MERETAS RANTAI DILEMA ANTARA HAK ASASI DAN KOMERSIALISASI DALAM PRAKTIK SURROGATE MOTHER

Oleh: Berliana Bahiyaturrohmah

Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI

 

Diulas oleh: Djarot Dimas Achmad Andaru S.H., M.H.

Dosen Mata Kuliah Hukum Kesehatan FH UI

 

Pemenuhan hak asasi manusia ataukah bentuk lain dari komersialisasi? Tak dapat dipungkiri bahwasanya pertanyaan tersebut kerap timbul dalam benak apabila membahas polemik seputar praktik sewa rahim atau surrogate mother. Surrogate mother, sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa literatur, merupakan hasil dari kemajuan dalam bidang teknologi dan perkembangan aspek sosial. Praktik ini semakin dikenal karena kemampuan teknologi yang memungkinkan pembuahan dilakukan di luar tubuh dan kemudian hasilnya ditanamkan dalam rahim seorang wanita lain. Hal ini juga menandai pergeseran dalam pandan gan sosial terhadap konsepsi dalam pembentukan keluarga. Dahulu, pasangan yang menghadapi kendala dalam memiliki keturunan biasanya hanya mempertimbangkan pengangkatan anak sebagai opsi utama, sehingga praktik surrogate mother awalnya dianggap tidak mungkin dan kontroversial. Oleh karena itu, surrogate mother merupakan bukti konkret bagaimana perkembangan teknologi dapat memengaruhi dan membentuk praktik-praktik sosial yang baru. 

Secara garis besar, praktik surrogate mother melibatkan seorang wanita sebagai seorang ‘ibu pengganti’ yang atas persetujuannya akan menerima embrio hasil Fertilisasi In Vitro (“IVF”) dari pihak lain atau pasangan suami istri. Ibu Pengganti tersebut akan mengandung dan menyerahkan bayi tersebut kepada pasangan suami istri yang merupakan orang tua biologis setelah sang bayi dilahirkan. Praktik tersebut umumnya dilakukan ketika sang istri tidak dapat hamil karena kondisi tertentu, sehingga menggunakan rahim wanita lain untuk menggantikan perannya dalam proses kehamilan hingga persalinan. Surrogate mother dapat dilakukan dengan imbalan atau tanpa imbalan finansial, selain itu praktik ini biasanya didasarkan atas suatu perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Perjanjian yang terdapat dalam praktik surrogate mother disebut sebagai gestational agreement. Berkenaan dengan prosedurnya, terdapat dua jenis praktik surrogate mother, yaitu full surrogate mother dan partial surrogate mother. Pada full surrogate mother, sel telur yang digunakan adalah milik wanita yang menjadi ibu pengganti, sehingga dalam kasus ini, ia bertindak sebagai pembawa kandungan dan juga ibu genetik dari anak yang dilahirkan. Sementara itu, dalam partial surrogate mother, sel telur yang digunakan merupakan milik dari pasangan yang bersangkutan, dimana sel telur tersebut kemudian dibuahi dan ditanamkan ke dalam rahim ibu pengganti.

Surrogate mother menjadi praktik yang legal di negara Amerika Serikat, Inggris, Denmark, Belgia dan Australia, sedangkan Indonesia memandang hal tersebut ilegal dan merupakan suatu hal yang tabu. Negara-negara tersebut bahkan menyediakan fasilitas dan pelayanan untuk pelaksanaan surrogate mother tersebut. Layanan ini mencakup layanan kesehatan dan prosedur administratif yang diperlukan. Sebagai contoh legalisasi praktik surrogate mother ini, Australia telah mengatur Surrogacy Act 2010 sebagai payung hukum. Di sisi lain,di Denmark turut mengatur regulasi praktik surrogate mother melalui Act on Medically Assisted Reproduction and Legal Parentage yang pembahasannya mencakup hak-hak dari ibu pengganti hingga status hukum dari anak yang dihasilkan. Act on Medically Assisted Reproduction and Legal Parentage Sempat diperbarui substansinya pada tahun 2019. Adapun di negara lain seperti Bangladesh, India, dan Thailand, praktik surrogate mother diizinkan selama memenuhi beberapa keadaan seperti sebagai solusi yang dapat menyelamatkan seseorang dari jeratan masalah ekonomi atau dengan dasar untuk membantu pasangan yang tidak dapat memiliki keturunan karena masalah infertilitas. Infertilitas sendiri merujuk pada suatu kondisi dimana seseorang tidak mampu menjalankan peran reproduksi, yang umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistem reproduksi individu.

