Oleh: Ahmad Robert Mahzoumy Syatta
Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI
Keterlibatan pers dalam pelaksanaan suatu negara memiliki andil yang sangat penting. Keberadaan pers mampu memberikan kontrol sosial, sarana aspirasi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah, serta mampu menjamin proses akuntabilitas publik dengan lancar. Di samping itu, dalam melaksanakan fungsinya, media pers wajib mematuhi prinsip-prinsip etika jurnalistik, termasuk menyajikan berita secara netral dan berdasarkan data yang valid. Karena itu, peran pers sangat krusial dalam menunjang kemajuan suatu bangsa. Dengan adanya pers, kesadaran masyarakat akan partisipasi aktif dalam pembangunan nasional dapat meningkat, sekaligus mendorong akuntabilitas pemerintah serta mengawasi implementasi kebijakan publik. Dalam perkembangan sejarah Indonesia, pers terbukti memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai pilar demokrasi, media perjuangan kemerdekaan, alat kontrol sosial, dan sarana komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Lebih dari itu, pers sendiri mampu menjadi sarana komunikasi massa yang dapat membentuk opini masyarakat yang lebih kritis dan sehat.
Bersamaan dengan kemajuan teknologi dan pergerakan waktu yang begitu cepat, penerimaan informasi dan berita dari media digital lebih cepat sampai ke masyarakat dan lebih banyak dipilih oleh masyarakat saat ini. Hal ini didasari oleh populasi masyarakat Indonesia yang terus meningkat, yang berdampak besar terhadap peningkatan jumlah pengguna media sosial. Berdasarkan data yang diperoleh We Are Social, dari jumlah populasi yang mencapai 277,7 juta penduduk, sebanyak 191,4 juta menggunakan media sosial. Setengah dari jumlah populasi pengguna media sosial mengonsumsi konten dari influencer yang terdapat di TikTok maupun X. Peningkatan jumlah pengguna media sosial tersebut berdampak terhadap gaya masyarakat dalam mencari dan menemukan informasi maupun berita. Oleh karena itu, jumlah penduduk dan perkembangan media sosial menjadi dua tantangan utama yang harus dihadapi dengan bijak dalam menjamin keberlangsungan pers.
Berdasarkan data yang bersumber dari Reutera Institute Digital News Report 2024, sebanyak 77 persen dari total 90.000 responden dari 47 negara, salah satunya termasuk Indonesia mengaku bahwa mereka memilih membaca berita secara daring. Penelitian tersebut juga melihat adanya pergeseran dalam mengakses berita, yang semula menggunakan media cetak kini menjadi media digital, baik berupa laman internet atau aplikasi. Berdasarkan informasi yang diperoleh GoodStats, media cetak mengalami kemerosotan, sebagaimana pada tahun 2021 terdapat kurang lebih 7,5 juta eksemplar media cetak dalam satu kali terbit; namun, mengalami penurunan menjadi 5 juta eksemplar per terbit pada tahun 2022. Perubahan tersebut didasari pada anggaran cetak yang semakin tinggi dan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengakibatkan media digital menjadi pilihan utama dalam mendapatkan berita. Pada tahun 2018, mengakses laman berita langsung merupakan tujuan utama. Namun, saat ini masyarakat lebih dominan menerima informasi dari media sosial, sehingga mengakses laman berita langsung melalui web atau aplikasi media pers menjadi opsi ketiga. Hal tersebut memungkinkan adanya penerimaan informasi yang sudah tidak murni dan sudah diolah pemilik masing-masing akun media sosial yang kemudian dikenal dengan influencer, serta menggambarkan besarnya potensi masyarakat memperoleh informasi dari media sosial yang akan sangat sulit ditentukan kebenaran dan kredibilitasnya oleh masyarakat awam. Tanpa adanya pertimbangan dalam menerima informasi, masyarakat justru lebih mengutamakan informasi dan berita dari influencer dibandingkan pers.
Selain peralihan sumber informasi dari media cetak ke media digital, realita yang ada saat ini menunjukkan adanya tantangan lain, dimana pemerintah banyak menggelontorkan anggaran iklan kepada influencer dan berkurangnya anggaran pemasukan media pers. Akibatnya, keberlanjutan bisnis media dan kesejahteraan wartawan berada di kondisi yang mengkhawatirkan. Hal tersebut berimplikasi terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) orang-orang yang bekerja di instansi media pers, seperti jurnalis, wartawan, dan sebagainya. Padahal, sudah menjadi kewajiban beberapa elemen, termasuk pemerintah, untuk mengurangi terjadinya pemutusan hubungan kerja. Hal ini berdasar pada Pasal 151 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang telah diubah dengan Pasal 151 Bab IV Ketenagakerjaan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU CK), yang menyatakan bahwa harus ada upaya dari pengusaha, serikat buruh, dan pemerintah untuk meminimalisir PHK.
