Oleh: Wahyu Ilham Pranoto
Staf Bidang Penelitian LK2 FHUI
Kejahatan ekonomi yang merugikan negara merupakan suatu fenomena tidak pernah habisnya dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Segala kejahatan yang memiliki motif ekonomi dan mempengaruhi perekonomian negara serta sektor usaha.[1] Menurut Supriyatna, kejahatan ekonomi merupakan kejahatan yang melekat dengan pelaku dengan kedudukan sosial tinggi, dalam hal ini termasuk pejabat.[2] Termasuk didalamnya korupsi, pencucian uang, gratifikasi, dan kejahatan lainnya yang sekiranya merugikan negara karena pejabat memperoleh harta dengan tidak halal. Instrumen hukum untuk melawan kejahatan tersebut telah dirumuskan dan disahkan semenjak awal mula reformasi sampai saat ini. Akan tetapi, kenyataan bertolak belakang dengan usaha-usaha yang telah dilakukan karena bukannya kejahatan ekonomi semakin tidak terlihat justru para pejabat publik berhasil merugikan negara dengan cara yang lebih mutakhir. Misalnya, beberapa akhir ini terjadi kenaikan harta pejabat publik yang tidak wajar dan tidak bisa dijelaskan sumbernya. Perihal ini disebut sebagai illicit enrichment yang sebenarnya sudah dicantumkan dalam United Nations Convention Against Corruption (“UNCAC”) pada Pasal 20 terkait seorang pejabat publik yang kenaikan asetnya tidak bisa dijelaskan sesuai dengan penghasilan sahnya.[3]
Sebagai titik tolak, mencuatnya kasus Rafael Alun diawali dengan kejanggalan harta yang dimilikinya dengan laporan dalam LHKPN maupun dari penghasilannya sebagai pejabat Kementerian Keuangan menjadi dugaan awal kasus gratifikasi dengan angka Rp1,3 Miliar.[4] Ternyata kasus Rafael Alun menjadi efek domino untuk mengungkap kasus kejahatan ekonomi yang dilakukan pejabat. Dari kasus tersebut, terkuak nominal nilai data transaksi mencurigakan sebesar Rp349 Triliun di lingkup Kementerian Keuangan. Walaupun dari hasil penelusurannya terdapat perbedaan data yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (“Menko Polhukam”) dan Menteri Keuangan. Perbedaan data tersebut terjadi karena data-data yang disampaikan oleh Menko Polhukam juga memperhitungkan data temuan PPATK. Besarnya nominal itu juga disebabkan modus tindak pidana pencucian uang sudah dilakukan dengan cara-cara canggih tetapi penanganannya tidak pernah berubah.[5]
Berkaitan dengan pengawasan kekayaan pejabat, Indonesia memiliki sistem pelaporan kekayaan untuk pejabat publik atau yang biasa disebut Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (“LHKPN”) untuk mengontrol laporan kekayaan para pejabat publik di Indonesia. Sistem LHKPN sejatinya dirancang untuk dapat membantu mencegah kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh pejabat publik, tetapi sistem tersebut belum sempurna. Pada tahun 2021, pelaporan LHKPN yang disampaikan pada 2022, tercatat harta kekayaan pejabat negara sebesar Rp609,356 Triliun tetapi nominal tersebut dinilai belum mencerminkan kenyataan. Ketidaksesuaian ini disebabkan karena sistem LHKPN yang memberikan wewenang pelaporan sepenuhnya kepada pejabat publik secara mandiri melaporkan aset atau hartanya. Bahkan, pejabat publik diberikan kemandirian untuk mencantumkan nilai valuasi pasar atau nilai perolehan dari aset dan hartanya.[6] Permasalahannya, LHKPN hanya menjadi sebuah pekerjaan administratif saja dan tidak memberikan efek dalam pelaporan harta kekayaan. Akibatnya, penanganan masalah ketidakjelasan sumber harta seorang pejabat publik tidak terjawab. Maka dari itu, LHKPN perlu didukung dengan adanya pengaturan mengenai illicit enrichment untuk membantu memberikan sanksi yang lebih berat daripada sanksi administratif.[7]
Akibat dari kasus Rafael Alun dan besar nominal Rp349 Triliun transaksi mencurigakan dalam lingkup Kementerian Keuangan, kekecewaan di masyarakat meningkat dan menimbulkan tindakan masyarakat dengan mengungkap kepemilikan harta dan gaya hidup beberapa pejabat publik lainnya.[8] Akhirnya berimbas pada pendesakan pengaturan yang menangani ketidakwajaran harta pejabat publik oleh masyarakat dan elemen pemerintah lainnya. Beberapa rencana instrumen yang akan diterapkan terdapat dalam dimensi perdata dan pidana yakni, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana (“RUU Perampasan Aset”) dan kriminalisasi illicit enrichment.
