Oleh : Jacenia Yolanda Kylie dan Ghania Latifa Rizni
Staf Bidang Jurnalistik LK2 FHUI
Belum lama ini masyarakat digemparkan oleh rekaman video penangkapan anak perempuan Nikita Mirzani, yakni L (17). Diketahui penangkapan ini dilatarbelakangi oleh laporan Nikita terhadap Vadel (19) yang merupakan kekasih dari L. Nikita meyakini bahwa Vadel telah melakukan kejahatan berupa persetubuhan dan aborsi kepada L. Demi memperkuat klaimnya ini, Nikita pun meminta L untuk melakukan visum. Akan tetapi, L yang merasa klaim ini tidak berdasar dan hanya kebohongan pun akhirnya menolak untuk melakukan visum. Merasa tidak memiliki jalan keluar lain, Nikita akhirnya menjemput paksa L dari unit apartemennya. Dari siaran langsung akun tiktok @dr.okypratamaa terlihat bahwa penjemputan paksa itu dilakukan secara kasar. L, seorang pengguna hijab, dipaksa untuk segera keluar dari unitnya meskipun dia tidak berpakaian secara layak. Padahal, proses penjemputan paksa itu dihadiri oleh beberapa laki-laki. Kemudian, L diminta untuk segera berpakaian yang layak dengan cara dibentak di depan banyak orang. Dengan kondisi menangis hingga menjerit, L digotong keluar, disaksikan oleh sejumlah wartawan. Berita ini kemudian menjadi viral di media massa dan sosial media. Maka dari itu, timbullah pertanyaan di benak masyarakat, apakah tindakan penjemputan paksa yang dilakukan oleh Nikita terhadap L ini telah sesuai dengan prosedur yang ada dan dapat dibenarkan secara hukum?
Kualifikasi anak dalam sistem hukum di Indonesia
Anak sejatinya berada dalam masa pertumbuhan, di mana mereka membutuhkan perhatian, perlindungan, dan pendidikan untuk dapat berkembang secara optimal baik dari segi fisik, mental, maupun emosionalnya. Menurut Convention on The Rights of The Child, anak merupakan setiap manusia yang berumur di bawah delapan belas tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku bagi anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Dengan kata lain, seorang anak merupakan individu yang belum mencapai umur dewasa. Selain itu, Pada Sistem hukum di Indonesia, batasan kualifikasi umur dewasa cukup beragam. Menurut Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), dan Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI), mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum pernah kawin digolongkan sebagai seorang yang belum dewasa. Sedangkan menurut peraturan perundang-undangan lain seperti Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun dan belum menikah.
Dalam hal proses peradilan pidana, sistem hukum di Indonesia memiliki undang-undang khusus untuk anak dalam proses peradilan, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Menurut UU ini, anak yang diduga melakukan tindak pidana memiliki kualifikasi umur sudah berusia 12 tahun, tetapi belum berusia 18 tahun. Sementara itu, anak yang berstatus sebagai korban maupun saksi adalah mereka yang belum berusia 18 tahun. Jadi, seluruh anak yang berurusan dengan hukum khususnya perkara pidana seperti kasus L, harus diperlakukan sesuai dengan UU ini.
Hak Perlindungan Identitas Anak yang Berurusan dengan Peradilan Pidana
Secara general, hukum acara pidana atau hukum yang mengatur prosedur peradilan pidana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, KUHAP dalam konteks ini dinilai belum cukup melindungi kepentingan anak. Lalu, apa sebenarnya kepentingan anak itu? prinsip kepentingan terbaik bagi anak pada dasarnya menekankan bahwa keputusan yang diambil harus selalu memprioritaskan kesejahteraan dan perkembangan anak. Peradilan pidana seringkali mengintimidasi dan dapat menimbulkan trauma bagi kesejahteraan dan perkembangan anak. Maka, untuk menghindarkan anak dari hal tersebut, UU SPPA hadir sebagai payung hukum yang mengatur tata cara penanganan anak yang terlibat dalam perkara pidana. Agar peradilan pidana anak dapat melindungi kepentingan anak, terdapat sejumlah hak anak yang harus dipenuhi dalam proses peradilan pidana. Hak-hak ini disebutkan dalam Pasal 3 UU SPPA.
