Oleh Tania Yollanda
Staf Bidang Jurnalistik LK2 FHUI 2025
Semakin maraknya penggunaan Artificial Intelligence (AI) tak selalu memberikan dampak positif seperti yang kita semua harapkan. Nyatanya, banyak seniman yang merasa dirugikan oleh eksistensi sistem canggih ini, terutama di bidang industri kreatif. Kita dapat melihat banyaknya keluhan yang dicurahkan oleh seniman-seniman lokal, terkhusus di media sosial. Lantas, seperti apa masalahnya? Apakah Indonesia telah memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi seniman di tengah kemajuan teknologi AI?
Hubungan antara AI dan seniman sering kali digambarkan secara tidak seimbang. AI dapat menghasilkan ribuan gambar dengan instan, sementara seniman menghadirkan karya yang sarat akan gaya, cerita, dan keunikan tersendiri. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan: mana yang lebih layak dihargai—karya manusia yang autentik atau produk instan dari sistem canggih? Permasalahan ini menjadi titik puncak perbincangan di kalangan masyarakat ketika Kementerian Komunikasi dan Digital (KOMDIGI) Republik Indonesia telah merilis beberapa video animasi menggunakan AI. Salah satu yang terpopuler adalah video iklan animasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menerima lebih banyak respons negatif oleh netizen. Dilansir dari majalah Tempo, pemerintah dinilai kurang mendukung para seniman lokal yang sebenarnya memiliki potensi untuk menciptakan animasi, baik dalam bentuk gambar maupun video, yang kualitasnya sama atau bahkan lebih baik dibandingkan dengan yang dibuat oleh AI. Hal ini juga dilihat dari respon masyarakat di media sosial X, terdapat beberapa cuitan netizen yang menyebutkan bahwa pemerintah lebih memilih untuk ‘menghemat pengeluaran’ dengan mengandalkan AI daripada membayar komisi pada seniman. Pernyataan ini pun semakin mencuat dan mengundang kekecewaan publik. Oleh sebab itu, diperlukan aturan hukum yang tegas dan mengikat untuk memastikan seniman tetap terlindungi dan karya seni manusia tidak terpinggirkan oleh pesatnya perkembangan AI.
Perdebatan Karya Seni Buatan AI dan Karya Seni Buatan Manusia
Dewasa ini, kehadiran AI sebagai teknologi yang mampu mempermudah aktivitas manusia sehari-hari menjadi hal yang tak terbantahkan. Contohnya, ketika ide untuk menulis, menggambar, atau berkarya mulai buntu, AI seringkali menjadi pilihan praktis meski hal ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang ketergantungan dan terpinggirkannya kreativitas manusia. Namun, sayangnya penggunaan AI dalam pembuatan karya seni tergolong mengkhawatirkan. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi), Nezar Patria menilai iklan program Makan Bergizi Gratis (MBG) Komdigi yang menggunakan AI adalah bentuk kreativitas. Pendapat ini didukung dengan anggapan bahwa karya seni AI lebih praktis, mudah digunakan, dan dapat menghasilkan karya seni dalam waktu yang singkat dan bisa didapat dengan harga yang lebih murah. Di sisi lain, banyak media yang membahas tentang reaksi negatif dari warganet di media sosial. Mereka berpendapat bahwa penggunaan AI berpotensi menggantikan seniman. Bukan tanpa alasan, opini ini berasal dari pemikiran bahwa profesi seniman semakin tidak dibutuhkan dan jasanya tidak lagi digunakan, padahal menciptakan seni adalah salah satu cara yang mereka gunakan untuk menghasilkan uang. (Fadilla, Ramadhani, & Handriyotopo, 2023). Perbedaan pendapat ini memecah publik ke dua kubu, yaitu pro dan kontra terhadap penggunaan AI dalam seni.
Meskipun AI menawarkan kemudahan dan efisiensi dalam pembuatan karya seni, kekhawatiran para seniman bahwa semakin berkembangnya teknologi ini justru akan mengurangi nilai dan makna dari seni itu sendiri adalah benar adanya. Seniman, yang selama ini menjadi penggerak budaya dan kreativitas, berisiko kehilangan tempatnya di dunia seni. Ketergantungan pada AI dapat mengarah pada keseragaman karya, di mana kecanggihan mesin menggantikan ciri khas dan keberagaman gaya yang hanya bisa dihasilkan oleh manusia. Selain itu, karya seni yang dihasilkan AI meskipun tampak menarik dan inovatif, sering kali tidak memiliki kedalaman emosional yang hanya bisa tercipta melalui pengalaman hidup dan perasaan pribadi seorang seniman.