Berdasar pada informasi yang dicatat oleh Analis Jurnalis Indonesia (AJI), sekitar 1.200 jurnalis mengalami gelombang PHK selama periode tahun 2023-2024. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers Periode 2023-2025, terdapat ketidakadilan alokasi anggaran iklan pemerintah yang banyak dialirkan kepada influencer daripada industri media pers. Beliau juga menyampaikan bahwa pada tahun 2024, pemerintah telah menggelontorkan pembelanjaan iklan nasional sebanyak Rp107 triliun, dimana 44,1 persen dari anggaran tersebut dipergunakan untuk iklan digital dan 70-80 persen dari anggaran tersebut diserap untuk pembiayaan beberapa platform global seperti Meta. Hal tersebut pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan pers yang mengalami gelombang PHK. Salah satu industri media pers yang menerapkan PHK adalah Sea Today karena adanya pengurangan dalam program perusahaan. Selain itu, menurut Ninik Rahayu, Dewan Pers menerima laporan dari beberapa media pers terkait gelombang PHK yang terjadi, seperti Emtek sebanyak 100 orang, CNN sebanyak 200 orang, dan Kompas TV sebanyak 150 orang. Menurut beliau, informasi yang tercatat tersebut belum mencakup fakta yang terjadi di lapangan, karena masih banyak media pers yang enggan melaporkan bahwa telah melakukan PHK. Faktor utama dari PHK adalah pendapatan perusahaan media yang terus menurun, dimana kurang lebih 75% pendapatan iklan nasional dialihkan ke platform digital dan media sosial.
Perubahan yang terjadi pada dasarnya bukan menjadi sebuah permasalahan; justru, hal tersebut dapat menjadi sebuah langkah positif dari media pers untuk bisa menyesuaikan dengan kebutuhan. Namun, adanya fakta berupa pengalihan anggaran iklan terhadap platform digital dan media sosial menimbulkan beberapa spekulasi. Apakah pemerintah memanfaatkan media sosial melalui influencer untuk membangun citra positif pada masyarakat? Sebab beberapa kebijakan yang telah dibuat terkadang dinilai kurang layak atau bahkan tidak layak diterapkan. Kesadaran atas ketidaklayakan suatu kebijakan nyatanya terlahir dari gejolak kritik masyarakat, yang kemudian menyadarkan pemerintah untuk memperbaiki kebijakan yang sudah terlanjur disahkan.
Sebagai salah satu contoh, tahun lalu Presiden Republik Indonesia yang ketujuh mengundang beberapa influencer untuk mengikuti kunjungan ke Ibu Kota Nusantara (IKN). Agenda kunjungan ke IKN dengan membawa influencer tersebut mendapat tanggapan dari beberapa pengamat dan ahli. Salah satunya adalah Mantan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP) Jakarta, Jamiluddin Ritonga, yang menyampaikan bahwa keterlibatan influencer dalam kunjungan kerja tersebut memiliki dua alasan. Pertama, kehadiran influencer diharapkan mampu memoles dan menutupi citra negatif masyarakat terhadap IKN. Kedua, keterlibatan influencer diharapkan mampu mengemas konten agar masyarakat mendukung IKN. Hal tersebut dinilai penting akibat pandangan negatif masyarakat Indonesia terhadap IKN, yang semakin dirasakan ketika proses pembangunan berjalan. Banyak dari masyarakat yang menyoroti berbagai macam dampak negatif dari pembangunan IKN, baik dari penduduk lokal maupun dari masyarakat Indonesia pada umumnya. Banyak dari kalangan penduduk lokal merasa dirugikan, karena ketika lahan tempat tinggal mereka digusur, uang pengganti yang mereka terima tidak setara dengan harga tanah yang semakin naik. Beliau juga menyatakan bahwa hal tersebut akan menjadi simalakama bagi influencer yang terlibat. Tindakan yang dilakuan influencer tersebut berdampak buruk, baik terhadap mereka sendiri maupun pandangan dari publik. Ketika mereka mendukung proyek tersebut, maka mereka akan dinilai pro terhadap kebijakan pemerintah, dan ketika mereka tidak mendukung maka mereka akan kehilangan proyek.
