Oleh : Arvin Rumbiak & Fanny Patricia Gultom
Staf Bidang Jurnalistik LK2 FHUI
Belum lama ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan penemuan seorang remaja perempuan yang tewas terkapar dengan pakaian setengah terbuka di Kuburan Cina, Palembang. Polisi mengungkap bahwa korban yang berinisial AA (13 tahun) ini ternyata diperkosa dan dibunuh oleh pacarnya, IS (16 tahun), bersama tiga temannya, MZ (13 tahun), AS (12 tahun), dan NS (12 tahun). Keempat pelaku termasuk dalam kategori Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak SPPA (UU SPPA 11/2012). Pemidanaan yang nantinya dilakukan terhadap mereka menurut UU SPPA akan menggunakan pendekatan keadilan restoratif dan/atau diversi, yang mengutamakan pemulihan dan penyelesaian di luar pengadilan. Namun, apakah penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan ini memberikan efek jera pada pelaku?
Mengenal pendekatan keadilan restoratif dan diversi
Pasal 1 angka 6 UU SPPA menyatakan keadilan restoratif adalah penyelesaian tindak pidana yang menekankan kepada pemulihan kembali ke keadaan semula, bukan pembalasan. Albert Englash, pencetus teori keadilan restoratif, berusaha untuk menjadikan pendekatan ini sebagai solusi terbaru untuk menggantikan pendekatan keadilan retributif. Mulanya, pendekatan keadilan retributif berusaha untuk menyelesaikan suatu tindak pidana dengan membalaskannya kepada pelaku tindak pidana tersebut karena hal tersebut dianggap sebagai hal yang adil. Menurut Dr. Alfitra, S.H., pengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam buku Efektivitas Restorative Justice Dalam Proses Hukum Pidana, rasa keadilan yang ditawarkan oleh pendekatan keadilan restoratif ini berbeda karena berusaha untuk mengembalikan keadaan pelaku dan korban ke kondisi semula.
Dalam menerapkan keadilan restoratif, UU SPPA menggunakan pendekatan diversi. Pasal 1 angka 7 UU SPPA menyatakan diversi adalah penyelesaian perkara peradilan anak di luar peradilan pidana. Penerapan diversi diterapkan secara terbatas, yakni hanya atas tindak pidana yang diancam pidana di bawah 7 (tujuh) tahun penjara dan pendekatan ini tidak berlaku untuk pengulangan tindak pidana, menurut Pasal 6 ayat (2) UU SPPA. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU SPPA, proses diversi yang dilakukan dengan musyawarah yang melibatkan anak dan orang tua korban melalui pendekatan keadilan restoratif, atau dengan kata lain bahwa keadilan restoratif menjadi landasan dalam pelaksanaan diversi untuk mencapai kesepakatan penyelesaian tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku. Maka dari itu, dengan adanya keadilan restoratif dalam proses diversi bertujuan untuk menghasilkan sebuah tanggung jawab terhadap permasalahan yang melibatkan anak, korban, dan masyarakat dapat terpecahkan melalui solusi untuk memperbaiki, pendamaian, dan menyelesaikan masalah tanpa memiliki keinginan untuk membalas dendam.
Hak Anak dalam Pemidanaan
Pendekatan keadilan restoratif dan diversi dalam SPPA sebenarnya merupakan salah satu perwujudan dari kemajuan Sistem Peradilan Pidana (SPP) di Indonesia. Setiap anak memiliki hak untuk bebas dan tidak dikekang sebagaimana diatur pada Pasal 37 Konvensi Hak-Hak Anak butir (b) sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990. Pasal tersebut akhirnya diakomodasi dalam sistem peradilan di Indonesia ke dalam UU SPPA dengan penerapan pendekatan keadilan restoratif dan diversi dalam tindak pidana anak yang mendahulukan penyelesaian tindak pidana di luar pengadilan.
Pemidanaan pada umumnya didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan penderitaan kepada pelaku tindak pidana (Hamzah 1994, 27). Akan tetapi, SPPA berbeda dengan pemidanaan pada umumnya. SPPA menekankan peradilan bagi anak-anak sebagai harapan keluarganya dan masa depan bangsa yang dilakukan dengan pendekatan yang tidak merendahkan hak-hak anak. Dengan demikian, anak sebagai pelaku tindak pidana bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya sekaligus mempertahankan hak-haknya.
