PELANGGARAN HAK ANAK: PUBLIKASI IDENTITAS ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM OLEH PERS

Oleh: Nafja Livia Avissa
Staf Bidang Literasi dan Penulisan

Kasus pelanggaran hak anak mencakup pelanggaran terhadap pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak.[1] Berdasarkan data dari Databoks yang diperoleh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (“KPAI”), kasus pelanggaran hak anak menurun sebanyak 566 kasus pada tahun 2021.[2] Pada tahun 2021, sebanyak 5.953 kasus pelanggaran hak anak dilaporkan kepada KPAI, dimana angka ini mengalami penurunan dibandingkan dengan 6.519 kasus pelanggaran hak anak pada tahun 2020.[3] Penurunan kasus pelanggaran hak anak dipengaruhi oleh komitmen stakeholder mengenai perlindungan anak, keterlibatan masyarakat, dan kesadaran masyarakat mengenai perlindungan anak yang menjadi indikator kemajuan perlindungan anak. Namun, pencapaian ini sepertinya harus ternodai dengan adanya pelanggaran hak anak pada kasus AG.

Munculnya kasus penganiayaan CDO (17) oleh MDS yang menyeret AG (15) sebagai Anak yang Berhadapan dengan Hukum (“ABH”) menjadi berita yang menyebar dengan cepat di platform digital seperti sosial media. Status AG sebagai ABH meningkat menjadi anak yang berkonflik dengan hukum dengan ditemukannya fakta-fakta dan alat bukti yang cukup setelah dilakukannya mekanisme gelar perkara oleh kepolisian.[4] Pada Senin, 10 April 2023, Pengadilan Negeri (“PN”) Jakarta Selatan resmi menjatuhkan vonis pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak terhadap AG.[5]  AG dinyatakan melanggar Pasal 355 Ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.[6] Vonis tersebut dinyatakan melalui putusan PN Jakarta Selatan oleh oleh hakim tunggal, Sri Wahyuni Batubara. Putusan PN Jakarta Selatan pun diperkuat dengan adanya hasil banding kasus AG oleh putusan Pengadilan Tinggi (“PT”) DKI Jakarta dengan vonis pidana penjara selama  3 tahun 6 bulan atas kasus penganiayaan terhadap CDO pada kamis, 27 April, 2023.[7] Sayangnya, penjatuhan pidana terhadap AG menimbulkan beberapa isu terkait pelanggaran hak anak yang seharusnya dilindungi dalam sistem peradilan pidana anak.

Isu pertama berkaitan dengan publikasi identitas pelaku tindak pidana anak yaitu AG yang menyalahi aturan mengenai kerahasian identitas anak pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”). Disebutkan bahwa identitas anak pada sistem peradilan pidana anak dilarang untuk dipublikasi.[8] Isu Kedua berkaitan dengan pemberitaan mengenai pembacaan pertimbangan hakim berkaitan dengan riwayat seksual AG yang diangkat sebagai berita dengan narasi yang menstigma tanpa upaya merahasiakan identitas anak tersebut oleh beberapa media pers.[9] Namun, media seakan tak mengindahkan hal ini dengan beredarnya identitas AG berupa nama lengkap serta foto AG dan informasi pribadi AG yang tersebar di media sosial. Hal ini jelas menyalahi hak anak untuk mendapatkan perlindungan khusus anak sebagai anak yang berkonflik dengan hukum pada sistem peradilan pidana anak.

Setiap anak berhak untuk mendapat perlindungan khusus anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Titi Eko Rahayu, Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (“Kementerian PPPA”) yang mengatakan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan yang berasaskan non diskriminasi.[10] Argumen ini dikuatkan dengan hak anak yang diatur dalam konstitusi Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) pada pasal 28B ayat (2) dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Konvensi Hak-Hak Anak. Frasa setiap anak yang dimaksud mencakup semua anak termasuk ABH. Sebagaimana yang tercantum dalam UU SPPA, ABH merupakan anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana (anak korban), dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (anak saksi).[11] Lebih lanjut, anak yang berkonflik dengan hukum merupakan anak yang melakukan tindak pidana dengan umur 12-18 tahun.[12] Oleh karena pelaku tindak pidana dikategorikan sebagai anak berumur kurang dari 18 tahun, maka peradilan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum wajib merujuk pada UU SPPA. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi harkat dan martabat anak sehingga anak mendapatkan perlindungan hukum dalam sistem peradilan.