Sejarah praktik surrogate mother berawal sebagai respons terhadap masalah infertilitas yang dihadapi oleh sejumlah individu. Praktik ini sudah berkembang di Amerika sejak akhir abad ke-20. Pada masa itu, budak wanita yang berasal dari Afrika sering dijadikan sebagai ibu pengganti bagi majikan mereka. Mereka diperintahkan untuk mengandung dan melahirkan anak-anak yang secara hukum tidak diakui sebagai milik mereka. Data yang dihimpun oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 menunjukkan tingginya prevalensi infertilitas di beberapa negara, seperti Kamboja dengan 30,8%, Kazakhstan dengan 10%, Turkmenistan dengan 43,7%, Uzbekistan dengan 9,3%, dan Indonesia dengan 21,3%, khususnya pada individu dalam rentang usia 20-24 tahun. Sementara itu, National Survey of Family Growth (NFSG) di Amerika Serikat memperkirakan bahwa jumlah wanita yang mengalami infertilitas akan terus meningkat, mencapai 7,7 juta orang pada tahun 2025. Data-data tersebut menunjukkan pentingnya solusi alternatif dalam mengatasi permasalahan infertilitas yang dihadapi oleh beberapa pasangan. Dengan prevalensi infertilitas yang tinggi di berbagai belahan dunia, praktik surrogate mother menjadi salah satu solusi untuk membantu pasangan yang mengalami kesulitan dalam meraih impian mereka dalam memiliki keturunan.

Diskursus Mendalam Terhadap Polemik Praktik Surrogate Mother  

Namun, perlu diperhatikan bahwa praktik surrogate mother seringkali memicu diskursus pro dan kontra yang menarik. Diskursus mengenai praktik ini berpusat pada kerancuan antara batas pemenuhan hak asasi manusia dan komersialisasi. Pihak pro terhadap legalitas praktik surrogate mother cenderung merujuk pada pemahaman akan HAM, bahwa setiap individu berhak untuk menjalankan perannya dalam membentuk keluarga dan mewariskan garis keturunannya tanpa mengalami tindakan diskriminasi dalam bentuk apapun. Di sisi berbeda, pihak kontra menganggap bahwa praktik surrogate mother dapat menimbulkan berbagai implikasi hukum dan etika yang kompleks, termasuk kerancuan status hukum dari anak yang dilahirkan serta menimbulkan potensi tindakan komersialisasi yang mengarah pada eksploitasi. Selain itu, praktik tersebut dianggap tidak menghargai kedudukan wanita karena dalam kasus ini, rahim seolah-olah dianggap sebagai objek yang dapat “disewakan”. Oleh karena itu, penting untuk menyoroti urgensi penelitian mendalam tentang implikasi hukum dan etika dalam praktik tersebut khususnya di Indonesia guna menangani kompleksitas dan tantangan yang timbul dari polemiknya, terutama apabila mengaitkan pada norma yang berlaku di negara Indonesia. 

Berkaca pada perkembangan yang ada, praktik surrogate mother justru menjadi ladang bisnis yang memicu eksploitasi pihak ibu pengganti. Fenomena komersialisasi dalam praktik surrogate mother ini timbul karena pasangan yang mengalami kesulitan dalam memiliki anak secara alami seringkali bersedia membayar biaya yang fantastis untuk menggunakan jasa surrogate mother. Sebagai konsekuensinya, praktik ini mendorong pihak-pihak tertentu yang tergiur oleh keuntungan finansial dengan atau tanpa mempertimbangkan potensi risiko kerugian yang mungkin timbul. Tidak jarang dalam kasus ini, wanita yang menjadi ibu pengganti diperlakukan sebagai objek untuk memenuhi keinginan pasangan semata tanpa memperhatikan kesejahteraan fisik, emosional, dan sosial mereka. Artinya, praktik ini tidak hanya dapat menimbulkan berbagai penyelewengan nilai moral dan etika, tetapi juga dapat mengakibatkan implikasi hukum, terutama terkait kerancuan status dan hak-hak anak yang dilahirkan. 

 

Dalam konteks negara Indonesia, Praktik surrogate mother sebenarnya sudah dilarang dalam berbagai regulasi yang ada. Langkah tersebut menunjukkan komitmen pemerintah untuk menyeimbangkan antara hak individu dan perlindungan terhadap nilai-nilai moral dan etika yang dijunjung tinggi. Regulasi ini dibuat untuk mencegah eksploitasi dan penyalahgunaan yang mungkin timbul dari praktik tersebut. Dengan demikian, meskipun hak individu diakui, prioritas utama pemerintah adalah melindungi masyarakat dari potensi risiko eksploitasi. Pemerintah berusaha memastikan bahwa praktik surrogate mother tidak menimbulkan dampak negatif seperti komersialisasi tubuh wanita dan ketidakjelasan status hukum anak yang dilahirkan. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menyeimbangkan antara hak individu dan perlindungan terhadap nilai-nilai moral dan etika yang dijunjung tinggi di Indonesia.