Pertama, beberapa pihak merasa RUU Perampasan Aset dibutuhkan karena diasumsikan praktik korupsi dan pencucian uang yang bekerja sama dengan pejabat negara menjadikan negara sebagai korban atau victim.[9] Perampasan aset juga dibutuhkan untuk menangani aset-aset hasil tindak pidana baik yang dimiliki oleh pejabat publik maupun swasta. Begitupun pihak yang merasa aset tindak pidana tersebut adalah miliknya dapat mengklaimnya kembali.[10] Pengusutan aset hasil tindak pidana yang sekiranya berasal dari ketidakwajaran harta pejabat publik akan dikembalikan asetnya ke negara.[11]
Kedua, terdapat upaya kriminalisasi illicit enrichment. Illicit enrichment merupakan salah satu instrumen pengaturan dalam upaya mengefektifkan LHKPN. Dasar hukumnya terdapat pada Pasal 20 UNCAC yang mendasari pengaturan tindakan illicit enrichment. Biasanya juga disebut sebagai pengaturan atau penindakan terhadap kenaikan harta pejabat yang tidak bisa dijelaskan.[12] Sebenarnya selama ini LHKPN sudah menjadi sumber utama pengungkapan kasus korupsi dan pencucian uang pejabat melalui penelusuran harta pejabat dengan analisis informasi dari LHKPN.[13] Akan tetapi, karena tidak pengaturan illicit enrichment, dalam perihal ini tidak ada tindakan terhadap kenaikan atau ketidaksesuaian harta pejabat dengan penghasilan yang tidak jelas, fungsi LHKPN dalam mendeklarasikan aset tidaklah mengikat.[14] Sebenarnya upaya itu sudah pernah direncanakan, menurut Muhammad Fatahillah Akbar dalam tulisannya menyebutkan bahwa kriminalisasi illicit enrichment sudah pernah diupayakan dalam penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“RKUHP”) dengan draft versi tahun 2018.[15] Akan tetapi, pada versi selanjutnya rumusan tindak pidana itu telah dihapuskan.
Melihat kedua upaya instrumen yang direncanakan selama terjadinya banyak kasus kejahatan ekonomi oleh pejabat publik tidak terdapat tanda-tanda perampungan dari dua jenis pengaturan tersebut. Ketidakrampungan pengaturan tersebut mengindikasikan ada faktor yang menghambat dalam penyusunan atau setidaknya dalam pengkajian penerapan aturan tersebut terdapat ketidaksesuaian dengan sistem hukum negara. Padahal secara sosiologis dan normatif terdapat kebutuhan untuk pengaturan illicit enrichment sebagai jawaban dari berkembanganya modus kejahatan ekonomi pejabat publik. Kedua instrumen tersebut, RUU Perampasan Aset dan kriminalisasi illicit enrichment merupakan bentuk terdekat dalam pengesahan yang tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing serta dibutuhkan. Jikalau memang hampir rampung dan terdapat kekurangan serta kelebihan maka perlu diketahui masalah ketidaksesuaian dua instrumen tersebut dalam sistem hukum Indonesia.