Identitas AG yang dipublikasi oleh pers hingga tersebar dengan cepat di media sosial merupakan salah satu contoh dari pelanggaran hak anak dalam mendapatkan perlindungan khusus anak. Meskipun AG terbukti bersalah dalam hasil putusan PN Jakarta Selatan dan PT DKI Jakarta, AG tetaplah seorang anak yang memiliki hak untuk mendapat perlindungan khusus anak dalam proses peradilan. Perlindungan ini tidak hanya diperoleh saat proses peradilan berlangsung, tetapi juga sebelum dan setelah proses peradilan. Peraturan perundang-undangan Indonesia pun telah mengatur mengenai hak anak sebagai pelaku tindak pidana dalam UU SPPA sehingga setiap orang dapat mematuhi UU tersebut sebagaimana asas fiksi hukum (presumptio iures de iure) berlaku.

Pada Pasal 3 UU SPPA, telah diatur mengenai hak anak yang diperoleh selama proses peradilan pidana. Berdasarkan pasal tersebut, terdapat 16 hak anak selama proses peradilan pidana anak dan salah satunya berupa perlindungan terhadap identitas anak.[13] ABH dan/atau anak yang berkonflik dengan hukum mempunyai hak untuk tidak dipublikasikan identitasnya. Berkaitan dengan perintah kerahasiaan identitas ABH, maka terdapat pasal yang secara spesifik memuat aturan tersebut yaitu Pasal 19 UU SPPA. Pada Pasal 19 Ayat (1) UU SPPA, diuraikan mengenai kategori anak yang harus dirahasiakan identitasnya untuk publikasi yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak saksi, dan anak korban.[14] Selanjutnya, terdapat penjelasan mengenai identitas dalam Pasal 19 ayat (1) UU SPPA yang dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 19 Ayat (2) UU SPPA. Identitas dalam Pasal 19 Ayat (1) mencakup pada nama, wajah, alamat, nama orang tua dari ABH dan/atau anak yang berkonflik dengan hukum dan hal lain yang menyebabkan jati diri ABH dan/anak yang berkonflik dengan hukum terbongkar.[15]

Berdasarkan Kementerian PPPA, terdapat pengecualian bagi kerahasiaan identitas anak yang dapat dipublikasi pada media massa yaitu inisial nama. Publikasi inisial nama boleh dilakukan oleh media massa tanpa gambar seperti yang tertera pada Pasal 61 Ayat (2) UU SPPA.[16] Hal ini berfungsi sebagai pembeda antara satu anak dan anak lainnya sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan keambiguan anak mana yang dimaksud. Kerahasiaan terhadap identitas anak dalam publikasi diatur juga dalam UU SPPA yaitu pada Pasal 97. Pada pasal tersebut menjelaskan bahwa pelanggaran terhadap kerahasiaan identitas anak yang dipublikasi dapat dikenakan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).[17] Pelanggaran hak anak dengan disebarkannya identitas anak yang berkonflik dengan hukum melanggar Pasal 19 Ayat (1) UU SPPA sehingga dapat dijatuhi pidana jika merujuk pada Pasal 97 UU SPPA. Selain diatur dalam UU SPPA, perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”) meskipun tidak diatur secara eksplisit.

UU Pers tidak hanya memberikan perlindungan terhadap wartawan, tetapi juga melindungi subjek dan objek pemberitaan, beberapa di antaranya yaitu pelaku tindak pidana dan ABH.[18] Oleh karena itu, pada Pasal 5 Ayat (1) UU Pers disebutkan kewajiban pers untuk menghormati norma agama dan kesusilaan serta berdasarkan asas praduga tak bersalah dalam menyampaikan berita.[19] Asas praduga tak bersalah merupakan doktrin untuk melindungi Hak Asasi Manusia (“HAM”) tersangka atau terdakwa sehingga dapat menjalani perkara secara tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bersalah.[20] Putusan pengadilan berkekuatan tetap, jika tidak ada upaya hukum yang dilakukan terhadap putusan tingkat pertama dan tingkat banding atau merupakan putusan tingkat kasasi.[21] Pers dianggap melanggar asas praduga tak bersalah jika isi dari berita yang dibawakan bersifat menghakimi seseorang dan melanggar Kode Etik Jurnalistik.[22] Pelanggaran terhadap Pasal 5 Ayat (1) dapat dikenakan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) jika merujuk pada Pasal 18 Ayat (2) UU Pers.[23] Regulasi mengenai kerahasiaan identitas anak yang berkonflik dengan hukum secara eksplisit selanjutnya tertera pada Kode Etik Jurnalistik yang mana pada UU Pers baru tertera mengenai Kode Etik Jurnalistik secara jelas, tetapi belum spesifik.