Meskipun begitu, kenyataannya masih banyak masyarakat yang melakukannya secara ilegal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya langkah tegas dari pihak berwenang untuk menindak praktik tersebut. Akibatnya, praktik surrogate mother tetap marak dan sulit dikendalikan. Kurangnya pengawasan dan penindakan yang efektif dari aparat terkait membuat pelaku merasa aman untuk terus menjalankan kegiatan ini. Selain itu, kurangnya sosialisasi mengenai larangan dan dampak negatif dari praktik surrogate mother juga turut memperparah situasi. Masyarakat yang kurang mendapatkan informasi cenderung tidak menyadari risiko hukum dan etika yang menyertai praktik tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun regulasi sudah ada, tanpa implementasi yang konsisten dan tegas, aturan tersebut menjadi tidak efektif. Oleh karena itu pemerintah yang berwenang perlu memperkuat pengawasan dan penegakan hukum, serta meningkatkan edukasi masyarakat tentang bahaya dan konsekuensi dari praktik surrogate mother

Dalam menguraikan kompleksitas praktik surrogate mother penting untuk menjelajahi dampaknya terhadap individu yang terlibat serta terhadap masyarakat secara luas. Pertanyaan etis seputar eksploitasi dan martabat manusia muncul ketika mempertimbangkan apakah praktik surrogate mother didorong oleh empati dan altruisme, atau apakah itu merupakan bentuk baru dari komersialisasi yang memanfaatkan kebutuhan dan kerentanan individu. Pengkajian implikasi etika dan moral yang terkait dengan praktik ini juga sangat penting untuk diungkap guna memahami bagaimana sewa rahim dapat nilai-nilai etika dan moral dalam kehidupan masyarakat serta sebagai bentuk upaya untuk menjaga kepatuhan terhadap nilai-nilai hukum dan moral yang dijunjung tinggi, terutama di negara Indonesia.

Relevansi Praktik Surrogate Mother dengan Hukum Positif di Indonesia

Sudah tepat jika pemerintah yang berwenang tidak melegalkan praktik surrogate mother di Indonesia, mengingat praktik tersebut sejatinya bertentangan dengan berbagai aturan dan nilai-nilai moral serta normatif yang dianut secara luas di negara Indonesia. Meskipun praktik surrogate mother belum secara eksplisit diatur dalam regulasi Indonesia, isu terkaitnya masih dapat dikaitkan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Substansi yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), Keputusan Fatwa MUI Tahun 1979, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Reproduksi Dengan Bantuan Atau Kehamilan Di Luar Cara Alamiah (“Permenkes No. 43 Tahun 2023”), Peraturan Pemerintah (“PP”) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), hingga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”). dapat menjadi acuan dasar hukum yang digunakan untuk mengkaji ketidakselarasan antara praktik surrogate mother dengan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. 

Gestational Agreement dari Perspektif Keabsahan Perjanjian KUH Perdata

Meninjau pada hadirnya kesepakatan yang mengikat antara kedua belah pihak, praktik surrogate mother sangat erat kaitannya dengan hukum perikatan atau perjanjian karena melibatkan apa yang dikenal sebagai gestational agreement. Namun, berkaitan dengan perjanjian yang dibuat dan disepakati dalam praktik surrogate mother, muncul berbagai perdebatan baik dalam bentuk literatur maupun diskusi lisan mengenai keabsahan perjanjian tersebut. 

Pasal 1338 KUH Perdata merupakan pasal yang menganut eksistensi asas kebebasan berkontrak bagi pihak-pihak yang menyelenggarakan suatu perjanjian atau perikatan. Namun terdapat limitasi yang konkret dalam KUH Perdata bahwa dalam mencapai titik sah suatu perjanjian, Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan beberapa hal yang harus dipenuhi, seperti adanya kesepakatan yang mengikat antara pihak yang melakukan perjanjian, kedua belah pihak memiliki kecakapan dalam membuat perikatan, terdapat objek atau hal tertentu yang menjadi pokok perjanjian, serta kausa atau sebab yang halal sebagai dasar perjanjian. Sebab yang halal yang dimaksud dalam kasus ini berarti praktik surrogate mother tidak boleh bertentangan dengan norma hukum, kesusilaan, maupun ketertiban umum. 

Dalam meninjau persoalan ini, penting untuk memahami perbedaan antara praktik IVF (In Vitro Fertilization) dan surrogate mother, meskipun keduanya melibatkan proses pembuahan di luar tubuh. Dalam IVF, hasil pembuahan di luar tubuh biasanya ditanamkan kembali dalam rahim istri atau pasangan sah yang melakukan tindakan tersebut, sesuai dengan Pasal 58 huruf a Undang-Undang Kesehatan. Ini berarti bahwa IVF hanya diizinkan jika sperma dan ovum berasal dari pasangan sah dan ditanamkan kembali dalam rahim istri dari suami yang terkait. Ketentuan ini menegaskan perlunya kondisi alamiah bagi seorang wanita, yang dalam konteks ini adalah istri dalam hubungan sah untuk mengandung buah hatinya.