Kekhawatiran akan berita yang disampaikan oleh influencer juga muncul ketika mereka menerima biaya iklan dan sponsor yang tidak sedikit dari anggaran pemerintah. Akibatnya, output berita yang lebih memihak akan sangat berpotensi terjadi. Faktor utama yang mendasari hal tersebut, apabila dikaitkan dengan pandangan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah saat ini, adalah karena memang tujuan utama pemerintah adalah untuk membangun citra positif pemerintah itu sendiri. Padahal, tujuan adanya informasi dan berita yang dikeluarkan oleh lembaga pers adalah untuk menumbuhkan demokrasi di kalangan masyarakat. Influencer tersebut terbukti memiliki dampak yang cukup besar dalam memengaruhi opini publik. Berdasarkan hasil penelitian dan survei dalam jurnal yang ditulis oleh Juliana Saragih dan kawan-kawan, bahwa influencer terutama melalui Instagram mampu mendorong dan membentuk opini publik dalam partisipasi politik. Pada dasarnya, memang influencer saat ini mengalami transformasi dari yang hanya sekadar konten kreator menjadi pemimpin digital yang mampu memengaruhi opini publik.
Namun, berdasarkan informasi tersebut, apakah memang layak terdapat kompetensi serta aturan hukum terkait influencer sebagaimana pers yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers)? Padahal, influencer merupakan akun yang dimiliki secara individu serta bukan berbentuk badan yang memiliki wewenang dalam penyebaran berita dan informasi. Sebab, memang saat ini banyak kalangan influencer memberikan informasi dan berita yang terkadang kurang valid, namun banyak dipercayai oleh masyarakat. Lalu, dengan adanya peralihan alokasi anggaran dari pers oleh pemerintah terhadap para influencer justru akan berdampak pada terhalangnya pertumbuhan demokrasi dan kesejahteraan pers.
Perkembangan teknologi yang terus berkembang dengan ditandai beralihnya beberapa berita dari media cetak ke media digital seharusnya mampu menjadikan media pers saat ini tetap menjadi opsi utama masyarakat dalam memperoleh berita dan informasi. Namun, pada realitanya perkembangan media digital saat ini menjadi hambatan dalam kesejahteraan media pers dengan terbukti maraknya PHK pada jurnalis. Pembiayaan terhadap media pers yang berkurang akibat ketimpangan alokasi anggaran pemerintah yang lebih mengutamakan influencer dan platform digital (Rp107 triliun pada 2024) dibandingkan media pers berdampak pada adanya pelanggaran terhadap pasal 151 UU Ketenagakerjaan sebagaimana diubah oleh UU CK. Seharusnya, perkembangan media digital saat ini tidak dijadikan sebagai sebuah alasan untuk menggantikan keberadaan media pers. Oleh karena itu, perlu adanya penyesuaian anggaran pemerintah untuk tetap mendukung kesejahteraan media pers.
Sebagai negara yang berasas demokrasi, berdasarkan UU Pers, kebebasan pers merupakan hal yang harus dipertahankan. Sebagai upaya untuk mempertahankan keberadaan pers, diperlukan adanya perhatian terhadap keberlangsungan dan keberlanjutan kegiatan pers. Melalui UU Pers, pers memiliki wewenang untuk memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi kepada publik. Lebih dari itu, dalam pelaksanaan kegiatan pers, Dewan Pers membuat beberapa regulasi yang bertujuan untuk membentuk pelaksanaan pers yang lebih profesional dan berkualitas, salah satunya diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 03/PERATURAN-DP/IV/2024. Regulasi tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mendorong kepatuhan perusahaan pers sesuai dengan Standar Perusahaan Pers, yang berfungsi dalam mencegah penyalahgunaan profesi oleh wartawan dan melindungi publik dari pers yang tidak profesional. Selain dari aspek kualitas dan profesionalisme, jaminan atas kesejahteraan jurnalis harus dipertahankan demi keberlangsungan pers. Sebagai salah satu regulasi yang mengatur tentang Cipta Kerja, UU CK harus memberikan perlindungan kerja terhadap pekerja media dan digital, mengingat bahwa jurnalis juga merupakan pekerja yang harus memperoleh hak-hak dasar.