Kode Etik Jurnalistik tertera dengan jelas dalam UU Pers Pasal 7 Ayat (2) dimana disebutkan bahwa terdapat Kode Etik Jurnalistik yang harus ditaati oleh wartawan.[24] Kode Etik Jurnalistik berisi mengenai etika bagi wartawan dalam membawakan berita, sehingga wartawan dapat selalu bertanggung jawab secara sosial terhadap tugas profesi wartawan.[25] Kode Etik Jurnalistik berlandaskan pada kepentingan publik sehingga kebebasan yang diberikan pada pers tersebut tidak melanggar HAM warga negara dan mencelakai kepentingan publik.[26] Kode Etik Jurnalistik dibentuk dan diawasi pelaksanaannya oleh Dewan Pers sebagai lembaga independen yang menjaga kemerdekaan pers.[27] Jika terdapat pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik, maka pihak yang berperan untuk memberikan sanksi adalah perusahaan pers yang terkait atau organisasi profesi wartawan.

Pada Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik, kembali ditegaskan mengenai asas praduga tak bersalah yang sebelumnya tertera dalam Pasal 5 Ayat (1) UU Pers. Disebutkan dalam Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik, “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.[28] Selain penggunaan asas praduga tak bersalah, pada Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik juga diatur mengenai larangan publikasi identitas korban kejahatan susila dan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan (tindak pidana) sejalan dengan perintah UU SPPA pada Pasal 19 Ayat (1).[29] Selain Kode Etik Jurnalistik, Dewan Pers turut membuat aturan yang mengatur kerahasiaan identitas anak yang berkonflik dengan hukum dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (“Pedoman Pemberitaan Ramah Anak”).

Dewan Pers membentuk Pedoman Pemberitaan Ramah Anak untuk menciptakan pemberitaan ramah anak yang menyesuaikan aturan mengenai hak anak pada UU Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (“UU Penyiaran”), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), Pasal 19 dan Pasal 97 UU SPPA, Keputusan Presiden tentang Keanggotaan Dewan Pers periode Tahun 2016-2019, dan Peraturan Dewan Pers No: 6/Peraturan-DP/V/2008.[30] Adapun beberapa poin dalam Pedoman Pemberitaan Ramah Anak mengenai perlindungan kerahasiaan identitas anak yang berkonflik dengan hukum terdapat pada poin 1 dan 4.[31] Dijelaskan pada kedua poin tersebut bahwa, wartawan merahasiakan identitas anak yang melakukan tindak pidana (anak yang berkonflik dengan hukum) serta hanya mengambil visual (gambar atau video) anak yang berkonflik dengan hukum tanpa mempublikasikan visual dan audio yang berhubungan dengan identitas anak.[32] Wartawan juga dilarang untuk memberitakan kalimat dengan deskripsi yang bersifat seksual dan sadistis pada poin 2 Pedoman Pemberitaan Ramah Anak. Selain itu, pada poin 12 Pedoman Pemberitaan Ramah Anak disebutkan bahwa wartawan menghormati ketentuan pada UU SPPA dalam peradilan anak.[33] Adapun pelanggaran dalam pelaksanaan pedoman ini diselesaikan oleh Dewan Pers sebagaimana aturan pada UU Pers dan Peraturan-Peraturan Dewan Pers yang berlaku.[34]

Identitas AG yang tersebar di media sosial yang mengungkapkan nama lengkap AG, wajah dan informasi pribadi AG merupakan pelanggaran terhadap peraturan yang telah diuraikan sebelumnya. Penyebaran identitas anak yang berkonflik dengan hukum merupakan pelanggaran hak anak dalam mendapatkan perlindungan hak anak yang diatur dalam Pasal 19 UU SPPA, Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik, dan poin 1 dan poin 4 Pedoman Pemberitaan Ramah Anak. Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran tersebut dapat ditemukan pada Pasal 97 UU SPPA jika merujuk pada pelanggaran Pasal 19 Ayat (1) UU SPPA. Selanjutnya, pelanggaran terhadap Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik dapat diberi sanksi oleh perusahaan pers dan/atau organisasi wartawan setelah dinilai ada tidaknya pelanggaran oleh Dewan Pers. Selain itu, penyelesaian pelanggaran terhadap poin 1 dan poin 4 Pedoman Pemberitaan Ramah Anak dilaksanakan oleh Dewan Pers.

Judul dan isi berita mengenai kasus AG yang bersifat menghakimi, menstigma, dan diskriminatif terhadap AG sebagai anak yang berkonflik dengan hukum merupakan pelanggaran terhadap hak anak untuk mendapatkan perlindungan yang berasaskan non diskriminasi. Meskipun AG merupakan anak yang melakukan tindak pidana, anak tidak boleh kehilangan haknya untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi agar dapat hidup, tumbuh,  dan berkembang sesuai harkat dan martabat manusia sesuai amanat pada Pasal 3 UU Perlindungan Anak.[35] Pemberitaan yang bersifat menghakimi, berfirasat buruk, dan diskriminatif merupakan pelanggaran terhadap peraturan yang telah diuraikan sebelumnya. Aturan yang berkaitan dengan larangan pemberitaan yang bersifat menghakimi, berfirasat buruk, dan diskriminatif dapat ditemukan pada Pasal 5 Ayat (1) UU Pers dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik. Pada dua pasal tersebut, berlaku asas praduga tak bersalah sehingga pers tidak boleh membawakan berita yang bersifat menghakimi. Terlebih, terdapat pengajuan kasasi oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan kuasa hukum AG sehingga hasil putusan hakim oleh PN Jakarta Selatan dan PT DKI Jakarta belum berkekuatan tetap.[36]