Di sisi lain, praktik surrogate mother melibatkan penggunaan rahim seorang wanita lain (ibu pengganti) untuk mengandung dan melahirkan anak atas nama pasangan yang tidak mampu memiliki anak secara alami. Namun, dalam konteks hukum kesehatan, praktik ini dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 58 huruf a, karena meskipun pembuahan memang dilakukan di luar tubuh pasangan sah sebagaimana IVF pada umumnya, hanya saja hasilnya ditanamkan dalam rahim seorang wanita lain. Oleh karena itu, meskipun IVF dan surrogate mother memiliki konteks dan tujuan yang hampir serupa, praktik surrogate mother tetap bertentangan dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam UU Kesehatan karena embrio dari pasangan yang bersangkutan justru ditanamkan pada rahim wanita lain. 

Pasal 58 huruf a UU Kesehatan diperkuat oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Reproduksi Dengan Bantuan Atau Kehamilan Di Luar Cara Alamiah yang menegaskan bahwa dalam teknologi reproduksi berbantu, baik melalui metode konvensional dengan prosedur transfer embrio maupun Intra Cytoplasmic Sperm Injection (“ICSI”) dengan prosedur penyuntikan spermatozoa suami hanya boleh dilakukan ke dalam rahim istri yang merupakan pasangan sah dari pihak yang mengambil tindakan tersebut. Pasal 43 ayat (3) dari PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga  bertentangan terhadap keabsahan perjanjian dalam konteks praktik surrogate mother. Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa kelebihan embrio dari hasil pembuahan in vitro yang tidak ditanamkan ke dalam rahim istri dari pasangan yang terkait tidak boleh ditanam pada rahim wanita lain. Selain itu, Keputusan Fatwa MUI Tahun 1979 juga mengharamkan diberlakukannya dari praktik surrogate mother dikarenakan para ulama menganggap bahwa praktik sewa rahim yang memasukkan embrio milik pasangan suami istri ke dalam rahim wanita lain dapat disamakan dengan sebuah tindakan zina dan lebih banyak menimbulkan kemudharatan dibandingkan kemaslahatan, terutama dalam hal nasab serta kewarisan. Aspek mudharat tersebut merupakan salah satu perkara yang sangat ditekankan mengingat kaidah fiqih menggunakan prinsip untuk mengedepankan upaya menghindari mudharat dibandingkan mencapai kemaslahatan. 

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perjanjian yang dibuat dalam praktik surrogate mother tidak sah karena melanggar unsur sebab yang halal pada syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata. Segala bentuk perjanjian dalam praktik surrogate mother yang dilakukan di Indonesia dapat dianggap batal oleh hukum. Adapun sebab yang halal dalam perjanjian praktik surrogate mother tidak terpenuhi karena berlawanan dengan beberapa prinsip serta ketentuan yang tercantum dalam UU Kesehatan, Permenkes No. 43 Tahun 2015, PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dan Keputusan Fatwa MUI Tahun 1979.

 

Praktik Surrogate Mother dan Akibat Hukum dalam Penentuan Status Hukum Anak

Kekhawatiran terkait masalah nasab dan kewarisan yang berakar dari hukum Islam mengenai praktik surrogate mother dapat dianggap sebagai hal yang sepenuhnya beralasan. Pandangan hukum Islam terkait masalah nasab dan kewarisan memang memiliki relevansi yang signifikan dalam konteks UU Perkawinan, khususnya ketika membahas status hukum seorang anak. UU Perkawinan memiliki peran yang sangat krusial dalam menetapkan status seorang anak. Sebagai contoh, anak sah dalam Islam adalah mereka yang lahir dalam ikatan perkawinan yang sah. Sementara itu, mereka yang disebut sebagai anak luar kawin adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan wanita yang melahirkannya, dimana hal tersebut dapat memengaruhi status serta hak dan kewajiban mereka dalam hal warisan dan beberapa aspek hukum lainnya.

Hanya saja, kala itu pembuat undang-undang belum sepenuhnya mempertimbangkan bagaimana status anak akan diatur jika pasangan suami istri menggunakan bantuan medis dari dokter, seperti teknologi reproduksi buatan, untuk memiliki keturunan. Dampak dari ketiadaan tersebut adalah munculnya ketidakpastian dalam menentukan status hukum anak yang lahir dari salah satu produk dari teknologi reproduksi buatan, salah satunya adalah praktik surrogate mother. Oleh karena itu, ketika merujuk pada keterkaitan antara status hukum bagi anak yang lahir dari praktik surrogate mother berdasarkan aturan yang berlaku sebelumnya, anak yang dilahirkan melalui praktik surrogate mother tentunya akan menghadapi kompleksitas tersendiri dalam penentuan statusnya di mata hukum.