Perlu diingat kembali dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat (“UUD NRI 1945 Amandemen Keempat”) berlaku beberapa dasar-dasar dan hak asasi berkaitan dengan sistem peradilan hukum Indonesia. Salah satu pasal terpentingnya ialah Pasal 28D ayat (1) yang menjiwai sistem peradilan di Indonesia dengan prinsip equality before the law atau persamaan dalam hukum, kepastian hukum, perlindungan atau jaminan oleh hukum, dan keadilan hukum. Sehingga penerapan hukum di Indonesia haruslah setiap manusia di dalam peradilan berkedudukan sama sehingga masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus dihormati dan dipatuhi. Hak dan kewajiban itu pun dituliskan dalam undang-undang sebagai bagian dari kepastian dan perlindungan hukum. Maka dari itu, perlu diketahui juga pengaturan illicit enrichment memenuhi prinsip umum sistem hukum Indonesia.
Melihat dimensi hukum pidana yang menjadi sumber utama pemberian sanksi kepada pelaku illicit enrichment maka banyak kemungkinan untuk berbenturan dengan prinsip umum sistem hukum Indonesia. Perlu dilihat dalam mengkriminalisasi illicit enrichment, jika ditinjau dengan pandangan dualistis, harus dirumuskan mens rea dan actus rea dari tindak pidana tersebut jikalau ingin dikriminalisasi. Jeffrey R. Boles mengutip Professor Guillermo Jorge dalam merumuskan unsur tindak pidana illicit enrichment, pertama, mens rea nya berupa unsur mengetahui dan menghendaki sumber ketidakjelasan penghasilan serta kepemilikan atas ketidakjelasan penghasilan tersebut.[16] Mens rea dalam perihal ini merupakan unsur kesalahan yang dibuktikan dengan kehendak (willen) dan mengetahui (witten) dan actus rea merupakan unsur perbuatan atau akibat dari tindak pidana.[17] Perumusan ini diwarnai dengan pandangan dualisme yang memisahkan pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana karena pemisahan ini dikenal dalam sistem common law.
Akan tetapi, sistem civil law yang dianut oleh Indonesia haruslah merumuskan kesalahan dan perbuatan atau akibat dalam undang-undang. Menurut Profesor Topo Santoso, Indonesia mengambil jalan tengah dengan mewajibkan yang dituliskan dalam surat dakwaan oleh penuntut umum pada rumusan yang terdapat dalam undang-undang. Maka dari itu, jikalau kesalahan atau perbuatan melawan hukum tidak dirumuskan dianggap unsur tersebut telah terpenuhi dan pembuktian berada di pengadilan.[18] Illicit enrichment sebagai tindak pidana sudah dirumuskan secara utuh dalam bentuk rancangan pengaturan maupun rekomendasi internasional. Rumusan itu dapat dilihat dalam RKUHP versi 2018 dan Pasal 20 UNCAC yang disajikan dalam tabel dibawah.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana versi 2018 |
Pasal 20 United Nations Convention Against Corruption |
“Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memperkaya diri secara tidak sah, dengan adanya pertambahan kekayaannya yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitan dengan pendapatannya yang sah, dipidana….” |
“…that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income.”
