam negara common law seperti Amerika Serikat, Britania Raya, Canada, dan Australia memiliki preskripsi tambahan yang sedikit berbeda dengan negara-negara Eropa. Dalam yurisprudensi Amerika Serikat terkait kasus merek dagang, syarat dari unsur originalitas bukan hanya tentang independent effort saja, tetapi juga percikan kreativitas (modicum of creativity). Pandangan tersebut datang dari proses generalisir terhadap mayoritas ciptaan yang telah dilindungi hak cipta, ditemukan bahwa mayoritas ciptaan tersebut memiliki karakteristik karya kreatif.
Berhubungan dengan apakah output Code-Generative AI merupakan karya derivatif dari pemilik perangkat lunak yang digunakan sebagai data latih, perlu dinilai dari keberadaan syarat independent effort dalam proses pembuatannya sesuai dengan apa yang menjadi definisi implisit dari Pasal 1 angka 2 UU Hak Cipta. Sesuai yang telah diketahui, algoritma dari Code-Generative AI memanfaatkan perangkat lunak yang berisi barisan kode sebagai sarana melatih pola pemodelan AI. Selanjutnya, untuk memberikan output, AI memerlukan suatu input parameter dari pengguna berupa barisan kode yang sedang diketik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan kemampuan AI saat ini, untuk menghasilkan suatu output yang abstrak dan berdaya cipta masih sangat terbatas. Selain itu, proses yang dijalankan juga tidak akan bisa sempurna tanpa intervensi manusia. Oleh karenanya, keberadaan syarat independent effort dalam unsur originalitas pada output dari Code-Generative AI tidak bisa sepenuhnya dibuktikan.
Dalam kerangka hukum nasional, pengaturan mengenai Hak Cipta yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 memiliki beberapa kesamaan prinsip dasar dengan Berne Convention karena memang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1997. Salah satu contohnya adalah prinsip perlindungan otomatis berdasarkan deklarasi, Hak Cipta muncul secara langsung sesaat setelah suatu gagasan diwujudkan menjadi bentuk nyata dan diumumkan kepada publik. Ukuran ‘nyata’ yang dimaksud adalah bahwa sebuah gagasan sudah berupa ciptaan nyata yang dapat diindera oleh manusia atau dapat dikomunikasikan, tujuannya adalah memberi bentuk definitif pada suatu karya sehingga dapat memperoleh hak ekonomi dalam hak cipta berupa memperbanyak karya ciptaan.
Lalu mengenai program perangkat lunak yang menjadi objek dari permasalahan perlindungan hak cipta ini, apakah dapat dikategorikan sebagai suatu ciptaan yang sudah berbentuk nyata? Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta sudah secara preskriptif melindungi program komputer. Maka darinya, sudah jelas bahwa karya berupa perangkat lunak berisi barisan kode yang dihimpun sebagai data latih dalam pembentukan algoritma AI merupakan objek ciptaan yang nyata. Meski demikian, penjelasan tentang fiksasi bentuk nyata dari suatu ciptaan dalam Pasal 1 angka 13 UU Hak Cipta hanya melingkupi karya visual dan audio saja. Tentu hal ini menjadi kelemahan dari UU Hak Cipta, bagaimana jika terdapat ciptaan selain berbentuk audio atau visual dan di luar dari apa yang disebutkan pada Pasal 40 ayat (1)? Ketiadaan fiksasi bentuk materiil bagi suatu ciptaan berbentuk demikian berpotensi meninggalkan lubang kepastian hukum.
Tidak terdapat definisi literal mengenai karya derivatif dalam UU Hak Cipta, tetapi dengan Pasal 40 ayat (1) huruf n, bisa dianggap bahwa karya derivatif merupakan adaptasi ataupun modifikasi suatu karya lain yang dihasilkan dengan transformasi. Namun bagaimana modifikasi yang dimaksud sehingga suatu ciptaan dapat dikategorikan sebagai karya derivatif?