Berdasarkan tinjauan terhadap konsep anak sah dan anak luar kawin yang didefinisikan dalam UU Perkawinan, beberapa pandangan menyatakan bahwa kedudukan anak yang lahir dari praktik surrogate mother dapat memenuhi salah satu dari dua status tersebut, tergantung pada status perkawinan dari ibu penggantinya. Jika wanita yang menjadi ibu pengganti telah sah terikat dalam ikatan perkawinan, maka anak yang lahir dari praktik surrogate mother dapat diakui sebagai anak sah dari ibu pengganti dan pasangan sahnya. Namun, jika anak tersebut dilahirkan dari ibu pengganti yang belum dan/atau tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah, maka ia dianggap sebagai anak luar kawin dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu penggantinya. Pada dasarnya, analisis tersebut menekankan bahwa anak yang lahir dari praktik surrogate mother tidak mendapat status hukum sebagai anak yang sah dari orang tua biologisnya, melainkan menjadi anak dari ibu penggantinya. Sehingga, apabila merujuk pada hukum positif yang berlaku di Indonesia, anak yang dilahirkan melalui praktik surrogate mother hanya akan mendapatkan status sebagai anak dari wanita yang melahirkannya, yaitu sang ibu pengganti, dan bukan sebagai anak dari orang tua kandungnya. Hal ini sungguh disayangkan mengingat tujuan awal dari praktik ini adalah untuk meneruskan keturunan dari pasangan yang menggunakan jasa surrogate mother tersebut.

Tentu saja, hal ini menciptakan sebuah paradoks yang menimbulkan tanda tanya besar dalam ranah hukum. Bagaimana mungkin anak dari pasangan yang sah secara hukum, yang seharusnya memiliki kedudukan yang jelas dan terdefinisi dengan orang tua biologisnya, justru memiliki status dan hubungan hukum dengan pihak lain hanya karena mereka “dititipkan” dalam rahim pihak lain tersebut? Ini seperti menyisipkan benang kusut dalam kain halus, yang mengakibatkan garis-garis yang seharusnya teratur dan jelas menjadi tidak beraturan dan tidak serasi. Kompleksitas ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan tentang identitas dan nasab anak tersebut, tetapi juga membuka ruang bagi pertimbangan moral dan etika yang mendalam. Bagaimana kita menetapkan hak-hak dan kewajiban hukum bagi seseorang yang lahir dari situasi yang begitu rumit dan tidak terduga? Padahal Pasal 56 UU HAM, menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk dibesarkan dan diasuh oleh orang tua biologisnya.

Tantangan Moral dan Etika dalam Praktik Surrogate Mother

Kemudian, isu moral dan etika dalam praktik surrogate mother tidak hanya memberikan dampak pada anak yang dilahirkan, tetapi juga menimbulkan tantangan serius bagi pihak ibu pengganti. Ironisnya, praktik ini seringkali membuka pintu ke arah eksploitasi dan pelanggaran hak asasi terhadap perempuan yang menjadi ibu pengganti. Banyak kasus menunjukkan bahwa perempuan yang menjadi ibu pengganti seringkali terjebak dalam peran tersebut karena mendapat tekanan dari keluarganya, yang pada umumnya dipicu oleh masalah ekonomi. Paksaan semacam ini tidak hanya melanggar hak-hak ibu pengganti, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui secara internasional maupun yang berlaku di Indonesia. Kondisi di mana ibu pengganti terpaksa menjual atau menyewakan bagian tubuhnya, yang dalam kasus ini berupa rahim dikarenakan adanya tekanan ekonomi adalah contoh konkret dari pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini menunjukkan ketidakadilan sosial yang mengakibatkan individu terpinggirkan dan dipaksa untuk mengorbankan hak-hak mereka demi pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam konteks ini, hak-hak asasi manusia, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 20 UU HAM mengenai hak kebebasan individu, Pasal 30 UU HAM yang menjamin rasa aman dari ancaman, dan Pasal 49 ayat (3) UU HAM yang menegaskan perlindungan khusus terhadap fungsi reproduksi wanita oleh hukum, secara nyata terabaikan dan dilanggar. 

Berdasarkan banyaknya realita yang ada, praktik surrogate mother hingga saat ini seakan semakin dikomersialisasikan dalam kehidupan masyarakat global. Komersialisasi ini terlihat dari semakin maraknya penawaran jasa sewa rahim yang diiklankan secara terbuka, baik melalui media sosial maupun platform online lainnya. Jika menggali dari perspektif moral yang lebih dalam, tindakan ini dapat dianggap sebagai bentuk baru dari perbudakan modern, di mana tubuh wanita dieksploitasi demi keuntungan finansial. Salah satu dampak negatif utama dari komersialisasi ini adalah eksploitasi terhadap wanita yang bersedia menjadi surrogate mother karena tekanan ekonomi. Dalam situasi ini, rahim wanita diperlakukan sebagai komoditas yang dapat disewakan, hal tersebut seakan mengarah pada tindakan mengesampingkan martabat wanita dan alat reproduksinya sebagai sesuatu yang sakral. Semakin lama , praktik surrogate mother menjadi pasar yang menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu, tetapi  mengesampingkan banyak nilai-nilai moral dan etika yang seharusnya dijunjung tinggi. Komersialisasi praktik surrogate mother sejatinya memperburuk ketidakadilan sosial. Wanita dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu cenderung menjadi sasaran utama mengambil peran sebagai ibu pengganti. Hal ini menciptakan dinamika kekuasaan yang tidak seimbang, di mana mereka yang memiliki sumber daya finansial dapat memanfaatkan kerentanan ekonomi orang lain untuk memenuhi keinginan pribadi mereka. Tindakan ini tidak hanya merendahkan martabat wanita tetapi juga mengabaikan kesejahteraan fisik dan emosional mereka.