Terjemahan penulis: “…ialah, pertambahan signifikan dari aset seorang pejabat publik yang ia tidak bisa jelaskan berkaitan dengan penghasilan sahnya.” |
Sebenarnya dari dua rumusan tersebut unsur yang ditekankan dalam subjek pelaku tindak pidana hanya dibatasi seorang pejabat publik. Unsur kedua merupakan optimalisasi dari fungsi pelaporan harta kekayaan pejabat publik atau LHKPN yang memudahkan penemuan bukti awal akan “…adanya pertambahan kekayaannya…” atau “…pertambahan signifikan dari aset…”. Akan tetapi, problematika muncul dengan unsur terakhir yakni, “…tidak dapat dijelaskan secara masuk akal…” atau “…berkaitan dengan penghasilan sahnya…” yang menurut Jeffrey R. Boles berkonsekuensi menaruh beban pembuktian pada tersangka atau terdakwa.[19]
Konsekuensi perumusan tindak pidana illicit enrichment, sesuai dengan pendapat Jeffrey R. Boles, berupa skema pembuktian yang lumayan berbeda dengan kasus tindak pidana biasa. Pembuktian awal atau permulaan berada pada penuntut umum yang harus membuktikan bahwa ia seorang pejabat publik saat melakukan, kenaikan harta yang tidak wajar, dan kesengajaan. Jikalau sudah bukti awal atau permulaan barulah terdapat beban pembuktian yang dibebankan penuh pada terdakwa bahwa ia harus membuktikan aset yang dimilikinya bukan hasil tindak pidana. Akibat dari tidak berhasil membuktikan maka terdakwa dinyatakan bersalah dan begitupula sebaliknya sesuai dengan pertimbangan dan putusan hakim.[20]
Perihal tersebut dalam hukum acara pidana disebut sebagai reverse burden of proof atau pembalikan beban pembuktian merupakan pengalihan kewajiban pembuktian tindak pidana kepada terdakwa.[21] Aristo Pangaribuan mengutip Luhut M. Pangaribuan yang menjelaskan bahwa sistem ini memberikan kewajiban pembuktian penuntut umum yang harus menyiapkan saksi, surat, dan ahli kepada terdakwa.[22] Perlu diketahui juga bahwasanya pembalikan beban pembuktian merupakan dapat dikategorikan menjadi dua sifat, yakni absolut dan terbatas.[23] Sifat beban pembuktian terbalik yang terdapat dalam skema kriminalisasi illicit enrichment bersifat absolut artinya terdakwa harus membuktikan untuk menentukan putusan bersalah atau tidaknya ia oleh pengadilan.
Konsep skema kriminalisasi illicit enrichment yang memaksakan beban pembuktian kepada terdakwa merupakan pelanggaran hak-hak tersangka. Perihal yang dilanggar secara khusus adalah prinsip praduga tak bersalah dan hak terdakwa untuk diam (right to remain silent) serta tidak menyalahkan diri (right to self incrimination).[24] Pengaturan hak tersebut tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), tepatnya pada Penjelasan Umum KUHAP poin 3 butir (c) yang menjelaskan bahwa setiap orang yang belum diputuskan melalui putusan pengadilan harus selalu dianggap tidak bersalah, inilah yang disebut prinsip praduga tak bersalah.
Perlindungan hak terdakwa untuk diam (right to remain silent) serta tidak menyalahkan diri (right to self incrimination) terdapat pada relasi Pasal 66 KUHAP dan Pasal 137 KUHAP karena pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada penuntut umum. Alasan dari pengaturan ini untuk menjaga kesetaraan kedudukan terdakwa dan negara yang diwakilkan penuntut umum. Tidak adil jikalau seorang terdakwa yang dijatuhkan tuduhan oleh negara tetapi ia juga yang harus membuktikan. Oleh karena itu, Jeffrey R. Boles memberikan saran untuk tidak mengatur illicit enrichment sebagai tindak pidana karena telah melanggar hak asasi terutama hak terdakwa dalam pengadilan. Ia sangat menganjurkan untuk negara tidak mengimplementasikan kriminalisasi illicit enrichment.[25]
Akan tetapi, perlu diketahui sebenarnya penerapan pembalikan beban pembuktian sudah diterapkan di Indonesia dalam tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Tepatnya, pada Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) memberikan hak kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa harta yang ia miliki bukanlah hasil tindak pidana korupsi. Akan tetapi, beban pembuktian ini hanya bersifat sebagai pertimbangan hakim bukan penentu keputusan hakim dalam melepas terdakwa dan kewajiban pembuktian tetap ada pada penuntut umum.[26] Perihal yang sama dicantumkan dalam Pasal 77 dan 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU TPPU”) yang menjadikan kewajiban terdakwa untuk membuktikan hartanya bukanlah hasil tindak pidana asal pencucian uang. Walaupun demikian, beban pembuktian bersalah tetap ada pada penuntut umum sesuai dengan ketentuan KUHAP.[27]
Sebenarnya perihal tersebut tidak bisa disebut sebagai pembalikan beban pembuktian yang absolut karena pembalikan tersebut sangatlah terbatas. Penjelasan umum UU Tipikor memberikan konsep ini sebagai pembalikan beban pembuktian terbatas.[28] Bahkan, UU TPPU menggunakan istilah pergeseran beban pembuktian dalam menjelaskan Pasal 77 dan 78.[29] Maka dari itu, belum ada secara khusus penerapan pembalikan beban pembuktian di peraturan perundang-undangan Indonesia.