Tantangan dalam Implementasi UU SPPA
Penerapan pendekatan keadilan restoratif dan diversi bagi anak-anak yang melakukan tindak pidana sesungguhnya juga menimbulkan berbagai pertanyaan di benak banyak orang. Pertama, sampai sejauh manakah pendekatan keadilan restoratif dan diversi dapat memberikan rasa jera kepada ABH dan mencegah mereka untuk melakukan tindak pidana lagi? Selanjutnya, apakah kedua pendekatan tersebut dapat memberikan rasa keadilan kepada korban dan/atau pihak korban? Terakhir, apakah sebaiknya ABH dihukum dengan hukuman pidana yang sama seperti orang dewasa?
Pendekatan keadilan restoratif pada dasarnya berusaha untuk memanusiakan para pelaku tindak pidana. Hal ini terlihat dari bagaimana pelaku tindak pidana diberi kesempatan untuk bisa memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkannya dan penyelesaian masalah mereka tidak harus selalu dengan hukuman penjara (Rahmawati 2022, 35). Akan tetapi, kasus tindak pidana dengan pelaku anak-anak semakin hari semakin buruk dan semakin marak terjadi justru membuat pendekatan ini terasa kurang efektif. Bahkan, data BPHN dari tahun 2020 sampai tahun 2022 memperlihatkan bahwa ada 2.302 kasus tindak pidana dengan anak sebagai pelaku.
Selain itu, pendekatan keadilan restoratif dan diversi merupakan penyelesaian tindak pidana yang tergolong baru yang belum dikenal luas. Bappenas bersama-sama dengan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) melalui The Asia Foundation menemukan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mengetahui pendekatan Keadilan Restoratif sebagai salah satu metode penyelesaian tindak pidana. Mereka menganggap hukuman pembalasan atau pendekatan keadilan retributif lah yang seharusnya diterapkan. Dengan memenjarakan para pelaku, mereka baru akan merasa adil.
Salah satu penggagas UU SPPA yang juga merupakan ahli perlindungan anak di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak (KemenPPPA), Apong Herlina, menyampaikan bahwa implementasi dari UU SPPA melalui keadilan restoratif masih memiliki berbagai tantangan dalam penerapannya. Pertama, meskipun mengutamakan pendekatan diversi, tidak semua kasus yang diadili dapat diupayakan diversi, terutama untuk tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara lebih dari 7 tahun dan pengulangan tindak pidana, menurut Pasal 7 ayat (2) UU SPPA. Selanjutnya, beberapa peneliti hukum juga mengungkapkan bahwa UU SPPA kurang disosialisasikan sehingga penegakan hukum dan masyarakat menghambat implementasi dari keadilan restoratif. Maka sebenarnya, perlu adanya edukasi dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran atas hak-hak anak dan pentingnya keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana anak.
Perbandingan SPPA di Indonesia dan Negara Lain
Kasus pemerkosaan dan pembunuhan seorang remaja oleh para pelaku yang juga masih remaja ini mengundang perhatian serius di Indonesia. Remaja yang seharusnya masih dalam masa pembentukan dan pencarian jati diri justru terlibat dalam tindak pidana pemerkosaan dan pembunuhan yang merupakan suatu kejahatan serius. Kasus serupa dapat terjadi di mana saja, tidak hanya di Indonesia, yang mencerminkan tantangan ini dihadapi oleh masyarakat secara global. Banyak faktor yang memberikan pengaruh negatif sehingga memungkinkan mereka untuk terjerumus untuk dapat melakukan tindak pidana, mulai dari lingkungan sosial hingga ketidakpahaman mereka terkait konsekuensi hukum atas perbuatan yang telah mereka lakukan. Pengaturan mengenai SPPA di banyak negara pun berbeda-beda.