Selain itu, berkaitan dengan pemberitaan riwayat seksual AG yang diberitakan dengan narasi yang menstigma tanpa merahasiakan identitas AG dapat pula dikenakan pelanggaran terhadap poin 2 Pedoman Pemberitaan Ramah Anak karena deskripsi yang bersifat seksual pada riwayat seksual AG tersebut. Pelanggaran yang merujuk pada Pasal 5 Ayat (1) UU Pers dapat dikenakan denda sebagaimana yang tertera pada Pasal 18 Ayat (2) UU Pers.[37]Adapun pelanggaran terhadap Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik baru dapat dikenakan sanksi oleh perusahaan pers atau organisasi wartawan setelah adanya  penilaian dari Dewan Pers. Dewan Pers pun dapat menindaklanjuti penyelesaian pelanggaran terhadap poin 2 Pedoman Pemberitaan Ramah Anak.  

Sudah ada peraturan yang mengatur mengenai kerahasiaan identitas anak yang berkonflik dengan hukum dan larangan seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Namun, masyarakat Indonesia, terutama wartawan masih banyak yang belum memahami peraturan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan penyebaran identitas AG sebagai anak yang berkonflik dengan hukum oleh pers. Padahal, terdapat Kode Etik Jurnalistik yang secara jelas mengatur larangan publikasi identitas anak dalam Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik. Pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik merupakan suatu masalah yang terjadi di bidang jurnalistik. Permasalahan tersebut didukung dengan pengakuan dari Endro S. Efendi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Kalimantan Timur, yang mengatakan bahwa berdasarkan data penelitian oleh Dewan Pers sebanyak sekitar 75 persen wartawan Indonesia tidak pernah membaca Kode Etik Jurnalistik.[38]

Selain pelanggaran mengenai kerahasiaan identitas anak yang berkonflik dengan hukum dalam publikasi, kurangnya kesadaran wartawan untuk membaca Kode Etik Jurnalistik turut menimbulkan  judul berita yang bersifat menghakimi. Hal ini terlihat dari rekam jejak peningkatan pengaduan sengketa pemberitaan terkait judul yang menghakimi dan abai konfirmasi sepanjang tahun 2021.[39] Menurut penuturan Arif Zulkifli, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Media masa kini kejar kecepatan dan abai terhadap hal-hal mendasar, yaitu Kode Etik Jurnalistik.[40] Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Pers Dewan Pers, Jamalul Insan, turut menambahkan bahwa sebagian besar pemimpin redaksi media pada pelaporan sengketa pemberitaan belum mengikuti sertifikasi wartawan.[41]

 Fakta ini menjadi tamparan bagi wartawan dan pers Indonesia yang seharusnya menundukan diri dan menaati Kode Etik Jurnalistik sebagaimana perintah yang tertera pada Pasal 7 Ayat (2) UU Pers. Akan menjadi sulit dan mendekati mustahil bagi wartawan untuk melaksanakan Kode Etik Jurnalistik, jika sebagian besar wartawan tidak memahami dan abai bahkan tidak pernah membaca Kode Etik Jurnalistik. Padahal, terdapat kepentingan publik yang menjadi landasan dalam Kode Etik Jurnalistik yang seharusnya menjadi pedoman bagi wartawan untuk melaksanakan tugas profesi wartawan. Kepentingan publik yang dimaksud juga mencakup perlindungan khusus anak bagi anak yang berkonflik dengan hukum sebagai hak anak.

Apa yang terjadi pada AG dengan ramainya pemberitaan mengenai kasus penganiayaan tersebut, menyebabkan munculnya pemberitaan yang tidak ramah anak. Beberapa dari berita yang menyebar di media sosial memiliki isi yang bersifat menghakimi AG dalam kasusnya tanpa terdapat upaya merahasiakan identitas AG sebagai anak yang berkonflik dengan hukum. Selain itu, terungkapnya riwayat seksual AG dideskripsikan menjadi narasi yang bersifat memberikan stigma negatif terhadap AG. Menurut Reny Haning, Staf Khusus Perlindungan Anak & Advokasi Childfund Indonesia, Kata ganti yang disematkan terhadap AG juga kurang elok dengan penyebutan seperti “mantan pacar” yang kurang menunjukan upaya kerahasiaan Identitas anak. Reny Haning turut menambahkan bahwa AG dilecehkan berbasis gender anak dalam beberapa narasi.[42] Dengan kecepatan informasi di zaman globalisasi saat ini, menyebabkan stigma negatif tersebut menyebar dengan cepat di media sosial sehingga menyebabkan perlakuan diskriminatif terhadap AG dan orang-orang disekitarnya oleh masyarakat.

