Menilik Potensi Penerapan Vicarious Liability dalam Kejadian di Lift Bandara Kualanamu

Oleh: Hisom Safrizal

Baru-baru ini, Indonesia digemparkan kabar penemuan jasad pada 27 April 2023 di lantai dasar lift Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara. Dilansir dari Kompas, jasad korban tersebut bernama Aisiah Sinta Dewi Hasibuan (38). Insiden kematian wanita ini berawal pada saat korban menaiki lift bandara dan menduga pintu lift tidak bisa terbuka. Korban kemudian mencoba paksa membuka pintu lift dan akhirnya terjatuh ke dalam celah antara lift dengan gedung. Usaha pengecekan secara langsung di lift dan lingkungan Bandara Kualanamu pada hari hilangnya korban pun tidak membuahkan hasil. Berselang 3 hari setelah kejadian, korban baru ditemukan oleh pihak Bandara Kualanamu dalam keadaan tidak bernyawa (Kompas, 2023). Dengan demikian, timbul pertanyaan, siapakah yang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas insiden tersebut?

 

Pertanggungjawaban PT Angkasa Pura II dan PT Angkasa Aviasi 

Pihak yang bertanggung jawab atas kematian Aisiah adalah PT Angkasa Pura II selaku pemilik Bandara Kualanamu dan PT Angkasa Aviasi selaku pengelola Bandara Kualanamu. Adapun, PT Angkasa Pura II sebagai pemilik dari gedung dan lift telah sejak lama tidak melakukan pengujian kelaikan gedung. Padahal, hal tersebut menjadi tanggung jawab pemilik gedung sebagaimana diatur pada Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. 

Sedangkan PT Angkasa Aviasi sebagai pengelola, bertanggung jawab dalam melaksanakan pengoperasian, mengontrol, dan merawat gedung dan fasilitas. Kelalaian dari pihak PT Angkasa Aviasi adalah mengenai standard operating procedure transparansi informasi lift dua arah kepada pengunjung serta CCTV yang luput dari pengawasan penanggung jawab teknis dan operasi CCTV Bandara Kualanamu. Dalam perspektif keperdataan, tanggung jawab dari petugas tersebut menjadi tanggung jawab PT Angkasa Aviasi sesuai dengan konsep vicarious liability atau pertanggungjawaban peralihan. Hal ini berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1367 ayat (1) Kitab Undang-Undang Perdata yang berbunyi “Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.” Dengan demikian, kesalahan dari petugas penanggung jawab teknis dan operasi CCTV Bandara Kualanamu menjadi tanggung jawab dari PT Angkasa Aviasi.

Kemudian, Pasal 1365 KUHPerdata mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum sehingga membawa kerugian, harus mengganti rugi. Dari kasus ini, dapat dikatakan bahwa PT Angkasa Pura II dan PT Angkasa Aviasi telah menimbulkan kerugian bagi korban. Dengan demikian, PT Angkasa Pura ll dan PT Angkasa Aviasi berkewajiban untuk memberikan ganti rugi.

 

Dugaan Kelalaian PT Angkasa Pura II 

PT Angkasa Pura Aviasi diduga telah mengoperasikan lift yang tidak laik fungsi. Hal tersebut dikarenakan PT Angkasa Pura II, sebagai pemilik tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan uji kelaikan lift sejak 3 tahun lalu. Berdasarkan rekaman CCTV lift, terlihat jelas bahwa korban menekan tombol-tombol lift untuk membuka pintu lift, namun pintu lift tersebut tidak terbuka. Kemudian, korban membuka paksa pintu lift dengan tangan kiri, sementara tangan kanan memegang handphone. Pada umumnya, pintu lift tidak dapat dibuka secara manual, apalagi menggunakan satu tangan. Sejatinya, baik korban membuka pintu lift secara paksa ataupun tidak, pintu lift seharusnya tetap tidak dapat terbuka lantaran posisi lift belum berada pada lantai yang seharusnya. Dapat disimpulkan, sistem listrik sensor buka tutup pintu dan hidrolik lift kemungkinan mengalami kerusakan. 