Di Malaysia misalnya, sanksi pidana diatur di dalam Kanun Keseksaan dan bagi anak-anak berlaku Akta Kanak-Kanak 2001. Malaysia, seperti di Indonesia, juga menerapkan pendekatan diversi secara terbatas. Dalam Akta Kanak-Kanak 2001, diatur untuk anak-anak di bawah usia 14 tahun, tidak diperbolehkan hukuman penjara sama sekali. Untuk anak-anak dengan usia 14 tahun ke atas, diutamakan hukuman dengan upaya-upaya lain selain penjara sebagai upaya terakhir, yang berupa rehabilitasi dan ditempatkan di suatu institusi yang ditunjuk oleh Menteri Wanita, Keluarga, dan Pengembangan Masyarakat, yaitu Asrama Akhlak. Dalam proses pemulihan ini, anak-anak yang terlibat tindak pidana diberikan pegangan Sad al-Dhara’i, yaitu sebuah konsep yang berarti menutup segala pintu yang membawa kepada perbuatan kejahatan dan diharamkan dalam ajaran Islam disertai pendekatan Psikoterapi Islam, yang merupakan proses pengobatan dan penyembuhan melalui al-Quran dan As-Sunnah untuk memberi perlindungan dan memberi perubahan kepada setiap individu Akan tetapi, melalui Seksyen 97 Akta Kanak-Kanak 2001, Malaysia masih menerapkan hukuman penjara bagi anak untuk tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana mati. Maka dari itu, efektivitas dari Akta Kanak-Kanak tersebut juga perlu dipertanyakan. Sejak 2002 hingga 2013, jumlah kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana dari usia 7 tahun hingga remaja berusia 18 tahun di Malaysia selalu mengalami peningkatan. Jumlah penangkapan terhadap anak tersebut meningkat dari 4.200 penangkapan di tahun 2002 menjadi 8.315 penangkapan di tahun 2013. Penangkapan paling banyak terjadi terhadap remaja dengan kelompok usia 16 sampai 18 tahun. Perlu dicatat bahwa peningkatan tersebut terjadi setelah disahkan dan diterapkannya Akta Kanak-Kanak pada tahun 2001. Sejalan dengan adanya asrama akhlak yang bertujuan sebagai langkah awal untuk memberikan pemulihan kondisi anak disertai dengan adanya ajaran islam yang berupa konsep Sad al-Dhara’i menunjukkan bahwa langkah-langkah tersebut menuju pendekatan yang mencapai keadilan restoratif.
Di Filipina, SPPA mereka diatur di dalam Republic Act No. 9344 yang disahkan pada tahun 2005. Dalam peraturan tersebut, untuk anak sampai dengan usia 15 tahun tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana, penghukuman bagi mereka diserahkan kembali kepada orang tua. Proses pertanggungjawaban pidana anak di Filipina ini menerapkan konsep Vicarious Liability. Melalui konsep ini, orang tua berkewajiban untuk bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh anaknya. Maka dari itu, dengan adanya konsep Vicarious Liability tentunya tidak hanya melindungi hak-hak korban, tetapi juga mendorong orang tua dari anak-anak pelaku tindak pidana untuk bisa lebih mengawasi anak mereka sebagai rasa bentuk tanggung jawab. Untuk anak 15 sampai 18 tahun pun berlaku demikian, kecuali bagi mereka yang secara sadar melakukan tindak pidana dan paham akan konsekuensinya, baru akan digunakan pendekatan diversi. Namun tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh anak pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan kepada orang tua mereka, hanya tindak pidana tertentu yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun. Dengan demikian, SPPA di Filipina tidak mengenal hukuman pidana konvensional seperti penjara bagi anak-anak dan remaja. Kepolisian Negara Filipina menyampaikan data bahwa sejak tahun 2016 hingga 2023 di kota-kota besar di Filipina atau yang biasa mereka sebut dengan National Capital Region (NCR), jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak menurun terus. Data tersebut diambil dari 17 kota dengan mencakup kota-kota besar seperti Quezon dan Manila. Pada 2016, tindak pidana yang dilakukan anak-anak di kota-kota tersebut mencapai jumlah hampir 4 juta. Pada 2023, jumlah tersebut menurun drastis hingga menyentuh angka sekitar 1,3 juta.
Kesimpulan
Kasus ini memberi kita berbagai catatan baru mengenai penerapan SPPA di Indonesia, khususnya pendekatan keadilan restoratif dan diversi dalam penyelesaian pidana yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku. Penyelesaian dengan pendekatan ini dapat dikatakan tidak begitu memuaskan. Kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak di Indonesia menjadi sebuah hal yang dapat ditemukan dengan mudah di berbagai tempat dan terjadi berulang kali. Perhatian serius diperlukan untuk memastikan bahwa pelaku memahami dampak dari tindak pidana yang telah mereka lakukan. Penyelesaian tindak pidana yang diberikan kepada ABH diharapkan mampu memberikan dan mendorong rasa tanggung jawab serta memberikan efek jera agar tindakan serupa tidak terulang lagi.