Oleh: Mar’atul Mufarrihah
Staf Literasi dan Penulisan
Konvensi Kerangka Kerja Persatuan Bangsa-Bangsa (“PBB”) tentang Perubahan Iklim yaitu United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) merupakan sebuah konvensi yang secara hukum mengikat (legally binding). Konvensi ini diadakan di Paris dengan menghasilkan sebuah perjanjian yang kemudian disebut sebagai Paris Agreement. Paris Agreement dibuka untuk ditandatangani pada tanggal 22 April 2016, dimana untuk menjadi pihak, suatu negara kemudian harus menyatakan persetujuan terikat melalui proses ratifikasi setidaknya 55 negara dari 55% emisi Gas Rumah Kaca (“GRK”). Dalam konvensi ini, setiap negara maju maupun negara berkembang diberikan kesempatan untuk ikut berkontribusi. Untuk memastikan putusan yang dihasilkan, para anggota yang tergabung didalamnya mengadakan pertemuan setiap tahun melalui Conference of the Parties (COP). COP merupakan badan tertinggi yang mendukung proses negosiasi di bawah payung hukum UNFCCC. Sebagai badan tertinggi, COP pun memiliki wewenang tertinggi dalam membuat keputusan sekaligus merupakan asosiasi para pihak yang meratifikasi konvensi.[1]
COP bertanggung jawab untuk menjaga konsistensi upaya internasional dalam mencapai tujuan utama konvensi dan mencapai kesepakatan yang mengikat secara hukum untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (“GRK”). Pada COP21 ini, setiap negara termasuk Indonesia harus menyampaikan Intended Nationally Determined Contribution (“INDC”). INDC berperan sebagai bentuk komitmennya dalam menurunkan emisi GRK pada tahun 2030 dalam langkah mitigasi perubahan iklim. Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang ikut berkontribusi dalam upaya untuk mengurangi emisi GRK. Indonesia hadir dengan memberikan sebuah komitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% dengan kekuatan sendiri (business as usual) dan 41 persen dengan bantuan internasional sampai tahun 2030 yang disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo.[2] Dengan proporsi emisi masing-masing sektor yang meliputi: kehutanan (17.2%), energi (11%), pertanian (0.32%), industri (0.10%), dan limbah (0.38%).[3]
COP21 memiliki peranan yang sangat penting bagi Indonesia maupun masyarakat internasional karena sebagai negara yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo, masyarakat internasional menempatkan keberadaan hutan Indonesia sebagai instrumen mitigasi yang penting dalam rangka negosiasi kebijakan iklim.[4] Akan tetapi, sebagaimana diakui oleh Pemerintah Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (“NDC”) pertama 2016, pada tahun 2005 emisi GRK nasional diperkirakan 1,8 GtCO2e, meningkat sebesar 0,4 GtCO2e dibandingkan tahun 2000, yang mana sebagian besar emisi tersebut, 63% adalah hasil dari perubahan penggunaan lahan dan kebakaran hutan dan gambut serta penggunaan bahan bakar fosil sebesar 19% dari total emisi. Total emisi GRK nasional pada tahun 2012 bersumber dari tiga GRK utama CO2 (84,1%), CH4 (11,9%) dan N2O (4,1%) tanpa memasukan perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan atau Land Ue Change and Forestry (“LUCF”) dan kebakaran lahan gambut, sebesar 758,979 GgCO2. Dengan masuknya LUCF dan kebakaran gambut, total emisi GRK nasional menjadi 1,453,957 GgCO2. Kontribusi utama adalah berasal dari LUCF, termasuk kebakaran lahan gambut (47,8%) diikuti energi (34,9%), pertanian (7,8%), sampah (6,7%), dan proses industri dan penggunaan produk (Industrial Processes and Product Use/IPPU) sebesar 2,8%.[5]
Untuk itu, pemerintah mengklaim telah mengambil langkah signifikan untuk mengurangi emisi di sektor pemanfaatan lahan. Upaya yang ditempuh pemerintah adalah melalui moratorium pembukaan hutan primer dan larangan konversi hutan guna mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, memulihkan fungsi ekosistem, seperti pengelolaan hutan lestari yang meliputi hutan rakyat melalui kegiatan aktif partisipasi sektor swasta, usaha kecil dan menengah, organisasi masyarakat sipil, masyarakat lokal dan kelompok yang paling rentan, terutama masyarakat adat dan perempuan baik dalam perencanaan dan implementasi dengan pendekatan pengelolaan skala lanskap dan ekosistem yang menekankan peran yurisdiksi sub-nasional yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.[6]