Bentuk diskriminasi AG sebagai anak yang berkonflik dengan hukum dapat berupa cyberbullying oleh masyarakat dengan berbagai label dan penghakiman terhadap AG.[43] Terlebih, menurut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, sebanyak 45 persen anak Indonesia menjadi korban cyberbullying pada tahun 2020.[44] Adanya fakta yang menyatakan korban cyberbullying terhadap anak di indonesia mencapai presentase yang cukup besar, dapat disimpulkan jika AG memiliki peluang lebih besar untuk menjadi korban cyberbullying di media sosial mengingat stigma negatif yang telah melekat pada AG dalam publikasi Pers. Cyberbullying terhadap AG semakin meningkat dengan ramainya perhatian publik terhadap pemberitaan kasus penganiayaan yang menyeret AG sebagai pelaku tindak pidana.

Selain berdampak adanya cyberbullying yang dilakukan publik terhadap AG, stigma negatif melekat pada AG di tengah ramainya kasus penganiayaan ini di media massa menyebabkan dominasi kebencian publik dalam proses peradilan terhadap AG dibanding proses yang berpihak pada kepentingan terbaik anak. Argumen ini disampaikan oleh Ahli Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Mamik Sri Supatmi, yang berpendapat bahwa putusan banding oleh PT DKI Jakarta tidak sesuai prinsip kepentingan terbaik anak perempuan karena gagal memahami kerentanan berlapis.[45] Ketua Presidium Penghapus Kekerasan Terhadap Anak, Erasmus Napitupulu, turut menambahkan dengan menilai jika penjatuhan putusan hakim pada tahap banding terburu-buru karena menggunakan waktu kurang dari 24 jam.[46] Proses peradilan yang terburu-buru tanpa memperhatikan prinsip peradilan yang adil (fair trial) dapat diperiksa secara etik terkait pelanggaran beberapa prinsip dan hak dasar anak yang berkonflik dengan hukum.

Seharusnya, pemberitaan yang tidak ramah anak dan proses peradilan yang dinilai bias dan terburu-buru tidak terjadi jika tidak ada stigma negatif  yang melekat pada AG karena identitas yang terkuak oleh pers di media massa. Padahal identitas AG dilarang untuk dipublikasi karena AG merupakan seorang anak yang memiliki perlindungan khusus anak yang dijamin oleh UU Perlindungan Anak dan UU SPPA, UU Pers, Kode Etik Pers, dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang menerapkan asas non diskriminasi dan asas praduga tak bersalah.

Terkait dengan isu dan permasalahan dalam kasus AG mengenai tersebarnya publikasi identitas anak dan narasi yang mengandung stigma negatif sehingga menyebabkan diskriminasi, bias, serta terlanggarnya hak anak dalam peradilan, KPAI merangkum beberapa saran sebagai rekomendasi yaitu:[47]

  1. Penyelesaian sengketa berupa peringatan tegas terkait pelanggaran UU SPPA terhadap media cetak dan elektronik;
  2. Pemeriksaan dugaan pelanggaran hak anak oleh Komisi Kepolisian Nasional, terkait dipublikasikannya identitas dan kehidupan pribadi AG selama proses penyidikan di Polres Jakarta Selatan;
  3. Pemeriksaan Hakim Sri Wahyuni Batubara secara etik terkait dugaan pelanggaran beberapa prinsip dan hak dasar anak yang berkonflik dengan hukum oleh Komisi Yudisial (KY);
  4. Memastikan terpenuhinya hak-hak ABH, baik anak yang berkonflik dengan hukum, anak korban, dan anak sanksi oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DKI Jakarta.

Publikasi identitas dan kehidupan pribadi AG serta narasi yang bersifat memberikan stigma negatif terhadap AG disebabkan oleh kurangnya kesadaran wartawan untuk membaca Kode Etik Jurnalistik dan sedikitnya pemimpin redaksi yang telah mengikuti sertifikasi wartawan. Selain itu, kejar kecepatan yang dilakukan oleh media massa menyebabkan para wartawan abai terhadap Kode Etik Jurnalistik. Hal ini menyebabkan berita yang beredar di media massa menjadi tidak ramah anak sehingga dapat menimbulkan diskriminasi dan cyberbullying terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Stigma negatif yang melekat pada AG pun menyebabkan putusan hakim PT DKI Jakarta Selatan dinilai bias dan terburu-buru tanpa memperhatikan prinsip peradilan yang adil (fair trial). Untuk itu, KPAI memberikan rekomendasi saran yang diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang terkait agar dapat memberikan hak anak yang sebelumnya terlanggar selama peradilan sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945, UU Perlindungan Anak dan UU SPPA.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

BUKU

Samsuri, Bekti Nugroho. Pers Berkualitas, Masyarakat Cerdas.  Jakarta: Dewan Pers, 2013.