Selain itu, potensi pelanggaran kontrak surogasi, seperti tidak terpenuhinya janji pembayaran yang telah disepakati, kurangnya informasi dan edukasi mengenai risiko yang dapat timbul dari tindakan surogasi, perlindungan kesehatan yang tidak memadai, dan pelanggaran kontrak lainnya, juga dapat menjadi masalah serius yang menimbulkan kerugian baik secara materiil maupun immateriil bagi ibu pengganti. Pelanggaran kontrak surogasi bukan hanya merupakan masalah hukum semata, tetapi juga dapat mengancam kesejahteraan fisik dan emosional dari wanita yang menjadi ibu pengganti. Pelanggaran semacam itu dapat mengakibatkan penderitaan dan ketidakadilan bagi ibu pengganti. Hal-hal tersebut tentunya bertentangan dengan hak khusus yang dijamin oleh Pasal 49 ayat (2) UU HAM, yang menegaskan bahwa setiap wanita berhak atas perlindungan khusus dalam menjalankan pekerjaan atau profesinya, terutama terkait dengan segala hal yang dapat mengancam keselamatan dan/atau kesehatan mereka, terutama yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Kurangnya pemenuhan janji pembayaran yang telah disepakati dapat menyebabkan ketidakstabilan keuangan dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kemudian, kurangnya informasi dan edukasi mengenai risiko yang terlibat dalam surogasi dapat membuat ibu pengganti tidak siap menghadapi konsekuensi medis atau psikologis yang mungkin terjadi. Ketiadaan perlindungan kesehatan yang memadai juga meningkatkan risiko komplikasi selama dan setelah proses surogasi. 

Dalam beberapa kasusnya, praktik surrogate mother terkadang juga dapat menimbulkan trauma mendalam bagi pihak ibu pengganti yang terlibat di dalamnya. Salah satu contoh konkret dari permasalahan tersebut adalah kisah yang dialami oleh salah seorang ibu pengganti bernama Shanna. Shanna sendiri merupakan seorang perempuan yang sudah terbiasa menjadi ibu pengganti bagi beberapa pihak yang memerlukan jasanya, namun ada salah satu kasus yang pada akhirnya membuatnya sempat trauma untuk mengambil peran sebagai ibu pengganti. Kasus tersebut bermula ketika Shanna yang kala itu menyewakan rahimnya untuk mengandung anak dari salah seorang pasangan selebriti terkemuka. Namun, selama proses tersebut, Shanna justru mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan, seperti pembuatan kontrak perjanjian yang tidak jelas, serta sikap acuh tak acuh dari pasangan selebritis tersebut selama masa kehamilan dan terhadap kondisi dari anak yang dikandungnya. Masalah semakin rumit ketika pasangan selebriti tersebut memutuskan komunikasi secara sepihak, meninggalkan Shanna dalam keadaan yang penuh tekanan dan kekecewaan. Kondisi psikologisnya semakin terguncang ketika dia mengalami keguguran. Akibat dari kejadian yang ia alami tersebut, Shanna akhirnya memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam praktik sebagai ibu pengganti selama empat tahun lamanya. 

Berkaca pada kasus yang terjadi, jelas bahwasanya praktik surrogate mother dapat memberikan dampak emosional yang serius bagi ibu pengganti yang terlibat, sehingga membuka peluang besar akan terjadinya pelanggaran hak asasi terutama bagi wanita yang menjadi ibu pengganti. Selain itu, tidak bisa diabaikan kemungkinan adanya penelantaran terhadap calon anak yang ada dalam proses tersebut, sebagaimana pada contoh kasus yang diambil dimana pasangan selebriti yang terlibat justru mengabaikan pesan dan panggilan dari Shanna terkait perkembangan kandungannya, sehingga tidak jelas apakah mereka masih menginginkan anak tersebut ataukah tidak. Sikap tidak responsif ini dapat meninggalkan calon anak dalam keadaan tidak pasti. 

Meskipun adanya praktik surrogate mother seakan selaras dengan prinsip Pasal 10 UU HAM yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan, yang mana hak untuk memiliki keturunan adalah hak fundamental setiap individu. Akan tetapi, meninjau berdasarkan pada banyaknya pencorengan terhadap ketentuan undang-undang dan nilai-nilai moral yang ada, maka penting bagi pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan untuk tidak menormalisasi dan melegalkan praktik surrogate mother sebagai solusi untuk mengatasi masalah infertilitas.