Di sektor energi, pemerintah juga mengklaim telah menerapkan kebijakan penggunaan bauran energi, dan mengembangkan sumber energi bersih sebagai arahan kebijakan nasional. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dimana ditetapkan energi baru dan terbarukan paling sedikit 23% pada tahun 2025 dan paling sedikit 31% pada tahun 2050, penggunaan energi yang bersumber dari minyak bumi harus kurang dari 25% pada tahun 2025 dan kurang dari 20% pada tahun 2050, batu bara minimal 30% pada tahun 2025 dan minimum 25% pada tahun 2050, dan gas minimal 22% pada 2025 dan minimum 24% pada tahun 2050.[7]
Persoalan yang muncul terkait dengan komitmen pemerintah Indonesia ini adalah data-data terbaru tidak menunjukan adanya pengurangan deforestasi bahkan terdapat kecenderungan hilangnya 11% kawasan hutan primer pada tahun 2021 yang sebagian besar diakibatkan oleh kebakaran hutan.[8] Selain dari kebakaran hutan, peningkatan GRK diakibatkan oleh adanya aktivitas pengolahan energi dari batu bara. Pada satu sisi, energi terbarukan didorong untuk memainkan peran lebih dominan dalam bauran energi, namun di sisi lain, batu bara tetap memiliki peranan yang besar sebagai sumber energi utama. Hal tersebut diperkuat berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa 70% kerusakan hutan di Indonesia diakibatkan oleh aktivitas penambangan.[9] Penurunan jumlah hutan di Indonesia juga sangat tinggi, yaitu seluas 93,8 juta ha, yang artinya Indonesia kehilangan 36% lahan tutupan pohon pada periode yang sama.[10]
Dengan demikian, diperkirakan level emisi di masa depan dari deforestasi akan jauh lebih tinggi daripada tersirat di dalam BAU (Biro Administrasi Umum) di Indonesia sedangkan dalam Sektor energi pemerintah juga tetap meneruskan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru dalam pemenuhan permintaan listriknya. Secara total, kapasitas pembangkit listrik diperkirakan meningkat sebesar 35 GW pada 2019, yang akan dibangun melalui pembangkit listrik tenaga batu bara baru. Pemanfaatan energi yang berasal dari batubara, walaupun biayanya jauh lebih murah dibandingkan dengan energi yang bersumber dari minyak bumi juga memiliki dampak bagi lahan dan kehutanan ketika target pemanfaatan batu bara itu dilaksanakan dengan mengeksploitasi sumber daya alam nasional. Penggunaan batubara dapat pula berdampak pada meningkatnya emisi GRK dan menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu menjalankan komitmennya dengan baik.
Paris Agreement telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To the United Nations Framework Convention on Climate Change. Pengesahan ini memiliki peran yang besar terhadap peraturan yang ada dibuktikan dengan adanya beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dan mendukung Paris Agreement adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Disisi lain Indonesia telah memiliki Peraturan mengenai perlindungan hutan, yang dituangkan dalam Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden hingga Instruksi Presiden yaitu, UU No. 18/2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, PP No. 45/2004 Tentang Perlindungan Hutan, Perpres No. 62/2013 Tentang Badan Pengelola Penurunan Emisi GRK Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (dicabut melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015), InPres No. 4/2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia[11]
Indonesia telah menghadirkan berbagai macam regulasi mengenai tata kelola Lingkungan sebagai bentuk dan upaya untuk mengurangi dampak dari krisis iklim yang semakin nyata terasa, mulai dari komitmen mengenai penurunan emisi dalam COP21 lalu meratifikasi dalam bentuk UU No 16 Tahun 2016, lalu Peraturan mengenai perlindungan hutan, yang dituangkan dalam Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden hingga Instruksi Presiden. Sebagai negara yang memiliki persebaran hutan yang sangat luas dan banyak menjadi negara yang sangat rentan memberikan pengaruh besar terhadap kondisi iklim dunia, dengan adanya hal tersebut maka dimuat banyak regulasi dengan tujuan untuk menjaga dan mempertahankan keseimbangan hutan yang masih ada. Akan tetapi, regulasi yang dihadirkan oleh Indonesia dalam implementasinya belum mampu berjalan dengan sesuai, ada sebuah kontradiksi antara peraturan yang dikeluarkan dengan implementasi maupun fakta yang terjadi di lapangan.