Berbagai isu yang telah menimpa dunia pers, khususnya terhadap para jurnalis di Indonesia saat ini, harus segera diatasi dengan baik. Pengakuan pers secara hukum harus diperkuat dengan kebijakan pemerintah yang mendukung keberlangsungan pelaksanaan pers di Indonesia. Melalui lembaga pers, masyarakat dapat memperoleh informasi dan berita, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, sebagai bentuk apresiasi terhadap pers dalam mewujudkan keberlangsungan demokrasi, sudah selayaknya pemerintah memberikan dukungan lebih kepada media pers. Salah satu bentuk bentuk dukungan terhadap media pers adalah dengan memberi upah yang layak dan memberikan apresiasi atau bonus dalam kegiatan-kegiatan tertentu berdasarkan pasal 151 UU Ketenagakerjaan sebagaimana diubah oleh UU CK.
Menjadikan Influencer sebagai media berita dan informasi jelas tidak sesuai dengan UU Pers, sebab tidak sesuai dengan standar jurnalistik, tidak ada pertanggungjawaban hukum, dan tidak diatur dalam payung hukum pers yang bisa diawasi melalui Dewan Pers. Keberadaan influencer memang lebih dikenal dan mudah ditangkap oleh masyarakat akibat beberapa faktor. Kedekatan influencer terhadap audience, melalui penggunaan bahasa daerah dan integrasi nilai-nilai tradisional, menjadi dua dari beberapa faktor influencer dalam memengaruhi opini publik. Padahal, sebenarnya influencer tidak memiliki wewenang dalam menyebarkan informasi dan berita. Bukan karena mereka tidak berhak, tapi lebih kepada tidak ada regulasi yang menjamin akan substansi berita yang akan dipublikasi oleh para influencer tersebut. Oleh karena itu, pengalokasian anggaran iklan kepada influencer yang berdampak terhadap pemotongan anggaran kepada media pers dinilai kurang tepat.
Perkembangan teknologi yang ditambah dengan pengalihan anggaran iklan pemerintah ke influencer mengakibatkan krisis multidimensi bagi media pers, mulai dari gelombang PHK 1.200 jurnalis, hingga melemahnya demokrasi. Peralihan anggaran iklan ke influencer yang mengakibatkan PHK jelas melanggar Pasal 151 UU Ketenagakerjaan sebagaimana diubah oleh UU CK. Sebagai upaya dalam menumbuhkan demokrasi dan meningkatkan pemikiran kritis masyarakat Indonesia, pemerintah perlu melakukan penataan ulang terhadap kebijakan dan alokasi anggaran iklan, dan memperkuat literasi media masyarakat. Melalui hal tersebut, diharapkan kedepannya media pers mampu untuk kembali hadir untuk mewujudkan tujuan media pers sebagai pilar demokrasi, media perjuangan kemerdekaan, alat kontrol sosial, dan sarana komunikasi antara pemerintah dan rakyat.
Daftar Pustaka
Peraturan
Undang-Undang Tentang Pers, UU Nomor 40 Tahun 1999. LN Tahun 1999 No. 166 TLN NO. 3887.
Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 13 Tahun 2003. LN Tahun 2003 No. 39 TLN No. 427.
Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, UU Nomor 6 Tahun 2023. LN Tahun 2023 No. 41 TLN No. 6856.
Peraturan Dewan Pers Tentang Pedoman Perilaku dan Standar Profesional, Peraturan Dewan Pers Nomor 03/PERATURAN-DP/IV/2024.
Jurnal
Efendi, Erwan. Et al. “Peran Pers dalam Membangun Negara dan Daerah.” Innovative: Journal of Social Science Research. Vol. 3. No. 5 (2023). Hlm 8156- 8170.
Gasperz, Rivalda. Et al. “Peran Influencer Media Sosial Dalam Membentuk Opini Publik: Systematic Literature Review Pada Studi Kasus Di Indonesia.” Jurnal BADATI Ilmu Sosial & Humaniora. Vol. 6. No. 2 (2024). Hlm. 254 – 265.
Ghani, Hakim Abdul, Irfan Nabhani dan Hera Laxmi Devi Septiani. “Penerimaan Warganet Terhadap Berita Dari Influencer vs Media Massa (Analisis Penerimaan Pembaca Terhadap Berita yang Dibuat Influencer vs Media Massa di Media Sosial) (Studi Kasus Garut Update vs Harian Garut News).” Journal of Enterpreunership and Strategic Management. Vol. 03. No. 01 (2024). Hlm. 51- 69.