Praktik surrogate mother menjadi medan pertempuran antara kebutuhan emosional dan etika yang kompleks. Meskipun telah dilegalkan di beberapa negara, spektrum pro dan kontra masih mencuat ke permukaan, mewarnai diskusi dengan nuansa yang sulit diredam. Dalam pandangan multidimensi, praktik surrogate mother tampak seperti sebuah koin dengan dua sisi yang saling bertentangan. Di satu sisi, terdapat argumen kuat tentang pemenuhan hak asasi individu, yang mencakup hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan. Namun, di sisi lain, problematika lainnya juga timbul dari praktik ini, seperti bersemayam potensi eksploitasi, pelanggaran hak asasi perempuan, dan kebingungan terkait status hukum anak yang dilahirkan.

Tinjauan menyeluruh menyoroti dampak negatif yang kerap dihasilkan oleh praktik surrogate mother, termasuk disorientasinya hubungan perdata antara orang tua biologis dan anak, ketidakjelasan status hukum sang anak, serta risiko eksploitasi yang mengancam perempuan yang menjadi ibu pengganti. Hal ini menunjukkan ketidakselarasan praktik ini dengan nilai-nilai moral masyarakat dan norma hukum yang berlaku. Selain itu, potensi pelanggaran kontrak surogasi, kurangnya kesepahaman tentang risiko, dan perlindungan kesehatan yang minim semakin meruncingkan tantangan kompleks yang dihadapi, bahkan bisa mengancam kesejahteraan fisik dan psikologis ibu pengganti.

Dalam konteks negara Indonesia, penolakan terhadap normalisasi dan legalisasi surrogate mother menjadi langkah penting yang harus diambil oleh pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Meskipun belum secara tegas diatur dalam regulasi, praktik ini sejatinya tumpang tindih dengan nilai-nilai yang terpatri dalam undang-undang dan norma sosial. Kesimpulannya, praktik surrogate mother membuka ladang pertanyaan yang rumit, mencakup dimensi hukum, etika, dan moral. Dalam menanggapi tantangan ini, penting untuk menjaga keseimbangan antara hak asasi individu, menjaga integritas etika, dan mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari setiap keputusan yang diambil.

DAFTAR PUSTAKA

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 39 Tahun 1999. LN Tahun 1999 No. 165 TLN No. 3886.

Undang-Undang Tentang Kesehatan, UU Nomor 17 Tahun 2023. LN Tahun 2023 No. 105 TLN No. 6887.

Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974. LN Tahun 1974 No.1 TLN No. 3019.

Peraturan Pemerintah Tentang Kesehatan Reproduksi, PP Nomor 61 Tahun 2014. LN 2014 No. 169 TLN No. 5559.

Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Reproduksi Dengan Bantuan Atau Kehamilan Di Luar Cara Alamiah, PP Nomor 43 Tahun 2015. BN Tahun 2015 No. 868.

Majelis Ulama Indonesia, Fatwa, 1979. Bayi Tabung/Inseminasi Buatan (1979). 

BUKU

Farstad, Britt Johanne. Populating the Future: Families and Reproduction in Speculative Fiction. Swedia: Kriterium, 2003.

Salma, Maulida, Soesi Idayanti dan Kanti Rahayu. Surrogate Mother dalam Perspektif Hukum Perdata Indonesia. Pekalongan: Penerbit NEM, 2024.

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.

JURNAL

Elvina, Sista Noor. “Perlindungan Hak untuk Melanjutkan Keturunan dalam Surrogate Mother.” Brawijaya Law Student Journal. (2014). Hlm. 1-24.

Dewi, Ni Putu Indra, Diah Widiawati Retnoningtias dan Yashinta Levy Septiarly. “Kaitan Dukungan Sosial dan Infertility-related Stress.” JURNAL PSIKOLOGI: Jurnal Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan. Vol. 10. No. 2 (2023). Hlm. 216-230.

Febrianti, Valentia Berlian Ayu dan Budiarsih. “Rekomendasi Kebijakan Sewa Rahim dari Perspektif HAM di Indonesia.” Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance. Vol. 2. No. 2 (2022). Hlm. 870-882.

Hidayat, Taufiq dan Muhammad Yunus. “Hukum Sewa Rahim Perspektif Jurnalis Uddin Dihubungkan dengan Fatwa MUI Nomor: KEP-952/MUI/ XI/1990.” Jurnal Riset Hukum Keluarga Islam (JRHKI). Vol. 3. No. 1 (2023). Hlm. 19-24.

Kamarudin, Irma dan Sarirah Che Ros. “Surrogate Mother Makes Money By Making Baby: Do We Need A Clear Law On this?” Voice of Academia. Vol.6. No. 2 (2011). Hlm. 95-107.

Krestianto, Indra. “Perjanjian Surrogate Mother di Indonesia Ditinjau dari Aspek Syarat Sah Perjanjian.” Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum. Vol. 3. No. 1 (2020). Hlm. 68-82.