 

JURNAL

Madika, Sabila, dkk. “Penerapan Pasal Enam Kode Etik Jurnalistik Pada Wartawan Surat Kabar Harian Metro Siantar.” Journal of Southeast Asian Communication. Vol. 3. No. 1 (2023). Hlm. 20-28.

Mahendra, Alfian dan Beniharmoni Harefa. “Perlindungan Hukum terhadap Identitas Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dalam Proses Peradilan Pidana.” Jurnal Kertha Semaya. Vol. 8. No. 10 (2020). Hlm. 1629-1649.

 

SURAT KABAR

Sinaga, Tatang Mulyana. ”Dewan Pers: Banyak Media Kejar Kecepatan dan Abai Kode Etik.” Kompas. 2 Februari 2022.

Sinombor, Sonya Hellen. “Kementerian PPPA Hormati Putusan Hakim atas AG.” Kompas. 21 Mei 2023.

 

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Tentang Pers, UU Nomor 40 Tahun 1999. LN Tahun 1999 No. 166 TLN N0. 3887.

Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU Nomor 11 Tahun 2012. LN Tahun 2012 No. 153 TLN No. 5332.

Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tahun 2002, LN Tahun 2002 No. 109, TLN No. 4235, sebagaimana diubah terakhir oleh UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, LN Tahun 2014 No. 297, TLN No. 5606.

 

INTERNET

Admin KPAI. “Catatan Pelanggaran Hak Anak Tahun 2021 dan Proyeksi Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Anak Tahun 2023.”  Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 24 Januari 2022. Tersedia pada https://www.kpai.go.id/publikasi/catatan-pelanggaran-hak-anak-tahun-2021-dan-proyeksi-pengawasan-penyelenggaraan-perlindungan-anak-tahun-2022. Diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

Aviolola, Claudia. “Putusan Banding AG: Tetap Divonis 3,5 Tahun Penjara Terkait Penganiayaan David.” Kompas.com, 27 April 2023. Tersedia pada https://video.kompas.com/watch/536004/hasil-sidang-putusan-banding-ag-atas-kasus-penganiayaan-david-ozora. Diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

Biro Hukum dan Humas. “KemenPPA Imbau Masyarakat Tidak Melakukan Stigmatisasi terhadap Anak dari Pelabelan Terkait Kondisi Orang Tuanya.” Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 10 September 2022. Tersedia pada https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/4098/kemenpppa-imbau-masyarakat-tidak-melakukan-stigmatisasi-terhadap-anak-dari-pelabelan-erkait-kondisi-orang-tuanya. Diakses pada tanggal 23 Mei 2023.

CNN Indonesia. “Jaksa Ajukan Kasasi atas Vonis Banding Kasus Anak AG.” Cnnindonesia.com, 11 Mei 2023. Tersedia pada https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230511151218-12-948333/jaksa-ajukan-kasasi-atas-vonis-banding-kasus-anak-ag. Diakses pada tanggal 23 Mei 2023.

DA, Ady Thea. “Dewan Pers Diminta Tindak Pemberitaan Berbasis Stigma Terhadap Anak.” Hukumonline.com, 13 April 2022. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/dewan-pers-diminta-tindak-pemberitaan-berbasis-stigma-terhadap-anak. Diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

Databoks. “KPAI: Kasus Pelanggaran Hak Anak Menurun Pada 2021.” Katadata.co.id, 27 Januari 2022. Tersedia pada https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/27/kpai-kasus-pelanggaran-hak-anak-menurun-pada-2021. Diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

Dewan Pers. “Pedoman Pemberitaan Ramah Anak.”  Dewanpers.or.id, 1 Mei 2019. Tersedia pada https://dewanpers.or.id/assets/documents/pedoman/1903060524_2019-02_Pedoman_Pemberitaan_Ramah_Anak.pdf. Diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

Hadi, Ilman. “Pemberitaan Pers dan Asas Praduga Tak Bersalah.” Hukumonline.com, 29 Maret 2013. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/pemberitaan-pers-dan-asas-praduga-tak-bersalah-lt5152469d75905/. Diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

Kusumasari, Diana. “Apakah UU Pers Hanya Melindungi Pemburu Berita?” Hukumonline.com, 20 Oktober 2011. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/apakah-uu-pers-hanya-melindungi-pemburu-berita–lt4e782d8ec3152/. Diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

Media Indonesia. “Aliansi PKTA Soroti Pemberitaan Anak dalam Sistem Peradilan Pidana.”  Mediaindonesia.com, 12 April 2023. Tersedia pada https://mediaindonesia.com/humaniora/573576/aliansi-pkta-soroti-pemberitaan-anak-dalam-sistem-peradilan-pidana. Diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

Munawaroh, Nafiatul. “Kapan Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap?” Hukumonline.com, 15 September 2022. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/kapan-putusan-pengadilan-berkekuatan-hukum-tetap-lt50b2e5da8aa7c/. Diakses pada tanggal 23 Mei 2023.