Mengenai komitmen Indonesia dalam COP21 hingga sampai saat ini belum dirasakan adanya dampak yang nyata, terbukti dengan adanya penggunaan batubara untuk pembangkit listrik semakin meningkat yang disisi lain mampu berdampak pada peningkatan jumlah emisi GRK dan memperparah kondisi iklim di tengah meningkatnya industrialisasi di berbagai negara. Deforestasi terhadap hutan pun semakin meningkat sehingga Indonesia dan bahkan dunia ikut mengalami kehilangan paru-parunya karena hutan memegang posisi terpenting dalam perbaikan kondisi iklim saat ini akibat dari adanya GRK. Namun, pemerintah Indonesia dengan tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan akibat adanya pembukaan lahan yang semakin banyak dilakukan seperti penebangan hutan untuk kebutuhan perkebunan sawit, bahkan dilakukan di atas lahan yang ditumbuhi oleh tumbuhan yang sangat dibutuhkan untuk menyerap berbagai zat dan polusi yang dihasilkan oleh banyak perindustrian.
Regulasi yang dimiliki Indonesia belum mampu untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan terhadap pengaturan mengenai Tata Kelola Lingkungan, hal tersebut menunjukkan bahwa efektivitas dari regulasi tersebut belum berjalan seperti yang diharapkan sebagaimana yang terdapat dalam komitmen pada COP21. Hal ini dibuktikan dengan tingkat deforestasi yang semakin tinggi, padahal dalam berbagai undang-undang dan peraturan telah diatur agar hutan dapat dikelola dengan sebaik mungkin. Di samping itu, tindakan pemberantasan yang tegas terhadap para pelaku perusak lingkungan yang justru mengakibatkan hilangnya kekuatan dan efektivitas dari regulasi tersebut. Jika hal demikian terus dibiarkan dan tidak ada penanganan maupun perubahan apapun, maka dalam 2030 mendatang Indonesia bukan hanya kehilangan kepercayaan dari masyarakat Internasional untuk menepati komitmennya yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution, NDC.[12] Namun, perjanjian tersebut sepertinya tidak berjalan semestinya karena keadaan nyatanya, hal yang jauh lebih parah adalah Indonesia akan kehilangan hutan yang menjadi paru-paru bumi akibat pencemaran udara.
Pencemaran terhadap lingkungan yang juga semakin nyata terjadi menunjukan gagalnya Indonesia dalam memenuhi komitmennya pada COP21 yaitu untuk membantu mengurangi laju peningkatan GRK sebesar 29% dengan kekuatan sendiri (business as usual) dan 41% dengan bantuan internasional. Secara peraturan terkait perubahan iklim di Indonesia dinilai belum mampu melakukan transformasi secara substansial upaya pengurangan emisi GRK seperti yang diharapkan, persoalan efektivitas khususnya penegakan hukum masih menjadi persoalan utama, bahkan beberapa kebijakan pemerintah memuat aturan yang bersifat kontradiktif dengan komitmen yang dicanangkan. Oleh karenanya, disarankan perlunya efektivitas aturan, penegakan hukum serta penyelarasan komitmen dengan kebijakan energi yang dijalankan.
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL
Zuhir, Apriandi Mada, dkk. ”Indonesia Pasca Ratifikasi Perjanjian Paris 2015; Antara Komitmen Dan Realitas Indonesia Post Ratification Of The Paris Agreement 2015; Between Commitment And Reality.” Jurnal Bina Hukum Lingkungan. Volume 1. No. 2 (2017). Hlm 234-246.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change, UU No.16 Tahun 2016, LN Tahun 2016 No. 204 TLN No 5939.
PERATURAN PEMERINTAH
Peraturan Pemerintah Tentang Kebijakan Energi Nasional, PP No. 79 Tahun 2014, LN No. 300 Tahun 2014 TLN. No. 5609.
Peraturan Pemerintah Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, PP Nomor 57 Tahun 2016, LN No. 260 Tahun 2016 TLN. No. 5957.
PERATURAN PRESIDEN
Peraturan Presiden Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Perpres No. 61 Tahun 2011.
DOKUMEN INTERNASIONAL
Second National Communication of 2010. First Nationally Determined Contribution Republic of Indonesia. (2016).
INTERNET
Kusnandar, Viva Budy. “Indonesia Kehilangan 270 Ribu Hektar Lahan Hutan Primer pada 2020.” Katadata.com, 4 November 2021. Tersedia pada https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/04/indonesia-kehilangan-270-ribu-hektar-lahan-hutan-primer-pada-2020. Diakses pada tanggal 22 Desember 2023.