Karya Seni Buatan Manusia adalah Seni Sejati
Mengapa kita harus lebih menghargai karya seni buatan manusia daripada AI? Karya seni manusia, acap kali dipengaruhi oleh pengalaman hidup, suasana hati, serta gaya seni sang seniman yang menjadi ciri pembeda antara seniman yang satu dengan yang lain. Setiap goresan, warna, atau bentuk yang diciptakan manusia bukan hanya soal teknik, tetapi juga mengandung makna, nilai, atau ekspresi personal yang tidak dapat ditiru sepenuhnya oleh teknologi. Seni manusia juga sering terinspirasi oleh perjalanan hidup, budaya, kepercayaan, pergulatan batin, serta refleksi mendalam atas dunia. Ketidaksempurnaan atau cacat dalam karya manusia justru menjadi ciri khas, tanda keunikan, dan keaslian sesuatu yang sulit dicapai oleh algoritma AI yang bekerja secara logis dan terprogram. Selain itu, karya seni buatan manusia terkadang memiliki konteks sosial dan historis. Karya seni bukan hanya produk estetika, tetapi juga sarana komunikasi antar manusia yang dapat membawa pesan, kritik, atau harapan yang lahir dari realitas.
Mari bandingkan karya seni Van Gogh dengan Frida Kahlo. Karya Van Gogh menggunakan aliran pascaimpresionisme (post–impressionism) dan dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya, salah satunya dari kehidupannya di rumah sakit jiwa. Sementara itu, Frida Kahlo cenderung menggunakan aliran surealisme dan sarat akan feminisme. Ini menandakan bahwa seni sangat terikat pada pembuatnya, berasal dari imajinasi masing-masing yang tidak bisa dibuat oleh AI karena AI sendiri bekerja dengan data-data hasil input manusia. Karya seni buatan manusia dapat membuat kita merasakan pesan mendalam yang disampaikan, baik itu kesedihan, kesenangan, ataupun sindiran. Hal ini kontradiktif dengan karya seni buatan AI, yang sering kali memiliki pola yang sama dan berulang, tingkat simetri yang tinggi, serta absennya ketidaksempurnaan alami yang umum ditemukan dalam seni buatan manusia. Oleh sebab itu, tidak lagi mengherankan, ketika kita melihat suatu jenis karya tertentu, kita dapat tahu seketika bahwa karya itu adalah buatan AI. Hal-hal inilah yang menjadi bukti bahwa karya seni buatan manusia adalah seni sejati.
Melindungi Karya Seni Buatan Manusia di Tengah Maraknya AI
Kenyataan bahwa AI banyak membantu pekerjaan manusia tidaklah salah. Namun, hal ini menjadi disayangkan ketika manusia justru lebih mengandalkan hasil pekerjaan mesin daripada manusia sendiri. Dalam hal karya seni, terutama yang bentuknya gambar, kita perlu mengetahui mengapa AI dapat menghasilkan gambar sesuai keinginan kita. Seperti dijelaskan dalam artikel Hukumonline berjudul “Menyoal Aspek Hak Cipta atas Karya Hasil Artificial Intelligence”, AI bisa membuat gambar karena ia “belajar” dari jutaan gambar buatan manusia yang bersumber dari gambar-gambar digital yang tersebar di internet. Ia mengenali pola, gaya, dan bentuk, lalu menciptakan kombinasi baru dari semua pengetahuan itu. AI mengumpulkan data dari jutaan gambar di internet dan banyak di antaranya merupakan karya buatan manusia yang dilindungi oleh hak cipta. Meski hasil akhirnya berbeda, pola dan gaya karya buatan manusia yang diunggah di internet ikut diserap dan digunakan tanpa izin pencipta aslinya. Penggunaan AI yang tidak bijak inilah yang kemudian dapat menjadi bentuk eksploitasi terhadap kerja keras para seniman.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa melindungi karya seni buatan manusia sangatlah penting. Melindungi hak seniman dan menjaga eksistensi karya seni manusia di tengah kemajuan teknologi kecerdasan buatan atau AI membutuhkan regulasi yang jelas dan tegas. Pada dasarnya, di Indonesia sendiri, telah terdapat sejumlah regulasi yang mengatur perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan hak kekayaan intelektual. Landasan konstitusional mengenai hal tersebut dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tepatnya Pasal 28C ayat (1). Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang berhak mendapat manfaat melalui seni dan pengetahuan. Apabila dihubungkan dengan seorang seniman, maka ia dapat menjadikan karya seninya sebagai mata pencaharian untuk mensejahterakan hidupnya. Dengan kata lain, negara berkewajiban untuk menciptakan ruang yang aman dan adil bagi seniman agar mereka dapat terus berkarya tanpa tersingkirkan oleh keberadaan teknologi, termasuk AI.