Berangkat dari alasan itulah pemerintah berniat dalam perumusan RUU Perampasan Aset yang juga menerapkan pembalikan beban pembuktian atau reverse burden of proof. Penyebutan pembalikan beban pembuktian dalam Naskah Akademik RUU Perampasan Aset dijelaskan dengan asas pembuktian terbalik yang sebenarnya secara konsep sama dengan pemberian beban pembuktian kepada terdakwa. Perbedaan utama dari konsep reverse burden of proof RUU Perampasan Aset ialah ditujukan kepada aset diduga tindak pidana secara perdata sehingga terduga pemilik aset tersebut bukan sebagai terdakwa tetapi pihak ketiga yang harus membuktikan kepemilikan asetnya.[30]
Konsep perampasan aset ini disebut Non-Conviction Based Asset Forfeiture (“NCB Asset Forfeiture”) yang secara definisi merampas aset dengan mekanisme perdata tanpa harus melalui dakwaan pidana. Pembuktian NCB Asset Forfeiture juga dilakukan dengan mekanisme perdata sehingga tidak seketat pembuktian pidana.[31] Tetap saja, RUU Perampasan Aset memang menggunakan sarana perdata dalam merampas aset juga terdapat beberapa mekanisme upaya paksa yang tunduk kepada prinsip hukum acara pidana. Bentuk upaya paksa yang terdapat dalam RUU Perampasan Aset ialah penyitaan dan pemblokiran. Maka dari itu, bentuk upaya paksa harus tunduk kepada due process of law yang menjadi prinsip dalam hukum acara pidana karena ia mengurangi hak asasi manusia seseorang.[32]
Tidak terlepas juga dari problematika utama, RUU Perampasan Aset tidaklah jauh dari pembahasan kriminalisasi illicit enrichment yakni, beban pembuktian terbalik. Pembuktian hukum acara perdata berpegang pada prinsip barangsiapa yang mendalilkan maka wajib baginya untuk membuktikan, perihal ini sesuai dengan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), Pasal 163 HIR, dan Pasal 283 RBg. Pihak yang mendalilkan, dalam hal ini termasuk dalam menyangkal hak seseorang terhadap suatu hal, ia wajib membuktikannya dengan bukti yang cukup dan meyakinkan. Walaupun pihak yang disangkal haknya pun harus menjawab dari penggugat yang menyatakan hal tersebut.[33]
Pembuktian dalam RUU Perampasan Aset terdapat pada Pasal 37 dan 38 yang mewujudkan pembuktian terbalik dalam konsep hukum acara perdata sebenarnya rawan dalam terjadinya ketidakadilan. Secara prinsip, mekanisme Jaksa Pengacara Negara (“JPN”) menghadirkan bukti cukup mudah karena terdapat upaya paksa yang disertakan sebelumnya untuk mencari bukti dengan penelusuran. Sedangkan, beban pembuktian juga wajib diberikan kepada pemilik aset dalam keadaan tidak seimbang yang tetap ia harus mencari alat bukti sesuai dengan ketetapan dalam RUU sama halnya dengan JPN.
Perlu diketahui bahwa prinsip hukum acara di Indonesia juga mengakomodasi equality before the law, sebelumnya sudah dijelaskan berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 Amandemen Keempat. Perihal itulah juga yang melatarbelakangi hak-hak tersangka dan terdakwa dalam hukum acara pidana Indonesia karena demi mewujudkan kedudukan yang setara antara penuntut umum dan terdakwa.[34] Akan tetapi, perumusan RUU Perampasan Aset seakan-akan dibuat untuk memotong atau membuat jalan pintas melewati prinsip hukum pidana dengan mekanisme acara perdata. Melihat banyaknya kekurangan, konsep perampasan aset sendiri masih perlu dikaji lebih dalam jikalau ingin ditetapkan sebagai pengaturan. Penyebab utamanya karena konsep perampasan aset sendiri masih tergolong rumit untuk diterapkan dan mekanisme cenderung baru dikenal di negara Indonesia.