Kristina. “5 Negara dengan Hutan Hujan Tropis Terluas di Dunia, Indonesia Urutan Berapa?” Detik.com, 2 November 2021. Tersedia pada https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5792555/5-negara-dengan-hutan-hujan-tropis-terluas-di-dunia-indonesia-urutan-berapa. Diakses pada tanggal 22 Mei 2023.
PPID Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Indonesia Menandatangani Perjanjian Paris Tentang Perubahan Iklim.” Kementerian Lingkungan dan Kehutanan, 23 April 2016. Tersedia pada http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/298. Diakses pada tanggal 22 Mei 2023.
Rahardjo, Agus. “70 Persen Kerusakan Hutan Akibat Tambang.” Republika.co.id, 8 Agustus 2020. Tersedia pada https://news.republika.co.id/berita/m8e1ez/70-persen-kerusakan-hutan-akibat-tambang. Diakses pada tanggal 22 Desember 2023.
Suryandari, Siswantini. “BRIN Fokus Inovasi Teknologi Dukung Penurunan Emisi Karbon.” Mediaindonesia.com, 2 November 2021. Tersedia pada https://mediaindonesia.com/humaniora/444404/brin-fokus-inovasi-teknologi-dukung-penurunan-emisi-karbon. Diakses pada tanggal 22 Desember 2023.
Weisse, Mikaela dan Liz Goldman. “Kehilangan Hutan Tetap Tinggi di Tahun 2021.” Globarforestwatch.org, 28 April 2022. Tersedia pada https://www.globalforestwatch.org/blog/id/data-and-research/data-kehilangan-tutupan-pohon-global-2021/. Diakses pada tanggal 22 Desember 2023.
[1]Mada Apriandi Zuhir, dkk,”Indonesia Pasca Ratifikasi Perjanjian Paris 2015; Antara Komitmen Dan Realitas Indonesia Post Ratification Of The Paris Agreement 2015; Between Commitment And Reality,” Jurnal Bina Hukum Lingkungan 1, Vol. 1, No. 2 (2017), hlm 234.
[2]Peraturan Presiden Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Perpres No. 61 Tahun 2011.
[3]Siswantini Suryandari, “BRIN Fokus Inovasi Teknologi Dukung Penurunan Emisi Karbon,” Mediaindonesia.com, 2 November 2021, tersedia pada https://mediaindonesia.com/humaniora/444404/brin-fokus-inovasi-teknologi-dukung-penurunan-emisi-karbon, diakses pada tanggal 22 Desember 2023.
[4]Kristina, “5 Negara dengan Hutan Hujan Tropis Terluas di Dunia, Indonesia Urutan Berapa?” Detik.com, 2 November 2021, tersedia pada https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5792555/5-negara-dengan-hutan-hujan-tropis-terluas-di-dunia-indonesia-urutan-berapa, diakses pada tanggal 22 Mei 2023.
[5]Second National Communication of 2010, First Nationally Determined Contribution Republic of Indonesia, (2016), hlm.2.
[6]Peraturan Pemerintah Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, PP Nomor 57 Tahun 2016, LN No. 260 Tahun 2016 TLN. No. 5957.
[7]Peraturan Pemerintah Tentang Kebijakan Energi Nasional, PP No. 79 Tahun 2014, LN No. 300 Tahun 2014 TLN. No. 5609.
[8]Mikaela Weisse dan Liz Goldman, “Kehilangan Hutan Tetap Tinggi di Tahun 2021,” Globarforestwatch.org, 28 April 2022, tersedia pada https://www.globalforestwatch.org/blog/id/data-and-research/data-kehilangan-tutupan-pohon-global-2021/, diakses pada tanggal 22 Desember 2023.
[9]Agus Rahardjo, “70 Persen Kerusakan Hutan Akibat Tambang,” Republika.co.id, 8 Agustus 2020, tersedia pada https://news.republika.co.id/berita/m8e1ez/70-persen-kerusakan-hutan-akibat-tambang, diakses pada tanggal 22 Desember 2023.
[10]Viva Budy Kusnandar, “Indonesia Kehilangan 270 Ribu Hektar Lahan Hutan Primer pada 2020,” Katadata.com, 4 November 2021, tersedia pada https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/04/indonesia-kehilangan-270-ribu-hektar-lahan-hutan-primer-pada-2020, diakses pada tanggal 22 Desember 2023.
[11]Undang-Undang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change, UU No.16 Tahun 2016, LN Tahun 2016 No. 204 TLN No 5939.
[12]PPID Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Indonesia Menandatangani Perjanjian Paris Tentang Perubahan Iklim,” Kementerian Lingkungan dan Kehutanan, 23 April 2016, tersedia pada http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/298, diakses pada tanggal 22 Mei 2023.