Selanjutnya, perlindungan hukum terhadap karya cipta juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang-undang ini memberikan perlindungan hukum terhadap berbagai karya cipta, seperti karya seni, sastra, maupun komposisi musik yang dibuat oleh manusia. Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Hak cipta melindungi hak eksklusif, hak moral, dan hak ekonomi bagi pencipta karya. Perlindungan selebihnya terkandung dalam setiap Pasal dalam UU Hak Cipta yang harus dijamin kepastiannya. Mekanisme yang dilakukan AI adalah pengambilan data dari karya yang sudah ada meskipun ada modifikasi di dalamnya. Maka dari itu, karya seni yang diciptakan oleh manusia memiliki perlindungan hukum penuh dari tindakan penyalinan maupun pemanfaatan tanpa izin, termasuk yang dilakukan oleh teknologi seperti AI.
Ruang Aman bagi Seniman
Kemajuan teknologi, seperti kecerdasan buatan, seharusnya tidak menjadi ancaman bagi keberadaan para seniman. Teknologi seharusnya membantu kreativitas manusia, bukan menggesernya. Baik negara maupun masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk menyediakan ruang aman bagi seniman agar mereka tetap dapat berkarya, dihargai, dan memperoleh perlindungan yang layak. Seni tidak hanya berupa gambar yang memiliki nilai estetika, tetapi di dalamnya terdapat ungkapan perasaan, pengalaman, dan pesan dari penciptanya. Sudah saatnya kita memberikan dukungan nyata kepada seniman lokal melalui pembiayaan, pelatihan, dan pelibatan langsung dalam proyek-proyek pemerintah maupun swasta. Sebab, menciptakan ruang aman bagi seniman adalah kewajiban kita bersama.
Meskipun Indonesia telah mengatur regulasi mengenai hak cipta, tampaknya belum ada pasal yang secara eksplisit mengatur perlindungan suatu karya terhadap AI. Sebagai contoh praktik perlindungan hak cipta dalam konteks AI di negara lain, pada tahun 2018, pemerintah Jepang melakukan amendemen terhadap Undang-Undang Hak Cipta mereka dengan menambahkan ketentuan yang secara khusus mengatur aspek penggunaan AI. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 30 ayat (4) serta Pasal 47 ayat (4) dan (5). Dalam aturan tersebut, setiap orang diperbolehkan melakukan penambangan data (data mining) terhadap karya yang dilindungi hak cipta untuk tujuan analisis data dalam proses pembelajaran mesin (machine learning), yang merupakan fondasi utama dari program berbasis AI. Namun, izin ini bersifat terbatas, di mana kegiatan penambangan data hanya diperbolehkan apabila benar-benar diperlukan, tidak digunakan untuk menikmati karya sebagai hiburan, dan tidak menimbulkan kerugian terhadap pemilik hak cipta. Oleh karena itu, generator seni berbasis AI seperti Stable Diffusion atau Midjourney adalah ilegal di bawah regulasi Jepang karena melakukan data mining yang berpotensi merugikan pencipta asli dari karya tersebut. Peraturan ini menunjukkan bahwa Jepang mencoba menyeimbangkan inovasi teknologi dengan perlindungan terhadap hak ekonomi dan moral seniman. Langkah hukum seperti ini bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia untuk merancang regulasi yang adil dan berpihak pada para seniman lokal, tanpa menghambat kemajuan teknologi.