Pratama, Cahya Dicky. “Kode Etik Jurnalistik: Definisi dan Isinya.” Kompas.com, 3 Maret 2023. Tersedia pada https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/21/205632869/kode-etik-jurnalistik-definisi-dan-isinyam. Diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

Tim Detik. “5 Fakta Perempuan AG Kini Jadi Pelaku di Kasus Mario Dandy.”  Detik.com, 4 Maret 2023. Tersedia pada https://news.detik.com/berita/d-6600098/5-fakta-perempuan-ag-kini-jadi-pelaku-di-kasus-mario-dandy. Diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

Tim Hukumonline. “Makna Asas Praduga Tak Bersalah.” Hukumonline.com, 9 Desember 2022. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/asas-praduga-tak-bersalah. Diakses pada tanggal 21 Desember 2023.

Utami, Nahda Rizki. “Menko PMK Sebut 45 Persen Anak di RI Jadi Korban Cyber Bullying.” Detik.com, 12 April 2022. Tersedia pada https://news.detik.com/berita/d-6039817/menko-pmk-sebut-45-persen-anak-di-ri-jadi-korban-cyber-bullying. Diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

[1]Databoks, “KPAI: Kasus Pelanggaran Hak Anak Menurun Pada 2021,” Katadata.co.id, 27 Januari 2022, tersedia pada https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/27/kpai-kasus-pelanggaran-hak-anak-menurun-pada-2021, diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

[2]Ibid.

[3]Admin KPAI, “Catatan Pelanggaran Hak Anak Tahun 2021 dan Proyeksi Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Anak Tahun 2023,”  Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 24 Januari 2022, tersedia pada https://www.kpai.go.id/publikasi/catatan-pelanggaran-hak-anak-tahun-2021-dan-proyeksi-pengawasan-penyelenggaraan-perlindungan-anak-tahun-2022, diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

[4]Tim Detik, “5 Fakta Perempuan AG Kini Jadi Pelaku di Kasus Mario Dandy,”  Detik.com, 4 Maret 2023, tersedia pada https://news.detik.com/berita/d-6600098/5-fakta-perempuan-ag-kini-jadi-pelaku-di-kasus-mario-dandy, diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

[5]Sonya Hellen Sinombor, “Kementerian PPPA Hormati Putusan Hakim atas AG,” Kompas (21 Mei 2023).

[6]Media Indonesia, “Aliansi PKTA Soroti Pemberitaan Anak dalam Sistem Peradilan Pidana,”  Mediaindonesia.com, 12 April 2023, tersedia pada https://mediaindonesia.com/humaniora/573576/aliansi-pkta-soroti-pemberitaan-anak-dalam-sistem-peradilan-pidana, diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

[7]Claudia Aviolola, “Putusan Banding AG: Tetap Divonis 3,5 Tahun Penjara Terkait Penganiayaan David,” Kompas.com, 27 April 2023, tersedia pada https://video.kompas.com/watch/536004/hasil-sidang-putusan-banding-ag-atas-kasus-penganiayaan-david-ozora, diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

[8]Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU Nomor 11 Tahun 2012, LN Tahun 2012 No. 153 TLN No. 5332, selanjutnya disebut UU SPPA, Pasal 3.

[9]Media Indonesia, “Aliansi PKTA Soroti Pemberitaan Anak dalam Sistem Peradilan Pidana,”  Mediaindonesia.com, 12 April 2023, tersedia pada https://mediaindonesia.com/humaniora/573576/aliansi-pkta-soroti-pemberitaan-anak-dalam-sistem-peradilan-pidana, diakses pada tanggal 26 April 2023.

[10]Biro Hukum dan Humas, “KemenPPA Imbau Mayarakat Tidak Melakukan Stigmatisasi terhadap Anak dari Pelabelan Terkait Kondisi Orang Tuannya,” Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 10 September 2022, tersedia pada https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/4098/kemenpppa-imbau-masyarakat-tidak-melakukan-stigmatisasi-terhadap-anak-dari-pelabelan-erkait-kondisi-orang-tuanya, diakses pada tanggal 23 Mei 2023.

[11]UU SPPA, Pasal 1.

[12]UU SPPA, Pasal 2.

[13]UU SPPA, Pasal 3.

[14]UU SPPA, Pasal 19 Ayat (1).

[15]UU SPPA, Pasal 19 Ayat (2)

[16]UU SPPA, Pasal 61 Ayat (2).