Sebelumnya, pada contoh kasus Copilot, hakim menolak permohonan penggugat atas pertimbangan bahwa output yang diproduksi oleh Copilot tidak memiliki kesamaan mutlak dengan data latih yang dihimpun. Memang, modifikasi yang dilakukan oleh entitas AI kurang lebihnya sebanding, atau bahkan sama seperti seseorang menciptakan karya yang terinspirasi dan terpengaruh atas karya ciptaan orang lain dengan berbagai cara. Inilah yang mungkin disebut sebagai general osmosis dari buah kreativitas melalui ruang dan waktu yang disebut dalam idiom Isaac Newton yang berbunyi “We stand on the shoulder of giants.”
Hegel mengemukakan teori yang menunjukkan suatu praktik dalam kehidupan masyarakat di negara modern. Teorinya berjudul Philosophy of Rights menekankan hubungan antara personalitas pencipta dengan properti intelektual. Menurutnya, kemerdekaan dan kehendak pribadi seseorang harus dijelmakan terlebih dahulu dalam suatu ciptaan lingkup eksternal yang terpisah dari diri pencipta untuk memperoleh hak intelektual. Bisa disimpulkan bahwa penciptaan hak intelektual atas suatu ciptaan sangat berpusat pada personalitas dari pencipta. Konsekuensi logis dari teori Hegel ini adalah orang lain yang membuat suatu karya yang terinspirasi dari suatu ciptaan lain, selama masih merefleksikan personalitas dan kehendaknya, masih dapat dianggap memiliki hak intelektual atas ciptaannya tersebut.
Lalu apa bedanya dengan Code-Generative AI yang juga memanfaatkan ciptaan orang lain sebagai referensi/inspirasi untuk menghasilkan output yang dimodifikasi? Menurut penulis, terdapat perbedaan pada kesengajaan Code-Generative AI untuk membuat basis data berisi barisan kode yang dihimpun, dari mekanisme pemodelan, dapat disimpulkan bahwa AI hanya menghasilkan output terbatas pada apa yang telah dipelajarinya sesuai dengan apa yang ada pada data latih tersebut. Kembali pada teori originalitas, alasan di atas memperjelas bahwa dalam proses penghimpunan data latih dan pemodelan algoritma Code-Generative AI, tidak ditemukan sentuhan personal maupun kreativitas sehingga modifikasi output nya, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai ciptaan baru yang berdiri sendiri dan dilindungi hak cipta.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Code-Generative AI dapat dikategorikan sebagai karya derivatif dari jutaan atau bahkan milyaran baris kode yang ada pada perangkat lunak berlisensi FOSS milik banyak orang. Dengan begitu, klausul dalam FOSS berupa larangan untuk komersialisasi segala bentuk karya derivatif dan juga kewajiban untuk membuatnya bersifat open-source sudah secara mutlak dilanggar oleh Code-Generative AI.
Lain halnya terjadi apabila perangkat lunak milik orang lain yang menjadi objek penghimpunan data latih oleh Code-Generative AI tidak berlisensi FOSS. Bisa jadi hal tersebut tidak akan menjadi masalah jika memang output yang dihasilkan tidak secara letterlijk sama persis dan mengalami transformasi. Namun, terdapat situasi lain yang membuat keberlakuan hukum menjadi berbeda. Misalnya, berdasarkan survei internal yang dilakukan oleh induk perusahaan Copilot, yaitu Github, terdapat kemungkinan sebesar 1% untuk Copilot menghasilkan output yang sama persis secara semantik dengan data latih yang dihimpun. Pada kasus semacam itu, jelas terjadi pelanggaran pada Hak Cipta yang dimiliki oleh pencipta perangkat lunak yang telah dijadikan data latih. Tetapi pada contoh kasus Copilot, meski terbukti terjadi kesamaan output dengan data latih, penggugat kesulitan untuk mengatribusikan secara tepat perangkat lunak mana dan milik siapa yang telah dilanggar Hak Ciptanya sehingga hakim tetap teguh berdiri pada keputusannya.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa berdasarkan teori originalitas dan teori Philosophy of Rights yang dikemukakan Hegel, Generative-Code AI termasuk seperti Copilot adalah karya derivatif dari perangkat lunak yang berlisensi FOSS. Diketahui juga bahwa terdapat klausul dari lisensi FOSS yang dilanggar, tetapi kembali pada kasus awal, pencipta perangkat lunak yang menggunakan jasa layanan penyimpanan seperti di Github telah menyetujui Terms of Service yang memperbolehkan pihak penyedia layanan untuk mereproduksi perangkat lunak milik pencipta untuk tujuan komersial. Bisa dipahami bahwa lisensi FOSS yang melekat pada perangkat lunak milik pencipta saling bertentangan dengan Terms of Service yang telah disetujui pencipta. Lalu bagaimana kedudukan masalah ini jika dilihat dari hukum perikatan?