Penerapan pengaturan illicit enrichment masih perlu banyak melihat contoh dari berbagai perspektif. Adapun penerapan penegakan hukum melalui satu lebih instrumen hukum tidak hanya pada illicit enrichment tetapi juga pada kerusakan lingkungan. Pengaturan terhadap perlindungan lingkungan dilakukan dengan tiga dimensi instrumen hukum yang menerapkan sanksi secara pidana, perdata, dan administratif. Seharusnya untuk efektifitas pencegahan illicit enrichment bisa dioptimalkan melalui cara penggunaan lebih dari satu instrumen hukum tetapi harus juga dibarengi kesesuaian prinsip sistem hukum di Indonesia. Contohnya, dalam menegakan hukum perlindungan lingkungan di Indonesia dalam mekanisme perdata dioptimalkan melalui doktrin strict liability.[35]
Adapun beberapa optimalisasi dan penyesuaian pengaturan illicit enrichment yang dilakukan negara lain. Misalkan, negara Kanada dan Afrika Selatan menerapkan doktrin presumption of corruption. Sebuah doktrin yang membantu dalam pembuktian kenaikan harta yang tidak wajar tanpa berbenturan dengan hak asasi manusia dengan beberapa pendekatan yakni, rasionalitas, kebutuhan, dan proporsionalitas sesuai tujuan kebijakan.[36] Tentunya perlu diuji terlebih dahulu doktrin dan yurisprudensi negara lain untuk diterapkan di Indonesia. Terkadang, Indonesia perlu melakukan penemuan hukum dalam membantu menerapkan pengaturan illicit enrichment untuk melakukan penyesuaian dan optimalisasi.
Perlu diingat kembali, rancangan pengaturan illicit enrichment memang dibutuhkan tetapi dalam analisis dalam perumusan dan kesesuaiannya dengan prinsip hukum di Indonesia masih perlu banyak perbaikan. Baik antara rancangan kriminalisasi dan RUU Perampasan Aset perlu diperhatikan kembali prinsip equality before the law khususnya hak-hak terdakwa dalam pengadilan. Jikalau ini tidak dihiraukan, hanya akan terjadi kesewenangan pemerintah bukan ancaman ke pejabat publik untuk tidak melakukan kejahatan ekonomi. Terlebih, banyak para pejabat justru memanfaatkan celah hukum yang ada dalam pengaturan illicit enrichment.
DAFTAR PUSTAKA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Herziene Indonesisch Reglement.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat.
Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981. LN Tahun 1981 No. 76 TLN No. 3209.
Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999. LN Tahun 1999 No. 140 TLN No. 3874.
Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No.8 Tahun 2010. LN Tahun 2010 No. 122 TLN No. 5146.
BUKU
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Hamzah, Andi. Hukum Pidana Ekonomi. Jakarta: Pradnya Paramita. 1993.
Pangaribuan, Aristo M.A., Arsa Mufti dan Ichsan Zikry. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Ed. 1. Cet. 2. Jakarta: RajaGrafindo Pers, 2018.
Santoso, Topo. Asas-Asas Hukum Pidana. Ed. 1. Cet. 1. Depok: Rajawali Press, 2023.
Wibisana, Andri G. Penegakan Hukum Lingkungan: Melalui Pertanggungjawaban Perdata. Depok: Badan Penerbit FHUI, 2018.
JURNAL
Boles, Jeffrey R. “Criminalizing The Problem Of Unexplained Wealth: Illicit Enrichment Offenses And Human Rights Violations.” New York University Journal of Legislation and Public Policy. Vol. 17, No. 4, (2014). Hlm. 835-880.