Kenyatun. “Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Surrogate Mother Yang Tertuang Dalam Akta Notaris Di Indonesia.” LEX Renaissance. Vol. 5. No. 4 (2020). Hlm. 974-990.

Malindi, Lintang Wistu. “Perlindungan Hukum terhadap Ibu Pengganti (Surrogate Mother) yang Mengikatkan Diri dalam Perjanjian Sewa Rahim (Surogasi) di Indonesia.” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi. Vol. 8. No. 1 (2020). Hlm. 36-51.

Nabila, Fatimah, Nur Syahla Savitry dan Syafiq Dzaki Adam. “Perspektif Agama dan Kode Etik Kesehatan Terhadap Praktik Surrogacy dalam Konteks Keluarga yang Belum Memiliki Anak.” Journal Islamic Education. Vol. 1. No. 3 (2023). Hlm. 239-246. 

Puspitasari, Dinarjati Eka. “The Legal Status of Surrogate Mothers in Indonesia.” Batulis Civil Law Review. Vol. 3. No. 1 (2022). Hlm. 19-28.

Salsabil, Husna Arwa dan Githa Andriani. “Hubungan antara Aktivitas Fisik, Infertilitas, dan Lingkungan pada Wanita Usia Subur: A Systematic Review.” Jurnal Formil (Forum Ilmiah) KesMas Respati. Vol. 9. No. 1 (2024). Hlm. 1-12.

Sinaga, Cindy Alisia dan Lewiandy. “Keabsahan Surrogate Mother Menurut Hukum Positif di Indonesia dengan Peraturan di Negara Inggris, Denmark dan Belgia.” UNES Law Review. Vol. 6. No. 2 (2023). Hlm. 6330-6337.

Smietana, Marcin, Sharmila Rudrappa, dan Christina Weis. “Moral Frameworks of Commercial Surrogacy within the US, India and Russia.” Sexual and Reproductive Health Matters. Vol. 29. No. 1 (2021). Hlm. 377-393.

Spivack, Carla. “The Law of Surrogate Motherhood in the United States.” The American Journal of Comparative Law. Vol. 58 (2010). Hlm. 97-114.

Sulistio, Meiliyana. “Status Hukum Anak yang Lahir dari Surrogate Mother (Ibu Pengganti) di Indonesia.” Jurnal Education and development. Vol. 8. No.2 (2020). Hlm. 141-146.

Tandirerung, Dewi Astika. “Analisis Perjanjian Innominaat terhadap Peminjaman Rahim (Surrogate Mother) di Indonesia.” Amanna Gappa. Vol. 26. No. 1 (2018). Hlm. 12-22.

Viqria, Adinda Akhsanal. “Analisis Sewa Rahim (Surrogate Mother) Menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam.” DHARMASISYA: Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Vol. 1. No. 4 (2021). Hlm. 1693-1706.

Zaharnika, R. Febrina Andarina. “Analisis Hukum Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Sewa Rahim (Surrogate Mother) Ditinjau Menurut Perspektif Hukum Positif.” Jurnal Hukum Mimbar Justitia. Vol. 7. No. 2 (2021). Hlm. 105-139.

SKRIPSI

Fajar, Hanafiah Nanda. “Kedudukan Hukum Anak Yang Dilahirkan Melalui Rahim Ibu Pengganti (Surrogate Mother) Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.” Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2001.

Zahra, Mutia Az. “Tinjauan Yuridis terhadap Perjanjian Sewa Rahim (Surrogate Mother) Berdasarkan Terminologi Hukum Perdata.” Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2015.

Ayuningtyas, Hesty. “Pengaturan Kedudukan Anak Yang Dilahirkan Melalui Rahim Ibu Pengganti (Surrogate Mother) Berdasarkan Ketentuan Yang Berlaku Di Indonesia Dan Di India.” Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2015.

TESIS

Lumbantoruan, Evelina. “Surrogate Mother Sebagai Pemenuhan Hak Reproduksi Perempuan dengan Infertilitas Primer ditinjau dari Aspek Hukum di Bidang Kesehatan.” Tesis Magister Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung, 2024.

Putra, Randhitya Manggala. “Analisis Terhadap Hak Waris Anak Yang Dilahirkan Dari Perjanjian Inseminasi Buatan Melalui Sewa Rahim Ditinjau Menurut Hukum Positif Indonesia Dan Hukum Islam.” Tesis Magister Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2021.

INTERNET

Azizah, Khadijah Nur. “Kisah Wanita yang Sewakan Rahimnya untuk Mengandung Bayi Artis, Berakhir Trauma.” Health.detik.com. 5 Februari 2023. Tersedia pada https://health.detik.com/true-story/d-6551396/kisah-wanita-yang-sewakan-rahimnya-untuk-mengandung-bayi-artis-berakhir-trauma. Diakses pada tanggal 20 Mei 2024.