Lisensi merupakan perjanjian yang terjadi antara dua pihak, yakni pemberi lisensi (licensor) dan juga penerima lisensi (licensee), tujuannya adalah untuk memberikan izin penggunaan, penggandaan, pengubahan karya licensor pada kondisi tertentu. Lalu, secara harfiah, Terms of Service memiliki arti sebagai ketentuan layanan. Umumnya, Terms of Service terdapat pada saat pengguna membuat akun pada layanan digital dan menjadi syarat yang harus disetujui.Sehingga jika merujuk pada Pasal 1313 KUHPerdata, perbuatan mengikatkan diri dengan penyedia layanan dalam suatu ketentuan layanan dapat digolongkan sebagai bentuk perjanjian.
Setelah sama-sama disimpulkan bahwa lisensi FOSS & Terms of Service merupakan bentuk dari perjanjian, dapat diterapkan suatu asas hukum perdata yang disebut ‘Pacta sunt servanda.’ Asas yang tercermin pada Pasal 1338 KUHPerdata ini bermaksud untuk menyatakan bahwa segala perjanjian yang sah memiliki sifat mengikat pada pihak bersangkutan sama seperti undang-undang. Berkenaan dengan asas ini, secara hierarki piramida peraturan perundang-undangan, kekuatan mengikat lisensi FOSS & Terms of Service berlaku setara bagaikan undang-undang.
Dari sini dapat ditentukan manakah perjanjian yang mengungguli perjanjian lainnya. Sedari jauh hari, ahli hukum sudah memikirkan bagaimana mengatasi pertentangan peraturan perundang-undangan. Pada kasus ini, karena kedua perjanjian memiliki kedudukan yang sama sebagai undang-undang dan mengatur hal yang sama pula, maka dapat digunakan asas ‘Lex posteriori derogat legi priori.’ Secara sederhana, memiliki arti bahwa peraturan yang lebih baru mengatasi atau mengungguli peraturan yang lebih lama. Jika diurutkan secara kronologis, pencipta pasti terlebih dahulu membuat akun di layanan penyimpanan perangkat lunak dan menyetujui Terms of Service, barulah setelah itu dapat menyimpan perangkat lunaknya dan memilih lisensi dari yang disediakan oleh penyedia layanan. Dengan begitu, maka kekuatan dari lisensi FOSS mengungguli Terms of Service meski saling bertentangan.
Code-Generative AI yang dibentuk dengan memanfaatkan data latih berupa perangkat lunak ciptaan orang lain merupakan karya derivatif darinya. Oleh karena itu, seharusnya berkenaan dengan redistribusi, reproduksi, dan penggunaan karya harus sesuai dengan lisensi yang melindungi. Penghimpunan data latih tidak menjadi permasalahan Hak Cipta jika dilakukan terhadap ciptaan berupa perangkat lunak yang tidak memiliki lisensi dan pengembangnya telah menyetujui Terms of Service mengenai komersialisasi karya. Dalam kasus berupa output dari Code-Generative AI yang dihasilkan sama persis dengan data latih, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Cipta selama dapat dibuktikan secara pasti mengenai terhadap karya apa dan milik siapa. Pertentangan antara lisensi FOSS dan Terms of Service layanan penyedia jasa penyimpanan bisa diselesaikan dengan tafsir ekstensif dari hukum perikatan. Secara hierarkis, lisensi FOSS memiliki kekuatan yang lebih tinggi daripada Terms of Service yang telah terlebih dahulu disetujui.
Dari penjabaran masalah dalam tulisan ini, dapat diperoleh sedikit petunjuk bahwa perlu adanya instrumen hukum Hak Cipta di Indonesia yang mengatur secara spesifik permasalahan modern. Di luar hal ini, masyarakat umum juga perlu untuk lebih taat terhadap ketentuan dalam lisensi yang secara hukum mengikat bagi pihak bersangkutan. Pengembangan hukum diperlukan supaya tercipta ruang kreativitas masyarakat yang etis dan bertanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijke Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.