Murtabar, E. Murhaini. “Asas Praduga Tak Bersalah: Penerapan dan Pengaturannya dalam Hukum Acara Perdata.” Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 11, No. 3, (2011). Hlm. 470-479.
Supriyanta. “Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi”. Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan 7.
No. 1. April 2007.
Wilsher, Dan. “Inexplicable wealth and illicit enrichment of public officials: A model draft that respects human rights in corruption cases.” Crime, Law & Social Change. (2006). Hlm. 27–53.
SURAT KABAR
Akbar, Muhammad Fatahillah. “Kekayaan yang (Tidak) Sah.” Kompas. 17 Maret 2023.
Harbowo, Nikolaus, Dian Dewi Purnamasari, dan Kristian Oka Prasetyadi. “Perumusan RUU Perampasan Aset Belum Tuntas.” Kompas. 1 April 2023.
Media Indonesia. “RUU Perampasan Aset Dikirim seusai Reses.” Media Indonesia. 3 Mei 2023.
Purnamasari, Dian Dewi. “Menanti Uju Cerita Kisruh Rp349 Triliun.” Kompas. 31 Maret 2023.
Rahayu, Kurnia Yunita dan Dian Dewi Purnamasari. “Komisi III DPR Tunggu Kesiapan Pemerintah Bahas RUU Perampasan Aset.” Kompas. 24 Maret 2023.
Sulistyo, Prayogi Dwi dan Dian Dewi Purnamasari. “Tanpa Norma Kekayaan Tak Sah, LHKPN Hanya Pekerjaan Administratif,” Kompas. 27 Maret 2023.
Sulistyo, Prayogi Dwi, Mawar Kusuma Wulan, dan Cyprianius Anto Saptowalyono. “LHKPN Pintu Masuk Ungkap Korupsi.” Kompas. 16 Maret 2023.
DOKUMEN NEGARA NON-PERATURAN
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana. 2015.
DOKUMEN, PANDUAN, DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
United Nations Convention Against Corruption (diadopsi 31 Oktober 2003, mulai berlaku 14
Desember 2005) 2349 UNTS 41.
World Bank. “On the Take Criminalizing Illicit Enrichment to Fight Corruption.” Washington DC: The World Bank. 2012.
World Bank. “Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture.” Washington DC: The World Bank. 2009.
INTERNET
BBC Indonesia. “KPK tahan Rafael Alun Trisambodo ‘mantan pejabat pajak’ dalam kasus dugaan gratifikasi.” Bbc.com, 3 April 2023. Tersedia pada https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-64879826. Diakses pada tanggal 5 Juli 2023.
BBC Indonesia, “Netizen terus ‘buru’ pejabat yang pamer harta, pengamat sebut bentuk ‘perlawanan mereka yang kecewa’,” Bbc.com, 27 Maret 2023. Tersedia pada https://www.bbc.com/indonesia/articles/cpr5nrr39qvo. Diakses pada tanggal 5 Juli 2023.
[1]Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993).
[2]Supriyanta, “Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi”, Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan 7, No. 1, (April 2007).
[3]United Nations Convention Against Corruption. (diadopsi 31 Oktober 2003, mulai berlaku 14 Desember 2005) 2349 UNTS 41, Pasal 20.
[4]BBC Indonesia, “KPK tahan Rafael Alun Trisambodo ‘mantan pejabat pajak’ dalam kasus dugaan gratifikasi,” Bbc.com, 3 April 2023, tersedia pada https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-64879826, diakses pada tanggal 5 Juli 2023.
[5]Dian Dewi Purnamasari, “Menanti Uju Cerita Kisruh Rp349 Triliun,” Kompas (31 Maret 2023), hlm. 3.
[6]Ibid.
[7]Prayogi Dwi Sulistyo dan Dian Dewi Purnamasari, “Tanpa Norma Kekayaan Tak Sah, LHKPN Hanya Pekerjaan Administratif,” Kompas (27 Maret 2023), hlm. 2.