Salah satu hak yang disebutkan dalam pasal tersebut adalah terkait hak anak untuk tidak dipublikasikan identitas nya. Selanjutnya, Pasal 19 UUPA menegaskan bahwa untuk melindungi identitas anak, semua informasi yang berkaitan dengan anak harus dirahasiakan dalam pemberitaan di media, baik itu media cetak maupun elektronik. Hak anak untuk tidak dipublikasikan identitasnya menjadi begitu penting, karena bertujuan untuk menghindari labelisasi terhadap anak. Anak dianggap masih memiliki proses panjang dalam perkembangan hidupnya. Untuk itu, perilaku lalai yang ia lakukan saat masih berstatus sebagai anak seharusnya tidak mendefinisikan siapa dirinya saat menjadi dewasa. Belum lagi, di tengah kemajuan teknologi informasi, masyarakat menjadi lebih mudah menghakimi dan melabelisasi seseorang berdasarkan sepenggal informasi yang didapatkan. Hal ini tentu menjadi suatu hal yang sangat merugikan bagi seorang anak karena masih memiliki masa depan panjang.
Ambiguitas peran orang tua dalam kasus ini
Proses penanganan L sebagai seorang anak yang masih berusia 17 tahun seharusnya mengacu pada UU SPPA. L sebagai korban pada kasus ini berhak untuk dipenuhi hak anak nya. Namun, pada peristiwa penjemputan paksa yang dialami L, terdapat sejumlah haknya sebagai anak yang tidak terpenuhi khususnya untuk tidak dipublikasikan identitasnya. Proses penjemputan paksa justru disiarkan langsung melalui akun tiktok @dr.okypratamaa dan dibagikan secara luas di sosial media. Sejumlah akun di sosial media menyoroti hal tersebut dengan membangun narasi yang merendahkan martabat L sehingga Publikasi yang beredar tidak mengedepankan kepentingan anak.
Narasi-narasi yang beredar atas kejadian ini membentuk pandangan buruk masyarakat terhadap L. Seperti yang telah dijelaskan di atas, kewenangan orang tua hadir sebagai upaya untuk melindungi anak dan memastikan proses peradilan tidak akan memberikan dampak negatif pada anak. Namun, dalam kasus ini Nikita seolah cherry picking dalam melakukan kewenangannya. Orang tua tidak seharusnya hanya menggunakan kewenangannya dalam kapasitas tertentu, misalnya, untuk mendukung atau melindungi anak dari aspek yang mereka anggap penting, tetapi mengabaikan kewajiban untuk melindungi kesehatan mental dan emosional anak ketika anak tersebut berhadapan dengan sistem peradilan. Dalam kasus L yang diduga terlibat dalam kasus persetubuhan dan aborsi, penting bagi orang tua untuk bertindak dengan mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan hukum dan kesejahteraan anak. Kewajiban ini termasuk dalam memberikan dukungan emosional serta memastikan bahwa anak tidak dieksploitasi atau digunakan untuk tujuan tertentu yang dapat menimbulkan tekanan lebih lanjut. Dalam hal ini, Nikita seolah membiarkan orang dewasa yang menjemput L menggunakan kekerasan, pemaksaan, bahkan dengan mudahnya mengambil video dan mempublikasikannya ke khalayak umum.
Hal ini semakin memperkuat fakta bahwa proses penjemputan paksa terhadap L melanggar sejumlah ketentuan, khususnya pada UU SPPA. Pasal 3 huruf I UU SPPA menyatakan bahwa setiap anak dalam proses peradilan berhak untuk tidak dipublikasi identitas nya. Di mana, proses penjemputan paksa ini juga sangat bertentangan dengan Pasal 72 ayat 5 Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) yang menyatakan bahwa seharusnya media massa mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Larangan untuk pemberitaan identitas anak dilakukan untuk menghindari labelisasi. Namun, realitanya saat ini dengan identitas L yang sudah diketahui banyak orang, L mendapatkan citra buruk atas perlakuannya.
Kesimpulan
Tindakan penjemputan paksa dan pemberitaan yang mengungkap identitas L secara terbuka merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak anak yang diatur dalam UU SPPA dan UU PA. L sebagai anak seharusnya diperlakukan lebih layak, dan berhak untuk tidak dipublikasikan identitas nya. Publisitas terhadap identitas L menyebabkan labeling oleh masyarakat yang sangat merugikan L sebagai seorang anak.
Oleh sebab itu, sudah selayaknya perlindungan hukum terhadap anak harus diprioritaskan, termasuk melindungi anak dari tekanan publik dan media, serta memastikan bahwa proses peradilan berjalan dengan tetap mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, agar anak tidak mengalami trauma psikologis atau stigma sosial yang berkepanjangan.