Saragih, Juliana. Et al. “Peran Influencer Instagram Dalam Membentuk Opini Publik Dan Partisipasi Politik.” Journal Education and Government Wiyata. Vol. 2. No. 4 (2024). Hlm. 396 – 406.
Sondakh, Glenn Yericko. Et al. “Pengaruh Belanja Modal Pemerintah Daerah Dan Investasi Swasta Terhadap Kesempatan Kerja Dan Pertumbuhan Ekonomi Di Kota Manado (Tahun 2006-2015).” Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi. Vol. 17. No. 01 (2017). Hlm. 146-156.
Lain-lain
Budadio, Nicky Aulia. Budhi, Oki. “Masyarakat lokal ‘merasa terusir’ dari tanah mereka saat IKN digadang jadi ‘magnet ekonomi baru’ – ‘Kami tidak akan melihat kota itu’.” Bbc.com, 27 Maret 2024. Tersedia pada https://www.bbc.com/indonesia/articles/cljl4lzw2dxo. Diakses pada tanggal 19 Mei 2025.
Javier, Faisal. “Media Sosial, Akses Berita Daring Terpopuler.” Tempo.co, 2 Juli 2024. Tersedia pada https://www.tempo.co/data/data/media-sosial-akses-berita-daring-terpopuler-991197. Diakses pada tanggal 12 Mei 2025.
Mualif. “Pers : Pengertian, Fungsi, Peranan dan Perkembangan Pers di Indonesia.” An-nur.ac.id, 4 November 2022. Tersedia pada https://an-nur.ac.id/pengertian-fungsi-peranan-dan-perkembangan-pers/. Diakses pada tanggal 15 Mei 2025.
Muhid, Hendrik Khairul. ”Soal Jokowi Ajak Sejumlah Influencer ke IKN, Pengamat Politik: Cara Instan Poles Citra Positif.” Tempo.co, 30 Juli 2024. Tersedia pada https://www.tempo.co/politik/soal-jokowi-ajak-sejumlah-influencer-ke-ikn-pengamat-politik-cara-instan-poles-citra-positif-34414. Diakses pada tanggal 19 Mei 2025.
Putra, Nandito. “Dewan Pers Kritik Alokasi Iklan Pemerintah ke Media Sosial dan Konten Kreator.” Tempo.co, 5 Mei 2025. Tersedia pada https://www.tempo.co/ekonomi/dewan-pers-kritik-alokasi-iklan-pemerintah-ke-media-sosial-dan-konten-kreator-1343086. Diakses pada tanggal 6 Mei 2025.
Putra, Nandito. “Ketua Dewan Pers: Tidak Semua Media Melaporkan Telah Melakukan PHK.” Tempo.co, 4 Mei 2025. Tersedia pada https://www.tempo.co/ekonomi/ketua-dewan-pers-tidak-semua-media-melaporkan-telah-melakukan-phk-1334447. Diakses pada tanggal 13 Mei 2025.
Putri, Adel Andila. “Pergerseran Media Cetak ke Media Digital Semakin Pesat di Indonesia.” Goodstate.id, 27 September 2023. Tersedia pada https://goodstats.id/article/pergerseran-media-cetak-ke-media-digital-semakin-pesat-di-indonesia-dUslO. Diakses pada tanggal 12 Mei 2025.
Putri, Budiarti Utami. “Kebiasaan Pemerintah Pakai Influencer Dianggap Ciptakan Realitas Semu.” Tempo.co, 16 Agustus 2020. Tersedia pada https://www.tempo.co/politik/kebiasaan-pemerintah-pakai-influencer-dianggap-ciptakan-realitas-semu-591440. Diakses pada tanggal 12 Mei 2025.
Taufik. “Dewan Pers Desak Pemerintah Fokuskan Belanja Iklan ke Media Massa, Bukan Influencer.” Banten.viva.co.id, 6 Mei 2025. Tersedia pada https://banten.viva.co.id/berita/6203-dewan-pers-desak-pemerintah-fokuskan-belanja-iklan-ke-media-massa-bukan-influencer?page=all. Diakses pada tanggal 12 Mei 2025.
Wisnuadi, Krisno. “Statistik Menarik Industri Digital Di Indonesia Tahun 2025.” Dipstrategy.co.ic, 5 April 2025. Tersedia pada https://dipstrategy.co.id/blog/statistik-menarik-industri-digital-di-indonesia-tahun-2025/. Diakses pada tanggal 10 Mei 2025.