[8]BBC Indonesia, “Netizen terus ‘buru’ pejabat yang pamer harta, pengamat sebut bentuk ‘perlawanan mereka yang kecewa’,” Bbc.com, 27 Maret 2023, tersedia pada https://www.bbc.com/indonesia/articles/cpr5nrr39qvo, diakses pada tanggal 5 Juli 2023.
[9]Media Indonesia, “RUU Perampasan Aset Dikirim seusai Reses,” Media Indonesia (3 Mei 2023), hlm. 4.
[10]Nikolaus Harbowo, Dian Dewi Purnamasari, dan Kristian Oka Prasetyadi, “Perumusan RUU Perampasan Aset Belum Tuntas,” Kompas (1 April 2023), hlm. 2.
[11]Kurnia Yunita Rahayu dan Dian Dewi Purnamasari, “Komisi III DPR Tunggu Kesiapan Pemerintah Bahas RUU Perampasan Aset,” Kompas (24 Maret 2023), hlm. 3.
[12]World Bank,On the Take Criminalizing Illicit Enrichment to Fight Corruption, (Washington DC: The World Bank, 2012).
[13]Prayogi Dwi Sulistyo, Mawar Kusuma Wulan, dan Cyprianius Anto Saptowalyono, “LHKPN Pintu Masuk Ungkap Korupsi,” Kompas (16 Maret 2023), hlm. 3
[14]Ibid.
[15]Muhammad Fatahillah Akbar, “Kekayaan yang (Tidak) Sah,” Kompas (17 Maret 2023), hlm. 6.
[16]Jeffrey R. Boles, “Criminalizing The Problem Of Unexplained Wealth: Illicit Enrichment Offenses And Human Rights Violations,” New York University Journal of Legislation and Public Policy, Vol. 17, No. 4, (2014), hlm. 852.
[17]Topo Santoso, Asas-Asas Hukum Pidana, ed. 1, cet. 1, (Depok: Rajawali Press, 2023), hlm. 270 – 271.
[18]Topo Santoso, Asas-Asas Hukum…, hlm. 270 – 271.
[19]Jeffrey R. Boles, “Criminalizing The Problem Of Unexplained Wealth: Illicit Enrichment Offenses And Human Rights Violations,” New York University Journal of Legislation and Public Policy, Vol. 17, No. 4, (2014), hlm. 835-865.
[20]World Bank, On the Take…, hlm. 6.
[21]Aristo M.A Pangaribuan, Arsa Mufti dan Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, ed. 1, cet. 2, (Jakarta: RajaGrafindo Pers, 2018), hlm. 283.
[22]Ibid, hlm. 284.
[23]Ibid.
[24]Jeffrey R. Boles, “Criminalizing The Problem Of Unexplained Wealth: Illicit Enrichment Offenses And Human Rights Violations,” New York University Journal of Legislation and Public Policy, Vol. 17, No. 4, (2014), hlm. 835-860.
[25]Ibid.
[26]Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN Tahun 1999 No. 140 TLN No. 3874, selanjutnya disebut UU Tipikor, Pasal 37.
[27]Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 8 Tahun 2010, LN No. 122 TLN No. 5146, selanjutnya disebut UU TPPU, Pasal. 77 dan 78.
[28]UU Tipikor, Pasal 37.
[29]UU TPPU, Pasal 78 dan 79.
[30]World Bank, Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture, (Washington DC: The World Bank, 2009).
[31]Ibid.
[32]Aristo, Pengantar Hukum Acara …, hlm. 29.
[33]E. Murhaini Murtabar, “Asas Praduga Tak Bersalah: Penerapan dan Pengaturannya dalam Hukum Acara Perdata,” Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 3, (2011), hlm. 478.
[34]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 20.
[35]Andri G. Wibisana, Penegakan Hukum Lingkungan: Melalui Pertanggungjawaban Perdata, (Depok: Badan Penerbit FHUI, 2018), hlm. 10.
[36]Dan Wilsher, “Inexplicable wealth and illicit enrichment of public officials: A model draft that respects human rights in corruption cases,” Crime, Law & Social Change, (2006). hlm. 37 – 52.