Undang-Undang Tentang Hak Cipta, UU Nomor 28 Tahun 2014, LN Tahun 2014. No. 266 TLN No. 5599.
Perjanjian Internasional
World Intellectual Property Organization. “Guide to the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works.” Paris Act, 1971.
Skripsi
Adilanang, Nicholas Glenn Dimas. “Analisis Hak Cipta dari Artificial Intelligence-Generated Works dalam Bentuk Text-to-Images Art dalam Hukum Hak Cipta Indonesia.” (Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2022).
Buku
Saidin, H. OK. Aspek Hukum Kekayaan Intelektual. Ed. Revisi. Cet. 9, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015).
Putusan Pengadilan
United States District Court Northern District of California. Order Denying Motion for Reconsideration. Case No. 22-cv-06823-JST, J. DOE 1, et al., Plaintiffs, v. GITHUB, INC., et al., Defendants.
United States Supreme Court. Feist Publications, Inc., v Rural Telephone Service Company, Inc. 499 U.S. 340, 111 S.Ct. 1282, 113 L.Ed.2d 358.
Artikel Internet
Akash1134. Jawaban untuk “License for Copilot Generated Code.” 7 Juli 2023. Tersedia pada https://github.com/orgs/community/discussions/60304. Diakses pada tanggal 1 Juni 2024.
Jandhyala, Srikanth, Jinwoo Kim dan Arpita Bhattacharyya. “Copyrights, Professional Perspective – IP Issues with AI Code Generators.” Bloomberg Law. Tersedia pada https://www.bloomberglaw.com/external/document/X4H9CFB4000000/copyrights-professional-perspective-ip-issues-with-ai-code-gener. Diakses pada tanggal 1 Juni 2024.
Rothchild, John A. dan Daniel H. Rothchild. “Copyright Implications of the Use of Code Repositories to Train a Machine Learning Model.” Free Software Foundation Community Whitepapers on Copilot. Februari 2022. Tersedia pada https://static.fsf.org/nosvn/copilot/Copyright-Implications-of-the-Use-of-Code-Repositories-to-Train-a-Machine-Learning-Model.pdf. Diakses pada tanggal 1 Juni 2024.
Yang, Ming-Tao, et al. “ Insights from the Pending Copilot Class Action Lawsuit.” Finnegan. Tersedia pada https://www.finnegan.com/en/insights/articles/insights-from-the-pending-copilot-class-action-lawsuit.html. Diakses pada tanggal 1 Juni 2024.
Artikel Ilmiah
Arthur, Chris. “Personality and the Dialectic of Labour and Property – Locke, Hegel, Marx.” Radical Philosophy 026. (1980). Hlm. 3-15.
Gervais, Daniel J. “AI Derivatives: The Application to the Derivative Work Right to Literary and Artistic Productions of AI Machines.” 53 Seton Hall Law Review. (2022). Hlm. 1-30.
Gumanti, Retna. “Perjanjian Lisensi di Indonesia.” Jurnal Al-Mizan. Vol. 12. No. 1 (2016). Hlm. 245-260.
Nainggolan, Samuel D.P., Ni Made Y.A. Astiti dan Diajeng Woro Andini. “Copyright dan Right To Copy (Pemahaman Dasar Hak Cipta dan Hak yang Terkait dengan Hak Cipta dalam Bidang Hak Kekayaan Intelektual).” Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat. Vol. 20. No. 2 (2022). Hlm. 1-14.
Sari, Pratiwi Eka. “Kebutuhan Perluasan Doktrin Orisinalitas dan Fiksasi dalam Undang-Undang Hak Cipta sebagai Perlindungan Kreativitas Anak Bangsa.” Dharmasisya: Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Indonesia, Vol. 1. No. 1 (2021). Hlm. 444 – 458.
Yanto, Oksidelfa. “Konvensi Bern dan Perlindungan Hak Cipta.” Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan. Vol. 6. No. 1 (2016). Hlm. 108-122.