[17]UU SPPA, Pasal 97.

[18]Diana Kusumasari, “Apakah UU Pers Hanya Melindungi Pemburu Berita?” Hukumonline.com, 20 Oktober 2011, tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/apakah-uu-pers-hanya-melindungi-pemburu-berita–lt4e782d8ec3152/, diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

[19]Undang-Undang Tentang Pers, UU Nomor 40 Tahun 1999, LN Tahun 1999 No. 166 TLN No. 3887, selanjutnya disebut UU Pers, Pasal 5 Ayat (1).

[20]Tim Hukumonline, “Makna Asas Praduga Tak Bersalah,” Hukumonline.com, 9 Desember 2022, tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/asas-praduga-tak-bersalah, diakses pada tanggal 21 Desember 2023.

[21]Nafiatul Munawaroh, “Kapan Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap?” Hukuonline.com, 15 September 2022, tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/kapan-putusan-pengadilan-berkekuatan-hukum-tetap-lt50b2e5da8aa7c/, diakses pada tanggal 23 Mei 2023.

[22]Ilman Hadi, “Pemberitaan Pers dan Asas Praduga Tak Bersalah,” Hukumonline.com, 29 Maret 2013, tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/pemberitaan-pers-dan-asas-praduga-tak-bersalah-lt5152469d75905/, diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

[23]UU Pers, Pasal 18 Ayat (2)

[24]UU Pers, Pasal 7 Ayat (2)

[25]Cahya Dicky Pratama, “Kode Etik Jurnalistik: Definisi dan Isinya,” Kompas.com, 3 Maret 2023, tersedia pada https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/21/205632869/kode-etik-jurnalistik-definisi-dan-isinyam, diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

[26]Ibid.

[27]UU Pers, Pasal 15 Ayat (2).

[28]Bekti Nugroho Samsuri, Pers Berkualitas, Masyarakat Cerdas,  (Jakarta: Dewan Pers, 2013), hlm. 293.

[29]Ibid., hlm. 294.

[30]Dewan Pers, “Pedoman Pemberitaan Ramah Anak,”  Dewanpers.or.id, 1 Mei 2019, tersedia pada https://dewanpers.or.id/assets/documents/pedoman/1903060524_2019-02_Pedoman_Pemberitaan_Ramah_Anak.pdf, diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

[31]Ibid., hlm. 4

[32]Ibid.

[33]Ibid., hlm. 5.

[34]Ibid.

[35]Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tahun 2002, LN Tahun 2002 No. 109 TLN No. 4235, sebagaimana diubah oleh UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, LN Tahun 2014 No. 297, TLN No. 5606, Pasal 3.

[36]CNN Indonesia, “Jaksa Ajukan Kasasi atas Vonis Banding Kasus Anak AG,” Cnnindonesia.com, 11 Mei 2023, tersedia pada https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230511151218-12-948333/jaksa-ajukan-kasasi-atas-vonis-banding-kasus-anak-ag, diakses pada tanggal 23 Mei 2023.

[37]UU Pers, Pasal 5 Ayat (1).

[38]Sabila Medika, dkk., “Penerapan Pasal Enam Kode Etik Jurnalistik Pada Wartawan Surat Kabar Harian Metro Siantar,” Journal of Southeast Asian Communication, Vol. 3, No. 1 (2023), hlm. 21.

[39]Tatang Mulyana Sinaga,”Dewan Pers: Banyak Media Kejar Kecepatan dan Abai Kode Etik,” Kompas (2 Februari 2022).

[40]Ibid.

[41]Ibid.

[42]Ady Thea DA, “Dewan Pers Diminta Tindak Pemberitaan Berbasis Stigma Terhadap Anak,” Hukumonline.com, 13 April 2022, tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/dewan-pers-diminta-tindak-pemberitaan-berbasis-stigma-terhadap-anak, diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

[43]Alfian Mahendra dan Beniharmoni Harefa, “Perlindungan Hukum Terhadap Identitas Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dalam Proses Peradilan Pidana,” Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8, No. 10 (2020), hlm. 1631.

[44]Nahda Rizki Utami, “Menko PMK Sebut 45 Persen Anak di RI Jadi Korban Cyber Bullying,” Detik.com, 12 April 2022, tersedia pada https://news.detik.com/berita/d-6039817/menko-pmk-sebut-45-persen-anak-di-ri-jadi-korban-cyber-bullying, diakses pada tanggal 21 Mei 2023.

[45]Ibid.

[46]Ibid.

[47]Humas KPAI, “Setiap Anak Berhak Mendapatkan Diperlakuan Adil, termasuk AG,” Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 14 April 2023, tersedia pada https://www.kpai.go.id/publikasi/setiap-anak-berhak-atas-diperlakukan-adil-termasuk-ag, diakses pada tanggal 21 Mei 2023.