Dilansir dari Kompas TV, Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Bapak Robert Na Endi Jaweng, mengatakan bahwa dirinya sudah terjun ke tempat kejadian perkara (TKP) Bandara Kualanamu. Pak Robert mengungkapkan fakta bahwa lift Bandara Kualanamu terakhir melakukan uji kelaikan pada tahun 2019 (Kompas TV, 2023). Tandanya, sudah 3 tahun terakhir uji kelayakan lift tidak dilakukan, hal itu tidak menutup kemungkinan terjadinya kerusakan pada lift. Oleh karena setiap harinya lift beroperasi dan  bergerak dalam jumlah yang tidak terhitung, hal ini sudah sepatutnya menjadi perhatian PT Angkasa Pura II selaku pemilik untuk selalu berkala melakukan uji coba kelaiakan fungsi lift sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

 

Dugaan Kelalaian PT Angkasa Pura Aviasi

PT Angkasa Pura Aviasi sebagai pengelola turut serta bertanggung jawab atas kematian Aisiah. Dalam hal ini, kesalahan PT Angkasa Pura Aviasi terletak pada transparansi informasi atau arahan tentang lift dua arah dan pengawasan CCTV. Mengenai transparansi informasi, seharusnya, pihak PT Angkasa Pura Aviasi membuat pemberitahuan, baik secara tertulis maupun suara yang menyatakan bahwa pintu lift bersifat dua arah agar tidak menyebabkan kebingungan pengunjung. Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak Robert yang mengatakan bahwa “Bandara Kualanamu masih belum memenuhi standar transparansi informasi seperti adanya tanda atau pemberitahuan sebagai petunjuk atau pengarahan bahwa lift bersifat dua arah (Kompas TV, 2023).” 

Selain itu, pada saat jatuhnya korban, diketahui bahwa petugas CCTV sedang berada diluar ruang pengawasan. Padahal seharusnya, petugas CCTV bertugas untuk mengawasi seluruh rangkaian CCTV yang berada di wilayah bandara. Seandainya petugas tersebut tetap memantau CCTV, mungkin saja korban dapat ditemukan dengan cepat dan dapat diselamatkan. Akan tetapi, kesalahan yang dilakukan petugas CCTV tetap menjadi tanggung jawab PT Angkasa Pura Aviasi sebagai atasan dari petugas. Hal itu selaras dengan konsep vicarious liability, yaitu perbuatan merugikan yang diakibatkan bawahan menjadi tanggung jawab atasannya sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata. Dengan demikian, PT Angkasa Pura Aviasi tetap menjadi pihak yang harus bertanggung jawab. 

 

Potensi Jerat Pidana

Berkaitan dengan aspek bangunan, PT Angkasa Pura II dan PT Angkasa Aviasi dapat dituntut atas Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Pasal tersebut mengatur kewajiban pemilik dan pengelola gedung dalam penyelenggaraan bangunan gedung yang beberapa diantaranya adalah melakukan pemeliharaan bangunan gedung secara berkala, melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi secara berkala, dan memperbaiki bangunan gedung yang sudah tidak laik fungsi. Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi diatur dalam Pasal 47 ayat (2) huruf c undang-undang yang sama. PT Angkasa Pura II dapat dijerat Pasal 47 ayat (2) huruf c karena kelalaiannya mengakibatkan bangunan tidak laik fungsi. Pasal 47 ayat (2) huruf c berbunyi “pidana kurungan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak 3% (tiga per seratus) dari nilai bangunan gedung jika karenanya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.

Selain itu, penanggung jawab bidang operasional dan teknis lift serta monitoring CCTV Bandara Kualanamu juga dapat dijerat pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tepatnya Pasal 359 yang mengatur mengenai kematian yang disebabkan oleh kealpaan atau kelalaian. Pasal tersebut berbunyi “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Hal ini selaras dengan penjelasan sebelumnya bahwa telah terjadi kelalaian dalam teknis dan operasi CCTV yang menyebabkan tewasnya korban.

 

Kesimpulan

Dengan demikian, pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kematian Aisiah adalah PT Angkasa Pura II selaku pemilik dari Bandara Kualanamu dan PT Angkasa Aviasi selaku pengelola bandara. Pertanggungjawaban ini atas dasar vicarious liability sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1367 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Oleh karena itu, PT Angkasa Pura II dan PT Angkasa Aviasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Apabila dari perspektif pidana, PT Angkasa Pura II dapat dijerat Pasal 47 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Sedangkan, penanggung jawab bidang operasi dan teknis Bandara Kualanamu dapat dijerat Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Berkaca dari tragedi tersebut, diharapkan PT Angkasa Pura II dan PT Angkasa Aviasi dapat memperbaiki dan mengevaluasi sistem pengelolaan bandara dan mengutamakan aspek keselamatan dan keamanan serta kenyamanan bagi pengunjung bandara agar insiden seperti ini tidak terulang kembali di masa yang akan datang.